Anda di halaman 1dari 12

Korelasi antara Pola Ikatan Pembuluh dengan Sifat Fisis dan Mekanis

Tiga Jenis Bambu


(Correlation of Vascular Bundle Pattern with Physical and Mechanical
Properties of Three Bamboo Species)
Nani Nuriyatin1), Surjono Surjokusumo2)
1)
Program Studi Budi Daya Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jalan Raya Kandang Limun, Bengkulu
2)
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB
Corresponding author: nani.nuriyatin@ymail.com (Nani Nuriyatin)

Abstract
The physical and mechanical properties of three species of bamboo, namely
Dendrocalamus giganteus, Dendrocalamus asper, and Gigantochloa apus were
investigated in relation to its vascular bundle pattern. As physical and mechanical
properties, specific gravity, modulus of rupture (MOR), modulus of elasticity (MOE),
compressive strength parallel to grain and tension strength parallel to grain were
determined, and the vascular bundle pattern was evaluated by method according to Grosser
and Liese (1971). The relationship between physical and mechanical properties with the
vessel bundle pattern was analyzed by regression with dummy variables. Pattern
combination of vessel bundle was found on G. apus and D. asper, while D. giganteus has a
single pattern of vessel bundle type. The difference of vascular bundle pattern did not
contributed to the physical and mechanical properties of bamboo investigated, except for
MOR. The difference species of bamboo and vertical position of samples contribute to the
different value of compressive strength parallel to grain, whereas tension strength was only
affected by bamboo species

Key words: vessel bundle pattern, physical properties, mechanical properties

Pendahuluan material yang sangat potensial untuk


pemenuhan kebutuhan perumahan, serta
Tanaman bambu merupakan tanaman
telah diakui masyarakat dunia dengan
serba guna bagi masyarakat Indonesia.
terbitnya standar internasional (ISO) yang
Pentingnya tanaman bambu dalam
masih perlu diadaptasi untuk diterapkan di
berbagai penggunaan telah diperkenalkan
Indonesia. Adapun keunggulan bambu
di berbagai negara mulai dari makanan,
yang lain adalah harganya yang relatif
kerajinan, mebel, sampai berbagai produk
murah, ramah lingkungan, dan
industri (Erakhrumen & Ogunsanwo
ketersediaannya yang berlimpah (BMTPC
2009). Bambu berpotensi sebagai
2007).
substitusi kayu untuk penggunaan
konstruksi struktural maupun non Potensi bambu yang dapat digunakan
struktural (Purwito 2008). Bambu sebagai bahan konstruksi telah
memiliki keunggulan sebagai bahan mendapatkan perhatian dari para ahli baik
bangunan dan merupakan salah satu arsitek, peneliti biologi, peneliti bahan

Korelasi antara Pola Ikatan Pembuluh dengan Sifat Fisis dan Mekanis Tiga Jenis Bambu 133
Nani Nuriyatin, Surjono Surjokusumo
dasar (material} dan lain-lain. Sifat dasar penggunaannya sebagai bahan konstruksi.
bambu yang terkait dengan Penelitian ini bertujuan untuk
penggunaannya sebagai material bangunan menganalisis korelasi antara pola ikatan
adalah sifat mekanisnya (Ghavami et al. pembuluh dengan sifat fisik dan mekanik
2003a). Dalam prakteknya, sifat mekanis beberapa jenis bambu.
sangat terkait erat dengan berat jenis
(Janssen 1987, Wang et al. 2010). Berat Bahan dan Metode
jenis adalah sifat fisik yang paling penting Bahan penelitian
yang mempengaruhi sifat kekakuan,
kekuatan dan penyusutan, bahkan skala Jenis bambu yang digunakan untuk
yang lebih luas berat jenis ini dapat penelitian adalah Dendrocalamus
menentukan penggunaan akhir bahan giganteus Wallich ex Munro, G. apus
berkayu (Wang et al. 2010). Dengan (J.A. & J.H. Schultes) Kurs dan D. asper
demikian kedua sifat tersebut merupakan (Schultes f.) Backer ex Heyne yang telah
satu rangkaian yang saling terkait erat. berumur 3-4 tahun. Sampel bambu
diambil dari sekitar Fakultas Kehutanan
Terdapat berbagai jenis tanaman bambu IPB dan Kebun Raya Bogor. Sampel uji
yang dapat digunakan untuk keperluan diambil dari bagian pangkal, tengah dan
bangunan antara lain Dendrocalamus ujung bambu dengan tiga kali ulangan
asper, D giganteus, Gigantochloa kecuali untuk D giganteus hanya diambil
atroviolacea (Suryokusumo 1997). sampel bagian pangkal dan tengah batang.
Selama ini penggunaan bambu
berdasarkan kebiasaan turun temurun. Metode penelitian
Kondisi seperti ini menyulitkan
penggunaan bambu secara optimal dan Pembuatan contoh uji bobot jenis
tidak mudah untuk menentukan mengikuti standar ISO/TC165N314
penggunaan setiap jenis bambu. Hal ini (2001) sedangkan pembuatan contoh uji
didukung dengan banyaknya bambu yang sifat mekanik terutama untuk MOE, MOR
belum dikenal dan belum diketahui berpedoman ke ASTM D 143-94 (2000)
kesesuaian pemanfaatannya. Salah satu yang dimodifikasi. Dalam hal ini tidak
alternatif cara yang dapat dilakukan untuk setiap jenis bambu memiliki ketebalan
mengetahui sifat-sifat bambu adalah yang sama sehingga untuk mendapatkan
melalui pendekatan evaluasi pola ikatan ketebalan tertentu dilakukan proses
pembuluh yang ada di setiap jenis bambu. penyambungan secara setangkup terutama
dalam pembuatan sampel uji lentur.
Bambu memiliki berbagai pola ikatan Bentuk dan ukuran keteguhan tekan
pembuluh yang bersikap khas untuk jenis sejajar serat berpedoman ke
bambu tertentu. Menurut Grosser dan ISO/TC165N314 (2001) dengan panjang
Liese (1971) tanaman bambu memiliki 4 spesimen sama dengan diameter bambu
pola ikatan pembuluh. Jenis bambu yang terluar bahkan jika lebih kecil atau sama
selama ini dipergunakan sebagai bahan dengan 20 mm maka panjangnya 2 kali
dasar konstruksi diduga umumnya diameter terluar. Bentuk dan ukuran
memiliki pola ikatan pembuluh pola 3 atau contoh uji keteguhan tarik sejajar serat
4 (Nuriyatin 2000). Hal ini mendasari berpedoman ke ASTM D 143-94 (2000)
perlunya penelitian secara mendalam yang dimodifikasi dengan ukuran yang
tentang pola ikatan pembuluh sebagai lebih panjang dan ketebalan sampel sesuai
variabel yang dapat digunakan sebagai dengan ketebalan bambu. Penelitian
penduga sifat mekanis bambu dan dilaksanakan di Laboratorium Bagian

134 J. Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol. 8 No. 2 Juli 2010
Rekayasa dan Disain Bangunan Kayu Hasil dan Pembahasan
Hasil Hutan Fakultas Kehutanan serta di
Pola ikatan pembuluh
Laboratorium Fisik dan Mekanik, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Cara penetapan pola ikatan pembuluh
Hutan, Kementerian Kehutanan. Selain bambu yang diteliti ditentukan
itu sebagai data pendukung juga dilakukan berdasarkan panduan hasil penelitian
penentuan persen serabut dengan Grosser dan Liese (1971) yang
menghitung persen serabut dalam luasan digambarkan secara jelas pada Gambar 1
tertentu dengan alat stereo discovery V8 dan 2, sedangkan hasil penetapan pola
merk Zeiss dan kamera Axio Cam M Rc 5 pada bambu yang diteliti selengkapnya
yang dihubungkan komputer dengan pada Tabel 1. Bambu-bambu yang diteliti
perangkat lunak Axio Vision Rel. 4.6. mempunyai pola ikatan pembuluh 3 dan 4.
Pola ikatan pembuluh pada D. asper dan
Data dianalisis melalui pendekatan regresi G. apus tersusun atas 2 pola pada bagian
dengan peubah boneka. Peubah boneka batangnya. Bagian pangkal dan tengah G.
dalam analisis ini adalah 3 jenis bambu apus mempunyai pola 4 sedangkan bagian
yang terwakili dalam peubah X1-X2, posisi ujung memiliki pola 3. Bagian pangkal
vertikal yaitu pangkal, tengah dan ujung batang D. asper memiliki pola 4, tapi
bambu yang terwakili dalam peubah X3 bagian tengah dan ujung batang memiliki
dan X4, 2 pola ikatan pembuluh bambu pola 3. Pola ikatan pembuluh sepanjang
yang terwakili dalam X5. Kontribusi batang D. giganteus murni terdiri atas pola
keseluruhan peubah dianalisa dalam ikatan pembuluh 3.
persamaan regresi.

Tabel 1 Pola ikatan pembuluh pada bambu yang diteliti

Jenis bambu Bagian Pola


Gigantochloa apus Pangkal 4
Tengah 4
Ujung 3
Dendrocalamus asper Pangkal 4
Tengah 3
Ujung 3
Dendrocalamus giganteus Pangkal 3
Tengah 3
Ujung 3

Korelasi antara Pola Ikatan Pembuluh dengan Sifat Fisis dan Mekanis Tiga Jenis Bambu 135
Nani Nuriyatin, Surjono Surjokusumo
metaxilem

Selubung
sklerenkim
(a) (b)
Selubung pada
ruang antar sel

Gambar 1 Sketsa pola ikatan pembuluh 1 (a) dan 2 (b).

Rantai
serabut

Selubung
sklerenkim
(c)
(d )
metaxilem

Gambar 2 Sketsa pola ikatan pembuluh 3 (c) dan 4 (d).

Berat jenis sekeliling metaxilem, floem maupun


ruang antar sel sebagai sel sklerenkim.
Berdasarkan hasil analisis regresi, jenis
Pola ikatan pembuluh 3 maupun 4 relatif
bambu, posisi vertikal dan pola ikatan
memiliki kandungan sklerenkim yang
pembuluh tidak memberikan pengaruh
hampir sama walaupun memiliki jumlah
terhadap nilai berat jenis. Hal ini berarti
rantai serabut yang berbeda. Dalam
bahwa nilai berat bobot jenis tidak
perhitungan nilai BJ yang berpengaruh
dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut,
adalah sklerenkim sehingga diduga tidak
ada faktor-faktor lain yang diduga ikut
ada perbedaan yang mencolok dalam nilai
mempengaruhi nilai berat jenis. Berat
BJ antar kedua pola sehingga hasil analisis
jenis adalah salah sifat fisik kayu yang
dinyatakan tidak berpengaruh.
dihitung berdasarkan berat kering tanur sel
penyusun bambu. Dalam hal ini penyusun
Nilai keteguhan lentur (MOR)
batang bambu yang mempengaruhi nilai
BJ adalah kandungan serabut baik dalam Uji analisa keragaman untuk respon Y
diameter maupun ketebalan dindingnya berupa MOR memberikan hasil uji regresi
(Liese 1985, 1998). Dalam setiap pola, yang bersifat sangat nyata (koefisien
serabut yang berdinding tebal ada di determinasi 85,57%).

136 J. Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol. 8 No. 2 Juli 2010
Y  890, 72  802,890X1  499,381X2  464,166X3  249,155X4  533,11X5  439,613BJ

Jenis Bambu

Gambar 3 Nilai MOR untuk G. apus, D. asper, dan D. giganteus.

