Anda di halaman 1dari 19

BAB I

LATAR BELAKANG

Secara global, sekitar delapan juta wanita/tahun mengalami penyulit

kehamilan, dan setengah juta di antaranya meninggal dunia, di mana 99% terjadi di

negara berkembang. Angka kematian ibu akibat komplikasi kehamilan di negara maju

sebesar 1 dari 5.000 wanita, sedangkan di negara berkembang sebesar 1 dari 11.

Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih yang tertinggi di Asia Tenggara

(359/100.000 kelahiran hidup di tahun 2012), dan merupakan suatu masalah dan

mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama kehamilan dan nifas. Namun,

tren AKI menurun sejak tahun 1991. Meskipun millennium developmental goals

menargetkan AKI turun menjadi 102/100.000 kelahiran hidup di 2015, pada 2012

tercatat kenaikan AKI signifikan dari 228 menjadi 359/100.000 kelahiran hidup.1

Tiga penyebab utama kematian ibu antara lain pendarahan (30%), hipertensi

dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan bahwa insidensi

preeklamsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang (1,8-18%) dibandingkan di

negara maju (1,3-6%). Insidensi preeklamsia itu sendiri di Indonesia sebesar

128.273/tahun (~ 5,3%). Tren dalam dua tahun terakhir tidak menunjukkan

penurunan insidensi tersebut, berbeda dengan tren infeksi yang semakin menurun

seiring perkembangan dalam hal antibiotik.1

Preeklamsia merupakan perihal kompleks, menimbulkan masalah antepartum

dan paskasalin akibat disfungsi endotel pada berbagai organ, seperti resiko gangguan

1
kardiometabolik dan penyulit lainnya. Suatu metaanalisis menunjukkan peningkatan

resiko signifikan terjadinya hipertensi, penyakit jantung iskemik, stroke, dan

tromboemboli vena pada ibu dengan riwayat preeklamsia. Dampak preeklamsia pada

janin antara lain berat bayi lahir rendah akibat persalinan prematur dan hambatan

pertumbuhan dalam rahim yang mana akan lebih beresiko mengalami gangguan

metabolik saat dewasa, serta meningkatkan angka morbiditas & mortalitas perinatal.

Preeklamsia juga memberi dampak pada ekonomi, antara lain biaya terkait

preeklamsia itu sendiri, serta biaya terkait dampak jangka panjang preeklamsia, di

mana suatu analisisi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa biaya sebesar 3 miliar

dolar Amerika keluar per tahun untuk morbiditas maternal, dan 4 miliar dolar

Amerika per tahun untuk morbiditas neonatal terkait preeklamsia.1

Penanganan preklamsia di Indonesia dan kualitasnya masih beragam di antara

praktisi dan rumah sakit, tidak hanya karena belum jelasnya teori patogenesis

penyakit tersebut, namun juga karena kurangnya sarana dan prasarana di daerah.1

Persalinan prematur berpotensi meningkatkan kematian perinatal sekitar

65-67%, umumnya berkaitan dengan berat badan lahir rendah.5

Indonesia memiliki angka kejadian partus prematurus sekitar 19% dan

merupakan penyebab utama kematian perinatal.7

Partus prematurus dapat diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang

disertai dengan perdarahan dan dilatasi serviks serta turunnya kepala bayi pada

wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu.6

2
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

 Nama: Ny. AS.

 Usia: 28 tahun.

 Suku: Jawa.

 Alamat: Gresik.

 Status: Sudah menikah selama 6 tahun.

 Tanggal MRS: 01 Januari 2019.

 Tanggal Pemeriksaan: 02 Januari 2019, pukul 14.00.

