Ajaran suhrawardi tentang kesadaran diri berkaitan dengan konsepnya tentang
pengetahuan. Menurut para pemikir sebelumnya, khususnya kaum paripatetik, pengetauan diperoleh lewat berbagai cara : 1. Lewat definisi, 2. Lewat perantara predikat( seperti x adalah y), 3. Lewat konsepsi-konsepsi (tashawir). Ini terjadi karena objek yang diketahui bersifat independen dan keberadaanya berada diluar eksistensi subjek. Diantara keduanya tidak ada kaitan logis,ontologism, atau bahkan epistimologis. Karena itu pengetahuan ini menuntut konfirmasi (tashdiq) untuk menentukan kreteria salah dan benar. Dikatakan benar jika ada keseuaian antara konsepsi dan pikiran subjek dan kondisi objektif eksternal objek; dianggap salah jika tidak ada keseuaian diantara subjek dan objek. Suhrawardi mengkitik proses mengetahui seperti itu. Menurutnya, proses tersbut mengandung beberapa kelemahan : 1) menunjuk pada suatu yang tidak hadir(al-syai’ al-ghaib), 2) objeknya terbatas karena tidak semua objek bisa dikonsepsikan atau didefinisikan, 3) validitasnya tidak terjamin karena apa yang ada dalam konsep mental ternyata tidak pernah identik dengan realitas objektif yang ada diluar pikiran, 4) terikat pada ruang dan waktu. Suhrawardi menuntut bahwa subjek yang mengetahui harus berada dan memahami objek yang dilihat secara langsung tanpa penghalang apapun. Jenis hubungan ilumisasi inilah yang merupakan ciri utama pandangan suhrawardi mengenal dasar pengetahuan. Dengan demikian, dalam pandangan suhrawardi, sebuah pengetahuan benar hanya bisa dicapai lewat hubungan langsung, tanpa ada halangan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Meski demikian, hubungan ini sendiri bersifat pasif, dimana subjek dan objeksatu sama lain hadir, tampak pada esensinya sendiri dan diantara keduanya saling bertemu tanpa penghalang. Menurut suhrawardi mengena subjek bisa menangkap, esensi yang sebenarnya dari objek maupun sebaliknya, yang mampu menghadirkan esensinya objek adalah sama dengan pengetahuan langsung tentang dirinya sendiri (idrak al-anaiyah), seperti pengetahuan tentang rasa sakit yang ada di dirinya sendiri, dan hal tersebut tidak bisa dibantah adanya dan tidak tercetuskan ide yang dibuat sengaja adanya, melainkan ada karena adanya kesadaran tersebut. Dari sini kemudian disimpulkan bahwa setiap orang yang memahami sessensinya sendiri adalah cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah manifestasi dari essensinya sendiri. Selajutnya cahaya murni tersebut adalah bagian dari cahaya abstrak, sedang cahaya-cahaya abstrak itu sendiri adalah bersifat sama dan merupakan suatu kesatuan, hanya berbeda intesnsitasnya. Karena itu dalam konsep dalam konsep kesadaran diri dapat dikatakan bahwa setiap aku secara essensial adalah sama dengan aku yang lain, karena masing-masing adalah kesadaran diri. Yang mungkin memebedakanya adalaha tingkat kessadaran masing-masing. Sedemikian, sehingga adanya kesadaran diri ini dalam dilsafat illuminasi disebut isfahbad- nasut , manusia akan dapat mengenal dirinya dan bertemu alam semesta. Berdasarkan pemahaman tersebut, dimana pengetahuan tidak dihasiilkan lewat hubungan subjek-objek tetapi oleh kesadaran diri dan perasaan yang dialami secara langsung, maka ia menjadi bebas dari pembedaan antara pengetahuan berdasarkan konsepesi dan pengetahuan berdasarkan kepercayaan, atau antara makna dan nilai kebenaran dalam kajian logika modern. Pengehuan yang didasarkan atau objek swaobjektivitas yang bersifat immanen ini kemudian dikenal dengan ‘ilmu hudlun’ (pengetahuan yang dihadirkan) karena objeknya justru hadir dalam kesadaran diri subjek yang mengetahui.