Anda di halaman 1dari 6

Perbuatan Yang Dilarang Karena Tasyabbuh, Tidak Memandang Niat

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫منهم فهو بقوم تشبه من‬

“Orang yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, di hasankan
oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, di shahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152).

Hadits ini dalil terlarangnya tasyabbuh bil kuffar, menyerupai ciri khas kaum kuffar.

Terkadang ketika seseorang dinasehati agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tasyabbuh bil
kuffar ia menyanggah: “saya tidak berniat meniru orang kafir, saya hanya melakukannya karena begini
dan begitu“.

Larangan tasyabbuh tidak memandang niat

Jawaban atas pernyataan demikian, tasyabbuh bil kuffar, atau meniru kekhususan orang kafir, tetap
terlarang dalam syariat walaupun pelakunya tidak berniat untuk tasyabbuh. Karena larangan tasyabbuh
tidak melihat niat, namun melihat zhahir perbuatannya. Walaupun pelakunya tidak meniatkan diri untuk
menyerupai orang kafir, akan tetapi hasil dari perbuatan yang ia lakukan adalah ia menjadi serupa
dengan orang kafir dan memiliki salah satu ciri khas orang kafir. Oleh karena itu tetap terlarang,
walaupun tidak berniat demikian.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan: “suatu perbuatan yang merupakan tasyabbuh,
tidak disyaratkan adanya niat untuk tasyabbuh. Maka, bentuk dari perbuatan tasyabbuh itu terjadi
walau tidak dimaksudkan demikian. Maka jika terjadi suatu perbuatan yang merupakan bentuk dari
tasyabbuh, hukumnya terlarang. Ini tidak dibedakan baik dalam tasyabbuh dengan orang kafir atau
tasyabbuh-nya wanita dengan laki-laki atau tasyabbuh-nya laki-laki dengan wanita. Tidak disyaratkan
adanya niat, selama di sana terjadi satu bentuk tasyabbuh (maka terlarang)” 1.

Di dalam Al Qaulul Mufid, beliau juga menjelaskan: “karena hukum tasyabbuh ini hanya terkait dengan
bentuk zhahirnya. Maka perbuatan ini tidak membutuhkan pengecekan niat, karena hukumnya hanya
dikaitkan dengan amal. Adapun amal itu berpengaruh pada amal-amal shalih yaitu berpengaruh pada
sah atau tidaknya amal shalih tersebut. Juga terkait dengan amal-amal yang tidak disebut batasan
pahalnya, sehingga seseorang diberi pahala karena niatnya, atau amalan-amalan semacam itu. Ini tidak
berlaku pada yang hanya dikaitkan dengan amalannya saja. Dalam hal ini maka tidak perlu pengecekan
niat”.

Beliau melanjutkan: “dalam hal ini, syariat mengaitkan hukum dengan tasyabbuh. Maksudnya, terkait
dengan perbuatan melakukan tasyabbuh, baik disertai niat atau pun tidak. Oleh karena itu dalam
masalah tasyabbuh para ulama berkata: ‘(haram) walaupun tidak bermaksud tasyabbuh‘. Karena
tasyabbuh itu sudah terjadi semata-mata dengan adanya perbuatan tasyabbuh. Jika ada yang bertanya:
‘ada kaidah bahwasanya amal itu tergantung niatnya, apakah ini bertentangan?’. Jawabnya, tidak
bertentangan. Karena perkara yang dikaitkan dengan amalan itu tetap sah walaupun tanpa niat
melakukannya. Misalnya perkara-perkara yang haram, seperti zhihar, zina, atau semacamnya”2.

Perbuatan-perbuatan yang dilarang karena sadd adz dzari’ah tidak memandang niat

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


َّ َ َ َ َ َ َ َّ ُ َ ُ ُ ُ َ َّ َ َ ْ ُ َ َ ُ َ َّ َ ُ َ ْ َ َ َّ َ َ َ
ً ‫وهم َضب ُجحر َف َد َخ ُلوا َلو َح َّّت بذ َراع َوذ َر‬
‫ن لتت ِب ُع َّن‬ ‫اعا ِب ِش ْ رب ِش ْ ًبا قب ِلكم ِمن ال ِذين س‬ ِ ‫ر‬ ِِ ِ ِ ‫اّلل رسول يا قلنا َلتبعتم‬ِ ‫قال والنصارى آليهود‬
َ َ
‫فمن‬

“Sungguh kalian akan mengikuti jalannya umat-umat terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi
sedepa, sehingga seandainya mereka masuk lubang dhab (sejenis kadal), maka kalian akan
mengikutinya”. Lalu para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksud umat
terdahulu itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab: “siapa lagi kalau bukan
mereka?” (Muttafaqun ‘alaih).