B. Anamnesis

 Keluhan Utama: Perut terasa kencang

 Riwayat Penyakit Sekarang:

o Perut terasa kencang sejak kemarin sore, berlangsung selama sekitar 5 menit dan

berulang tiap 10 menit, makin lama makin kencang, lalu di bawa ke IGD RS Petro,

kemudian di rujuk ke IGD RSIS karena tekanan darah yang tinggi (mencapai 170

mmHg SBP) dan hasil tes urin protein positif  setelah masuk rawat inap, saat

pemeriksaan, sudah tidak ada keluhan perut terasa kencang setelah diberi obat dari

RSIS.

o Sebelum perut terasa kencang, tidak didahului keputihan atau nyeri panggul.

o Nyeri punggung belakang (+) yang terasa saat perut terasa kencang, sejak kemarin.
3
o Nyeri kepala (+) kemarin, sekarang sudah tidak.

o Kedua kaki bengkak sejak 2 minggu, makin lama makin bengkak, tidak terasa tebal.

o Lendir / darah / cairan (–) dari jalan lahir.

o Kejang / demam / sesak nafas / mual muntah / nyeri ulu hati (–).

o HPHT: 27 April 2018. TP: 3 Februari 2018.

o Rutin ANC, tiap bulan selama trimester 1 dan 2, dan tiap 2 minggu selama trimester 3.

o Buang air kecil lancar lewat selang sejak masuk rawat inap, nyeri panggul (–).

 Riwayat Obstetrik:

Kehamilan Suami Cara Penolong L/P BB Usia KB Usia


ke- pers. (gram) Kehamilan Anak
I I CS Dokter L 2800 40 minggu Suntik 3 6 th
bulan
II Hamil Ini

 Riwayat Penyakit Dahulu:

o Tekanan darah sebelum hamil biasanya 110 – 120 mmHg SBP, namun setelah hamil

usia kehamilan 28 minggu, meningkat mencapai 140 – 150 mmHg SBP, dan tertinggi

mencapai 170 mmHg SBP.

o Tekanan darah tinggi (+) selama kehamilan sebelumnya, sebagai indikasi cesarean

section yang sebelumnya.

o Tekanan darah tinggi (–), kencing manis (–), sakit kuning (–), kejang (–).

 Riwayat penyakit keluarga:

o Ibu meninggal akibat eklamsia.

o Tekanan darah tinggi (–), kencing manis (–), kejang (–).

 Riwayat penyakit sosial:

o Tidak ada yang merokok di keluarga.


4
o Tidak pernah terpapar asap rokok.

o Tidak pernah minum jamu-jamu.

C. Pemeriksaan Fisik

 Keadaan Umum: Lemah.

 GCS: 4 / 5 / 6.

 Tanda-tanda vital:

o TD: 170 / 100 mmHg saat awal masuk rawat inap, lalu 120 / 70 mmHg 1 hari setelah

diberi Methyldopa dan Nifedipine.

o Nadi: 89 x/menit.

o Suhu: 36.0 C.

o RR: 19 x/menit.

 Kepala: A / I / C / D negatif.

 Leher:

o Pulsasi JVP: negatif.

o Limfadenopati: negatif.

o Struma: negatif.

 Thorax:

o Dada simetris, suara nafas vesikular seluruh lapang baru, Rhonchi (–), Wheezing (–).

o Suara jantung S1 S2 tunggal regular, murmur (–), gallop (–).

 Abdomen:

o Abdomen cembung.

o Bising usus (+) normal.


5
o Liver & lien tidak teraba.

 Ekstremitas:

o Akral hangat kering seluruh ekstremitas. CRT < 2 detik.

o Refleks patella + / +.

o Edema pitting tungkai + / +.

 Status Obstetrik:

o Leopold I: TFU: 40 cm; Teraba bulat keras kesan kepala di tengah, teraba bulat lunak

kesan bokong di kanan.

o Leopold II: Teraba bagian kecil kesan ekstremitas di kiri, dan punggung di kanan.

o Leopold III: Teraba bulat keras kesan kepala di tengah.

o Leopold IV: Kepala janin sudah masuk pintu atas panggul.

o DJJ (Doppler):

I. Regular, 136 x/menit.

II. Regular, 138 x/menit.

o Periksa Dalam (VT): tidak dilakukan.

D. Pemeriksaan Penunjang

 USG (02 Jan 2019): Gemelli.

I. Letak kepala. BPD 81 mm, FL 67 mm  32 / 33 minggu. TBJ 1800 g.

II. Letak sungsang. BPD 84 mm, FL 63 mm  33 / 34 minggu. TBJ 2000 g.

 Laboratorium (1 Jan 2019):

o Darah Lengkap:

 Hb: 12.1

6
 HCT: 36.5

 WBC: 9400.

 PLT: 241.000.

 MCV: 85.

 MCH: 28.

 MCHC: 33.

o Proteinuria: +3.

o Renal Function Test: SCr 0,82; BUN 7.

o Elektrolit Serum: Na 135; K 3,9; Cl 116.

o Liver Function Test: SGOT 38,2; SGPT 25,1.

o Albumin Serum: 4,06.

E. Diagnosis

G II P 1 0 0 0 1, UK 35 – 36 minggu, Gemelli / H / H / IU + PEB + BSC 6 th + PPI.

F. Planning

 Diagnostik: Darah Lengkap, LFT.

 Terapeutik:

o Inf RD5 1500 cc/24 jam.

o Methyldopa 3 x 500 mg.

o Nifedipine 3 x 10 mg.

o MgSO4 20% /IV (4 gram), MgSO4 40% /IM (5 gram) 1.25 cc bokong kanan dan

bokong kiri  dilanjut MgSO4 maintenans 1 g/jam /IV, hingga 24 jam paskasalin.

7
o Dexametason 2 x 6 mg selama 2 hari /IV.

o Pro SC elektif.

8
BAB III

PEMBAHASAN

A. Diagnosis

Pasien didiagnosis preeklamsia berat karena sudah terdokumentasi adanya hipertensi

pada dua waktu yang terpisah setidaknya 6 jam, dan mencapai SBP ≥ 160 mmHg, disertai

adanya edema tungkai, sejak usia kehamilan ≥ 20 minggu, sehingga memenuhi kriteria

preeklamsia berat, tanda lain dari preeklamsia berat yang terpenuhi yaitu adanya manifestasi

gangguan sistem saraf pusat antara lain nyeri kepala saat pasien datang ke IGD RSIS.

Berdasarkan keadaan pasien dengan diagnosis PEB disertai PPI (Partus Prematurus

Iminnens) adalah dengan adanya kontraksi yang berulang setiap 5 menit atau timbulnya

tanda-tanda persalinan pada usia kehamilan yang belum mencapai aterm <37 minggu dan

berat badan bayi kurang dari 2500 gram.

Factor resiko lain terkait PPI (Partus Prematurus Iminnens) yang dialami pasien ini

adalah nyeri bagian punggung bawah dan faktor etiologi yang dialami dari pasien berikut ini

adalah kehamilan multiple/gemelli.

Faktor resiko preeklamsia antara lain nulipara, primi muda atau tua, predisposisi

genetic (ras dan riwayat keluarga dengan hipertensi dalam kehamilan), obesitas, kehamilan

multifetal, hiperhomosisteinemia, dan sindroma metabolik.4 Faktor resiko preeklamsia yang

dimiliki pasien ini antara lain obesitas (BMI > 30), riwayat penyakit dahulu dan penyakit

keluarga hipertensi dalam kehamilan, serta kehamilan multipel.

9
Preeklamsia terdiagnosis apabila terdapat hipertensi (peningkatan tekanan darah

mencapai ≥ 140/90 mmHg pada dua waktu yang terpisah ≥ 6 jam) saat usia kehamilan ≥ 20

minggu, disertai satu dari tanda-tanda berikut:4

 Proteinuria: ≥ 300 mg/24 jam, atau rasio protein : kreatinin ≥ 0,3, atau proteinuria

dipstick +1 persisten (jika modalitas lain tidak tersedia).

 Trombositopenia (< 100.000 /µL).

 Insufisiensi ginjal (kreatinin > 1,1 mg/dL, atau 2x dari baseline) jika tidak terdapat

kelainan ginjal sebelumnya.

 Keterlibatan liver (kadar transaminase liver 2x normal).

 Gejala-gejala serebral (nyeri kepala, gangguan visual, kejang).

 Edema paru.

Preeklamsia berat terdiagnosis bila terdapat satu dari tanda-tanda berikut ini, yaitu:

tekanan darah mencapai ≥ 160/110 mmHg, ada nyeri kepala, gangguan visual, nyeri

epigastrik, oliguria, kejang (eklamsia), peningkatan kreatinin serum, trombositopenia,

peningkatan transaminase liver, IUGR (intrauterine growth retardation), atau edema paru.4

Berdasarkan pemeriksaan fisik, PPI diperkuat dengan pemeriksaan USG, terbukti

bahwa pasien kehamilan ganda/multiple (gemelli), dengan kondisi janin intrauterin dan

hidup keduanya, dengan usia kehamilan <37 minggu berdasarkan HPHT. Kehamilan

multipel juga merupakan suatu etiologi distensi uterus berlebih, sehingga merupakan faktor

resiko terjadinya pendarahan paskasalin, yang batasnya adalah > 500 cc pada persalinan per

vaginam, dan > 1000 cc pada persalinan per abdomninam.

10
Selain itu, pasien juga memiliki riwayat cesarean section 6 tahun yang lalu,

menimbulkan jaringan parut rahim, sehingga pasien didiagnosis dengan BSC (bekas seksio

cesarean) 6 tahun.

B. Tatalaksana

 Preeklamsia Berat

Pengelolaan preeklamsia meliputi pencegahan kejang, penanganan hipertensi,

pengelolaan cairan, penanganan suportif pada penyulit terkait, dan saat yang tepat untuk

persalinan.2

Pemeriksaan teliti dan observasi harian mengenai tanda-tanda klinik antara lain

nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan cepat berat badan. Perlu

juga dilakukan pengukuran proteinuria, tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, USG

dan NST.2

Secara umum, manajemen preeklamsia berat sama dengan preeklamsia ringan,

meliputi dua unsur antara lain sikap terhadap penyakitnya, dan sikap terhadap

kehamilannya.2

Penderita preeklamsia berat perlu rawat inap dan dianjurkan tirah baring ke sisi

kiri. Penting dilakukan pengelolaan cairan karena resiko tinggi edema paru dan oliguria

pada pasien preeklamsia dan eklamsia, sehingga penting dilakukan pemantauan input

dan output (misalnya dengan memasang kateter Foley untuk pantau output cairan

melalui urinasi) cairan, dan dilakukan tindakan koreksi jika terdapat tanda-tanda edema

paru. Oliguria terjadi jika produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam, atau < 500 cc/24

jam. Cairan yang bisa diberikan pada penderita preeklamsia antara lain RD5, atau NaCl

11
0,9% dengan jumlah tetesan < 125 cc/jam, atau D5 yang mana tiap 1 L diselingi RL

(60-125 cc/jam) 500 cc.2

Dapat diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga

menurunkan resiko aspirasi asam lambung apabila terjadi kejang. Diet meliputi diet

tinggi protein, rendah lemak, garam, dan karbohidrat.2

Pemberian antikonvulsan antara lain dapat menggunakan MgSO47H2O

(Magnesium Sulfat), pilihan pertama antikonvulsan pada preeklamsia. Obat-obat

antikonvulsan lain antara lain diazepam dan fenitoin, namun tidak seefektif Magnesium

Sulfat sebagai antikejang. Magensium sulfat bekerja sebagai inhibitor kompetitif ion

kalsium, oleh ion magnesium, sehingga menghambat neurotransmisi dan menurunkan

kadar asetilkolin, namun kinerjanya akan terhambat jika terdapat kadar kalsium yang

tinggi dalam darah. Magnesium sulfat diberikan dengan dosis loading atau insial,

dilanjut dengan maintenans.2-4

 Dosis inisial: Injeksi 4 gram IV selama 15 menit.

 Dosis maintenans:

o Infus 6 gram dalam larutan ringer/6 jam, atau

o Injelksi 4 atau 5 gram IM, lalu 4 gram IM tiap 4-6 jam, atau

o Intravena 1 gram/jam menggunakan syringe pump.

 Syarat pemberian:

o Harus tersedia antidotum berupa Ca Gluconas 10% (1 gram dalam 10 cc)

diberikan IV selama 3 menit.

o Refleks patella (+).

o Frekuensi pernapasan > 16x/menit, tanpa tanda-tanda distres pernapasan.


12
o Urine output ≥ 150 cc/6 jam.

 Dosis terapeutik dan toksik:

o Dosis terpeutik: 4-7 mEq/liter (4,8-8,4 mg/dL).

o Hilangnya reflex tendon: 10 mEq/liter (12 mg/dL).

o Henti nafas: 15 mEq/liter (18 mg/dL).

o Henti jantung: > 30 mEq/liter (36 mg/dL).

