Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

GANGGUAN GINJAL AKUT

Disusun Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Ilmu Penyakit


Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Disusun Oleh :

Dian Permata (406147024)

Pembimbing :

dr. Wigati, Sp. PD

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM RS PELABUHAN JAKARTA

PERIODE 13 APRIL – 20 JUNI 2015

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA


HALAMAN PENGESAHAN

Penyusun : Dian Permata (406147024)


Perguruan Tinggi : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam
Periode : 13 April - 20 Juni 2015
Judul : Gangguan Ginjal Akut
Pembimbing : dr. Wigati, Sp. PD

Telah diperiksa dan disetujui tanggal :

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Mengetahui,
Pembimbing Referat

Dr. Wigati, Sp. PD


KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas kasih, karunia, dan rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul “Gangguan Ginjal Akut” dengan baik serta tepat pada
waktunya.
Adapun referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta periode 13 April – 20 Juni
2015 dan juga bertujuan untuk menambah informasi bagi Penulis dan
pembaca tentang gangguan ginjal akut.
Penulis sangat bersyukur atas terselesaikannya tugas ini. Hal ini
tidak terlepas dari dukungan serta keterlibatan berbagai pihak dan pada
kesempatan ini penulis ingin berterimakasih kepada :
1. Dr. Wigati, Sp. PD selaku pembimbing referat dan pembimbing
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Pelabuhan
Jakarta.
2. Dr. Luthfi Saad, Sp. PD selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta.
3. Dr. Suzanna Ndraha, Sp. PD, KGEH, FINASIM selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Pelabuhan
Jakarta.
4. Dokter, staf, dan perawat Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta.
5. Rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Kepaniteraan
Klinik Ilmu Bedah di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, Penulis mengucapkan terima
kasih dan semoga referat ini dapat memberikan manfaat.

Jakarta, 3 Juni 2015


Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat diartikan
sebagai penurunan cepat dan tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal.
Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau
azotemia (peningkatan konsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah
cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang
menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin.

Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit didapatkan


karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa
insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan
insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria
diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis
(Lameire, 2006; Waikar, 2006). Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens
yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang
dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia
berkisar 25% hingga 80%.

AKI telah menarik perhatian dengan adanya pengakuan bahwa perubahan


kecil dalam fungsi ginjal mungkin memiliki efek yang serius dalam diagnosa
akhir. Meskipun kemajuan dalam diagnosis dan staging AKI dengan emergensi
biomarker menginformasikan kepada kita tentang mekanisme dan jalur dari AKI,
tetapi kita belum bisa tahu bagaimana AKI berkontribusi terhadap peningkatan
mortalitas dan morbiditas pada pasien rawat inap. Perkembangan deteksi dini
dan manajemen AKI telah sangat ditingkatkan melalui pengembangan definisi
universal dan spektrum staging. Cedera AKI berubah dari bentuk kurang parah
menjadi staging severe injury, dimana gagal ginjal akut mungkin memerlukan
terapi pengganti ginjal.

Gangguan Ginjal Akut Berat (GGA – Acute Kidney Injury – AKI) yang
memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas tinggi melebihi 50%. Nilai ini sangat
tinggi apabila disertai dengan kegagalan multi organ. Walaupun terdapat
perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum banyak
berkurang karena penyakit dasar yang berat seperti trauma, sepsis, usia pasien
makin tua dan pasien tersebut juga menderita penyakit kronik lainnya.

Adanya pasien yang sembuh atau membaik dari penurunan fungsi ginjal
yang mendadak menunjukkan terdapat derajat dari GGA dari ringan sampai
berat. GGA dapat terjadi oleh bermacam sebab. Perbedaan geografis juga dapat
menentukan sebab dari GGA misalnya dinegara maju GGA terjadi pada orang tua
terutama pada usia lanjut sedangkan di negara berkembang lebih kerap timbul
pada usia muda dan anak-anak misalnya karena karena malaria dan
gastroenteritis akut.

Perubahan istilah GGA –AKI menyebabkan :

1. Makna perubahan nilai serum kreatinin yang sedikit meninggi dapat


menyebabkan kondisi yang lebih berat.
2. Istilah gangguan (injury) lebih tepat dalam memberikan pengertian
patofisiologi penyakit daripada istilah gagal (failure).
3. Dipahami adanya tahap-tahap dari GGA.

Tabel 1. Klasifikasi RIFLE


Kategori RIFLE Kriteria Kreatinin Kriteria UO
Serum
(A) The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the definition and
classification of AKI (i.e RIFLE criteria)
Risk Kenaikan kreatinin serum < 0.5 mL/kg/jam for ≥
≥ 1.5x nilai dasar atau 6/jam
penurunan GFR ≥ 25%
Injury Kenaikan kreatinin serum <0.5 mL/kg/ jam atau ≥
≥ 2.0x 5x nilai daar atau 12/jam
penurunan GFR ≥50%
Failure 5x nilai dasar atau <0.3 mL/kg/ jam ≥ 24
penurunan GFR ≥ 75% or jam
an
Nilai absolut kreatinin Anuria ≥ 12 jam
serum ≥4 mg dengan
peningkatan mendadak
minimal 0.5 mg
AKIN criteria Kriteria kreatinin serum Kriteria UO

