1
PEMBAHASAN
DEFINISI
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut atau relatif.1
EPIDEMIOLOGI
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa insiden KAD
sebesar 8/1000 pasien DM pertahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok
1
umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun. Sumber lain menyebutkan
2,3
insiden KAD sebesar 4,6 – 8/1000 pasien DM pertahun. KAD dilaporkan bertanggung jawab
4
untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika Serikat. Walaupun data
komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara
barat, mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia
1
umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.
Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada banyak
2 3 1
center, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10% , 2 – 10% , atau 9 – 10% . Sedangkan di
klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat mencapai 25 – 50%.
Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti
sepsis, syok berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal
yang tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang rendah. Kematian pada pasien KAD usia
muda umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional
sesuai dengan patofsiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih
1
sering dipicu oleh factor penyakit dasarnya.
FAKTOR PENCETUS
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai pencetus
5-7
lebih dari 50% kasus KAD. Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi kortisol dan
glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna. Faktor lainnya adalah
2
cerebrovascular accident, alcohol abuse, pankreatitis, infark jantung, trauma,
pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang baru diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau
terapi insulin inadekuat.1,2,4-7
Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor komorbid
4
penderita. Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD adalah trauma, kehamilan,
pembedahan, dan stres psikologis. Infeksi yang diketahui paling sering mencetuskan KAD
4,5
adalah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat
mempengaruhi oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan
sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis
2
metabolik.
Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion atau infeksi tenggorokan.
Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid,
pentamidine, dan obat simpatomimetik (seperti dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan
KAD. Obat-obat lain yang diketahui dapat mencetuskan KAD diantaranya beta bloker, obat
antipsikotik, dan fenitoin, Pada pasien usia muda dengan DM tipe 1, masalah psikologis yang
disertai kelainan makan memberikan kontribusi pada 20% KAD berulang. Faktor yang
memunculkan kelalaian penggunaan insulin pada pasien muda diantaranya ketakutan untuk
peningkatan berat badan dengan perbaikan kontrol metabolik, ketakutan terjadinya hipoglikemia,
3,5,6
dan stres akibat penyakit kronik. Namun demikian, seringkali faktor pencetus KAD tidak
ditemukan dan ini dapat mencapai 20 – 30% dari semua kasus KAD, akan tetapi hal ini tidak
8,9
mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat KAD itu sendiri.
PATOFISIOLOGI10,11,12,13
Metabolisme glukosa dan lipid
Pada saat terjadi defisiensi insulin, peningkatan level glukagon, katekolamin dan kortisol
akan menstimulasi produksi glukosa hepatik melalui mekanisme peningkatan glikogenolisis dan
gluconeogenesis (Gambar 1). Hiperkortisolemia akan menyebabkan peningkatan proteolisis,
sehingga menyediakan prekursor asam amino yang dibutuhkan untuk glukoneogenesis. Insulin
rendah dan konsentrasi katekolamin yang tinggi akan menurunkan uptake glukosa oleh jaringan
perifer. Kombinasi peningkatan produksi glukosa hepatik dan penurunan penggunaan glukosa
3
perifer merupakan kelainan patogenesis utama yang menyebabkan hiperglikemia pada KAD.
Hiperglikemia akan menyebabkan glikosuria, diuresis osmotik dan dehidrasi, yang akan
menyebabkan penurunan perfusi ginjal terutama pada KHH. Penurunan perfusi ginjal ini lebih
lanjut akan menurunkan bersihan glukosa oleh ginjal dan semakin memperberat keadaan
hiperglikemia.
Pada KAD, kadar insulin rendah yang dikombinasikan dengan peningkatan kadar
katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan akan mengaktivasi lipase sensitif hormon,
kemudian menyebabkan pemecahan trigliserida dan pelepasan asam lemak bebas. Asam lemak
bebas ini akan diubah oleh hati menjadi badan-badan keton yang dilepaskan ke dalam sirkulasi.