Pemberian magnesium sulfat terbukti menurunkan morbiditas dan mortalitas

ibu, dan 50% didapatkan efek flushes (rasa panas).2

Jika kejang refrakter terhadap pemberian magnesium sulfat, dapat diberikan

satu di antara berikut: thiopental Na, Na amobarbital, diazepam atau fenitoin.2

Diuretikum tidak diberikan secara rutin kecuali pada kasus edema paru,

penyakit jantung kongestif, atau edema anasarka. Diuretikum yang digunakan antara

lain furosemide. Dampak buruk pemberian diuretikum antara lain perparahan

hipovolemia, penurunan perfusi uteroplasental, perparahan hemokonsentrasi, dehidrasi

janin, dan penurunan berat janin.2

Pemberian antihipertensi memiliki banyak pendapat mengenai nilai ambang

mulai diberikannya antihipertensi pada preeklamsia. Usulan Belfort mengemukakan

menggunakan tekanan darah ≥ 160/110 mmHg dan MAP ≥ 126 mmHg sebagai ambang

batas. Sedangkan di RSUD dr. Soetomo, ambang batas yang digunakan yaitu SBP ≥ 180

mmHg atau DBP ≥ 110 mmHg.2

Belum ada studi yang membuktikan bahwa satu obat antihipertensi lebih

superior dari yang lain dalam preeklamsia, sehingga antihipertensi yang digunakan

13
diserahkan pada pertimbangan klinisi. Namun antihipertensi yang mutlak perlu

dihindari yaitu diazoksid, ketanserine, nimodipine, dan magnesium sulfat.

Antihipertensi lini pertama yang digunakan yaitu Nifedipine dengan dosis 10-20 mg

PO, diulang setelah 30 menit; maksimum 120 mg/24 jam, dan tidak boleh digunakan

sublingual karena efek vasodilator poten. Antihipertensi lini ke-2 antara lain Na

nitroprusside dengan dosis 0,25 µg IV/kg/menit via infus, ditingkatkan 0,25 µg IV/kg/5

menit, atau diazokside 30-60 mg IV/5 menit; atau IV infus 10 mg/menit dititrasi.2

Sikap terhadap kehamilan preeklamsia tergantung pada umur kehamilan serta

perkembangan gejala-gejala preeklamsia berat selama perawatan, dibagi menjadi sikap

konservatif (kehamilan tetap dipertahankan disertai terapi medikamentosa), dan aktif

(agresif, terminasi kehamilan, disertai terapi medikamentosa).2

Terminasi kehamilan dilakukan dengan cara tergantung keadaan obstetric

waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum. Indikasi perawatan aktif antara lain:2

 Indikasi maternal:

o Umur kehamilan ≥ 37 minggu (untuk preeklamsia berat), dan > 37 minggu untuk

preeklamsia ringan.

o Adanya tanda/gejala impending eclampsia.

o Kegagalan terapi konservatif, yaitu keadaan klinik / laboratorik memburuk.

o Diduga terjadi solusio plasenta.

o Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan.

 Indikasi janin:

o Adanya tanda fetal distress.

o Adanya tanda intrauterine growth retardation.


14
o NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal.

o Terjadinya oligohidramnion.

 Laboratorik: Adanya tanda sindroma HELLP, terutama trombosit yang turun cepat.

Perawatan konservatif diindikasikan jika usia kehamilan ≤ 37 minggu tanpa

tanda impending eclampsia, serta janin dalam kondisi baik. Perawatan konservatif

meliputi observasi dan terapi medikamentosa yang sama dengan perawatan aktif, tanpa

terminasi kehamilan. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai preeklamsia

ringan, selambat-lambatnya 24 jam paskasalin, bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan,