Tabel 2. Klasifikasi AKIN


Tahap Kriteria Kreatinin Kriteria Produksi Urin
Serum
1 Kenaikan kreatinin serum < 0.5 ml/kg/jam selama
≥ 0.3 mg/dL [≥ 26.4 > 6 jam
ɲmol/l atau kenaikan ≥
150% - 200% (1.5-2 x
lipat) dari nilai dasar ]
2 Kenaikan kreatinin serum < 0.5 ml/kg per jam
> 200% - 300% (< 2 – 3x selama > 12 jam
lipat) dari nilai dasar
3 Kenaikan kreatinin serum < 0.3 ml/kg/jam selama
> 300% (>3x lipat) dari > 24 jam atau anuria 12
nilai dasar (or serum jam
creatinine of more than
or equal to 4.0 mg/dL
[≥354 ɲmol/l] with an
acute increase of at least
0.5 mg/dL [44ɲmol/l])

Klasifikasi ini menilai tahap GGA dari nilai kreatinin serum dan diureis.
Kemudian ada upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk
mempertajam kriteria RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih awal.
Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan waktu 48 jam. Disadari
bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks, sehingga perlu suatu standar
baku untuk penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan bedasarkan kriteria
RIFLE. Atas sistem ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap awal, walaupun


belum cukup untuk perbaikan prognsis dibandingkan dengan kriteria RIFLE.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi GGA

Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan


kadar kreatinin serum > 0.3 mg/dl (≥ 26.4 ɲmo/l), presentasi kenaikan kreatinin
serum ≥ 50% (1.5 x kenaikan nilai dasar), atau pengurangan produksi urin
(oliguria yang tercatat ≤ 0.5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam).

Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun nilai presentasi dari
perubahan kreatinin untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur,
gender, indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai
basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2x pengukuran dalam 48 jam.
Produksi air seni dimasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif dan
mudah diukur. Kriteria di atas harus memperhatikan adanya obstruksi saluran
kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan
berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan cukup.

Perjalanan GGA dapat :

1. Sembuh sempurna
2. Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap 1-4)
3. Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK / CKD tahap 1-4
4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5) hal ini dapat dilihat di gambar
berikut.

II.2 EPIDEMIOLOGI
Acute Kidney Injury lebih sering terjadi tetapi insidennya tergantung dari
defenisi yang digunakan dan dalam penelitian populasi. Dalam suatu penelitian
di Amerika, terdapat 172 kasus acute kidney injury (konsentrasi serum kreatinin
lebih dari 500 mikromol/L) dalam per juta orang dewasa setiap tahun, dengan 22
kasus per juta yang mendapat dialisis akut. AKI lebih sering terjadi pada umur
tua. AKI prerenal dan nekrosis tubular akut iskemik terjadi bersamaan sekitar
75% pada kasus AKI.

II.3 ANATOMI

3.1 Makroskopis

Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium


(retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar
(transversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati
dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga
disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga
L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal
2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal
kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150
gram.

Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke


dalam. Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari
ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal
wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan ginjal kiri
untuk memberi tempat lobus hepatis dextra yang besar. Ginjal dipertahankan
dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus
oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu
meredam guncangan.

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa,
terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla
renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex.
Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramid renalis, puncak kerucut
tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla
renalis.

Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu


masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis
berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi
dua atau tiga kaliks renalis major yang masing-masing akan bercabang menjadi
dua atau tiga kaliks renalis minor. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang
disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan
tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau
apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari
kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul.

3.2 Mikroskopis

Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta
buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri
dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal,
lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus
pengumpul.

Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai
saringan disebut glomerulus. Darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan
disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-
kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut
tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran ureter, kandung kencing, kemudian
ke luar melalui uretra. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut
(terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa
cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan
menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir
yang kemudian diekskresikan disebut urin.

3.3 Vaskularisasi ginjal

Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi


vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena cava inferior
yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam
hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara
piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola
interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini
kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus.

Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang


membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler
peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam
jalinan vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena
interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior. Ginjal
dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume yang sama dengan 20-
25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk ke ginjal
berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran
darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen
mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai
respon terhadap perubahan tekanan darah arteri dengan demikian
mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan.

3.4 Persarafan pada ginjal

Menurut Price (1995) “Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis


(vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk
kedalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang
masuk ke ginjal”.
II.4 FISIOLOGI

Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat


banyak. Tugasnya memang pada dasarnya adalah “menyaring/membersihkan”
darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah
tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke
tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam tubulus sehingga akhirnya keluar dari
ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.

Fungsi ginjal adalah

a. Memegang peranan penting dalam pengeluran zat-zat toksin atau racun


b. Mempertahankan keseimbangan cairan tubuh
c. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh
d. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin
dan amoniak
e. Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang
f. Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah
g. Produksi hormon erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah
merah

Tahap Pembentukan Urine :

1. Filtrasi Glomerular

Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti


kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel
terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan
larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa
nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari
curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau
sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal
dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan
masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari
perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula
bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah
filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula
bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas
dinding kapiler.

2. Reabsorpsi
Zat-zat yabg difiltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit, dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorbsi selektif
zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah di filtrasi.

3. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfer aktif molekul-molekul dari aliran darah
melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi
secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara
alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion
hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga
telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan
ini, setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi
dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada
konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium).
II.5 Etiologi dan Klasifikasi Gagal Ginjal

Dahulu AKI dikategorikan sebagai anurik, oligurik, dan nonoligurik. Namun


penggolongan yang lebih praktis kini didasarkan pada lokasi yang menunjukkan
lokasi abnormalitas, yaitu pra-renal, renal/intrinsik, dan post-renal/ pasca renal.
AKI pra-renal (gagal ginjal sirkulatorik) disebabkan oleh sebab-sebab sistemik
seperti dehidrasi berat, perdarahan masif, dimana kedaan-keadaan ini sangat
menurunkan aliran darah ke ginjal dan tekanan perfusi kapiler glomerulus yang
mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR). AKI renal (gagal ginjal
intrinsik) terjadi apabila ada jejas pada parenkim ginjal, sebagai contoh
glomerulonefritis akut (GNA) atau nekrosis tubular akut (ATN).
AKI pascarenal disebabkan oleh uropati obstruktif akut. Riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratoris dapat mengklasifikasi serta
mendiagnos AKI.

Penyebab pre-renal adalah hipoperfusi ginjal, ini disebabkan oleh :


1. Hipovolemia, penyebab hipovolemi misalnya pada perdarahan, luka bakar,
diare, asupan kurang, pemakaian diuretik yang berlebihan. Kurang lebih
sekitar 3% neonatus masuk di ICU akibat gagal ginjal prerenal.
2. Penurunan curah jantung pada gagal jantung kongestif, infark miokardium,
tamponade jantung, dan emboli paru.
3. Vasodilatasi perifer terjadi pada syok septic, anafilaksis dan cedera, dan
pemberian obat antihipertensi.
4. Gangguan pada pembuluh darah ginjal, terjadi pada proses pembedahan,
penggunaan obat anestesi, obat penghambat prostaglandin, sindrom
hepato-renal, obstruksi pembuluh darah ginjal, disebabkan karena adanya
stenosis arteri ginjal,embolisme, trombosis, dan vaskulitis.
5. Pada wanita hamil disebabkan oleh sindrom HELLP, perlengketan plasenta
dan perdarahan postpartum yang biasanya terjadi pada trimester 3.

Penyebab gagal ginjal pada renal (gagal ginjal intrinsik) dibagi antara lain :
1. Kelainan pembuluh darah ginjal, terjadi pada hipertensi maligna, emboli
kolesterol, vaskulitis, purpura, trombositopenia trombotik, sindrom uremia
hemolitik, krisis ginjal, scleroderma, dan toksemia kehamilan.
2. Penyakit pada glomerolus, terjadi pada pascainfeksi akut,
glomerulonefritis, proliferatif difus dan progresif, lupus eritematosus
sistemik, endokarditis infektif, sindrom Goodpasture, dan vaskulitis.
3. Nekrosis tubulus akut akibat iskemia, zat nefrotksik (aminoglikosida,
sefalosporin, siklosporin, amfoterisin B, aziklovir, pentamidin, obat
kemoterapi, zat warna kontras radiografik, logam berat, hidrokarbon,
anaestetik), rabdomiolisis dengan mioglobulinuria, hemolisis dengan
hemoglobulinuria, hiperkalsemia, protein mieloma, nefropati rantai ringan,
4. Penyakit interstisial pada nefritis interstisial alergi (antibiotika, diuretic,
allopurinol, rifampin, fenitoin, simetidin, NSAID), infeksi (stafilokokus,
bakteri gram negatif, leptospirosis, bruselosis, virus, jamur, basil tahan
asam) dan penyakit infiltratif (leukemia, limfoma, sarkoidosis).

Penyebab gagal ginjal post-renal dibagi menjadi dua yaitu terjadinya :


1. Sumbatan ureter yang terjadi pada fibrosis atau tumor retroperitoneal,
striktura bilateral pascaoperasi atau radiasi, batu ureter bilateral, nekrosis
papiler lateral, dan bola jamur bilateral.
2. Sumbatan uretra, hipertrofi prostate benigna, kanker prostat, striktura
ureter, kanker kandung kemih, kanker serviks, dan kandung kemih
“neurogenik”.
Klasifikasi

Berdasarkan jumlah produksi urin, dibedakan 3 fase:

1. Fase anuria: produksi urin < 100 ml/24 jam.

2. Fase oliguria: produksi urin < 400 ml/24 jam

3. Fase poliuria: produksi urin > 3500 ml/24 jam.

(8)
Berdasarkan derajat beratnya penyakit yang timbul, diklasifikasikan menjadi:
 GGA simpel/tanpa komplikasi (uncomplicated ARF): Tidak dijumpai adanya
penyakit penyerta ( komorbiditas ) dan juga tidak terdapat komplikasi.
Angka kematian pada tipe ini berkisar antara 7- 23%.
 GGA berat (complicated ARF): Pasien umumnya dirawat di unit perawatan
intensif karena mengalami penyulit seperti sepsis, perdarahan,
penurunan kesadaran, dan gagal napas. Angka kematian sangat tinggi,
mencapai 50–80% .