Proses ketogenesis distimulasi oleh peningkatan kadar glukagon, hormon ini akan mengaktivasi
palmitoiltransferase karnitin I, suatu enzim yang memampukan asam lemak bebas dalam bentuk
4
koenzim A untuk menembus membran mitokondria setelah diesterifikasi menjadi karnitin. Pada
pihak lain, esterifikasi diputarbalikkan oleh palmitoiltransferase karnitin II untuk membentuk asil
lemak koenzim A yang akan masuk ke dalam jalur beta-oksidatif dan membentuk asetil koenzim.
Sebagian besar asetil koenzim A akan digunakan dalam sintesi asam beta-hidroksibutirat
dan asam asetoasetat, dua asam kuat relatif yang bertanggungjawab terhadap asidosis dalam
KAD. Asetoasetat diubah menjadi aseton melalui dekarboksilasi spontan non-enzimatik secara
linear tergantung kepada konsentrasinya. Asam beta-hidroksibutirat, asam asetoasetat dan aseton
difiltrasi oleh ginjal dan diekskresi secara parsial di urin. Oleh karena itu, penurunan volume
progresif menuju kepada penurunan laju filtrasi glomerular akan menyebabkan retensi keton
yang semakin besar. Ketiadaan ketosis pada KHH walaupun disertai dengan defisiensi insulin
masih menjadi misteri, hipotesis yang ada sekarang menduga hal ini disebabkan oleh karena
kadar asam lemak bebas yang lebih rendah, lebih tingginya kadar insulin vena portal atau
keduanya.
Pada keadaan-keadaan normal, kadar asam beta-hidroksibutirat lebih tinggi kurang lebih
2 sampai 3 kali lipat dari asam asetoasetat, hal ini disebabkan oleh karena perbedaan dari status
redoks mitokondria. Peningkatan status redok mitokondria, seperti yang terjadi pada KAD, akan
meningkatkan rasio asam beta-hidroksibutirat terhadap asam asetoasetat. Kesalahan perkiraan
jumlah keton dapat terjadi bila tidak dilakukan pengukuran terhadap asam beta-hidroksibutirat.
natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena perubahan osmotik yang terjadi
terus menerus dari intrasellular ke extracellular dalam keadaan hiperglikemia.
5
Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat oleh karena pergeseran kalium extracellular yang
disebabkan oleh kekurangan hormon insulin, hypertonisitas, dan asidemia. Pasien dengan
konsentrasi kalium serum rendah atau low- normal pada saat masuk, mungkin akan kekurangan
kalium yang berat pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu monitoring
jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium lebih lanjut dan
dapat menimbulkan disritmia jantung.
MANIFESTASI KLINIS11,12,14
Pada pasien dengan KAD, nausea vomitus merupakan salah satu tanda dan gejala yang
sering diketemukan. Nyeri abdominal terkadang dapat diketemukan pada pasien dewasa (lebih
sering pada anak-anak) dan dapat menyerupai akut abdomen. Meskipun penyebabnya belum
dapat dipastikan, dehidrasi jaringan otot, penundaan pengosongan lambung dan ileus oleh karena
gangguan elektrolit serta asidosis metabolik telah diimplikasikan sebagai penyebab dari nyeri
abdominal. Asidosis, yang dapat merangsang pusat pernapasan medular, dapat menyebabkan
pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul).
Gejala-gejala seperti poliuria, polidipsia dan polifagia yang khas sebagai bagian dari
diabetes tak terkontrol nampaknya sudah timbul selama tiga sampai empat minggu sebelumnya
dan pada beberapa kasus dua bulan sebelum. Begitu pula dengan penurunan berat badan yang
bahkan telah timbul lebih lama lagi, yakni tiga sampai enam bulan sebelum dengan rata-rata
penurunan 13 kilogram. Patut diperhatikan gejala-gejala akut yang timbul dalam waktu singkat,
seperti nausea vomitus dan nyeri abdomen, di mana dapat dijadikan sebagai peringatan untuk
pasien bahwa dirinya sedang menuju ke arah KAD.
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan temuan-temuan lain seperti bau napas seperti buah
atau pembersih kuteks (aseton) sebagai akibat dari ekskresi aseton melalui sistem respirasi dan
tanda-tanda dehidrasi seperti kehilangan turgor kulit, mukosa membran yang kering, takikardia
dan hipotensi. Status mental dapat bervariasi mulai dari kesadaran penuh sampai letargi yang
berat; meskipun demikian kurang dari 20% pasien KAD atau KHH yang diperawatan dengan
penurunan kesadaran.
6
untuk menilai secara kualitatif jumlah dari glukosa, keton, nitrat dan esterase leukosit di urin.
DIAGNOSIS
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status
mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
1
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan. Meskipun gejala DM yang tidak
terkontrol mungkin tampak dalam beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD
biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala
dapat tampak atau berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala
atau tanda KAD sebelumnya.
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan
berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma.
Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia,
hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi
muntah-muntah yang tampak seperti kopi. Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan
7
hipotermia karena menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan
abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi dari pencetusnya,
khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini tidak membaik
dengan koreksi dehidrasi dan asidosis metabolik.
6
Tabel 2. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association
PENATALAKSANAAN 11,15,16
a. Terapi cairan
Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravskular dan ekstravaskular
serta perbaikan perfusi ginjal. Pada keadaan tanpa gangguan kardiak, salin isotonik (0,9%)
dapat diberikan dengan laju 15-20 ml/kgBB/jam atau lebih selama satu jam pertama (total 1
sampai 1,5 liter cairan pada dewasa rata-rata). Pemlihan cairan pengganti selanjutnya
bergantung kepada status hidrasi, kadar elektrolit serum dan keluaran urin. Secara umum
NaCl 0,45% dengan laju 4 sampai 14 ml/kgBB/jam mencukupi apabila kadar natrium serum
terkoreksi normal atau meningkat. Salin isotonik dengan laju yang sama dapat diberikan
8
apabila kadar natrium serum terkoreksi rendah.
Setelah fungsi ginjal telah terjaga dengan baik, cairan infus harus ditambahkan 20-30
mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai keadaan pasien stabil dan dapat menerima
suplementasi oral. Kemajuan yang baik untuk terapi pergantian cairan dinilai dengan
pemantauan parameter hemodinamik (perbaikan tekanan darah), pengukuran
masukan/keluaran cairan dan pemeriksaan klinis. Pergantian cairan harus memperbaiki
defisit perkiraan dalam waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum akibat terapi
tidak boleh melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam. Pada pasien dengan gangguan ginjal atau
jantung, pemantauan osmolalitas serum dan penilaian rutin status jantung, ginjal serta mental
harus dilakukan bersamaan dengan resusitasi cairan untuk menghindari overloading
iatrogenik.
b. Insulin
Kecuali episode KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena kontinu
+
merupakan pilihan terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia (K <3,3 mEq/L)
disingkirkan, bolus insulin regular intravena 0,15 unit/kgBB diikuti dengan infus kontinu
insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam (5-7 unit/jam pada dewasa) harus diberikan. Insulin bolus
inisial tidak direkomendasikan untuk pasien anak dan remaja; infus insulin regular kontinu
0,1 unit/kgBB/jam dapat dimulai pada kelompok pasien ini. Insulin dosis rendah ini biasanya
dapat menurunkan kadar glukosa plasma dengan laju 50- 75 mg/dL/jam sama dengan
regimen insulin dosis lebih tinggi. Bila glukosa plasma tidak turun 50 mg/dL dari kadar awal
dalam 1 jam pertama, periksa status hidrasi; apabila memungkinkan infus insulin dapat
digandakan setiap jam sampai penurunan glukosa stabil antara 50-75 mg/dL.
Pada saat kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dL di KAD dan 300 mg/dL di
KHH maka dimungkinkan untuk menurunkan laju infus insulin menjadi 0,05-0,1
unit/kgBB/jam (3-6 unit/jam) dan ditambahkan dektrosa (5-10%) ke dalam cairan infus.
Selanjutnya, laju pemberian insulin atau konsentrasi dekstrosa perlu disesuaikan untuk
mempertahakan kadar glukosa di atas sampai asidosis di KAD membaik.
9
dibandingkan dengan hiperglikemia. Pengukuran beta-hidroksibutirat langsung pada darah
merupakan metode yang disarankan untuk memantau KAD.