Variabel-variabel yang mempengaruhi terlihat bahwa pola 3 memiliki kandungan


nilai MOR adalah jenis bambu dan pola serabut 31,5%, sedangkan kandungan
ikatan pembuluh. Nilai MOR antara serabut pada pola 4 adalah 29,3%.
bambu D. giganteus, G. apus dan D. Sklerenkim adalah serabut berdinding
asper berbeda nyata dengan nilai MOR tebal yang berada mengelilingi metaxilem,
berturut-turut dari yang terendah ke yang floem, dan protoxilem/ruang antar sel.
tertinggi (Gambar 3), dengan beban Pola ikatan pembuluh 3 selain memiliki
maksimum yang paling tinggi adalah sklerenkim juga serabut dalam satu rantai
untuk bambu D. asper. Hal ini terjadi serabut. Seperti halnya pola ikatan
karena perbedaan struktur bambu terutama pembuluh 3, pola ikatan pembuluh 4 pun
adanya perbedaan penyebaran serabut selain memiliki sklerenkim juga serabut
yang berdinding tebal di antara ke-3 jenis yang berada pada 2 rantai serabut.
bambu. Apabila berasumsi bahwa luasan satu
rantai serabut itu sama maka kandungan
Hasil analisis keragaman pada variabel
sklerenkim lebih banyak berada pada pola
pola ternyata antara pola 3 dan 4
ikatan pembuluh 3. Dengan demikian
memberikan nilai MOR yang berbeda
diduga bahwa hal ini memberikan
nyata. Sifat-sifat mekanik bambu
kontribusi terhadap nilai MOR pola ikatan
tergantung pada BJ (Hisham et al. 2003)
pembuluh 3 lebih tinggi dibandingkan
terutama kandungan serabut (Liese 1985)
MOR pola ikatan pembuluh 4. Persentase
dan Espiloy (1988) secara khusus lebih
sklerenkim yang lebih tinggi dan
menekankan kepada frekuensi ikatan
penyebaran pola ikatan pembuluh akan
pembuluh. Ghavami et al. (2003b)
memberikan nilai-nilai kekuatan yang
menyatakan bahwa kekuatan bambu
tinggi pula karena dapat menahan beban
dipengaruhi oleh kandungan sklerenkim.
yang lebih tinggi secara merata (Lo et al.
Pengamatan terhadap nilai rata-rata
2008).
keseluruhan bambu yang berpola 3 dan 4

Korelasi antara Pola Ikatan Pembuluh dengan Sifat Fisis dan Mekanis Tiga Jenis Bambu 137
Nani Nuriyatin, Surjono Surjokusumo
Modulus elastisitas (MOE) kontribusi yang tinggi terhadap
fleksibilitas bambu. Informasi mengenai
Nilai modulus elastisitas tidak dipengaruhi
panjang serabut tidak muncul dalam
oleh jenis bambu, posisi vertikal, pola
bentuk pola ikatan pembuluh. Dengan
ikatan pembuluh dan BJ. Persamaan
demikian diduga hal ini yang
regresi yang terbentuk tidak bersifat nyata
menyebabkan pola ikatan pembuluh tidak
bahkan koefisien determinasinya pun
memberikan kontribusi terhadap nilai
bernilai kecil, yaitu sebesar 33,47% yang
MOE.
berarti bahwa hanya 33,47% variasi Y
yang dapat diterangkan oleh variabel X
Keteguhan tekan sejajar serat
sedangkan sisanya yaitu 66,53%
diterangkan oleh variabel lain selain X. Jenis bambu dan posisi vertikal dalam
Dengan demikian ada variabel lain yang batang berpengaruh terhadap keteguhan
berperan dan mempengaruhi nilai MOE. tekan sejajar serat, dengan kecenderungan
dari pengaruh terendah ke yang tertinggi
Hamdan et al. (2009) menyatakan bahwa adalah G. apus, D. giganteus dan D. asper
struktur anatomi mempengaruhi sangat (Gambar 4).
kuat pada sifat-sifat mekanik. Panjang
Persamaan regresi yang membentuk
serabut berkorelasi sangat kuat terhadap
nilai MOE (Liese 2003). Serabut tersusun hubungan antara keteguhan tekan (Y) dan
atas sejumlah lapisan/lamella dengan peubah X memberikan hasil yang bersifat
berbagai orientasi mikrofibril. Susunan sangat nyata dengan koefisien
2
sel serabut tersebut akan memberikan determinasi (R ) sebesar 79%.