Tabel 3. Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group
Kriteria laju filtrasi glomerulus Kriteria jumlah urine
Risk Peningkatan serum kreatinin 1,5 kali < 0,5 ml/kg/jam selama
Injury Peningkatan serum kreatinin 2 kali 6 jam
Failure Peningkatan serum kreatinin 3 kali
atau < 0,5 ml/kg/jam selama
Loss kreatinin 355 μmol/l 12 jam
Gagal ginjal akut persisten, kerusakan < 0,5 ml/kg/jam selama
ESRD total 24 jam
fungsi ginjal selama lebih dari 4 atau anuria selama 12
minggu jam
Gagal ginjal terminal lebih dari 3 bulan

Faktor Resiko

Gagal ginjal akut hampir selalu terjadi sehubungan dengan kondisi medis lain
atau keadaan lainnya. Kondisi yang dapat meningkatkan risiko gagal ginjal akut
antara lain :

 Dirawat di rumah sakit, terutama untuk kondisi serius yang memerlukan


perawatan intensif

 usia lanjut

 Penyumbatan pada pembuluh darah di lengan atau kaki (penyakit arteri


perifer)

 diabetes

 Tekanan darah tinggi

 gagal jantung

 penyakit-penyakit ginjal

 penyakit hati
II.6 Patofisiolgi

Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Setiap nefron terdiri
dari kapsula Bowman yang mengitari kapiler glomerolus, tubulus kontortus
proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri
ke duktus pengumpul.
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus
relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua
mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini adalah :
 Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen
 Timbal balik tubuloglomerular
Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat
mempengaruhi autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan
oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan
darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya
mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim rennin-angiotensin serta merangsang
pelepasan vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang merupakan mekanisme
tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi
serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol
afferent yang dipengaruhi oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide
(NO), serta vasokonstriksi arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh
angiotensin-II dan ET-1.
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg)
serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi
tersebut akan terganggu dimana arteriol afferent mengalami vasokonstriksi,
terjadi kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan
ini disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum terjadi
kerusakan struktural dari ginjal.
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis
intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh
berbagai macam obat seperti ACEI, NSAID terutama pada pasien – pasien
berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat
terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi,
hipotensi, penggunaan diuretic, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu diingat
bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan – keadaan yang merupakan
resiko GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit
renovaskuler), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. Sebuah
penelitian terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal akan terjadi 24
jam setelah ditutupnya arteri renalis.
Pada gagal ginjal renal terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan
nekrosis tubular akut. Dimana pada NTA terjadi kelainan vascular dan tubular
Pada kelainan vaskuler terjadi :
1. peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang
menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan
gangguan otoregulasi.
2. terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel
vaskular ginjal, yang mngakibatkan peningkatan A-II dan ET-1 serta
penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitric oxide yang bearasal dari
endotelial NO-sintase.
3. peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan interleukin-
18, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion
molecule-1 dan P-selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan
sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan
radikal bebas oksigen. Kesuluruhan proses di atas secara bersama-sama
menyebabkan vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan
GFR.
Gambar 1. Patofisiologi gagal ginjal akut di renal

Pada kelainan tubular terjadi :


1) Peningkatan Ca2+, yang menyebabkan peningkatan calpain sitosolik
phospholipase A2 serta kerusakan actin, yang akan menyebabkan kerusakan
sitoskeleton. Keadaan ini akan mengakibatkan penurunan basolateral Na+/K+-
ATP ase yang selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi natrium di
tubulus proximalis serta terjadi pelepasan NaCl ke maculadensa. Hal tersebut
mengakibatkan peningkatan umpan tubuloglomeruler.
2) Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO syntase, caspases dan
metalloproteinase serta defisiensi heat shock protein akan menyebabkan
nekrosis dan apoptosis sel.
3) obstruksi tubulus, mikrofili tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris
seluler akan membentuk substrat yang menyumbat tubulus, dalam hal ini pada
thick assending limb diproduksi Tamm-Horsfall protein (THP) yang disekresikan
ke dalam tubulus dalam bentuk monomer yang kemudian berubah menjadi
polimer yang akan membentuk materi berupa gel dengan adanya natrium yang
konsentrasinya meningkat pada tubulus distalis. Gel polimerik THP bersama sel
epitel tubulus yang terlepas baik sel yang sehat, nekrotik maupun yang
apoptopik, mikrofili dan matriks ekstraseluler seperti fibronektin akan
membentuk silinder-silinder yang menyebabkan obstruksi tubulus ginjal.
4) kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali dari cairan
intratubuler masuk ke dalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan proses tersebut di
atas secara bersama-sama yang akan menyebabkan penurunan GFR.
Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan
GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal.
Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide)
dan protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada
pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik
( keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih
(batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). GGA post-
renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter
bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak
berfungsi(12).
Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan
aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini
disebabkan oleh prostaglandin-E2. Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi
penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh tromboxane-A2
dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai
menetap. Fase ke-3 atau fase kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang makin
menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa
minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2
minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran
mediator inflamasi dan faktorfaktor pertumbuhan yang menyebabkan fibrosis
interstisial ginjal(12,13).
Gambar 2. Batu pada ginjal

II.7 Gejala Klinis

Gejala klinis yang sering timbul pada gagal ginjal akut adalah jumlah
volume urine berkurang dalam bentuk oligouri bila produksi urine > 40 ml/hari,
anuri bila produksi urin < 50 ml/hari, jumlah urine > 1000 ml/hari tetapi
kemampuan konsentrasi terganggu, dalam keadaan ini disebut high output renal
failure. Gejala lain yang timbul adalah uremia dimana BUN di atas 40 mmol/l,
edema paru terjadi pada penderita yang mendapat terapi cairan, asidosis
metabolik dengan manifestasi takipnea dan gejala klinik lain tergantung dari
faktor penyebabnya(1,14).