Selama terapi untuk KAD, sampel darah hendaknya diambil setiap 2-4 jam untuk
mengukur elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan pH vena serum. Secara umum,
pemeriksaan analisa gas darah arterial tidak diperlukan, pH vena (yang biasanya lebih rendah
0,03 unit dibandingkan pH arterial) dan gap anion dapat diikuti untuk mengukur perbaikan
asidosis. Pada KAD ringan, insulin regular baik diberikan subkutan maupun intramuskular
setiap jam, nampaknya sama efektif dengan insulin intravena untuk menurunkan kadar
glukosa dan badan keton. Pasien dengan KAD ringan pertama kali disarankan menerima
dosis “priming” insulin regular 0,4-0,6 unit/kgBB, separuh sebagai bolus intravena dan
separuh sebagai injeksi subkutan atau intravena. Setelah itu, injeksi insulin regular 0,1
unit/kgBB/jam secara subkutan ataupun intramuskular dapat diberikan.
Kriteria perbaikan KAD diantaranya adalah: kadar glukosa <200 mg/dL, serum
bikarbonat ≥18 mEq/L dan pH vena >7,3. Setelah KAD membaik, bila pasien masih
dipuasakan maka insulin dan penggantian cairan intravena ditambah suplementasi insulin
regular subkutan setiap 4 jam sesuai keperluan dapat diberikan. Pada pasien dewasa,
suplementasi ini dapat diberikan dengan kelipatan 5 unit insulin regular setiap peningkatan
50 mg/dL glukosa darah di atas 150 mg/dL, dosis maksimal 20 unit untuk kadar glukosa
≥300 mg/dL.
Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah atau panjang sesuai
keperluan untuk mengendalikan kadar glukosa. Lanjutkan insulin intravena selama 1-2 jam
setelah regimen campuran terpisah dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang
adekuat. Penghentian tiba-tiba insulin intravena disertai dengan awitan tertunda insulin
subkutan dapat menyebabkan kendali yang memburuk; oleh karena itu tumpang tindih antara
terapi insulin intravena dan inisiasi insulin subkutan harus diadakan.
Pasien dengan riwayat diabetes sebelum dapat diberikan insulin dengan dosis yang
mereka terima sebelumnya sebelum awitan KAD dan disesuaikan dengan kebutuhan kendali.
Pasien-pasien dengan diagnosis diabetes baru, dosis insulin inisial total berkisar antara 0,5-
10
1,0 unit/kgBB terbagi paling tidak dalam dua dosis dengan regimen yang mencakup insulin
kerja pendek dan panjang sampai dosis optimal dapat ditentukan. Pada akhirnya, beberapa
pasien dapat dipulangkan dengan antihiperglikemik oral dan terapi diet pada saat pulang.
d. Kalium
Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total, hiperkalemia ringan sedang
dapat terjadi pada pasien krisis hiperglikemik. Terapi insulin, koreksi asidosis dan ekspansi
volume menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian
kalium dimulai apabila kadar kalium serum telah di bawah 5,5 mEq/L, dengan
mengasumsikan terdapat keluaran urin adekuat. Biasanya 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan
1/3 KPO4) untuk setiap liter cairan infus mencukupi untuk mempertahankan kadar kalium
serum antara 4-5 mEq/L. Pada keadaan tertentu, pasien KAD dapat datang dengan
hipokalemia signifikan. Pada kasus-kasus ini, penggantian kalium harus dimulai bersamaan
dengan terapi cairan dan pemberian insulin ditunda sampai kadar kalium mencapai lebih dari
11
3,3 mEq/L dalam rangka mencegah terjadinya aritmia atau henti jantung dan kelemahan otot
pernapasan.
e. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang
rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100
mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada
kadar yang diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah
setelah penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan
level natrium yang diukur 130, maka level natrium yang sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5)
= 138, sehingga tidak memerlukan koreksi dan hanya memerlukan pemberian cairan normal
saline (NaCl 0,9%). Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi
cairan dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium lebih tinggi
dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena air tanpa natrium akan
7
berpindah ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar natrium. Serum natrium yang
6
lebih tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45%.
f. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0, pengembalian
aktivtas insulin memblok lipolisis dan memperbaiki ketoasidosis tanpa pemberian
bikarbonat. Mengetahui bahwa asidosis berat menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak
diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa pada pasien dewasa dengan pH <
6,9, 100 mmol natrium bikarbonat ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fsiologis dan
diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 – 7,0, 50 mmol natrium
bikarbonat dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200
ml/jam. Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0.7,15 Sebagaimana natrium
bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian kalium harus
terus diberikan secara intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena
diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi setiap 2 jam jika
6
perlu.