Y = 3711,204-497,518X1+757,393X2-321,99X3-3631,46X4+894,204X5+524,266BJ

Jenis Bambu

Gambar 4 Posisi nilai keteguhan tekan sejajar serat 3 jenis bambu.

138 J. Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol. 8 No. 2 Juli 2010
Hasil pengamatan terhadap tampilan fisik permukaan penampang juga struktur
sampel uji keteguhan tekan ke-3 jenis bambunya sendiri. Ditinjau dari sudut BJ
bambu kondisi kering udara, G. apus nilainya tidak mendukung posisi yang ada
memiliki dinding batang yang paling tipis demikian pula ditinjau dari ketebalan
(kurang lebih 0,2 cm – 0,4 cm) dan luas dinding serabut dan kerapatan. Diduga
permukaan paling kecil serta memerlukan bahwa perbedaan struktur terjadi karena
tekanan maksimum yang paling rendah perbedaan kandungan dan distribusi
dibandingkan bambu-bambu lain. serabut pada penampang lintang bambu.
Sementara D. giganteus memiliki Hal ini diungkapkan pula oleh Shao et al.
ketebalan dinding batang kurang lebih (2010) yang menyatakan bahwa kekuatan
berkisar dari 0,4 cm – 0,6 cm dengan luas tekan dipengaruhi oleh kandungan serabut
permukaan paling besar dibandingkan dalam bambu. Pengamatan pada 2 jenis
bambu lain namun tekanan yang bambu khususnya D. asper dan D.
diperlukan sampai sampel uji rusak berada giganteus pada bagian tengah (nilai
diantara tekanan bambu D. asper dan G. keteguhan tekan pada bagian pangkal
apus. Pada D. asper meskipun ketebalan tidak sampai rusak) terlihat bahwa
dinding batangnya sekitar 0,5 cm dengan permukaan penampang lintang D. asper
luas permukaan lebih kecil dibandingkan memiliki penyebaran serabut yang lebih
D. giganteus namun memerlukan tekanan tinggi dimulai dari bagian tepi hingga ke
yang paling tinggi untuk sampai pada bagian dalam. Demikian juga pada
posisi sampel rusak sehingga nilai bagian ujung yang tampak bahwa persen
keteguhan tekannyapun paling tinggi jika serabut bambu D. asper lebih tinggi
dibandingkan diantara ke-3 jenis bambu. (Tabel 2).
Kuat dugaan bahwa yang menentukan
dalam keteguhan tekan selain luas

Tabel 2 Persentase serabut pada dua jenis bambu

Jenis bambu Posisi vertikal Posisi horizontal % Serabut


D. asper Tengah tepi 49,105
tengah 31,533
pusat 30,168
dalam 24,454
D. giganteus Tengah tepi 41,710
tengah/pusat 21,951
dalam 19,089
D. asper Ujung tepi
tengah 36,997
pusat 32,949
dalam
D. giganteus Ujung tepi 49,574
tengah/pusat 27,852
dalam 22,363