II. 8 Diagnosis

Anamnesa

Pada AKI perlu diperhatikan banyaknya asupan cairan (input), kehilangan c


airan (output) melalui urin, muntah, diare, keringat yang berlebihan serta
pencatatan berat badan pasien. Perlu diperhatikan kemungkinan kehilangan
cairan ke ekstravaskuler (redistribusi) seperti pada peritonitis, asites, ileus
paralitik, edema anasarka atau trauma luas (kerusakan otot atau crush
syndrome). Riwayat penyakit jantung, gangguan hemodinamik, adanya penyakit
sirosis hati, hipoalbuminemia, alergi yang mengakibatkan penurunan volume
efektif perlu selalu ditanyakan.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan kesadaran menurun sampai koma


bila AKI telah berlangsung lama. Pasien umumnya menunjukkan pernafasan
yang cepat dan dalam (Kussmaul) karena adanya asidosis metabolik. Pada
pasien AKI berat dapat ditemukan sesak nafas yang hebat karena menderita
gagal jantung atau edema paru. Hipertensi sering ditemukan akibat adanya
overload cairan. Tanda-tanda dehidrasi perlu dicari karena merupakan penyebab
AKI prarenal. Bila ada pasien ditemukan oliguria, takikardia, mulut kering,
hipotensi ortostatik kemungkinan menyebabkan AKI prarenal. Pada pemeriksaan
fisik perlu dicari tanda-tanda penyakit sistemik multiorgan seperti lupus
eritematosus sistemik yaitu dengan memeriksa kulit, sendi, kelenjar getah
bening. Pembesaran ginjal dapat ditemukan bila penyebabnya ginjal polikistik
atau multikistik displastik atau hidronefrosis (uropati obstruktif). Retensi urin
dengan gejala vesika urinaria yang teraba membesar menunjukkan adanya
sumbatan dibawah vesika urinaria, pemasangan kateter untuk memonitor
jumlah urine yang keluar selama pemberian terapi cairan.

Ada 3 hal penting yang harus di dapatkan pada pemeriksaan fisik pasien dengan
AKI:

1. penentuan status volume sirkulasi

2. apakah ada tanda-tanda obstruksi saluran kemih

3. adakah tanda-tanda penyakit sistemik yang mungkin menyebabkan gagal


ginjal

Tanda Klinis Deplesi Cairan :

1. tekanan vena jugular rendah

2. hipotensi; tekanan darah turun lebih dari 10 mmHg pada perubahan posisi
(baring-duduk)

3. vena perifer kolaps dan perifer teraba dingin (hidung, jari-jari tangan, kaki)

Tanda Klinis Kelebihan Cairan :


1. tekanan vena jugularis tinggi

2. terdengar suara gallop

3. hipertensi, edema perifer, pembengkakan hati, ronki di paru

Pada pemeriksaan fisik perlu di lakukan palpasi, perkusi daerah suprasifisis


mencari adanya pembesaran kandung kemih, yang kemudian konfirmasi dengan
pemasangan kateter.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium harus mencakup elektrolit serum, BUN,


kreatinin serum, kalsium, fosfor, dan asam urat. Bila perlu lakukan biopsy ginjal
sebelum terapi akut dilakukan pada pasien dengan GGA yang etiologinya tidak
diketahui. Angiografi (pemeriksaan rontgen pada arteri dan vena) dilakukan jika
diduga penyebabnya adalah penyumbatan pembuluh darah. Pemeriksaan
lainnya yang bisa membantu adalah CT scan dan MRI. Jika pemeriksaan tersebut
tidak dapat menunjukkan penyebab dari gagal ginjal akut, maka dilakukan biopsi
(pengambilan jaringan untuk pemeriksaan mikroskopis) misalnya pada nekrosis
tubular akut. Perlu diingat pada Angiografi,dengan menggunakan medium
kontras dapat menimbulkan komplikasi klinis yang ditandai dengan peningkatan
absolute konsentrasi kreatinin serum setidaknya 0,5 mg/dl (44,2 μmol/l) atau
dengan peningkatan relative setidaknya 25 % dari nilai dasar.

1. Prerenal : Tanda vital, tanda perdarahan atau dehidrasi

2. Renal : Periksa urinalisis (silinder eritrosit, silinder leukosit, dismorfik eritrosit)

3. Postrenal : USG

II.9 Penatalaksanaan

Tujuan utama dari pengelolaan GGA adalah mencegah terjadinya


kerusakan ginjal, mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah
komplikasi metabolik dan infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup
sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Penatalaksanaan gagal ginjal
meliputi, perbaikan faktor prerenal dan post renal, evaluasi pengobatan yang
telah doberikan pada pasien, mengoptimalkan curah jantung dan aliran darah ke
ginjal, mengevaluasi jumlah urin, mengobati komplikasi akut pada gagal ginjal,
asupan nutrisi yang kuat, atasi infeksi, perawatan menyeluruh yang baik,
memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi, dan pemberian obat sesuai
dengan GFR.
Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan
utama hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi.
Sampai saat ini, tidak ada terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal
karena iskemia atau nefrotoksisitas. Manajemen gangguan ini harus fokus pada
penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau toksin, menghindari
penghinaan tambahan, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi.
Pengobatan khusus dari penyebab lain dari AKI renal tergantung pada patologi
yang mendasari.

