Disusun Oleh :
Pembimbing :
Mengetahui,
Pembimbing Referat
Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas kasih, karunia, dan rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul “Gangguan Ginjal Akut” dengan baik serta tepat pada
waktunya.
Adapun referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta periode 13 April – 20 Juni
2015 dan juga bertujuan untuk menambah informasi bagi Penulis dan
pembaca tentang gangguan ginjal akut.
Penulis sangat bersyukur atas terselesaikannya tugas ini. Hal ini
tidak terlepas dari dukungan serta keterlibatan berbagai pihak dan pada
kesempatan ini penulis ingin berterimakasih kepada :
1. Dr. Wigati, Sp. PD selaku pembimbing referat dan pembimbing
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Pelabuhan
Jakarta.
2. Dr. Luthfi Saad, Sp. PD selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta.
3. Dr. Suzanna Ndraha, Sp. PD, KGEH, FINASIM selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Pelabuhan
Jakarta.
4. Dokter, staf, dan perawat Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta.
5. Rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Kepaniteraan
Klinik Ilmu Bedah di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, Penulis mengucapkan terima
kasih dan semoga referat ini dapat memberikan manfaat.
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat diartikan
sebagai penurunan cepat dan tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal.
Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau
azotemia (peningkatan konsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah
cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang
menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin.
Gangguan Ginjal Akut Berat (GGA – Acute Kidney Injury – AKI) yang
memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas tinggi melebihi 50%. Nilai ini sangat
tinggi apabila disertai dengan kegagalan multi organ. Walaupun terdapat
perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum banyak
berkurang karena penyakit dasar yang berat seperti trauma, sepsis, usia pasien
makin tua dan pasien tersebut juga menderita penyakit kronik lainnya.
Adanya pasien yang sembuh atau membaik dari penurunan fungsi ginjal
yang mendadak menunjukkan terdapat derajat dari GGA dari ringan sampai
berat. GGA dapat terjadi oleh bermacam sebab. Perbedaan geografis juga dapat
menentukan sebab dari GGA misalnya dinegara maju GGA terjadi pada orang tua
terutama pada usia lanjut sedangkan di negara berkembang lebih kerap timbul
pada usia muda dan anak-anak misalnya karena karena malaria dan
gastroenteritis akut.
Klasifikasi ini menilai tahap GGA dari nilai kreatinin serum dan diureis.
Kemudian ada upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk
mempertajam kriteria RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih awal.
Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan waktu 48 jam. Disadari
bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks, sehingga perlu suatu standar
baku untuk penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan bedasarkan kriteria
RIFLE. Atas sistem ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
TINJAUAN PUSTAKA
Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun nilai presentasi dari
perubahan kreatinin untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur,
gender, indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai
basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2x pengukuran dalam 48 jam.
Produksi air seni dimasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif dan
mudah diukur. Kriteria di atas harus memperhatikan adanya obstruksi saluran
kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan
berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan cukup.
1. Sembuh sempurna
2. Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap 1-4)
3. Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK / CKD tahap 1-4
4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5) hal ini dapat dilihat di gambar
berikut.
II.2 EPIDEMIOLOGI
Acute Kidney Injury lebih sering terjadi tetapi insidennya tergantung dari
defenisi yang digunakan dan dalam penelitian populasi. Dalam suatu penelitian
di Amerika, terdapat 172 kasus acute kidney injury (konsentrasi serum kreatinin
lebih dari 500 mikromol/L) dalam per juta orang dewasa setiap tahun, dengan 22
kasus per juta yang mendapat dialisis akut. AKI lebih sering terjadi pada umur
tua. AKI prerenal dan nekrosis tubular akut iskemik terjadi bersamaan sekitar
75% pada kasus AKI.
II.3 ANATOMI
3.1 Makroskopis
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa,
terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla
renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex.
Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramid renalis, puncak kerucut
tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla
renalis.
3.2 Mikroskopis
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta
buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri
dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal,
lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus
pengumpul.
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai
saringan disebut glomerulus. Darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan
disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-
kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut
tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran ureter, kandung kencing, kemudian
ke luar melalui uretra. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut
(terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa
cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan
menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir
yang kemudian diekskresikan disebut urin.
1. Filtrasi Glomerular
2. Reabsorpsi
Zat-zat yabg difiltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit, dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorbsi selektif
zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah di filtrasi.
3. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfer aktif molekul-molekul dari aliran darah
melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi
secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara
alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion
hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga
telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan
ini, setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi
dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada
konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium).
II.5 Etiologi dan Klasifikasi Gagal Ginjal
Penyebab gagal ginjal pada renal (gagal ginjal intrinsik) dibagi antara lain :
1. Kelainan pembuluh darah ginjal, terjadi pada hipertensi maligna, emboli
kolesterol, vaskulitis, purpura, trombositopenia trombotik, sindrom uremia
hemolitik, krisis ginjal, scleroderma, dan toksemia kehamilan.