Korelasi antara Pola Ikatan Pembuluh dengan Sifat Fisis dan Mekanis Tiga Jenis Bambu 139
Nani Nuriyatin, Surjono Surjokusumo
Menurut Ghavami et al. (2003), daerah pangkal dan yang terkecil ada di bagian
pada pola ikatan pembuluh memiliki ujung. Hasil pengujian terhadap sampel
kerapatan yang lebih tinggi yaitu pada pada bagian pangkal bambu D. asper dan
sklerenkim, daerah ini mempengaruhi D. giganteus memberikan nilai keteguhan
kekuatan. Pernyataan yang sama juga tekan yang sangat tinggi sehingga tidak
dikemukakan Jansen (l981), yaitu sampai kepada kerusakan sampel uji
mengenai adanya perbedaan nilai karena khawatir terjadi kerusakan pada
keteguhan tekan lebih ke arah adanya alat penguji. Sementara nilai keteguhan
perbedaan persentase sklerenkim. tekan pada bagian tengah dan ujung relatif
Mohmod et al. (1992) menemukan adanya sama. Pengujian keteguhan pada sampel
korelasi positif antara ketebalan dinding uji versi lain akan memberikan hasil
sel dengan keteguhan tekan. Sklerenkim sebaliknya karena ukuran sampel uji
adalah serabut yang berdinding tebal dan dibuat tetap. Dengan demikian yang
umumnya berposisi sebagai selubung pada menjadi faktor pembatas dalam uji
rantai pembuluh pusat yang mengelilingi keteguhan tekan pada posisi vertikal
baik xilem maupun ruang antar sel. Dalam terutama karena ukuran penampang yang
penelitian ini tidak dihitung persentase berbeda sehingga luas permukaan akan
sklerenkim secara khusus namun berbeda pula. Adanya hasil yang sama
penekanan perhitungan ke arah persentase antara bagian tengah dan ujung diduga
serabut secara umum baik yang berposisi karena perbedaan luas penampang yang
selubung maupun dalam rantai serabut. relatif kecil karena umumnya perbedaan
ukuran yang cukup signifikan terjadi
Nilai keteguhan tekan pada posisi vertikal
antara bagian pangkal dengan bagian
memberikan pengaruh yang nyata,
tengah atau dengan bagian ujung.
sehingga berdasarkan uji Duncan terlihat
bahwa nilai keteguhan tekan bagian ujung
Keteguhan tarik
dan bagian tengah sama dan keduanya
berbeda nyata dengan nilai keteguhan Persamaan yang membentuk hubungan
tekan bagian pangkal. Tampilannya dapat regresi antara keteguhan tarik sebagai
diamati pada Gambar 5. variabel terikat (Y) dan variabel jenis,
Sampel uji keteguhan tekan pada posisi, pola dan BJ sebagai variabel X
penelitian ini diperoleh dari sampel uji (variable bebas) menghasilkan persamaan
berbentuk potongan bambu utuh seperti regresi yang bersifat sangat nyata dengan
silinder sehingga ukuran sampel uji R2 sebesar 64,13%.
terbesar adalah sampel pada bagian

140 J. Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol. 8 No. 2 Juli 2010
Y = 3352,537-1149,293X1+103,042X2-325,426X3-427,696X4-489,731X5-621,019BJ

Jenis Bambu

Gambar 5 Posisi nilai keteguhan tekan sejajar serat pada bagian batang bambu.

Jenis Bambu

Gambar 6 Posisi jenis bambu berdasar nilai keteguhan tarik.

Variabel jenis bambu memberikan Keteguhan tarik sejajar serat antara lain
pengaruh yang sangat nyata sedangkan sangat bergantung pada kekuatan serabut
posisi vertikal bambu dan pola ikatan (sifat kohesi) dan susunannya dalam kayu
pembuluh tidak memberikan kontribusi (Wangaard 1950). Sedangkan Janssen
pengaruh nyata. Bambu D. giganteus (1981) menyatakan bahwa kekuatan tarik
memiliki keteguhan tarik yang paling tergantung kepada persentase sklerenkim
rendah dan berbeda nyata jika yang dimiliki oleh bambu. Hal ini
dibandingkan dengan D. asper dan G. diperkuat pula oleh Wang et al. (2011)
apus sedangkan nilai keteguhan tarik G yang mengemukakan bahwa sklerenkim
apus sama dengan D. asper (Gambar 6). memberikan kontribusi dalam stabilitas

