(GGK)
Pengertian
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth,
2001).
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolic tubuh
atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin
menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan
gangguan fungsi endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal
ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari
berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Saifudin, 2010).
Gagal ginjal akut adalah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi mengsekresi produk-
produk limbah metabolisme. Biasanya karena hiperfusi ginjal sindrom ini biasa
berakibat azotemia (uremia), yaitu akumulasi produk limbah nitrogen dalam darah
dan aliguria dimana haluaran urine kurang dari 400 ml / 24 jam (Tambayong, 2000).
Menurut levinsky dan Alexander (1976), gagal ginjal akut terjadi akibat penyebab-
penyebab yang berbeda. Ternyata 43% dari 2200 kasus gagal ginjal akut berhubungan
dengan trauma atau tindakan bedah 26% dengan berbagai kondisi medic 13%, pada
kehamilan dan 9% disebabkan nefrotoksin penyebab GGA dibagi dalam katagori
renal, renal dan pasca renal
Gagal ginjal akut dikenal dengan Acute Renal Fallure (ARF) adalah sekumpulan
gejala yang mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak (Nursalam, 2006).
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai
dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan
kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk
keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau
patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat
serta terjadinya azotemia.
Gagal Ginjal Akut adalah kemunduran yang cepat dari kemampuan ginjal dalam
membersihkan darah dari bahan-bahan racun yang menyebabkan penimbunan limbah
metabolik di dalam darah (misalnya urea).
Klasifikasi
menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group (Roesli R, 2007) klasifikasi
CKD atau GGK dibagi menjadi 5 klasifikasi yaitu risk, injuri, failure, losse dan end
stage. untuk lebih jelas lihat tabel.
Tabel Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group (Roesli
R, 2007).
Etiologi
Sampai saat ini para praktisi klinik masih membagi etiologi gagal ginjal akut dengan
tiga kategori meliputi :
a. Prarenal
Kondisi prarenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperpusi ginjal dan turunnya
laju filtrasi glomeruls. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan fungsional,
tanpa adanya kelainan histologik atau morfologik pada nefron. Namun bila
hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya nekrosis
tubulat akut (NTA). Kondisi ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
• Hipovolemik (perdarahan postpartum, luka bakar, kehilangan cairan dari
gastrointestinal pankreatitis, pemakaian diuretik yang berlebih)
• Fasodilatasi (sepsis atau anafilaksis)
• Penurunan curah jantung (disaritmia, infark miokard, gagal jantung, syok
kardioenik dn emboli paru)
• Obstruksi pembuluh darah ginjal bilateral (emboli, trombosis)
b. Renal
Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan ginjal. Kerusakan
dapat terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal langsung terganggu.
Dapat pula terjadi karena hipoperfusi prarenal yang tak teratasi sehingga
mengakibatkan iskemia, serta nekrosis jaringan ginjal Prosesnya dapat berlangsung
cepat dan mendadak, atau dapat juga berlangsung perlahan–lahan dan akhirnya
mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini dapat merupakan kelanjutan dari
hipoperfusi prarenal dan iskemia kemudian menyebabkan nekrosis jaringan ginjal.
Beberapa penyebab kelainan ini adalah :
c. Pascarenal / Postrenal
GGA pascarenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun
alirannya dalam saluran kemih terhambat. Etiologi pascarenal terutama obstruksi
aliran urine pada bagian distal ginjal, ciri unik ginjal pasca renal adalah terjadinya
anuria, yang tidak terjadi pada gagal renal atau pre-renal. Kondisi yang umum adalah
sebagai berikut :
• Obstruksi muara vesika urinaria: hipertropi prostat< karsinoma
• Obstruksi ureter bilateral oleh obstruksi batu saluran kemih, bekuan darah atau
sumbatan dari tumor (Tambayong, 2000).
Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu
periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan. Gagal ginjal
akut azotemia dapat saja terjadi saat keluaran urine lebih dari 400 ml/24 jam.
a. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
b. Stadium oliguria
Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan
peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal
(urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah
urine minimal yang diperlukan untuk membersihkan produk sampah normal tubuh
adalah 400 ml. Oliguria timbul dalam waktu 24-48 jam sesudah trauma dan disertai
azotemia. Pada bayi, anak-anak berlangsung selama 3–5 hari. Terdapat gejala-gejala
uremia (pusing, muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang),
hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik.
c. Stadium diuresis
1. Stadium GGA dimulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari
2. Berlangsung 2-3 minggu
3. Pengeluaran urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak
mengalami hidrasi yang berlebih
4. Tingginya kadar urea darah
5. Kemungkinan menderita kekurangan kalium, natrium dan air
6. Selama stadium dini dieresis, kadar BUN mungkin meningkat terus
d. Stadium penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama itu anemia
dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Nilai laboratorium
akan kembali normal.
1. Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare,
pucat (anemia), dan hipertensi.
2. Nokturia (buang air kecil di malam hari).
3. Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang
menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan).
4. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
5. Tremor tangan.
6. Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
7. Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai
adanya pneumonia uremik.
8. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
9. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah, berat
jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
10. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap
darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta
asupan protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan glomerulus.
11. Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih
menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema
paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-kejang dan
kesadaran menurun sampai koma.
Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban
bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron
yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas
kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini
fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau
lebih rendah itu.
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang
sebenarnya dibersihkan oleh ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urin
24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak
berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan
meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat.
Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi karena substansi
ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit
renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka
RBC), dan medikasi seperti steroid.
3. Asidosis
4. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel
darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan
akibat status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal,
produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan
sesak napas.
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme
kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling
timbal balik, jika salah satunya meningkat, maka yang satu menurun. Dengan
menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum
fosfat dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium
serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun, pada gagal
ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon
dan mengakibatkan perubahan pada tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga
metabolit aktif vitamin D (1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di
ginjal menurun.
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon.
Fathway
Fathway Chronic kidney disease (CKD) atau gagal ginjal kronik (GGK)
Komplikasi
komplikasi yang dapat ditimbulkan chronic kidney diases adalah sebagai berikut :
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnostik
Penatalakasanaan
Pengkajian
a. Pengkajian Anamnesis
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan identitas
penanggung jawab, identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan,
serta diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria maupun
wanita dari rentang usia manapun, khususnya bagi orang yang sedang menderita
penyakit serius, terluka serta usia dewasa dan pada umumnya lanjut usia. Untuk
pengkajian identitas penanggung jawab data yang didapatkan yakni meliputi nama,
umur, pekerjaan, hubungan dengan si penderita.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
2. RiwayatPenyakit Sekarang
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang
berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya
yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji tentang riwayat
pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan
dokumentasikan.
c. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering
didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu tubuh
meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi
meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah
terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat.
a) B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas
yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien bernapas
dengan bau urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada beberapa
keadaan respons uremia akan menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan
pernapasan kussmaul.
b) B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan menemukan
adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari
sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia
yang menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan
sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik,
penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran G1.
Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung akan
memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering didapatkan adanya
peningkatan.
c) B3 (Brain).
d) B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan penurunan
urine output
e) B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan
intake nutrisi dari kebutuhan.
f) B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan penurunan
perfusi perifer dari hipetensi.
d. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, dan
myoglobin. Berat jenis 7.00 menunjukkan ISK, NTA, dan GGK. Osmolalitas kurang dari 350
mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine : serum sering 1 : 1.
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap dalakm BUN dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme
(pemecahan protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum kratinin meningkat pada
kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan
perkembangan penyakit.
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak mampu
mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam
cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti
jantung.
Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan metabolik seperti
substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu, mekanisme bufer
ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida
darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.
e. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi, yang meliputi
hal-hal sebagai berikut:
1. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut
yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis
memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium
dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka.
2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan
pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau
melalui retensi enema. Natrium polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah
ion kalium menjadi natrium di saluran intenstinal.
3. Terapi cairan
4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis
Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
2. Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan
membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada
respons asidosis metabolik.
3. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas
elektrolit dan uremia.
4. Aktual/risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan
serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolik
5. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder
dari hiperkalemi
Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
Kriteria: Klien tidak mengeluh pusing, membran muosa lembab, turgor kulit normal,
ttv normal, CRT < 2 detik, urine >600 ml/hari Laboratorium: nilai hematokrit dan
protein serum meningkat, BUN/kreatinin menurun.
Intervensi:
R: Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan Penurunan
volume cairan mengakibatkan menurunnya produksi urine, monitoring yang ketat
pada produksi urine
2. Kaji keadaan edema
R: Obat anti diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan
hiperkalemia dan meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya : Furosemide.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana
terjadi kegagalan ginjal.