1) AKI Prarenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat
hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang.
Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi dengan packed red cells,
sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang sesuai untuk ringan sampai
sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan
kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun
biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya
direkomendasikan sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal
akibat meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun
salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi berikutnya
harus didasarkan pada pengukuran volume dan isi ionik cairan yang
diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus dimonitor dengan hati-
hati. Gagal jantung mungkin memerlukan manajemen yang agresif dengan
inotropik positif, preload dan afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan
alat bantu mekanis seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik
invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi pada pasien
yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit.
2) AKI intrinsic renal
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau
vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan / atau
plasmapheresis, tergantung pada patologi primer. Glukokortikoid juga
mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial nefritis alergi. Kontrol
agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam membatasi cedera
ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit
pembuluh darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif
terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE
3) AKI postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara
nephrologist, urologi, dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandung
kemih biasanya dikelola awalnya oleh penempatan transurethral atau suprapubik
dari kateter kandung kemih, yang memberikan bantuan sementara sedangkan
lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati secara definitif. Demikian pula,
obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis
ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat diterapi perkutan
(misalnya, kalkulus, sloughed papilla) atau dilewati oleh penyisipan stent ureter
(misalnya, karsinoma). Kebanyakan pasien mengalami diuresis yang tepat
selama beberapa hari setelah relief obstruksi. Sekitar 5% dari pasien
mengembangkan sindrom garam-wasting sementara yang mungkin memerlukan
pemberian natrium intravena untuk menjaga tekanan darah.

Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi
(kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana opti-
mal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya.
Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia,
terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan
meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan
pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin.4,17 Selama tahap poliuria
(tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami
defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan
keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi
cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur
secara serial, serta elektrolit urin dan serum.

1. Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya
dan kondisi komorbid yang dijumpai. Se- buah sistem klasifikasi pemberian
nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005.

Tabel 3. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi pada pasien AKI

Manajemen nutrisi untuk AKI tidak jauh berbeda untuk pasien sakit kritis,
tetapi lebih rumit karena rejimen tersebut harus dirancang dengan tetap melihat
perubahan kompleks dalam sisa metabolisme dan nutrisi yang terjadi dengan
hilangnya fungsi ginjal akut. Selain dukungan nutrisi harus dikoordinasikan
dengan terapi pengganti ginjal (RRT). Masalah utama dalam pengelolaan AKI
adalah retensi air dan produk dari Asam Amino karena gangguan fungsi ekskresi
yang membatasi pemberian cairan dan elektrolit.

Tujuan utama terapi nutrisi tidak semata-mata untuk menggantikan


kebutuhan gizi makro dan mikro, tetapi dukungan nutrisi adalah dukungan
kualitatif dari intervensi metabolik yang bertujuan untuk memodulasi keadaan
inflamasi, memperbaiki kebutuhan oksigen sistem radikal, dan memperbaiki
Imunokompetensi. Tergantung pada tingkat keparahan penyakit, kebutuhan
nutrisi dapat bervariasi antara pasien dan fase penyakit kritis.

Tabel 4. Kebutuhan nutrisi pada pasien AKI


2. Terapi Farmakologis

Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah


digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya
bersifat kontoversial. Obat- obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan
dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal
sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai
penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik
dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi
yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai
upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi
kebutuhan dialisis. Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak
menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI (menurunkan mortalitas,
kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap),
bahkan peng- gunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas
(RR=3,97; CI: 1,00-15,78). Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas
dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan
tubuh.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada peng- gunaan diuretik sebagai
bagian dari tata laksana AKI adalah:

 Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak


dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP
atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc
dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi
terlebih dahulu.
 Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada
AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI
tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).

Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat
tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250
mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler.
Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus
dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan
dapat menyebabkan toksisitas.

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler


sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap
oligouria. Namun kegu- naan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat
menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik,
menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek
negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4
jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin,
pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien.

Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan


dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di
ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah
ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh
terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara
dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga
sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume
pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus,
aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia
nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam
penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,
takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap
hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan
respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar
menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap
dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai
indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal.17,24,25 Obat-
obatan lain seperti agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian
lanjut dengan uji klinis multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana
AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI.

Terapi Pengganti Ginjal ( RRT )

Dengan adanya komplikasi AKI seperti misalnya hipervolemia, edema paru


akut atau keseimbangan cairan besar kumulatif positif, hiperkalemia, asidosis
metabolik (pH kurang dari 7,1) dan gejala uremik (mual dan muntah persisten,
peri-karditis, neuropati, atau tidak jelas penyebabnya penurunan status mental)
dialisis harus dipertimbangkan sebagai terapi andalan. Modalitas RRT termasuk
hemodialisis intermiten (IHD), terapi pengganti ginjal berkelanjutan (CRRTs), dan
terapi hybrid, seperti berkelanjutan rendah efisiensi dialisis (SLED). Meskipun
teknik ini bervariasi, angka kematian pada pasien dengan AKI tetap lebih besar
dari 50% pada pasien sakit berat. Ada kemungkinan bahwa variasi dalam waktu
inisiasi, modalitas, dan / atau dosis dari RRT dapat mempengaruhi hasil klinis,
khususnya kelangsungan hidup.

Beberapa indikasi utama untuk melakukan terapi pengganti Ginjal adalah


sebagai berikut :

 Fluid overload
 Metabolic acidosis
 Oliguria (urine output <200 mL/12 h)
 Anuria /extreme oliguria (urine output <50 mL/12 h)
 Hyperkalemia ([K] >6.5 mEq/L)
 Clinically significant organ (especially pulmonary) edema
 Uremic encephalopathy
 Uremic pericarditis
 Uremic neuropathy/myopathy
 Severe dysnatremia ([Na] <115 or >160 mEq/L)
 Hyperthermia
 Drug overdose with filterable toxin (lithium, vancomycin, procainamide, etc)
 Imminent or ongoing massive blood product administration

Pertimbangan utama ketika memulai pasien dengan AKI pada dialisis


adalah sebagai berikut: 1) waktu inisiasi dialisis, 2) modalitas dialisis, dan 3)
dosis dialisis.

