Anda di halaman 1dari 15

1.

Untuk mengetahui informasi yang perlu digali dalam sebuah kasus dalam memastikan
kekerasan atau bukan.
 Menurut WHO Kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan
atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional,
seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial
yang secara nyata atau pun tidak dapatmembahayakan kesehatan, kelangsungan
hidup, martabat atau perkembangannya
 Bentuk-bentuk kekerasan pada anak dapat diklasifikasikan dalam 4 macam,
yaitu:
1.Kekerasan fisik
2.Kekerasan psikis/emosi
3.Kekerasan seksual
4.Kekerasan sosial (penterlantaran)
 Tanda-tanda Kekerasan Seksual pada Anak
1.Jika seorang anak mengalami kekesaran seksual, maka dapat muncul
berbagai perubahan pada diri anak secara tiba-tiba. Orang tua, anggota
keluarga, dan guru perlu waspada jika menemukan perubahan-
perubahan seperti:
adanya keluhan fisik seperti sakit kepala, nyeri kalau buang air besar atau
buang air kecil. Nyeri, bengkak, pendarahan atau iritasi di daerah mulut,
genital, atau dubur yang sukar dijelaskan kepada orang lain.
 2.Emosi anak tiba-tiba berubah.
Ada anak setelah mengalami kekerasan seksual menjadi takut, marah,
mengisolasi diri, sedih, merasa bersalah, merasa malu, dan bingung. Ada
anak tiba-tiba merasa takut, cemas, gemetar atau tidal menyukai orang
atau tempat tertentu. Atau anak tiba-tiba menghindari keluarganya,
temannya atau aktivitas yang biasa dilakukannya. Ia mengeluh ada masalah-
masalah di sekolahnya. Ada juga yang mengalami gangguan tidur, mungkin
susah tidur, atau bisa tidur tetapi terbangun-terbangun, atau sering mimpi
buruk dan mengerikan, atau sedang tidur sering mengigau atau menjerit
ketakutan.
 3.Ada anak sering mandi atau cebok karena merasa kotor.
Anak anak tiba-tiba menjadi agresif, tidak disiplin, tidak mau sekolah
atau hanya mengurung diri di kamar. Ada anak melarikan diri dari rumah ke
rumah temannya, atau ke keluarga lainnya yang dirasakan bisa memberikan
perlindungan kepada dirinya. Atau anak melarikan diri dari ketakutannya dengan
merokok, menggunakan narkoba, dan alkohol. Atau ada yang mengeluh
merasa mual, muntah, atau tidak mau makan. Yang paling membahayakan
kalau ia merasa tidak berharga, merasa bersalah, merasa sedih, putus asa,
dan mencoba bunuh diri.
 4.Beberapa anak memperlihatkan gejala-gejala lainnya seperti meniru
perilaku seksual orang dewasa, melakukan aktivitas seksual menetap dengan
anak-anak lain, dengan dirinya sendiri (masturbasi atau onani), dengan
bonek atau dengan binatang peliharaannya. (Luh Ketut Suryani dan Cokorda
Bagus Jaya Lesmana, Pedofil: Penghancur Masa Depan Anak,2009, h. 18-19)
2. Untuk mengetahui langkah –langkah penanganan korban kekerasan anak sesuai
dengan standar yang dikeluarkan oleh WHO.
Prinsip penatalaksanaan medis pada kasus kekerasan pada anak adalah sebagai berikut:
1) Tangani kegawatdaruratan yang mengancam nyawa
2) Tangani luka sesuai dengan prosedur
3) Bila dicurigai terdapat patah tulang, lakukan rontgen dan penanganan yang sesuai
4) Bila dicurigai terdapat perdarahan dalam, lakukan USG atau rujuk
5) Dengarkan dan beri dukungan pada anak, sesuai panduan konseling
6) Pastikan keamanan anak
7) Periksa dengan teliti, lakukan rekam medis, dan berikan surat- surat yang diperlukan.
8) Buatkan VeR bila ada permintaan resmi dari polisi (surat resmi permintaan VeR harus
diantar polisi).
9) Informasikan dengan hati-hati hasil temuan pemeriksaan dan kemungkinan dampak
yang terjadi, kepada anak dan keluarga serta rencana tindak lanjutnya.
10) Pada anak yang mempunyai status gizi buruk atau kurang diberikan makanan
tambahan dan konseling gizi kepada orang tua/keluarga.
Penatalaksanaan medis pada kasus kekerasan seksual pada anak sama seperti pada
kasus kekerasan fisik, dengan beberapa tambahan:
a) Mencegah kehamilan (bila perlu)
b) Berikan Kontrasepsi Darurat (Kondar) apabila kejadian perkosaan belum melebihi 72
jam.
c) Periksa, cegah dan obati infeksi menular seksual atau rujuk ke Rumah Sakit.
d) Berikan konseling untuk pemeriksaan HIV/AIDS dalam 6-8 minggu atau rujuk bila
perlu.
3. Untuk mengetahui peranan dan tanggung jawab seoranf dokter dalam menangani
suatu tindakakan kekerasan.
Bantuan dokter dalam kasus kejahatan seksual berupa pemeriksaan pada korban baik
itu pemeriksaan fisik maupun pengumpulan sampel dari tubuh korban. Hal ini juga
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012 (SKDI 2012) menyatakan
bahwa dokter umum sesudah lulus harus mampu membuat visum , surat keterangan
medis dan memenuhi prosedur medikolegal dengan masing – masing kompetensi 4A.
Selain itu lulusan dokter umum juga harus bisa melakukan secara mandiri teknik – teknik
pengambilan sampel yang dapat digunakan sebagai barang bukti medis, dengan
kompetensi 4A.
Sumber : Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2012. 1-
90 p.
4. Untuk mengetahui langkah langkah pemeriksaan fisik anak dalam mengumpulkan
bukti medis kekerasan fisik pada anak.
Aspek Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
menurut Goldberg CMD dalam buku practical guide to Clinical medicine university of
california memiliki 3 peran penting yaitu :
Peran dokter dalam melakukan pemeriksaan tanda vital adalah
: 1. Mengukur suhu tubuh pasien dengan metode oral, rectal, dan axillar
2. Mengukur denyut nadi pasien dengan menilai irama nadi dan kekuatan dari setiap
denyutan
3. Mengukur laju pernafasan pasien
4. Mengukur tekanan darah pasien dengan menggunakan monitor aneroid, monitor
digital dan dengan metode finger and wrist blood pressure monitor
Pemeriksaan Top to Toe