2. Penyakit pada glomerolus, terjadi pada pascainfeksi akut,
glomerulonefritis, proliferatif difus dan progresif, lupus eritematosus
sistemik, endokarditis infektif, sindrom Goodpasture, dan vaskulitis.
3. Nekrosis tubulus akut akibat iskemia, zat nefrotksik (aminoglikosida,
sefalosporin, siklosporin, amfoterisin B, aziklovir, pentamidin, obat
kemoterapi, zat warna kontras radiografik, logam berat, hidrokarbon,
anaestetik), rabdomiolisis dengan mioglobulinuria, hemolisis dengan
hemoglobulinuria, hiperkalsemia, protein mieloma, nefropati rantai ringan,
4. Penyakit interstisial pada nefritis interstisial alergi (antibiotika, diuretic,
allopurinol, rifampin, fenitoin, simetidin, NSAID), infeksi (stafilokokus,
bakteri gram negatif, leptospirosis, bruselosis, virus, jamur, basil tahan
asam) dan penyakit infiltratif (leukemia, limfoma, sarkoidosis).
(8)
Berdasarkan derajat beratnya penyakit yang timbul, diklasifikasikan menjadi:
GGA simpel/tanpa komplikasi (uncomplicated ARF): Tidak dijumpai adanya
penyakit penyerta ( komorbiditas ) dan juga tidak terdapat komplikasi.
Angka kematian pada tipe ini berkisar antara 7- 23%.
GGA berat (complicated ARF): Pasien umumnya dirawat di unit perawatan
intensif karena mengalami penyulit seperti sepsis, perdarahan,
penurunan kesadaran, dan gagal napas. Angka kematian sangat tinggi,
mencapai 50–80% .
Tabel 3. Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group
Kriteria laju filtrasi glomerulus Kriteria jumlah urine
Risk Peningkatan serum kreatinin 1,5 kali < 0,5 ml/kg/jam selama
Injury Peningkatan serum kreatinin 2 kali 6 jam
Failure Peningkatan serum kreatinin 3 kali
atau < 0,5 ml/kg/jam selama
Loss kreatinin 355 μmol/l 12 jam
Gagal ginjal akut persisten, kerusakan < 0,5 ml/kg/jam selama
ESRD total 24 jam
fungsi ginjal selama lebih dari 4 atau anuria selama 12
minggu jam
Gagal ginjal terminal lebih dari 3 bulan
Faktor Resiko
Gagal ginjal akut hampir selalu terjadi sehubungan dengan kondisi medis lain
atau keadaan lainnya. Kondisi yang dapat meningkatkan risiko gagal ginjal akut
antara lain :
usia lanjut
diabetes
gagal jantung
penyakit-penyakit ginjal
penyakit hati
II.6 Patofisiolgi
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Setiap nefron terdiri
dari kapsula Bowman yang mengitari kapiler glomerolus, tubulus kontortus
proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri
ke duktus pengumpul.
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus
relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua
mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini adalah :
Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen
Timbal balik tubuloglomerular
Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat
mempengaruhi autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan
oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan
darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya
mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim rennin-angiotensin serta merangsang
pelepasan vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang merupakan mekanisme
tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi
serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol
afferent yang dipengaruhi oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide
(NO), serta vasokonstriksi arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh
angiotensin-II dan ET-1.
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg)
serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi
tersebut akan terganggu dimana arteriol afferent mengalami vasokonstriksi,
terjadi kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan
ini disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum terjadi
kerusakan struktural dari ginjal.
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis
intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh
berbagai macam obat seperti ACEI, NSAID terutama pada pasien – pasien
berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat
terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi,
hipotensi, penggunaan diuretic, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu diingat
bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan – keadaan yang merupakan
resiko GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit
renovaskuler), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. Sebuah
penelitian terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal akan terjadi 24
jam setelah ditutupnya arteri renalis.
Pada gagal ginjal renal terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan
nekrosis tubular akut. Dimana pada NTA terjadi kelainan vascular dan tubular
Pada kelainan vaskuler terjadi :
1. peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang
menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan
gangguan otoregulasi.
2. terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel
vaskular ginjal, yang mngakibatkan peningkatan A-II dan ET-1 serta
penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitric oxide yang bearasal dari
endotelial NO-sintase.
3. peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan interleukin-
18, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion
molecule-1 dan P-selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan
sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan
radikal bebas oksigen. Kesuluruhan proses di atas secara bersama-sama
menyebabkan vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan
GFR.
Gambar 1. Patofisiologi gagal ginjal akut di renal
Gejala klinis yang sering timbul pada gagal ginjal akut adalah jumlah
volume urine berkurang dalam bentuk oligouri bila produksi urine > 40 ml/hari,
anuri bila produksi urin < 50 ml/hari, jumlah urine > 1000 ml/hari tetapi
kemampuan konsentrasi terganggu, dalam keadaan ini disebut high output renal
failure. Gejala lain yang timbul adalah uremia dimana BUN di atas 40 mmol/l,
edema paru terjadi pada penderita yang mendapat terapi cairan, asidosis
metabolik dengan manifestasi takipnea dan gejala klinik lain tergantung dari
faktor penyebabnya(1,14).
II. 8 Diagnosis
Anamnesa
Pemeriksaan Fisik
Ada 3 hal penting yang harus di dapatkan pada pemeriksaan fisik pasien dengan
AKI:
2. hipotensi; tekanan darah turun lebih dari 10 mmHg pada perubahan posisi
(baring-duduk)
3. vena perifer kolaps dan perifer teraba dingin (hidung, jari-jari tangan, kaki)
Pemeriksaan Penunjang
3. Postrenal : USG
II.9 Penatalaksanaan
1) AKI Prarenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat
hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang.
Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi dengan packed red cells,
sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang sesuai untuk ringan sampai
sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan
kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun
biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya
direkomendasikan sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal
akibat meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun
salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi berikutnya
harus didasarkan pada pengukuran volume dan isi ionik cairan yang
diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus dimonitor dengan hati-
hati. Gagal jantung mungkin memerlukan manajemen yang agresif dengan
inotropik positif, preload dan afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan
alat bantu mekanis seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik
invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi pada pasien
yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit.
2) AKI intrinsic renal
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau
vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan / atau
plasmapheresis, tergantung pada patologi primer. Glukokortikoid juga
mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial nefritis alergi. Kontrol
agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam membatasi cedera
ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit
pembuluh darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif
terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE
3) AKI postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara
nephrologist, urologi, dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandung
kemih biasanya dikelola awalnya oleh penempatan transurethral atau suprapubik
dari kateter kandung kemih, yang memberikan bantuan sementara sedangkan
lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati secara definitif. Demikian pula,
obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis
ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat diterapi perkutan
(misalnya, kalkulus, sloughed papilla) atau dilewati oleh penyisipan stent ureter
(misalnya, karsinoma). Kebanyakan pasien mengalami diuresis yang tepat
selama beberapa hari setelah relief obstruksi. Sekitar 5% dari pasien
mengembangkan sindrom garam-wasting sementara yang mungkin memerlukan
pemberian natrium intravena untuk menjaga tekanan darah.
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi
(kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana opti-
mal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya.
Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia,
terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan
meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan
pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin.4,17 Selama tahap poliuria
(tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami
defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan
keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi
cairan harus diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur
secara serial, serta elektrolit urin dan serum.
1. Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya
dan kondisi komorbid yang dijumpai. Se- buah sistem klasifikasi pemberian
nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005.
Manajemen nutrisi untuk AKI tidak jauh berbeda untuk pasien sakit kritis,
tetapi lebih rumit karena rejimen tersebut harus dirancang dengan tetap melihat
perubahan kompleks dalam sisa metabolisme dan nutrisi yang terjadi dengan
hilangnya fungsi ginjal akut. Selain dukungan nutrisi harus dikoordinasikan
dengan terapi pengganti ginjal (RRT). Masalah utama dalam pengelolaan AKI
adalah retensi air dan produk dari Asam Amino karena gangguan fungsi ekskresi
yang membatasi pemberian cairan dan elektrolit.
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat
tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250
mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler.
Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus
dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan
dapat menyebabkan toksisitas.
Fluid overload
Metabolic acidosis
Oliguria (urine output <200 mL/12 h)
Anuria /extreme oliguria (urine output <50 mL/12 h)
Hyperkalemia ([K] >6.5 mEq/L)
Clinically significant organ (especially pulmonary) edema
Uremic encephalopathy
Uremic pericarditis
Uremic neuropathy/myopathy
Severe dysnatremia ([Na] <115 or >160 mEq/L)
Hyperthermia
Drug overdose with filterable toxin (lithium, vancomycin, procainamide, etc)
Imminent or ongoing massive blood product administration
2) Modalitas dialisis
Beberapa Penelitian retrospektif dan prospektif membandingkan hasil
untuk modalitas dari Continous dan Intermitent dialisis. Secara umum, penelitian
sulit untuk melakukan seperti saat sakit (misalnya, saat pasien hipotensi
umumnya dimulai pada CVVH) dan kurang sakit (misalnya, mobile, pasien non
hipotensi umumnya dimulai pada IHD). Dalam sebuah penelitian retrospektif
terhadap 349 pasien, tingkat kematian lebih tinggi untuk cuci darah terus
menerus (continuous) dibandingkan intermiten (68% versus 41%, P, 0,001) .90
Namun, ketika multivariat cox analisis digunakan untuk menyesuaikan alasan
untuk penugasan pasien dalam pengobatan terus menerus (continuous)
(misalnya, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg, kegagalan hati dll) tidak
ada peningkatan risiko kematian dengan pengobatan terus menerus
(continuous). Dalam studi prospektif yang lain, 225 pasien di ICU dibagi menjadi
tiga kelompok: kelompok I (kelompok kontrol): 156 pasien dengan AKI yang tidak
menerima dialisis, kelompok II: 21 pasien yang menerima dialisis peritoneal atau
IHD, dan kelompok III: 43 pasien yang menerima hemodiafiltration terus menerus
(contonous). Mortalitas lebih tinggi pada pasien dengan gagal ginjal dimana
terapi dialisis diperlukan. Tidak ada perbedaan angka kematian antara pasien
yang diperlukan IHD dibandingkan CRRT.
3) Dosis Dialisis
Tiga studi terbaru pada pusat penelitian telah menunjukkan bahwa dosis
peningkatan dialisis dikaitkan dengan kematian yang lebih rendah.
Tabel 5. Dosis Dialisi yang diperlukan pada pasien AKI (Ackay A, 2010)
II.10 Komplikasi
Komplikasi metabolik berupa kelebihan cairan, hiperkalemia, asidosis
metabolik, hipokalsemia, serta peningkatan ureum yang lebih cepat pada
keadaan hiperkatabolik. Pada oligurik dapat timbul edema kaki, hipertensi dan
edema paru, yang dapat menimbulkan keadaan gawat. Hiperkalemia terjadi
karena beberapa hal seperti ekskresi melalui ginjal terganggu, perpindahan
kalium keluar sel, kerusakan sel akibat proses katabolik, trauma, sepsis, infeksi,
atau dapat juga disebabkan karena asupan kalium yang berlebih, keadaan ini
berbahaya karena bisa menyebabkan henti jantung dalam keadaan diastolik.
Asidosis terjadi karena bikarbonat darah menurun akibat ekskresi asam
nonvolatile terganggu dimana juga meningkatkan anion gap. Hipokalsemia
sering terjadi pada awal GGA dan pada fase penyembuhan GGA.
Komplikasi sistemik seperti :
1. Jantung
Edema paru, aritmia dan efusi pericardium.
2. Gangguan elektrolit
Hiperkalemia, hiponatremia, dan asidosis
3. Neurologi:
Iiritabilitas neuromuskular, tremor, dan koma,
4. Gangguan kesadaran dan kejang.
5. Gastrointestinal :
Nausea, muntah, gastritis, dan ulkus peptikum.
6. Perdarahan gastrointestinal
7. Hematologi
Anemia, dan diastesis hemoragik
8. Infeksi
Pneumonia, septikemia, dan infeksi nosokomial.
9. Hambatan penyembuhan luka
II.11 Prognosis
Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal.
Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya
infeksi yang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan
memperburuk prognosa. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30-50%),
perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal nafas
(15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan
sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu
ditekankan.
BAB III
PENUTUP
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya
gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam
sampai beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen
(urea/creatinin) dan non nitrogen, dengan atau tanpa disertai oligouri. Penyebab
gagal ginjal akut yang dibagi menjadi 3 besar yaitu :
a) Pre-renal (gagal ginjal sirkulatorik) yang disebabkan utama oleh hipoperfusi
ginjal dimana terjadi hipovolemia.
b) Renal (gagal ginjal initrinsik) yang disebabkan oleh kelainan pembuluh darah
ginjal.
c) Post-renal (uropati obstruksi akut) yang disebabkan oleh obstruksi ureter dan
obstrtuksi uretra.
Gejala klinis dari gagal ginjal akut yang tampak adalah adanya oligouri,
anuria, high output renal failure BUN, dan kreatinin serum yang meningkat.
Tujuan utama dari pengelolaan GGA adalah mencegah terjadinya kerusakan
ginjal, mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi
metabolik dan infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal
ginjalnya sembuh secara spontan.
DAFTAR PUSTAKA
6. Dong-Min Kim, 1 Dae Woong Kang, 1 Jong O Kim. Acute Renal Failure due
to Acute Tubular Necrosis caused by Direct Invasion of Orientia
tsutsugamushi. J. Clin. Microbiol 2007; 1128.
7. Stapleton FB, Jones DP, Green RS. Acute renal failure in neonates:
Incidence, etiology and outcome. Pediatr Nephrol 1987; 1; 314-320.
13.Schrier, Wang, Poole, Amit Mitra. Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. The Journal of Clinical Investigation 2004;114.
19.Aspelin P, Aubry P, Fransson sg. Efek nefrotoksik pada pasien risiko tinggi
yang menjalani angiografi. NEJM 2006; 348 (6): 491.