Anda di halaman 1dari 3

Nama: Kharisma Nurlaela Ramadhana

Kelas: HI.B

NIM: 0704138172230

RESUME TEORI POLITIK INTERNASIONAL

Teori Deterensi
Sarjana perang dingin menamainya Teori kegagalan pencegahan sekitar pasca-Munich. Apa itu
deterensi?, deterensi secara formal didefinisikan sebagai “penggunaan ancaman oleh satu pihak untuk
meyakinkan pihak lain agar menahan diri dari melakukan suatu tindakan”(Huth,1999,hlm 26). Didasarkan
pada level imtuitif deterensi bagaikan cara terbaik mengatasi tindakan bully di sekolah dengan cara
meyakinkan para siswa bahwa siswa lain punya keinginan, kekuatan dan siap membalas ketikamereka
merasa diganggu, dalam uraian contoh diatas kemampuan untuk membujuk/meyakinkan umumnya
disebut kredibilitas, yang intinya mencegah lawan menyerang karena takur pembalasan. Inilah contoh
penggunaaan teori Deterensi pasca ketika perang dunia II.
Dalam pemikiranny para ahli, Aliran pemikiran pertama memandanag bahwa karena setiap tindakan
agresif oleh musuh akan beresikio memicu respon nuklir, maka pemicu perang adalah keputusan yang tak
rasional. Perspektif ini menimbulkan perkembangan dari apa yang disebut pembalasan massif dalam
pemerintahan Einsenhower, sebagai strategi mencegah agresi terhadap Amerika Serikat, yang merupakan
bagian dari strategi New look Eisenhower pada 1950-an(king,2005), didalam aliran pemikiran pertama
muncul teori deterensi lansung serta deterensi yang diperluas.
Aliran pemikiran kedua dianggap lebih kontroversial, bahwa pemikiran ini berpendapat senjata
termonuklir tidak selalumerupakan senjata pemusnah dan menggangap senjata nuklir masih bisa
digunakan meskipun secara terbatas. Serta munculnya berbagai strategi perlawanan baru yakni;membidik
militer lawan sambal membatasi suplaisenjata untuk menghancurkan kota lawan.
Teori Deterensi muncul sebagai teori popular dan preskriptif dalam HI di era 1940-an dan 1950-an, salah
satu factor penyebab teori ini mulai dikenal adlalah kegunaannya yg cocok sekali pada kerangka perang
dingin. Ada pula yang berpendapat bahwa teori deterensi lebih menekankan pada distribusi structural
kemampuan militer, pendapat ini pun disetujui oleh para ahli yang berparadigma realis. Faktor terakhir
mengatakan teori ini sangat berhubungan secara sebangun dengan pendekatan pembuataan kebijakan yg
dianut oleh pemimpin politik dan militer Amerika yang merasa mendapat ancaman agresi Uni Soviet.
Deterrence secara harfiah adalah sebuah penangkisan, penolakan atau pencegahan, dalam hal
ini maksud Deterrence adalah merupakan suatu strategi untuk mencegah terjadinya perang
dengan cara ‘mengecilkan hati’ lawan (negara lain) yang mencoba menyerang. Tujuan utama
defender disini adalah meyakinkan kepada negara lain bahwa kerugian yang ditimbulkan
karena perang akan jauh melebihi keuntungan yang diharapkan. Hal ini biasanya diselesaikan
dengan ancaman balas dendam secara militer atau membalas inisiator jika melakukan sesuatu
yang tidak diinginkan. Lebih tepatnya defender harus menunjukkan komitmennya untuk
menghukum atau membalas dan kemampuannya untuk melakukan hal tersebut untuk
mendemonstrasikan credibility of the deterrence. Konsep deterrence biasa diasosiasikan
dengan kekuatan nuklir, tetapi penerapannya diperluas dalam berbagai situasi dimana salah
satu pihak mencoba untuk mencegah pihak lain untuk melakukan tindakan yang belum
dilakukan. Deterrence dapat pula digunakan dengan kekuatan untuk mencegah kelemahan dari
percobaan penggulingan suatu negara. Para ahli strategi mengidentifikasikan 4 macam
deterrence. Dua jenis pertama yaitu General dan Immediate, dilakukan sesuai dengan kerangka
waktu strategi. General deterrence adalah strategi jangka panjang yang dimaksudkan untuk
“mengecilkan hati dengan pertimbangan yang serius atas segala bentuk ancaman kepentingan
negara lain”. General deterrence berjalan setiap waktu, berusaha untuk mencegah negara lain
yang mencoba menyerang dengan berbagai cara militer karena konsekuensi yang diinginkan.
Immediate deterrence, sebaliknya, adalah suatu tanggapan terhadap yang ancaman yang jelas
dan tegas atas kepentingan negara. Ketika aggressor mulai menyerang general deterrence
dinyatakan gagal, tetapi immediate deterrence mungkin masih dapat dilakukan untuk
meyakinkan aggressor untuk menghentikan dan tidak melanjutkan serangan. Dua jenis
deterrence yang lain berhubungan dengan lingkup geografis dari strategi yang dimaksud.
Primary deterrence dimaksudkan untuk meminta negara lain untuk tidak menyerang wilayah
suatu negara, selain itu extended deterrence adalah “mengecilkan hati” negara lain untuk tidak
menyerang partner atau sekutu suatu negara. Syarat-syarat deterrence Terdapat tiga syarat
atau kondisi yang harus dipenuhi dalam konsep deterrence. Commitment, merupakan langkah
pertama dalam pelaksanaan deterrence, defending state harus memiliki komitmen untuk
membalas aggressor atau challenger ketika melakukan tindakan. Dalam kata lain defender