Pemeriksaan top to toe memiliki peran penting bagi dokter yaitu membantu dokter
dalam memberikan perawatan / tatalaksana yang harus dilakukan pada korban.
Pemeriksaan top to toe dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan bukti pada
tubuh korban dan didokumentasikan. Hasil dokumentasi ini digunakan sebagai barang
bukti medis dalam proses hukum yang merupakan proses penyelesaian suatu kasus
kejahatan seksual.
Pemeriksaan top to toe dalam buku victim of sexual violence: A hand book of helper
berperan untuk menemukan adanya luka – luka yang dialami korban yang akan
didokumentasikan sebagai barang bukti pada proses hukum korban. Apabila terdapat
luka pada tubuh korban harus dideskripsikan secara detail dan didokumentasikan.
Pemeriksaan Anogenital
Peran dokter menurut WHO dalam pemeriksaan anogenital ini terdiri dari
1. Memeriksa genitalia eksterna dan anus , memeriksa mons pubis , menilai labia
mayora , labia minora , hymen , clitoris dan perineum
2. Melakukan pemeriksaan dalam dengan menggunakan spekulum apabila ditemukan
adanya darah atau sekret dilakukan swab
3. Memeriksa anus korban dengan menggunakan rectal touche
4. Dokter pemeriksa disarankan untuk melakukan pemeriksaan digital rectal
examination apabila ketika melakukan anamnesis didapatkan dari pengakuan korban
adanya suatu objek yang dimasukkan ke lubang anus.
Pemeriksaan Anogenital menurut Kliegman R. dalam buku Nelson textbook of pediatric
berperan dalam menemukan luka yang bersifat akut berupa edema, eritema, petekie,
perdarahan atau laserasi, yang dikonfirmasi dengan menggunakan kolposkopi untuk
dokumentasi yang akan digunakan oleh penyidik dalam proses hukum suatu kasus
kejahatan seksual.
5. Untuk mengetahui langkah-langkah pemeriksaan ginekologis pada anak.
 Pemeriksaan ginekologi adalah suatu prosedur klinik yang dilakukan secara
bimanual untuk menentukan atau mengetahui kondisi organ genitalia wanita,
berkaitan dengan upaya pengenalan atau penentuan ada tidaknya kelainan pada
bagian tersebut
 Langkah –langkah :
a)
6. Untuk mengetahui usulan pemeriksaan penunjang yang tepat dalam memastikan
suatu kasus tersebut adalah kekerasan.
 Pemeriksaan Swab dan Sampel Pemeriksaan Swab dan sampel
menurut Magalhães T dalam jurnal berjudul Biological Evidence Management for
DNA Analysis in Cases of Sexual Assault sangat penting untuk dijadikan sebagai
bukti adanya kontak seksual antara korban dengan pelaku dan membantu
penyidik dalam menemukan pelaku kejahatan seksual.
Joanne Archambault menyatakan bahwa 44% tersangka didapatkan dengan
menggunakan analisis DNA yang diperoleh dari pemeriksaan swab dan sampel,
sehingga dengan melakukan pemeriksaan swab dan pengumpulan sampel sangat
membantu investigasi dan penyelesaian kasus kejahatan seksual.
Swab yang diperoleh dari tubuh korban diperlukan untuk pemeriksaan DNA
yang dapat digunakan oleh penyidik dalam menemukan pelaku kejahatan
seksual.
Peran dokter dalam mengumpulkan swab dan sampel yaitu
1. Melakukan swab sesuai dengan teknik pemeriksaan yang benar
2. Melakukan pemeriksaan terhadap sampel dan swab yang didapat dari tubuh
korban bila terdapat fasilitas di rumah sakit / merujuk sampel kepada
laboratorium yang lebih berkompeten untuk dilakukan pemeriksaan
3. Mampu menjelaskan kepada penyidik mengenai hasil dari sampel secara
detail dan lengkap.
 Pemeriksaan darah dan urin
harus dilakukan terutama apabila ada riwayat konsumsi obat – obat dan alkohol.
Peran sampel darah dan urin adalah untuk dilakukan pemeriksaan analisis
toksikologi. Pemeriksaan toksikologi ini sangat dipengaruhi oleh lama waktu
ketika korban meminum obat atau alkohol hingga melapor ke rumah sakit.
Semakin lama durasi korban melapor sesudah meminum obat atau alkohol
maka semakin kecil pula zat – zat yang dapat ditemukan dalam darah akibat
proses dari metabolisme tubuh. Pemeriksaan darah berperan dalam membantu
dokter mencegah penyakit menular seksual terutama HIV. Pemeriksaan darah
juga membantu dokter dalam mencegah penularan penyakit hepatitis B yang
ditularkan melalui cairan tubuh.
 Pemeriksaan kehamilan dengan metode β – HCG sangat penting untuk
dilakukan.
Didalam buku victim of sexual violance : A hand book for Helper digunakan
pemeriksaan ini digunakan untuk membuktikan apakah korban hamil akibat dari
kasus kejahatan seksual sehingga dokter dapat melakukan tatalaksana yang
tepat untuk kehamilannya.
Korban yang dinyatakan hamil akibat kasus kejahatan seksual dalam buku Rape
Investigation Handbook dapat dilakukan pemeriksaan DNA dengan
menggunakan sampel dari kehamilan dan fetus dari korban.
Hasil pemeriksaan DNA tersebut dapat digunakan sebagai bukti kasus kejahatan
seksual tersebut. Di Indonesia , fungsi dari pemeriksaan kehamilan adalah
sebagai bukti yang ditulis dalam visum et repertum yang akan digunakan oleh
penyidik untuk menindaklanjuti sebuah kasus kejahatan seksual.
Peran dokter dalam pemeriksaan kehamilan adalah
1. Melakukan tes kehamilan atau pregnancy test
2. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan tes kehamilan
Sumber :
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO Volume 7, Nomor 2, Mei 2018 Online :
http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico ISSN Online : 2540-8844 Sie Ariawan
Samatha, Tuntas Dhanardhono, Sigid Kirana Lintang Bhima JKD, Vol. 7, No. 2, Mei 2018 :
1012-1029
7. Untuk mengetahui prosedur medikolegal dalam hal pembuatan visum et repertum,
pelaporan, pengisian rekam medis dan hubungan visum et repertum dengan rekam
medis sehubungan dengan konfidensialitas pada kasus tersebut.
8. Untuk mengetahui lingkaran kekerasan pada kasus kekerasan terhadap perempuan.