Korelasi antara Pola Ikatan Pembuluh dengan Sifat Fisis dan Mekanis Tiga Jenis Bambu 141
Nani Nuriyatin, Surjono Surjokusumo
kekuatan, sementara Lo et al. (2004) keteguhan tekan sejajar serat, dan
menyatakan bahwa kerapatan serabut keteguhan tarik. D. giganteus memiliki
dalam jaringan sklerenkim adalah sifat mekanis yang terendah terutama
indikator yang baik dalam pendugaan dalam nilai MOR dan keteguhan tarik.
kekuatan bambu. Sementara G. apus mempunyai nilai
keteguhan tekan yang terendah
Kesimpulan dibandingkan bambu yang lain.
Berdasarkan hasil pengujian ternyata nilai Hasil pengujian pada berbagai variabel
berat jenis (BJ) tidak dipengaruhi oleh yang mempengaruhi nilai sifat mekanis,
faktor-faktor yang diujikan sementara nilai pola ikatan pembuluh muncul sebagai
MOR secara bersama-sama dipengaruhi salah satu variabel yang berpengaruh
oleh faktor–faktor yang diujikan. Uji terhadap nilai MOR. MOR merupakan
analisa keragaman menyatakan bahwa salah kriteria yang dipersyaratkan dalam
faktor jenis bambu dan pola ikatan kelas kekuatan. Hal ini berarti bahwa
pembuluh memberikan pengaruh yang pola ikatan pembuluh dapat
berbeda nyata terhadap nilai MOR. D. dipertimbangkan sebagai variabel yang
asper memberikan kontribusi yang berperan dalam sifat mekanis.
terbesar terhadap nilai MOR (1004 kg cm-
2
) sedangkan kontribusi yang terkecil
Daftar Pustaka
diberikan oleh D. giganteus (505 kg cm-2).
Demikian pula pola ikatan pembuluh 3 [ASTM] American Society for Testing
memberikan kontribusi yang lebih tinggi and Materials. D 143-94. 2000.
terhadap nilai MOR (376 kg cm-2) Standard test methods for small clear
dibandingkan pola ikatan pembuluh 4 (910 specimens of timber. Philadelpia:
kg cm-2). ASTM Intl.
Nilai keteguhan lentur (MOE) tidak [BMTPC] Building Materials &
dipengaruhi oleh jenis bambu, posisi Technology Promotion Council. 2007.
vertikal, pola dan BJ pada bambu. Nilai The Technological base of the building
keteguhan tekan dipengaruhi oleh jenis materials industry bamboo in housing
bambu dan posisi vertikal. D. asper & building construction. India:
cenderung memberikan kontribusi yang Ministry of Housing and Urban
tertinggi terhadap nilai keteguhan tekan Proverty Alleviation, Government of
sejajar serat (2884 kg cm-2) dibandingkan India.
D. giganteus (2386 kg cm-2) dan G. apus Draper N, Smith H. 1992. Analisis
(2126 kg cm-2). Hasil uji yang berbeda Regresi Terapan. Ed ke-2. Jakarta:
ditunjukan oleh kekuatan keteguhan tarik PT Gramedia Pustaka Utama.
yang hanya dipengaruhi oleh jenis bambu
saja. D. asper memberikan kontribusi Erakhrumen AA, Ogunsawo OY. 2009.
yang tertinggi pada nilai keteguhan tarik Water absorption, anti-swell
(2340 kg cm-2) sedangkan D. giganteus efficiency, and dimensional stability
memberikan kontribusi yang terendah properties of neem seed-oil treated
(1190 kg cm-2). wild grown Bambusa vulgaris
Schrad.Ex J.C. Wendl. In Southwest
Di antara berbagai jenis bambu yang Nigeria. BioResources 4(4): 1417-
diujikan, D. asper memiliki sifat mekanis 1429.
yang tertinggi yaitu dalam nilai MOR,