Diagnosa. 2
Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran
kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis
metabolik.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi
perubahan pola nafas
Kriteria: klien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-20 x/menit
Intervensi:
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana
terjadi kegagalan ginjal. Mengeidentifikasi untuk mengatasi penyebab dasar dari
asidosis metabolic.
R: Perubahan TTV akan memberikan dampak pada risiko asidosis yang bertambah
berat dan berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melakukan koreksi asidosis.
R: Posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal istirahat akan mengurangi
kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan menurunkan tekanan
darah.
4. Ukur intake dan output.
R: Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi
natrium/air, dan penurunan urine output.
5. Kolaborasi berikan cairan ringer laktat secara intravena.
6. Berikan bikarbonat.
Dianosa. 3
Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas
elektrolit dan uremia.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan kejang berulang
tidak terjadi
Intervensi:
R: Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada klien berisiko. Perawat harus
bersiap untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia
R: Stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh.
3. Monitor klien yang berisiko hipokalsemi
R: Alkohol dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat penyerapan kalsium dan
perokok kretek sedang meningkatkan ekskresi kalsium urine
R: Tingkatan masukan diet kalsium sampai setidaknya 1.000 hingga 1.500 mg/hari
pada orang dewasa sangat dianjurkan (produk dari susu: sayuran berdaun hijau;
salmon kaleng, sadin, dan oyster segar)
Diagnosa.4
Risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek
sekunder dari asidosis metabolic
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan
otak dapat tercapai secara optimal
Kriteria: klien tidak mengalami kegelisahan,tidak ada keluhan nyeri kepala, mual
kejang. GCS 456 pupil isokor, reflek cahaya (+), TTV normal, serta klien tidak
mengalami defisit neurologis seperti: lemas , agitasi iritabel, hiperefleksia, dan
spastisitas dapat terjadi hingga akhirnya timbul koma, kejang.
Intervensi:
1. Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
2. Monitor tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati-hati pada
hipertensi sistolik.
3. Bantu klien untuk membatasi muntah dan batuk. Anjurkan klien untuk
mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.
R: Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen.
Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau mengubah posisi dapat melindungi diri
dari efek valsava.
R: Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan potensial terjadi
perdarahan ulang.
Diagnosa. 5
Risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari hiperkalemi
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi
aritmia.
Kriteria: Klien tidak gelisah, tidak mengeluh mual-mual dan muntah, GCS 456, tidak
terdapat papiledema, TTV dalam batas normal, Klien tidak mengalami defisit
neurologis, kadar kalium serum dalam batas normal.
Intervensi:
R: Makanan yang mengandung kalium tinggi yang harus dihindari termausk kopi,
cocoa, the, buah yang dikeringkan, kacang yang dikeringkan, dan roti gandum utuh.
Susu dan telur juga mengandung kalium yang cukup besar. Sebaliknya, makanan
dengan kandungan kalium minimal termasuk mentega, margarin, sari buah, atau saus
cranbeery, bir jahe, permen karet, atau gula-gula (permen), root beer, gula dan madu.
R: Adanya perubahan TTV secara cepat dapat menjadi pencetus aritmia pada klien
hipokalemi.
R: Asidosis dan kerusakan jaringan seperti pada luka bakat atau cedera remuk, dapat
menyebabkan perpindahan kalium dari ICF ke ECF, dan masih ada hal-hal lain yang
dapat menyebabkan hiperkalemia. Akhirnya, larutan IV yang mengandung kalium
harus diberikan perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya beban kalium berlebihan
latrogenik.
Daftar Pustaka
1. Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 1. Jakarta:
Salemba Medika
2. Muttaqin, Arif, Kumala Sari. 2011. Askep Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.
3. Price, S. A & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC
4. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta:EGC
5. Doenges, Marilyn. E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:
EGC
6. NANDA Internasional. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta: EGC.
7. Suddart, Brunner. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 2 alih bahasa
H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih. Jakarta: EGC
8. Nursalam, Dr. Nurs M. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
9. Tambayong, jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
10. Roesli R. 2007. Kriteria “RIFLE” Cara yang Mudah dan Terpercaya untuk
Menegakkan Diagnosis dan Memprediksi Prognosis Gagal Ginjal Akut.
11. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD
12. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. 2004. Acute Renal Failure:
Definitions, Diagnosis, Pathogenesis, and Therapy. J. Clin. Invest.
13. Sinto R, Nainggolan G. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia