Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MAKALAH IRD

CEDERA KEPALA

DISUSUN OLEH

INARNINGTYAS ISMI KIRANA

NIM : 1808020268

KELOMPOK 4

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


RSUP DR SARDJITO YOGYAKARTA
PERIODE OKTOBER - NOVEMBER
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu peristiwa yang dapatmenimbulkan pengalaman traumatic


yang hebat dalam kehidupan manusia adalah adanya cedera yang mengenai
kepala. Cedera jenis ini tidak hanya memerlukan pertolongan secara cepat untuk
berlangsung hidup, namun juga memerlukan waktu penyembuhan dan
rehabilitas yang cukup lama untuk kembali hidup dan berfungsi secara optimal.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, Arif, et al. 2011). Cedera kepala akibat trauma
yang mengenai otak dapat mengakibatkan perubahan fisik intelektual,
emosional, dan sosisl. Trauma tenaga dari luar yang mengakibatkan berkurang
atau terganggunya status kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi
fisik dan emosional (Judha & Rahil. 2011).
Proporsi cedera kepala di Indonesia tahun 2018 adalah 11,9% dengan
prevalensi tertinggi di Gorontalo (17,9%), Papua (16,0%) dan Sulawesi Utara
(15%). Untuk proporsi terjadinya cedera kepala di Yogyakarta sendiri (10,5%)
walaupun angka terjadinya insiden tersebut tidak sebesar wilayah yang lainnya,
penduduk yang pernah mengalami cedera dalam 1 tahun terakhir dan
mengakibatkan kegiatan sehari – hari terganggu. Mayoritas penyebab cedera
akibat kecelakaan lalu lintas ketika sedang mengendarai sepeda motor (72,7%)
(Riskesdas, 2018). Adanya penanganan yang cepat terhadap cedera ini
berfungsi untuk mencegah terjadinya cedera otak sekunder.
Berdasarkan uraian tersebut, maka disusunlah makalah ini yang
membahas mengenai bagaimana penanganan atau tindakan kegawatdaruratan
pada keadaan cedera kepala.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan
jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir,
2012). Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung
atau deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan tengkorak
dan otak (Pierce dan Neil, 2014).
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang
terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder
yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi
intrakranal, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang tibul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intracranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003).
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakakan oleh Jennet dan
Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara
kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi.
Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi
berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS
yaitu :
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat
di rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada
CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat
di rumah sakit setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma,
score GCS < 9 (George, 2009).
Tabel 1. Glasgow Coma Scale
Eye Opening Score
Mata terbuka spontan 4
Mata membuka terhadap bicara 3
Mata membuka sedikit setelah dirangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Motor Response Score
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Gerakan fleksi abnormal 3
Gerakan ekstensi abnormal 2
Tidak ada gerakan 1
Verbal Response Score
Berorientasi 5
Bicara kacau / disorientasi 4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak tepat/tidak membentuk kalimat 3
Mengeluarkan suara tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1
(ATLS, 2004)

B. Penanganan Cedera Kepala


Penanganan kasus cedera kepala secara umum (Iskandar, 2017) :
Diagnosis klinis cedera kepala
(Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik/neurologis)

Pemeriksaan penunjang (schedel x-ray, CT scan, laboratorium)

Diagnosis morfologis (EDH/SDH/ICH, dsb)

Penanganan

Operatif atau Non Operatif


Terapi untuk cedera kepala, tujuan utama protokol perawatan intensif
adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder otak yang telah mengalami
cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal
untuk pemulihan, maka diharapkan sel tersebut dapat pulih dan kembali ke
fungsi normal. Terapi antara lain cairan intravena, hiperventilasi, manitol,
furosemid, steroid, barbiturate dan antikejang.
1. Cairan Intravena
Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi dan
mempertahanakan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien
sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga diperhatikan untuk tidak
memberikan cairan berlebihan. Jangan diberikan cairan hipotonik. Juga,
penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan
hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu,
cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan Ringer Laktat atau
garam fisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada pasien dengan
cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan endema otak
sehingga harus dicegah.
2. Hiperventilasi
Untuk sebagian besar pasien, keadaan normokarbia lebih diinginkan.
Perlakuan hiperventilasi yang agresif dan lama akan menurunkan kadar
PaCO2 yang menyebabkan vasokonstriksi berat pembuluh
darah serebral sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi
terutama bila PaCO2 dibiarkan turun sampai di bawah 30 mm Hg (4,0 kPa)
Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya dalam batas
waktu tertentu. Umumnya, PaCO2 dipertahankan pada 35 mmH.
Hiperventilasi dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30 mm Hg) dapat
dilakukan jika diperlukan pada keadaan perburukan neurologis akut,
sementara pengobatan lainnya baru dimulai. Hiperventilasi akan
mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan perburukan neurologis
akibat hematoma intrakranial yang membesar, sampai operasi kraniotomi
emergensi dapat dilakukan.
3. Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di RS dengan
cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor
yang berkaitan dengan insiden epilepsy :
a) Kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama
b) Perdarahan Intrakranial, atau
c) Fraktur depresi.
Penelitian tersamar ganda / double blind menunjukkan bahwa fenitoin
sebagai profilaksis bermanfaat untuk menurunkan angka insidensi kejang
dalam minggu pertama cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau
fosfenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa
dosis awalnya adalah 1 g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan
pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya
100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapetik serum. Pada
pasien dengan kejang berkepanjangan, diazepam atau lorazepam digunakan
sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi
kejang yang terus menerus kadang memerlukan anestesi umum. Sangat jelas
bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang
berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat menyebabkan cedera otak.
4. Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK) yang
meningkat. Sediaan yang tersedia cairan manitol dengan konsentrasi 20%
(20 gram setiap 100 ml larutan). Dosis yang diberikan 0.25 – 1 g/kg BB
diberikan secara bolus intravena. Manitol jangan diberikan pada pasien
yang hipotensi, karena manitol tidak mengurangi tekanan intrakranial pada
kondisi hipovolemik dan manitol merupakan diuretic osmotic yang
potensial. Adanya perburukan neurologis yang akut, seperti terjadinya
dilatasi pupil, hemiparesis maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam
observasi merupakan indikasi kuat untuk diberikan manitol. Pada keadaan
tersebut pemberian bolus manitol (1 g/kgBB) harus diberikan secara cepat
(dalam waktu lebih dari 5 menit) dan pasien segera di bawa ke CT scan
ataupun langsung ke kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui.
BAB III
KESIMPULAN

Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.
Terapi cedera kepala antara lain cairan intravena, hiperventilasi, manitol,
furosemid, steroid, barbiturate dan antikejang. Diberikan terapi tersebut pada
kondisi pasien tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors. 2004. Edisi 7. Jakarta :
IKABI.
Grace, Pierce A. dan Neil R. Borley. 2014. At a Glance Ilmu Bedah . Alih Bahasa
dr. Vidia Umami. Editor Amalia S. Edisi 3. Jakarta: Erlangga.
Hickey, V. J. 2003. The Clinical Practice Of Neurological and Neurosurgical
Nursing, 4th Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Iskandar. 2017. Diagnosis Dan Cara Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural.
Banda Aceh: Medical Faculty Of Syiah Kuala University.
Judha, M., & Rahlil, N.H. 2011. Sistem Persyarafan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Mansjoer, Arif, et al. 2011. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius.
Riskesdas. 2018. Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta: Kemenkes RI.
Sjahrir H. 2012. Nyeri Kepala dan Vertigo. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press.

Anda mungkin juga menyukai