Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN JURNAL

The Cervix As A Natural Tamponade in Postpartum Hemorrhage Caused By


Placenta Previa and Placenta Previa Accreta: A Prospective Study

Pembimbing :

dr. Hera Hermawan, Sp. OG

Disusun Oleh :

Nadiyah Bayan Hafizah

2015730098

STASE OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAYANG CIANJUR

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

TAHUN 2019
P : Problem

I : Intervention

C : Comparison

O : Outcome

Problem (P)

Dalam jurnal ini populasi nya yaitu wanita hamil yang dirawat di RS. Maternitas dan
Anak Universitas Minia pada periode Juni 2012 hingga November 2014. Selain itu, seluruh
populasi yang digunakan adalah populasi dengan diagnosis plasenta previa dan/atau placenta
previa akreta yang sudah pernah dilakukan section caesarea sebanyak > 1 kali.
Permasalahannya adalah perdarahan masif post-partum yang terjadi setelah section caesarea
dan diakibatkan oleh placenta previa serta placenta akreta, merupakan penyebab signifikan dari
morbiditas dan mortalitas anak serta ibu..

Intervention (I)

Sebanyak 40 ibu hamil dilakukan teknik inversi pada serviks untuk menghentikan
perdarahan post partum pasca section caesarea. Kemudian seluruh sampel diamati jumlah
darah yang hilang, ada atau tidaknya komplikasi seperti cedera kandung kemih, infeksi luka
dan demam yang terjadi setelah dilakukan teknik inversi serviks. Selanjutnya, seluruh sampel
juga diminta untuk kembali dilakukan evaluasi setelah 3 bulan dan setelah 6 bulan tindakan.
Hal yang dievaluasi dari kunjungan berikutnya ini adalah, pemeriksaan speculum untuk
menilai posisi serviksserta pemeriksaan ultrasound untuk melihat ada atau tidaknya
haematometra.

Comparison (C)

Teknik pengggunaan serviks sebagai tampon alami merupakan teknik yang lebih aman,
lebih murah karena tidak memerlukan biaya, lebih efektif dan lebih berguna untuk
mengendalikan perdarahan, dibandingkan dengan penggunaan tampon buatan seperti balon
Bakri.
Outcome (O)

Hasil dalam penelitian ini adalah penggunaan serviks sebagai tampon alami berhasil
menghentikan hampir semua perdarahan post-partum dengan aman, praktis dan efektif.
I. PENDAHULUAN

Pasien dengan plasenta previa dapat mengalami perdarahan postpartum yang


berat setelah dikeluarkannya plasenta. Terutama saat terjadinya perlekatan plasenta
pada myometrium (plasenta akreta), maka hal ini dapat menyebabkan perdarahan
yang mengancam nyawa maternal karena pemisahan antara plasenta dan myometrium
yang tidak sempurna.

Pada keadaan yang normal, plasenta hanya melekat pada desidua basalis,
kemudian setelah persalinan, plasenta akan terlepas dari dinding uterus dengan
perlahan. Plasenta akreta (PA) terjadi ketika vili korionik menembus ke miometrium
melalui desidua basalis. Tingkat morbiditas dari perlekatan plasenta bergantung dengan
derajat invasi plasenta terhadap dinding uterus. Plasenta disebut akreta saat berinvasi
ke permukaan myometrium. Plasenta inkreta terjadi saat plasenta berinvasi lebih dalam
ke myometrium. Plasenta perkreta terjadi saat plasenta berinvasi hingga ke jaringan
serosa dan dapat mengenai organ di sekitarnya, seperti vesika urinaria. Namun kata
“akreta” sering digunakan untuk ketiga jenis perlekatan plasenta tersebut.

Saat ini terjadi peningkatan pada angka persalinan Caesar dan usia maternal
yang tua, sehingga hal ini menyebabkan peningkatan yang drastis pada angka kejadian
plasenta previa dan plasenta akreta.

Plasenta previa dan plasenta akreta menyebabkan morbiditas dan mortalitas


pada anak secara signifikan. Angka mortalitas pada ibu dengan PA sebesar 7-10%.

Pada literatur sebelumnya, telah dijabarkan beberapa teknik untuk


mengendalikan perdarahan yang disebabkan oleh plasenta previa pada persalinan
section caesarea. Teknik-teknik tersebut meliputi pembungkusan uterus dengan gauze,
penggunaan tampon balon, penjahitan teknik B-Lynch, insersi dari penjahitan kompresi
parallel dan vertical, teknik penjahitan bujur sangkar, dan embolisaasi atau ligase dari
arteri uterus dan iliaka internus, namun sayangnya angka keberhasilan dari teknik-
teknik tersebut terlalu beragam.
Dawlatly et al, pada laporan kasusnya, menjelaskan mengenai keberhasilan
pengendalian perdarahan dengan teknik praktis menjahit bibir serviks ke tempat
perlekatan plasenta yang mengalami perdarahan. Keberhasilan teknik ini, dapat
menyelamatkan nyawa pasien dan dapat memertahankan keutuhan uterus pasien.

Oleh sebab itu, pada jurnal ini, kami ingin mempersembahkan penggunaan
teknik penjahitan Dawlatly pada 40 kasus plasenta previa dan/atau plasenta previa
akreta.

II. METODE
Penelitian prospektif ini dilakukan pada 40 ibu hamil yang dirawat di Rumah Sakit
Maternitas dan Anak Universitas Minia pada Juni 2012 hingga November 2014. Semua ibu
hamil yang berpartisipasi dalam penelitian ini sudah dilakukan caesar setidaknya 1 kali dan
melalui pemeriksaan ultrasound didiagnosis mengalami plasenta previa dan/atau plasenta
previa akreta. Saat hasil pemeriksaan ultrasound tidak menununjukkan adanya plasenta
akreta, maka dilakukan MRI. Semua ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi turut
ditawarkan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini,, namun 10 orang di antaranya
menolak untuk berpartisipasi.

Semua ibu hamil yang berpartisipasi dalam penelitian ini memiliki keinginan untuk
memertahankan fertilitasnya. Selain itu, semua sampel sudah diberikan informasi
mengenai histerektomi yang merupakan pilihan pertama dari tatalaksana plasenta akreta
atau inkreta yang difus dan tatalaksana perdarahan yang tidak terkontrol. Oleh karena itu,
jika sampel menginginkan tindakan histerektomi, maka sampel akan dieksklusikan. Tidak
hanya mengenai histerektomi, semua sampel juga telah diberikan informasi mengenai
segala tindakan yang dilakukan pada terapi konservatif. Semua partisipan telah menanda
tangani lembar informed consent yang menjelaskan tentang prosedur terapi konservatif,
risiko perdarahan post-partum yang hebat, kebutuhan transfuse darah, kegunaan dari
metode konservatif dan kemungkinan dilakukannya histerektomi jika disertai risiko cedera
pada kandung kemih, ureter dan usus.

Penelitian ini mengikuti protocol tatalaksana yang ada pada rumah sakit tempat
penelitian. Berikut langkah pembedahan yang dilakukan pada penelitian:
1. Anastesi umum atau spinal diberikan sesuai dengan keadaan hemodinamik dari
pasien, kecurigaan PA, dan sesuai dengan opini dari tim bedah serta anastesi.
2. Para pasien diminta untuk melakukan posisi litotomi, yang mana panggul pada
posisi abduksi dan fleksi. Posisi ini dilakukan agar dapat mengawasi jumlah darah
yang hilang dan untuk mempermudah akses vagina jika dibutuhkan, seperti saat
elevasi serviks.
3. Sectio caesarea dengan sebuah insisi garis tengah secara vertical atau pfannensteil.
Sebelum dilakukan insisi, terlebih dahulu dipastikan bahwa pasien memiliki refleks
vesika urinaria yang baik
4. Jika plasenta dipisahkan secara sempurna, maka akan diawasi perdarahan pada
tempat perlekatan plasentanya dan diberi tatalaksana yang sesuai. Jika plasenta
sama sekali tidak di pisahkan (plasenta akreta difus), maka kami akan memberi
tatalaksana lanjut berupa histerektomi atau plasenta dibiarkan di tempat
perlekatannya. Pada kasus pemisahan plasenta secara sebagian (plasenta akreta
fokal), maka sisa dari plasenta akan diambil dan tempat perlekatan plasenta akan
diawasi untuk menentukan jumlah perdarahan dan menentukan jenis intervensi
yang dibutuhkan. Jika terjadi perdarahan berat berat, yang mana perdarahannya
diserap oleh lebih dari 3 kassa dalam waktu yang singkat serta dapat terlihatnya
darah yang mengucur dari tempat perlekatan plasenta ke segmen bawah uterus
maka ini dianggap sebagai kehilangan darah yang signifikan, maka perlu
dilakukannya intervensi bedah.
5. Jika perdarahan berasal dari segmen bawah uterus bagian anterior, maka dokter
bedah akan memasukkan tangannya melalui insisi uterus ke segmen bawah uterus
sampai tangannya dapat menyentuh serviks. Forsep Allis yang Panjang akan
dimasukkan melalui insisi uterin dan digunakan untuk menggenggam bibir depan
dari serviks., kemudian menarik serviks ke atas, yaitu ke arah rongga uterus.
Terkadang dibutuhkan asisten untuk mengangkat serviks ke atas melalui vagina.
Kemudian bibir serviks bagian anterior akan dijahit ke dinding anterior dari segmen
bawah uterus dengan menggunakan penjahitan terputus yang dapat diserap (Vicryl
atau Vicryl rapide no. 10). Alat bantu ini digunakan untuk menekan tempat
perdarahan di tempat perlekatan plasenta dam untuk menopang segmen uterin
bawah yang sangat tipis. Jika plasenta tertanam secara posterior, dan perdarahan
berasal dari dinding uterus posterior, maka dapat dilakukan penjahitan berulang,
yaitu dengan menjahitkan bibir posterior serviks ke dinding posterior yang ada pada
segmen bawah uterus.Dilator hegar dimasukkan dengan cara retrograde melalui
abdomen untuk memastikan patensi dari kanal serviks selama proses penjahitan.
6. Perdarahan kemudian diawasi melalui abdomen dan vagina
7. Pada langkah akhir, maka insisi ditutup dengan cara yang biasa
8. Setelah operasi, pasien diawasi di bangsal atau di ICU, tergantung dengan derajat
stabilitas hemodinamiknya
9. Pasien dilakukan debrifikasi dan diberikan penjelasan mengenai, hal-hal yang
terjadi selama pembedahan prosedur yang dilakukan dan perkiraan durasi rawat
inap
10. Seluruh pasien diminta untuk kembali memeriksakan kesehatannya pada 3 bulan
dan 6 bulan paska persalinan. Selama pemeriksaab kesehatan tersebut, pasien akan
dilakukan anamnesis, dan pemeriksaan speculum untuk menilai gambaran
morfologis dan posisi anatomis dari serviks. Pemeriksaan ultrasound dari uterus
juga dilakukan untuk memastikan tidak adanya haematometra sebagai komplikasi
dari stenosis serviks
(Gambar 1. Ringkasan langkah-langkah dari teknik inversi serviks a: Tempat
perlekatan plasenta menunjukkan adanya perdarahan yang signifikan b: serviks yang
diinversi digenggam oleh 2 buah forceps Allis. c: Inversi bibir serviks dengandilator
hegar yang berada di tengah d: Penjahitan bibir posterior serviks ke dinding posterior
dari segmen bawah.uterus e: penjahitan bibir serviks anterior ke dinding anterior dari
segemn uterus bagian bawah. f: Mengakhiri prosedur dengan engambil dilator dari
kanal serviks)

III. ANALISIS STATISTIK


Data pada penelitian ini diberikan kode, kemudian dimasukkan dan di proses
menggunakan computer berbasis IBM-PC dengan menggunakan SPSS (Versi 16, IBM,
NY, USA).
Statistik deskriptif yang dilakukan, meliputi deskripsi dari variable kuantitatif,
yang terdiri dari nilai rata-rata, standar deviasi, dan rentangan angka. Sedangkan
deskriptif kualitatif, meliputi variable yang terdiri dari jumlah dan persentase. Uji T
dilakukan untuk membandingkan nilai rata-rata haemoglobin sebelum operasi dengan
nilai rata-rata haemoglobin setelah operasi.

IV. HASIL
Pada table 1 dan 2 telah dijabarkan data demografis dan klinis dari kelompok
yang diteliti. Nilai rata-rata dari usia sampel yang digunakan adalah 29,2 tahun.
Berdasarkan paritasnya, terdapat 10 pasien (25%) dengan paritas 1 dan 22 pasien
dengan paritas 2. Berdasarkan jumlah anak yang hidup, 4 pasien (10%) belum memiliki
anak, 12 pasien (30%) hanya memiliki 1 anak, dan 18 pasien (45%) sudah memiliki 2
anak, yang mana di komunitas tempat penelitian, jumlah anak ini masih
menggambarkan keluarga yang kecil.

Berdasarkan anastesi yang diberikan, 24 pasien (60%) diberikan anastesi umum


dan 16 pasien diberikan anastesi spinal. Di tengah pembedahan, para peneliti
mendapatkan 29 kasus plasenta akreta, 6 kasus plasenta previa mayor anterior dan 5
kasus plasenta previa mayor posterior. Dalam pengendalian perdarahan dari tempat
perlekatan plasenta, terdapat 25 kasus yang menggunakan bibir serviks anterior dan
posterior, 10 kasus yang menggunakan bibir serviks anterior dan 5 kasus yang
menggunakan bibir serviks posterior. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk
melakukan tindakan adalah 5,4 menit (rentang waktu antara 4,3-7,1 menit). Teknik
inversi serviks berhasil menghentikan 38 dari 40 pasien yang mengalami perdarahan,
dengan angka keberhasilan sebesar 95%. Hanya 2 pasien yang dilakukan histerektomi.
Pemeriksaan histopatologis uterus dari kedua pasien ini menunjukkan adanya plasenta
inkreta. Nilai rata-rata darah yang hilang pada saat pembedahan adalah 1572,5 mL, dan
nilai rata-rata dari unit darah yang ditransfusikan adalah 3,1. Berdasarkan analisis
statistiknya, nilai rata-rata haemoglobin sebelum operasi (10,8 mL) berbeda secara
signifikan dengan nilai rata-rata haemoglobin setelah operasi (9,3 mL, yang mana hal
ini terbukti dari nilai p <0,001. Komplikasi yang terjadi pada penelitian ini yaitu, 2
pasien yang dilakukan histerektomi mengalami cedera vesika urinaria, dan 1 pasien
mengalami luka yang terinfeksi. Selain itu didapatkan juga 1 pasien dengan demam
paska operasi, yang mana demam ini dapat ditangani dengan pemberian antibiotic. Nilai
rata-rata dari jumlah hari rawat inap adalah 3,5 hari. Semua ibu diminta untuk
melakukan pemeriksaan kesehatan sebanyak 2 kali, yaitu pada saat 3 bulan dan 6 bulan
paska persalinan.

Pada pemeriksaan di bulan ke-3 paska persalinan, terdapat 35 pasien yang


datang untuk dilakukan pemeriksaan spekulum, sementara 5 orang lainnya tidak datang
untuk memenuhi pemeriksaan. Pada pemeriksaan speculum, didapatkan 33 pasien
dengan posisi dan morfologi serviks yang normal. Pada 2 pasien, serviksnya berpindah
ke atas. Pemeriksaan kolposkopik pada kedua pasien ini menunjukkan rongga uterus
yang normal, dan tidak adanya sinekia intrauterine. Pada pemeriksaan di bulan ke 6
paske persalinan, terdapat 30 pasien yang datang untuk memenuhi pemeriksaan. 20
pasien kembali mengalami menstruasi, namun 10 sisanya mengalami amenore yang
dapat disebabkan oleh laktasi atau penyebab lain. Kami masih melanjutkan
pemeriksaan terhadap 10 psien ini dalam jangka waktu yang lebih lama untuk melihat
apakah amenore ini terjadi akibat adanya gangguan laktasi atau adanya factor patologis.
Pemeriksaan ultrasound dari uterus dan pemeriksaan speculum pada serviks tidak
memberikan hasil yang berarti. Seluruh pasien telah disarankan untuk kembali ke
rumah sakit jika mengalmai gejala yang tidak biasa atau jika pasien mengalami
kehamilan.
V. DISKUSI
Pilihan tatalaksana perdarahan post-partum perkaitan dengan plasenta previa
dan plasenta akreta yang meliputi (1) pendekatan radikal (pembedahan untuk
pengangkatan uterus dan jaringan-jaringan yang terlibat seperti sistektomi parsial jika
terdapat keterlibatan vesika urinaria) atau (2) sebuah pendekatan konservatif. Meskipun
histerektomi masih direkomendasikan sebagai penatalaksanaan plasenta akreta, saat
plasenta akreta melibatkan struktur yang terdekat perdarahan yang memberat dan
pembedahan menjadi lebih berisiko, dengan kemungkinan kerusakan terhadap struktur
akibat perlekatan plasenta yang tidak sehat (morbid). Pendekatan radikal ini tidak dapat
dilakukan pada ibu yang masih ingin memertahankan keutuhan uterusnya. Pada
beberapa kebudayaan, banyak orang yang menganggap bahwa perempuan yang telah
dilakukan histerktomi telah mengalami kehingan bagian kewanitaan terpentingnya. Hal
ini dapat memberikan pengaruh besar terhadap keadaan psikologis dari perempuan-
perempuan ini dan kualitas hidupnya,
Banyak pilihan terapi konservatif yang dianjurkan pada literatur. Pilihan
pertama adalah membiarkan sebagian atau seluruh plasenta pada tempatnya tanpa
diberikannya metotreksat. Meskipun membiarkan plasenta pada tempatnya terlihat
seperti pilihan yang aman untuk dilakukan, namun sebenarnya metode ini berkaitan
dengan komplikasi serius seperti perdarahan primer atau perdarahan reaksi katastropik,
dan unfeksi yang resisten terhadap terapi antimikroba. Kedua komplikasi ini
menyebabkan terjadinya keterlambatan histerektomipada beberapa pasien. Selain itu,
pendekatan ini tidak bias digunakan pada pasien dengan haemodinamik yang tidak
stabi. Penatalaksanaan dengan metode membiarkan plasenta di tempatnya masih
merupakan kontroversi. Tatalaksana konservatif membutuhkan perpangjangan periode
pemeriksaan lanjutan (follow up). Tidak hanya itu, ,penyesuaian serta kepatuhan dalam
menjalani tatalaksana juga merupakan pertimbangan terjadinya risiko terhadap
morbiditas yang berat dan kemungkinan mortalitas selama berminggu-minggu atau
bahkan berbulan-bulan paska persalinan.

Terkadang plasenta yang terpisah sebagian (plasenta akreta parsial) atau cedera
selama persalinan bayi membutuhkan pengangkatan plasenta dan pengendalian
perdarahan massif dari tempat melekatnya plasenta. Pada kasus serial ini, para peneliti
mempersembahkan teknik penjahitan yang pertama kali diperkenalkan oleh Dawlatly
di laporan kasusnya pada tahun 2007.

Bibir serviks digenggam dan dijahit ke lapisan tipis dari segmen bawah uterus
untuk mengendalikan perdarahan massif dan membuat sisa jaringan yang bias
digunakan untuk menutup insisi uterus. Dengan Teknik ini, serviks dapat digunakan
sebagai tampon natural, menggantikan tampon buatan yang sering digunakan untuk
perdarahan paska persalinan pada plasenta previa dan plasenta previa akreta. Kanal
serviks tetap paten dan bahan yang dapat diserap digunakan untuk mengembalikan
serviks ke posisi awal. Tidak ada risiko terjadinya cedera ureter atau pembuluh uterus
saat dilakukan penjahitan di serviks dan segmen bawah uterus. Ketika serviks sebagai
tampon alami, dibandingkan dengan tampon buatan seperti balon Bakri, maka inversi
serviks ini lebih terjangkau karena tidak memerlukan biaya, aman, efektif, dan lebih
berguna dalam pengendaluan perdarahan di tempat melekatnya plasenta. Di lain sisi,
implikasi jangka Panjang dari inversi serviks masih belum jelas. Pada beberapa kasus,
kami menggunakan metode konservatif seperti balon Bakri, ligase arteri iliaca internus
dan arteri uterus, atau kombinasi dari keduanya. Menurut kami, metode tampon buatan
ini lebih efektif bagi pasien dengan perdarahan yang luas, baik perdarahan dari uterus
atas maupun bawah. Pada kasus serial ini, kami hanya melaporkan pasien kohort yang
mana inversi serviks merupakan satu-satunya Teknik yang digunakan untuk
pengendalian perdarahan dari tempat melekatnya plasenta.

Para pasien pada penelitian ini usianya masih muda dan jumlah paritas yang
rendah dengan jumlah anak yang hidup masih sedikit. Hal ini menggambarkan
pentingnya penggunaan terapi konservatif untuk ibu yang masih ingin memertahankan
uterus dan fertilitasnya. Teknik ini diperkenalkan ke departemen para peneliti dan
sekarang banyak digunakan oleh para pekerja senior dan junior. Selain itu, Teknik ini
dapat digunakan pada kasus dengan section caesarea berulang, yang mana uterus
bawahnya sangat tipis dan perlu ditutup dengan insisi uterus.

Penelitian ini didukung oleh penelitian yang baru-baru ini diselesaikan oleh
Sakhavar et al. yang mana beliau melaporkan bahwa inversi serviks memberikan
tekanan pada uterus bawah sehingga penurunan aliran darah menyebabkan terjadinya
homeostasis relative. Sakhavar et al sebenarnya menjelaskan teknik yang sedikit
berbeda. Serviks juga diinversi seperti penelitian ini, setelah inu tempat melektanya
plasenta dijahit untuk mengendalikan perdarahan. Setelah perdarahan dapat
dikendalikan, serviks kembali ke posisi awalnya. Pada penelitian Sakhavar et al, inversi
serviks berhasil diterapkan pada 10 kasus. Pada seluruh kasus tersebut, perdarahan
dihentikan selama 3-5 menit, terhitung saat dimulainya prosedur inversi serviks.
Penelitian Sakhavar et al, tidak melaporkan adanya komplikasi mayor dan transfuse
darah atau histerektomi obstetric.

Hal yang membatasi penelitian ini dalam menginterpretasikan hasil


penelitiannya adalah penelitian ini tidak dilakukan dengan uji acak. Akan tetapi, kasus
serial ini datanya dikumpulkan secara prospektif dan penempatan penjahitannya
berhubungan dengan hasil yang baik. Pada penelitian ini juga dilakukan pemeriksaan
lanjutan (follow up) pada klinis pasien yang dijadikan sampel. Keterbatasan lainnya
adalah ketidakpastiannya efek dari penggunaan teknik ini terhadap kapasitas anatomis
dan fungsional dari serviks, dan dampak terhadap kehamilan serta persalinan di masa
yang akan dating. Namun, kekhawatiran ini dapat diminimalisir dengan hasil
pemeriksaan lanjutan (follow up) yang menjanjikan.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan data awal pada penelitian ini, kami menyimpulkan bahwa teknik dengan
menggunakan serviks sebagai tampon alami merupakan teknik yang aman, praktis,
singkat dan berpotensi efektif dalam pengendalian perdarahan post-partum yang berat,
yang mana perdarahan ini berkaitan dengan placenta previa dan/atau plasenta previa
akreta. Teknik ini dapat dijadikan alat bagi dokter obstetric yang sedang menghadapi
kasus perdarahan plasenta akreta yang mengancam nyawa pasiennya. Pada penelitian
selanjutkya, dibutuhkan perpanjangan dari masa pemeriksaan lanjutan (follow up) agar
dapat dilakukan implikasi jangka panjang dari teknik ini.

Anda mungkin juga menyukai