Hadits ini dalil terlarangnya ittiba’ bil kuffar, mengikuti jalannya orang-orang kafir.

Ketahuilah, perbuatan-perbuatan yang dilarang karena tasyabbuh memang terkadang pada asalnya
mubah, namun bisa menjadi jalan kepada ittiba’ bil kuffar (mengikuti jalannya orang-orang
kafir) sehingga menjadi terlarang, ini disebut sebagai kaidah sadd adz dzari’ah (menutup jalan menuju
keburukan). Karena penyerupaan dalam perkara lahiriyah akan membawa kepada penyamaan dalam
perkara batin. Syaikhul Islam dalam Iqtidha Shiratal Mustaqim mengatakan:

‫ ومحبة مودة نوع تورث الظاهر َ ِف المشابهة‬، ‫ الباطن َ ِف ومواَلة‬، ‫ الظاهر َ ِف المشابهة تورث الباطن َ ِف المحبة أن كما‬، ‫يشهد أمر وهذا‬
‫والتجربة الحس به‬

“Penyerupaan penampilan dalam lahiriyah akan menimbulkan unsur kecintaan dan kesukaan serta
loyalitas di dalam hati.
Sebagaimana juga kecintaan dalam hati akan menimbulkan penyerupaan dalam lahiriyah. Ini adalah
perkara yang bisa dirasakan oleh indera dan terbukti oleh pengalaman”.

Misalnya memakai topi apapun hukum asalnya mubah. Namun ketika yang dipakai adalah topi santa
klaus, maka ia menjadi jalan kepada ittiba’ bil kuffar sehingga menjadi terlarang. Bergembira ria dan
bersenang-senang hukum asalnya boleh, namun ketika dilakukan di malam tahun baru Masehi maka ini
menjadi jalan kepada tasyabbuh bil kuffar sehingga menjadi terlarang.

Dan sesuatu yang terlarang karena sadd adz dzari’ah tidaklah memandang niat. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Dzari’ah (jalan menuju sesuatu yang haram) itu diharamkan oleh syariat
walaupun pelakunya tidak berniat melakukan perbuatan haram, karena dikhawatirkan ia terjatuh pada
perkara haram tersebut. Namun jika pelakunya memang meniatkan untuk melakukan perbuatan haram
tersebut, maka ia lebih haram daripada keharaman dzari’ah-nya” 3.
Karena sebuah amalan (non ibadah) itu tidak dilihat dari niatnya saja namun juga dari ma’alat (akibat)
dari perbuatan tersebut. Parameter pertama yang dicek dari sebuah perbuatan adalah niatnya, apakah
perbuatan tersebut diniatkan kepada suatu hal yang haram ataukah tidak. Andai perbuatan tersebut
tidak diniatkan untuk perkara yang haram, maka dicek parameter kedua, yaitu apakah perbuatan itu
akan berujung kepada keburukan ataukah tidak. Jika berujung kepada kepada keburukan maka terlarang
walaupun parameter pertama (yaitu niat) tidak bermasalah 4.

Demikian pula perbuatan-perbuatan yang dilarang karena tasyabbuh bil kuffar, ia terlarang walaupun
tidak diniatkan untuk tasyabbuh, karena ia dapat mengakibatkan keburukan yaitu ittiba’ bil
kuffar (mengikuti jalannya orang-orang kafir).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan 30 dalil yang melandasi kaidah ini dalam kitab Bayanud Dalil,
dan ditambahkan oleh muridnya, Ibnul Qayyim, menjadi 99 dalil dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in.
Diantaranya:

Allah Ta’ala berfirman:


َ َ َ َّ َ ُ َ ُ َّ ُّ ُ َ َ َ َّ ً َ َ ْ
‫ين ت ُس ُّبوا َوَل‬ ‫ون ِمن يدعون ال ِذ‬
ِ ‫اّلل د‬
ِ ‫ِعلم ِبغب عدوا اّلل فيسبوا‬

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS. Al An’am: 108).

Allah Ta’ala dalam ayat ini melarang memaki sesembahan-sesembahan kaum Musyrikin padahal itu
boleh dan bahkan asalnya merupakan ibadah kepada Allah, karena bisa menjadi jalan dan sebab dicaci-
makinya Allah oleh mereka. Perhatikan, seseorang yang memaki sesembahan-sesembahan kaum
Musyrikin tentu tidak berniat memaki Allah, namun perbuatannya tersebut bisa menjadi jalan dicacinya
Allah oleh mereka, sehingga dilarang memaki sesembahan-sesembahan kaum Musyrikin.

Dalil lainnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:


َ ْ َ ُ َّ ‫ف َق ُالوا َو ِال َدي ِه‬
َ ‫الر ُج ُل َيش ُت ُم َو َكي‬ ُّ ‫الر ُجل َأ َبا َي ُس‬
َ ‫ب َق‬
َّ ‫ال َو ِال َدي ِه‬ ُّ ‫ب َأ َب ُاه َف َي ُس‬
ُّ ‫ب ُأ َّم ُه َو َي ُس‬
ُّ ‫ُأ َّم ُه َف َي ُس‬
‫الر ُج ُل َيشت َم أن الك َب ِائر ِمن‬ ِ
َّ ‫ب‬

“Termasuk dosa besar, seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya”. Para sahabat bertanya:
“bagaimana mungkin seseorang mencaci-maki orang tuanya?”. Nabi menjawab: “ia mencaci maki
ayah orang lain, lalu orang lain tersebut balik mencaci maki ayahnya. Atau ia mencaci maki ibu orang
lain, lalu orang lain tersebut balik mencaci maki ibunya” (Muttafaqun ‘alaih).

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menganggap seorang anak yang menjadi sebab dicaci-
maki orang tuanya oleh orang lain sebagai pencaci-maki orang tua sendiri, walaupun si anak tersebut
tidak berniat mencaci-maki orang tuanya sendiri.

Dan dalil-dalil yang lainnya.

Maka kesimpulannya, perbuatan-perbuatan yang dilarang karena tasyabbuh bil kuffar tetap terlarang
walaupun pelakunya tidak beniat untuk tasyabbuh.
Semoga bisa dipahami, wabillahi at taufiq was sadad.

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

_____

1. Fatawa Nuurun ‘alad Darbi, http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4855.shtml ↩

2. Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1/408 ↩

3. Bayanud Dalil, 353, dinukil dari Maqashid Syari’ah inda Ibni Taimiyah, 365 ↩

4. Diringkas dari Maqashid Syari’ah inda Ibni Taimiyah, 372 ↩

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29205-perbuatan-yang-dilarang-karena-tasyabbuh-


tidak-memandang-niat.html
Sebagain orang yang baru belajar agama di Indonesia, banyak sekali orang menyalahkan umat Islam
yang menjalankan beberapa tradisi Islam Nusantara.

DutaIslam.Com - Sebelum kita memahami tasyabbuh lebih panjang dan lebar, seharusnya kita harus
tahu apa itu tasyabuh terlebih dahulu. Beberapa istilah definisi tasyabbuh di bawah ini sudah dijelaskan,
diantaranya:

a) Definisi Imam Muhammad Al Ghozi Asy Syafi'i "tasyabbuh adalah ungkapan yang menunjukkan upaya
manusia untuk menyerupakan dirinya dengan sesuatu yang diinginkan dirinya serupa dengannya dalam
hal tingkah laku, pakaian, atau sifat-sifatnya. Jadi tasyabbuh adalah ungkapan tentang tingkah yang
dibuat-buat yang diinginkan dan dilakukanya.

b) Al Manawi ketika menjelaskan hadits, "Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian
dari mereka, yakni tekstualnya adalah berdandan sebagaimana dandanan mereka, berusaha bertingkah
laku sesuai perbuatan mereka, berakhlak dengan akhlak mereka, berjalan pada jalan mereka, mengikuti
mereka berkenaan dengan pakaian dan sebagian perbuatan, yakni tasyabbuh yang sesungguhnya adalah
dengan yang diinginkan berkenaan dengan aspek lahir maupun batin.