maka dianggap kegagalan terapi konservatif dan harus diterminasi. Pasien boleh

dipulangkan jika kembali ke preeklamsia ringan.2

15
Gambar: Skema manajemen preeklamsia. L&D: labor and delivery. UOP: urine output.4

Pada pasien ini, manajemen meliputi rawat inap, tirah baring, dengan infus

RD5 dengan jangkauan dosis 60-125 cc/jam, serta diberikan antihipertensi berupa

nifedipine dan methyldopa, serta antikonvulsan menggunakan MgSO4 dengan loading

dose 4-6 mg IV perlahan selama 15-20 menit, dengan memperhatikan persyaratan

pemberiannya, diberikan hingga 24 jam paskasalin. Pasien juga diberikan regimen

glukokortikoid untuk pematangan paru janin karena bayi preterm, menggunakan

16
dexametason 2 x 6 mg IV selama 2 hari, yang dilanjut dengan terminasi kehamilan

sebagai prinsip utama tatalaksana preeklamsia dengan metode cesarean section karena

telah menginjak usia kehamilan di atas 34 minggu, dan kontraindikasi persalinan

pervaginam yaitu kehamilan ganda dengan letak sungsang. Dilakukan pemeriksaan

penunjang untuk mencari tanda-tanda sindroma HELLP tiap hari, antara lain darah

lengkap dan liver function test (LFT). Tiap hari dilakukan observasi tanda-tanda vital,

reflex patella, balans cairan, dan CHPB, tanpa dilakukan pemeriksaan dalam kecuali

saat terjadi kontraksi, karena adanya partus prematurus imminens yang dapat memberat

apabila terlalu sering dilakukan pemeriksaan dalam.

 PPI (Partus prematurus iminens)

PPI dalam penatalaksanaanya dengan pemeriksaan kesejahteraan janin

(USG,NST)7.

Serta memanajemen persalinan preterm dengan fktor sebagai berikut:

 Keadaan selaput ketuban, pada umumnya persalinan tidak dihambat

bilamana selaput ketuban sudah pecah.

 Pembukaan servik. Sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm.

 Umur kehamilan, makin muda, upaya pencegahan semakin perlu

dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan apabila TBJ >2000 gram

atau kehamilan >34 minggu.

 Bila terjadi gawat janin  Terminasi

17
Penatalaksanaan PPI pada non farmakologis

 Tirah baring

 Tidak berhubungan/senggama/sex untuk sementara waktu

Penatalaksanaan PPI dengan Farmakologis


1. Tokolitik : menunda kehamilan 2-7 hari

Tujuan :
 Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi premature.

 Memberikan terapi kortikosteroid untuk maturasi janin jika >34 minggu


dan belum mengalami maturasi paru.

 Beri calcium antagonis : nifedipine 2x30 mg selang 8 jam dan dilanjutkan


3x20mg sampai 2x24 jam (3 hari), dengan efek samping muka merah,
mual, muntah, palpitasi, hipotensi

 Magnesium sulfas (MgSO4) : dapat digunakan sekaligus sebagai


neuroprotektan

2. Kortikosteroid : untuk pematangan surfaktan paru dan janin, menurunkan


insidensi RDS, mencegah perdarahan intraventrikular. Pemberian tidak
diulang karena resiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat.
 Deksametaxon 6 mg/12 jam i.m sebanyak 4x (2 hari).
 Betametaxon 12 mg/24 jam i.m sebanyak 2x (2 hari)

3. Cara persalinan
 Bila presentasi kepala Boleh pervaginam
 SCjika hanya ada indikasi obstetric, missal letak sungsang.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran: Diagnosis dan Tatalaksana Preeklamsia. POGI, 2016, Indonesia.

2. Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan, Edisi ke-4. PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2010, Indonesia. Hal 530-561.

3. Cunningham, FG, Leveno, KJ, Bloom, SL, Spong, CY, Dashe, JS, Hoffman, BL, et al.
Williams Obstetrics, 24th Edition. McGraw-Hill Education, 2014, New York. Hal 728-779.

4. Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Edisi III. RSUD Dr. Soetomo, 2008, Surabaya. Hal
84-87.

5. Sastrawinata, Sulaiman. Et al. 2005. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi. Edisi
2.Jakarta : EGC. Hal 80-82.

6. Oxorn, H. 2003. Fisiologi dan Patologi Persalinan. Jakarta: Yayasan Essentia Medica. Hal
250.

7. Rayburn, W. 2003. Obstetri & Ginekologi. Jakarta: Widya Medika. Hal 46.

19

Anda mungkin juga menyukai