harus membuat batas dan memperingatkan aggressor bahwa dia akan ‘menderita’ bila
melewati atau melintasi batas tersebut. Komitmen tersebut harus jelas, tidak ambigu dan harus
dinyatakan sebelum aggressor melakukan agresi. Komitmen yang ambigu dapat mendatangkan
kerugian dari kepentingan aggressor dalam percobaan pemecahaan pertahanan. Deterrence
seringkali gagal karena defender tidak menunjukkan dengan baik komitmen untuk membalas
atau gagal dalam menetapkan tindakan pembalasan yang tepat dalam suatu kasus
penyerangan. Capability, komitmen yang jelas tidak akan berguna apabila negara tidak
mempunyai cara atau sarana untuk menunjukkannya, ketika deterrence berputar sekitar
menyakinkan aggressor bahwa kerugian dari tindakan tidak sebanding dengan keuntungannya,
defender harus menyakinkan pula bahwa dia juga memiliki kemampuan untuk membalas.
Sekalipun bila kemampuan deterrent negara lemah, dia tetap mencoba meyakinkan bahwa
kemampuan untuk membalas yang dimiliki lebih kuat. Credibility, suatu negara harus
menyakinkan aggressor tentang keputusan dan keinginannya untuk menunjukkan komitmennya
untuk menghukum atau membalas. Walaupun defender telah menyatakan komitmen dan
menunjukkan kemampuannya untuk membalas, deterrence masih mungkin mengalami
kegagalan jika aggressor meragukan keinginan defender mengambil resiko perang. Jelasnya,
komitmen untuk membalas harus persuasive supaya tidak terdengar ‘gertak sambal’. Pada
bagian lain keberhasilan defender bergantung pada reputasi perilaku dan image suatu negara.
Singkatnya, deterrence dapat mengalami kegagalan karena aggresor meragukan komitmen,
kemampuan dan kredibilitas defender untuk membalas aggressor. Bagaimanapun, teori
deterrence mengakui bahwa, defender harus dengan jelas menunjukkan komitmen serta
kredibilitasnya untuk mempertahankan kepentingan negaranya, di sisi lain aggressor harus
mengkalkulasikan juga keuntungan atau kerugian dari pembalasan (punishment), dalam hal ini
masih sangat rational bagi aggressor untuk menyerang. Dampak dan sumbangan teori
deterrence Bila diamati penerapan konsep deterrrence yang telah dilakukan oleh berbagai
negara seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, dapat dikatakan bahwa deterrence telah
memberikan dampak positif terhadap terciptanya keamanan nasional negara-negara tersebut
serta berperan besar dalam menciptakan keamanan dunia. Alasan yang dapat diajukan adalah
selama perang dingin tidak pernah terjadi perang terbuka (perang dalam arti sebenarnya)
antara AS maupun Uni Soviet. Kekuatan nuklir yang dimiliki oleh kedua negara tidak pernah
digunakan untuk saling menyerang, bahkan sampai hari ini. Karena masing-masing pihak
merasa bahwa tidak akan mendapatkan keuntungan (politis maupun militer) apapun juga,
sebaliknya akan sama-sama mengalami kehancuran jika persenjataan nuklir mereka digunakan
untuk saling menyerang. Jadi pada dasarnya kekuatan nuklir Amerika Serikat dan Uni Soviet
hanya sebagai alat untuk menciptakan efek psikologis yaitu masing-masing pihak takut untuk
melakukan first strike, sehingga tidak terjadi perang terbuka. Namun pada sisi lain banyak case
yang memperlihatkan bahwa deterrence tidak memberikan dampak positif bagi keamanan
nasional suatu negara dan keamanan dunia dan sebaliknya telah menyebabkan terjadinya
perang terbuka. Hal itu disebabkan oleh adanya sifat vulnerability (mudah diserang) yang tinggi
dalam penerapan konsep deterrence tersebut. Sifat vulnerability yang sering terjadi dalam
penerapan deterrence yaitu: • Adanya kesulitan untuk menentukan apakah deterrence yang
dilakukan berhasil atau gagal • Adanya kesalahan persepsi (misperception) terhadap tindakan
ataupun “signal” yang dikirimkan oleh salah satu pihak • Rasionalitas, menyangkut adanya
keterbatasan keterbatasan decision maker untuk mencapai rasionalitas yang terbaik karena
keterbatasan manusia untuk melakukan semua kalkulasi yang sangat banyak dan rumit.
Mengenai sumbangan yang diberikan terhadap pertahanan dan keamanan dunia dapat dilihat
dari berbagai kasus penerapan deterrence yang dilakukan banyak negara terutama AS dan Uni
Soviet yang tidak menyumbang secara positif terhadap keamanan nasional kedua negara
tersebut, terlebih bagi keamanan dunia. Keamanan dalam hal ini mencakup keamanan dari
rasa takut dan kecemasan dan tidak semata-mata hanya terhindar dari pecahnya perang
terbuka. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama Perang Dingin, masyarakat kedua negara berada
dalam kondisi psikologis yang penuh dengan rasa ketakutan dan kecemasan akan pecahnya
perang secara tiba-tiba. Selain itu deterrence yang dilakukan oleh AS dan Uni Soviet tidak
menciptakan keamanan serta perdamaian bagi dunia karena perdamaian yang tampak sifatnya
sangat artifisial. Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub Make
Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub

Anda mungkin juga menyukai