Baca: Apakah Maulid Nabi Muhammad Menyerupai Orang Kafir?

Pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang nyata antara definisi tasyabbuh secara bahasa dengan
definisi secara istilah. Sehingga yang dimaksud dengan tasyabbuh adalah penyerupaan terhadap orang-
orang kafir dengan seluruh jenisnya dalam hal aqidah atau ibadah atau adat atau cara hidup yang
merupakan kekhususan mereka (orang-orang kafir).

Tasyabbuh yang diharamkan dalam agama itu syaratnya ada dua:

1. Perbuatan tasyabbuh harus perbuatan tercela dalam kacamata agama. Maksudnya, melakukan
sesuatu yang menyerupai orang kafir atau kaum musyrikin.

2. Orang yang melakukan memang hanya bertujuan tasyabbuh.

Ada dua macam menyerupai orang kafir: Haram dan Halal

Serupa yang haram yaitu melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan dari agama tertentu atau terkait
dengan agama tersebut. Misalnya, masalah ritual suatu agama seperti misa di gereja atau sembahyang
di Budha, dan lain sebagainya.

BACA JUGA

 Pandangan Habib Umar bin Hafidz Tentang Khilafah

 Bacaan Niat Wudhu dan Artinya


 Disaat Ijab Kabul, Suami Menanggung Dosa Istri dan Mencium Bau Surga

Menyerupai orang kafir yang halal adalah melakukan sesuatu yang bersifat perkara duniawi yang
dilakukan oleh orang kafir tapi ia melakukannya bukan karena ajaran agamanya tapi karena hal itu
sudah menjadi tradisi suku atau bangsanya. Kebolehannya ada tiga syarat: (a) Perkara duniawi ini tidak
menjadi kekhususan orang kafir; (b) Tidak berlawanan dengan syariah; (c) Mengandung unsur manfaat;
dan tidak ada faktor negatif di dalamnya.

Pengertian Tasyabbuh dalam Islam

Abdul Majid Sulaim, mufti Mesir, dalam kumpulan fatwa Darul Ifta Al-Mishriyah menyatakan:

‫ونشب نأكل فإننا ىشء كل َف يكره َل الكتاب بأهل التشبه أن أعلم ثم نصه ما البحر صاحب قال ذلك أجل ومن‬
‫الحرام إنما يفعلون كما ى‬
َ
َ ‫الصغب الجامع ىشح ف خان‬.
‫قاض ذكره كذا التشبه به يقصد وفيما مذموما كان فيما التشبه هو‬
ِ

Artinya:
Ibnu Abidin dalam Al-Bahr Al-Roiq Syarah Kanz Al-Daqaiq, hlm. 2/28, menyatakan: Menyerupai Ahli
Kitab (Nasrani dan Yahudi) itu tidak makruh alias boleh dalam segala hal. Faktanya, kita makan dan
minum seperti mereka. Yang haram itu menyerupai dalam hal yang tercela dan dalam hal yang
dimaksudkan untuk menyerupai. Begitu pendapat yang disebut Qadhi Khan dalam Syarah Al-Jamik Al-
Shaghir.ja untuk meniru.

Orang yang tahlilan, tidak ada yang bertujuan tasyabbuh dengan Hindu. Lagi pula, orang Hindu dijamin
tidak ada yang tahlilan. Demikian pula tradisi-tradisi yang lain di Nusantara. dengan alasan tradisi
tersebut menyerupai atau tasyabbuh dengan orang-orang Hindu itu tidak berdasar.

Demikian sebagian kecil dari bentuk-bentuk tasyabbuh dalam masalah ibadah. Tentunya masih banyak
lagi yang belum disebutkan satu persatu disini. Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan taufiq-Nya
kepada kita semua agar bisa berpegang teguh dengan ajaran Islam rahmatan lil 'alamin, bangga dengan
Islam dan diselamatkan dari segala bentuk-bentuk tasyabbuh dengan orang kafir baik dalam masalah
ibadah, pakaian, sifat, tingkah laku, dan lain sebagainya. [dutaislam/ka]

Anda mungkin juga menyukai