12
g. Tatalaksana lainnya
Pemantauan EKG kontinu direkomendasikan oleh karena adanya risiko hipo atau
hiperkalemia dan aritmia yang disebabkannya. Tabung nasogastrik harus diberikan kepada
pasien dengan penurunan kesadaran oleh karena risiko gastroparesis dan aspirasi.
Kateterisasi urin harus dipertimbangkan bila terdapat gangguan kesadaran atau bila pasien
tidak mengeluarkan urin setelah 4 jam terapi dimulai. Kebutuhan pemantauan vena sentral
harus dipertimbangkan perindividu, namun diperlukan pada pasien tua atau dengan keadaan
gagal jantung sebelumnya.13
Pertimbangan harus diberikan kepada pemberian terapi antibiotika bila ada bukti
infeksi, namun hitung leukosit seringkali meningkat tajam pada KAD, dan tidak
mengkonfirmasi adanya infeksi. Anamnesa, pemeriksaan fisis, demam dan peningkatan CRP
merupakan biomarker yang lebih terpercaya.13
13
DAFTAR PUSTAKA
M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2010.p.1896-9.
2. Van Zyl DG. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis. SA Fam Prac 2012;50:39-
49.
3. Chiasson JL. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic
hyperosmolar state. Canadian Medical Association Journal 2009;168(7):859-66.
4. Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and management of diabetic ketoacidosis in
adults. Hospital Physician 2012;15:21-35.
5. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic
hyperosmolar syndrome. Diabetes Spectrum 2009;15(1):28-35.
6. American Diabetes Association. Hyperglycemic crisis in diabetes. Diabetes Care
2010;27(1):94- 102.
7. Alberti KG. Diabetic acidosis, hyperosmolar coma, and lactic Acidosis. In: Becker KL,
editor. Principles and practice of endocrinology and metabolism. 3rd. ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2010.p.1438-49.
8. Ennis ED, Kreisberg RA. Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar
syndrome. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors. Diabetes mellitus a
fundamental and clinical text. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;2015.p.336-46.
9. Wallace TM, Matthews DR. Recent advances in the monitoring and management of
diabetic ketoacidosis. Q J Med 209;97(12):773-80.
10. Hyperglycemic crises and lactic acidosis in diabetes mellitus. English, P and Williams, G.
Liverpool : s.n., October 2013, Postgrad Med, Vol. 80, pp. 253-261.
11. Management of hyperglycemic crises in patients with diabetes. Kitabchi, AE, et al. 1,
January 1, 2011, Vol. 24, pp. 131-153.
12. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis. TM,
14
Wallace and DR, Matthews. 2009, Q J Med, Vol. 97, pp. 773-780.
13. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar
state. Chiasson, JL, et al. 7, April 1, 2013, Canadian Medical Association Journal, Vol.
168, pp. 859-866.
14. Diabetic ketoacidosis in type 1 and type 2 diabetes mellitus: Clinical and biochemical
differences. Newton, Christopher A and Raskin, Phillip. September 27, 2014, Archive of
Internal Medicine, Vol. 164, pp. 1925-1931.
15. Hyperglycemic Crises in Diabetes. Kitabchi, AE, et al. Suplement 1, January 1, 2014,
Diabetes Care, Vol. 27, pp. S94-S102.
16. Thirty years of personal experience in hyperglycemic crises: Diabetic ketoacidosis and
hyperglycemic and hyperosmolar state. Kitabchi, AE, et al. 5, May 2018, J Clin
Endrocinol Metab, Vol. 93, pp. 1541-1552.
15