1) Waktu Inisiasi Dialisi

Baru-baru ini, penelitian telah mengevaluasi hubungan antara waktu


inisiasi CRRT dan hasil klinis. Dalam sebuah penelitian retrospektif dari unit
trauma tunggal, pasien dicirikan sebagai "awal" atau "akhir" permulaan,
berdasarkan BUN kurang dari atau lebih besar dari 60 mg / dL, sebelum memulai
CRRT. Kelangsungan hidup adalah 39% pada permulaan awal dibandingkan
dengan 20% pada permulaan akhir (P = 0,041) . Dua analisis pasien AKI setelah
operasi jantung menunjukkan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi pada
pasien yang terus menerus menggunakan hemofiltration venous - vena (CVVH)
dimulai sebagai respon terhadap urin output kurang dari 100 mL dalam waktu
delapan jam berturut-turut setelah operasi meskipun tanpa pemberian diuretik,
dibandingkan dengan pasien dengan terapi ditahan dengan kriteria laboratorium
yang menggunakan serum kreatinin, BUN, dan kalium. 243 pasien dari Program
to Improve Care in Acute Renal Disease (Picard) studi, risiko kematian ditentukan
pada pasien dengan BUN lebih besar dari atau kurang dari 76 mg / dL pada
inisiasi dialisis. Setelah penyesuaian untuk usia, kegagalan hati, sepsis,
trombositopenia, dan serum kreatinin.

2) Modalitas dialisis
Beberapa Penelitian retrospektif dan prospektif membandingkan hasil
untuk modalitas dari Continous dan Intermitent dialisis. Secara umum, penelitian
sulit untuk melakukan seperti saat sakit (misalnya, saat pasien hipotensi
umumnya dimulai pada CVVH) dan kurang sakit (misalnya, mobile, pasien non
hipotensi umumnya dimulai pada IHD). Dalam sebuah penelitian retrospektif
terhadap 349 pasien, tingkat kematian lebih tinggi untuk cuci darah terus
menerus (continuous) dibandingkan intermiten (68% versus 41%, P, 0,001) .90
Namun, ketika multivariat cox analisis digunakan untuk menyesuaikan alasan
untuk penugasan pasien dalam pengobatan terus menerus (continuous)
(misalnya, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg, kegagalan hati dll) tidak
ada peningkatan risiko kematian dengan pengobatan terus menerus
(continuous). Dalam studi prospektif yang lain, 225 pasien di ICU dibagi menjadi
tiga kelompok: kelompok I (kelompok kontrol): 156 pasien dengan AKI yang tidak
menerima dialisis, kelompok II: 21 pasien yang menerima dialisis peritoneal atau
IHD, dan kelompok III: 43 pasien yang menerima hemodiafiltration terus menerus
(contonous). Mortalitas lebih tinggi pada pasien dengan gagal ginjal dimana
terapi dialisis diperlukan. Tidak ada perbedaan angka kematian antara pasien
yang diperlukan IHD dibandingkan CRRT.

3) Dosis Dialisis
Tiga studi terbaru pada pusat penelitian telah menunjukkan bahwa dosis
peningkatan dialisis dikaitkan dengan kematian yang lebih rendah.

Tabel 5. Dosis Dialisi yang diperlukan pada pasien AKI (Ackay A, 2010)

Tata Laksana Komplikasi

Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara


konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan
komplikasi juga dapat dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang
diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l),
asidosis berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edema paru, ensefalopati
uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia
berat (Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang
dapat didialisis.26 Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat untuk
menghentikan terapi pengganti ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika
kondisi yang menjadi indikasi sudah teratasi (Sinto R, 2010).

Tabel 2. Pengobatan suportif pada gagal ginjal akut


Komplikasi Pengobatan
 Kelebihan volume intravaskuler  Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<
1L/hari)
 Furosemid, ultrafiltrasi atau dialysis
 Hiponatremia
 Batasi asupan air (< 1 L/hari), hindari
infuse larutan hipotonik.
 Hiperkalemia  Batasi asupan diit K (<40 mmol/hari),
hindari diuretic hemat kalium
 Natrium bikarbonat ( upayakan
 Asidosis metabolic
bikarbonat serum > 15 mmol/L, pH
>7.2 )
 Hiperfosfatemia
 Batasi asupan diit fosfat (<800 mg/hari)
 Obat pengikat fosfat (kalsium asetat,
kalsium karbonat)
 Kalsium karbonat; kalsium glukonat
 Hipokalsemia
( 10-20 ml larutan 10% )
 Batasi asupan protein (0,8-1
 Nutrisi
g/kgBB/hari) jika tidak dalam kondisi
katabolic
 Karbohidrat 100 g/hari
 Nutrisi enteral atau parenteral, jika
perjalanan klinik lama atau katabolik

Indikasi hemodialisa pada gagal ginjal akut :


1. GGT ( klirens kreatinin < 5 ml/m)
2. GGA berkepanjangan ( > 5 hari)
3. GGA dengan :
a. keadaan umum yang buruk
b. K serum > 6 mEq/L
c. BUN > 200 mg%
d. pH darah < 7,1
e. Fluid overload
4. Intoksikasi obat yg gagal dengan terapi konservatif

II.10 Komplikasi
Komplikasi metabolik berupa kelebihan cairan, hiperkalemia, asidosis
metabolik, hipokalsemia, serta peningkatan ureum yang lebih cepat pada
keadaan hiperkatabolik. Pada oligurik dapat timbul edema kaki, hipertensi dan
edema paru, yang dapat menimbulkan keadaan gawat. Hiperkalemia terjadi
karena beberapa hal seperti ekskresi melalui ginjal terganggu, perpindahan
kalium keluar sel, kerusakan sel akibat proses katabolik, trauma, sepsis, infeksi,
atau dapat juga disebabkan karena asupan kalium yang berlebih, keadaan ini
berbahaya karena bisa menyebabkan henti jantung dalam keadaan diastolik.
Asidosis terjadi karena bikarbonat darah menurun akibat ekskresi asam
nonvolatile terganggu dimana juga meningkatkan anion gap. Hipokalsemia
sering terjadi pada awal GGA dan pada fase penyembuhan GGA.
Komplikasi sistemik seperti :
1. Jantung
Edema paru, aritmia dan efusi pericardium.
2. Gangguan elektrolit
Hiperkalemia, hiponatremia, dan asidosis
3. Neurologi:
Iiritabilitas neuromuskular, tremor, dan koma,
4. Gangguan kesadaran dan kejang.
5. Gastrointestinal :
Nausea, muntah, gastritis, dan ulkus peptikum.
6. Perdarahan gastrointestinal
7. Hematologi
Anemia, dan diastesis hemoragik
8. Infeksi
Pneumonia, septikemia, dan infeksi nosokomial.
9. Hambatan penyembuhan luka

II.11 Prognosis

Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal.
Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya
infeksi yang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan
memperburuk prognosa. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30-50%),
perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal nafas
(15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan
sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu
ditekankan.
BAB III
PENUTUP

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya
gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam
sampai beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen
(urea/creatinin) dan non nitrogen, dengan atau tanpa disertai oligouri. Penyebab
gagal ginjal akut yang dibagi menjadi 3 besar yaitu :
a) Pre-renal (gagal ginjal sirkulatorik) yang disebabkan utama oleh hipoperfusi
ginjal dimana terjadi hipovolemia.
b) Renal (gagal ginjal initrinsik) yang disebabkan oleh kelainan pembuluh darah
ginjal.
c) Post-renal (uropati obstruksi akut) yang disebabkan oleh obstruksi ureter dan
obstrtuksi uretra.
Gejala klinis dari gagal ginjal akut yang tampak adalah adanya oligouri,
anuria, high output renal failure BUN, dan kreatinin serum yang meningkat.
Tujuan utama dari pengelolaan GGA adalah mencegah terjadinya kerusakan
ginjal, mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi
metabolik dan infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal
ginjalnya sembuh secara spontan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Annonymous. Renal failure 2009 : (online), (http://wikipedia.com, diakses


20 januari 2010).

2. Stein,Jay H. Kelainan ginjal dan elektrolit. panduan klinik ilmu penyakit


dalam.edisi ke-3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001.

3. Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci. Harrison's Principles


of Internal Medicine 16th Edition. USA : McGraw-Hill, 2004.

4. Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, editors.


Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke-VI. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2014.

5. Nissenson. Epidemiology and pathogenesis of acute renal failure in the


ICU. Kidney International 1998; 53; 7-10.

6. Dong-Min Kim, 1 Dae Woong Kang, 1 Jong O Kim. Acute Renal Failure due
to Acute Tubular Necrosis caused by Direct Invasion of Orientia
tsutsugamushi. J. Clin. Microbiol 2007; 1128.

7. Stapleton FB, Jones DP, Green RS. Acute renal failure in neonates:
Incidence, etiology and outcome. Pediatr Nephrol 1987; 1; 314-320.

8. Altıntepe, Gezginç, Tonbul. Etiology and prognosis in 36 acute renal


failure cases related to pregnancy in central anatolia. Eur J Gen
Med 2005; 2(3): 110-113.

9. Boediwarsono.Gagal ginjal akut. segi praktis pengobatan penyakit


dalam.Surabaya : Penerbit PT Bina Indra Karya 1985.
10.Takaoka, Kuro, Matsumura. Role of endothelin in the pathogenesis of acute
renal failure. Drug News Perspect 2000, 13(3): 141.

11.Yagil, Myers, Jamison. Course and pathogenesis of postischemic acute


renal failure in the rat. Am J Physiol Renal Physiol 1988; 255.

12.Jacob. Acute renal failure. Indian J Anaesth 2003; 47(5):367-372.

13.Schrier, Wang, Poole, Amit Mitra. Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. The Journal of Clinical Investigation 2004;114.

14.Sukahatya. Gagal ginjal akut 2006 : (online),


(http://www.medicastore.com, diakses 20 januari 2010.

15.Rahardjo, J.Pudji. Kegawatan pada Gagal Ginjal. Penatalaksanaan


Kedaruratan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat infomasi dan
Penerbitan FKUI 2000.

16.Schlegel. Computed radionuclide urogram for assesing acute renal failure.


AJR 1980; 134.

17.Esson, Robert W. Schrier. Diagnosis and treatment of acute tubular


necrosis. Annals of Internal Medicine 2002;137.

18.Cano, Fiaccadori E, P, Tesinsky. ESPEN guidelines on enteral nutrition:


adult renal failure. Clinical Nutrition 2006; 25:295–310.

19.Aspelin P, Aubry P, Fransson sg. Efek nefrotoksik pada pasien risiko tinggi
yang menjalani angiografi. NEJM 2006; 348 (6): 491.

Anda mungkin juga menyukai