142 J. Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol. 8 No. 2 Juli 2010
Espiloy ZB, Tesoro FO. 1988. Bamboo Species. XVII IUFRO World Congress.
Research in the Philippines. Di dalam: September 6 -17, 1981. Kyoto, Japan,
Rao R, Gnanaharan R, Sastry CB. hlm: 27-32.
Bamboos Current Research Janssen JJA. 1987. Bamboo research at
Proceeding International Bamboo the Eindhoven. Eidhoven: Eidhoven
Workshop, Nov. 14-18, 1988, Kerala University of Technology.
Forest Research Institute, Kerala,
India. Lybeerl B, Koch G. 2005. Lignin
distribution in the tropical bamboo
Ghavami K, Rodrigues CS, Paciornik S. spesies Gigantochloa levisia IAWA J
2003a. Bamboo: functionally graded 26(4): 443–456.
composite material. J Civ. Eng. 4 (1): 1-
10. Liese W. 1985. Anatomy and properties
Ghavami K, Allameh SM, Sanchez ML, of bamboo. Di dalam : Rao, A.N.,
Soboyejowo. 2003b. Multiscale study Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor.
of bamboo Phyllostachys edulis. Recent Research on Bamboo.
Departement of civil engineering, Rio Proceedings of the International
de Janeiro. Bamboo Workshop, Hangzholu,
People's Republic of China, Oct., 6-14,
Grosser D, Liese W. 1971. On the 1985. Academy of Forestry, People's
anatomy of Asian bamboos, with Republic of China & International
spesial reference to their vaskular ,Development Research Centre,
bundles. Wood Sci. Technol. 5: 290- Canada, hlm. 196-208.
312.
Liese W. 1998. The anatomy of bamboo
Hamdan H, Anwar UMK, Zaidon A, culms. INBAR Technology Report No
Tamizi MM. 2009. Mechanical 18.
properties and failure behavior of
Gigantochloa scortechinii. J Trop. Lo CL. 2004. The effect of fiber density
For. Sci. 21(4): 336-334. on strength capacity of bamboo.
Materials latter 58: 2595-2598.
Hisham N, Mohmod AL, Sulaiman O. 2003.
Variation of moisture content and specific Mohmod AL, Amin A, Kasim J, Jusuh
gravity of Gigantochloa scortechinii MZ. 1992. Effects of anatomical
Gamble along the internodes sixth Height. characteristics on the physical and
World Forestry Congress XII, Sept, mechanical properties of Bambusa
21-28, Quebec, Canada. blumeana. J Trop. For. Sci. 6(2):
159-170 159.
ISO/TC165N314. 1999, Determination
of physical and mechanical properties Nuriyatin N. 2000. Studi analisa sifat-
of bamboo. INBAR. sifat dasar bambu pada beberapa tujuan
penggunaan [tesis]. Bogor: Jurusan
Jansen JJA. 1981. The relationship
Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut
between the mechanical properties and
Pertanian Bogor.
the biological and chemical
composition of bamboo. Di dalam: Purwito. 2008. Standarisasi bambu
Higuchi T, editor. Bamboo Production sebagai bahan bangunan alternatif
and Utilization. Proceedings of the pengganti kayu. Prosiding PPI
Congress Group 5.3A. Production and Standardisasi, 25 November 2008.
Utilization of Bamboo and Related

Korelasi antara Pola Ikatan Pembuluh dengan Sifat Fisis dan Mekanis Tiga Jenis Bambu 143
Nani Nuriyatin, Surjono Surjokusumo
Shao ZP, Zhou L, Liu YM, Wu ZM, (Phyllostachys pubescens). J Trop.
Arnaud C. 2010. Differences in For. Sci. 22(1): 88-96.
structure and strength between Wangaard FF. 1950. The Mechanical
internode and node section of moso Properties of Wood. John Willey &
bamboo. J Trop. For. Sci. 22(2): 133- Sons, Inc. New York, Chapman &
138. Hill Limited London.
Surjokusumo HMS.1997. Pemanfaatan
bambu untuk bangunan. Dalam panel
diskusi bambu, 4 Desember 1997.
Wang XQ, Li XZ, Ren HQ. 2010. Riwayat naskah (article history)
Variation of microfibril angle and
density in Moso bamboo Naskah masuk (received): 27 November 2009
Diterima (accepted): 3 Maret 2010

144 J. Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol. 8 No. 2 Juli 2010

Anda mungkin juga menyukai