Lingkaran kekerasan atau yang dkenal dengan cycle of abuse adalah sebuah teori
sosial yang dikembangkan oleh Lenore Walker pada tahun 1970-an untuk menjelaskan
pola perilaku dalam kekerasan yang terjadi pada sebuah hubungan.
Walker berpendapat bahwa kekerasan yang terjadi dalam sebuah hubungan
biasanya terjadi secara berulang-ulang, bentuk kekerasan yang terjadi seperti pelecehan
baik secara psikis, emosional atau fisik. Walker juga menyatakan bahwa biasanya
kekerasan sceara psikologis biasanya diawali dengan kekerasan secara fisik. Selain itu
Walker juga menyatakan bahwa siklus tersebut yang jika terjadi terus menerus akan
mengakibatkan ketidakberdayaan kepada korban sehingga akan menimbulkan battered
person syndrome kepada korban.
Fase-fase Kekerasan pada Anak
Fase-fase kekerasaan yang sering terjadi dalam sebuah hubungan biasanya akan
terus berulang dan tidak akan berhenti jika sudah dimulai terus menerus tanpa ada
tindakan “menentang” atau “melawan” yang dilakukan oleh korban kepada pelaku.
berikut adalah pembagian fase-fase kekerasan yang ada dalam lingkaran kekerasan,
yaitu:

Gambar 2.1 Fase-fase kekerasan pada wanita

Tension Building Phase (Fase Pembagunan Ketegangan)

Pada fase ini merupakan fase awal lahirnya tindak kekerasan di dalam sebuah
hubungan, biasanya bentuk-bentuk kekerasan yang timbul diawali dari komunikasi yang
buru, hinaan kepada pasangan, pemukulan dalam bentuk tamparan dan tindakan
kekerasan fisik “kecil” lainya kepada korban. Pada fase ini biasanya korban (isteri) akan
mulai menjaga jarak untuk tidak menimbulkan konfilk dengan pelaku (suami), namu
pada kenyataanya modifikasi yang dilakukan oleh korban ternyata malah membuat
ketegangan yang makin memuncak kepad pelaku dan bahkan pelaku akan melakukan
tindakan yang lebih brutal.

Acticng-out phase (Fase Tindakan Kronis)

Pada fase ini, tindakan yang dilakukan oleh pelaku makain kasar dan bahkan
mengakibatkan luka fisik kepada korban, namu para isteri (korban) sering kali
mengingkari tindakan yang dilakukan oleh suami (pelaku) dan korban juga tidak mau
mendapatkan perwatan serta pengobatan atas luka yang ditimbulkan oleh tindak
kekerasan tersebut.

Honeymoon Phase/Reconsiliation Phase (Fase Bulan Madu/Fase Rekonsiliasi)

Pada fase ini, karateristik suami akan menjadi lebih baik, memohon maaf kepada
isteri dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Jika sang isteri sedang
dalam tahap perawtan dan pengobatan dari luka yang dia derita, maka sang suami akan
datang dengan membawakan bunga, kado, benda-benda yang disenangi oleh isteri dan
bahkan mengajak pihak keluarga untuk mudah mendapatkan pengampunan kepada
isteri, bahkan suami juga akan mengatkan bahwa jika sang isteri meninggalkannya, hal
tersebut akan berpengaruh kepada perkembangan anak-anak mereka.

Calm Phase (Fase Penenangan)

Selama fase ini (fase ini sering dianggap sebagai bagian dari fase bulan madu),
hubungan antar pasangan relatif akan berjalan damai dan harmonis, namu dikarenakan
tidak ada pemotongan mata rantai di fase-fase sebelumnya maka kecenderungan untuk
kembali ke fase awal akan terjadi.

9. Untuk mengetahui informasi yang masih perlu digali dalam kasus diatas.
10. Untuk mengetahui pemeriksaan yang perlu dilakukan dalam memberikan bukti medis
kasus kejahatan seksual berdasarkan kasus diatas.
1) Pemeriksaan Terhadap Pelaku
Beberapa sumber menyebutkan bahwa sebetulnya pemeriksaan medik terhadap
tersangka hanya diperlakukan apabila ia menyangkal dapat melakukan
persetubuhan karena impotensi. Ini berkenaan dengan salah satu syarat perkosaan,
yaitu terjadinya senggama. Seorang laki-laki yang menderita impotensi tentunya
tidak mungkin dapat melakukan persetubuhan, sehingga tidak mungkin dituduh
melakukan perkosaan. Maka, pemeriksaannya pun hanyalah untuk menentukan
adanya penyakit yang dapat menyebabkan impotensi pada pelaku.

Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa ada 2 pemeriksaan yang dilakukan
terhadap pelaku, yaitu:

 Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan, dapat
dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu
juga dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit
kelamin.
 Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan sebagainya.
Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu
ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah
deflorasi. Di sini penentuan golongan darah penting untuk dilakukan. Trace
evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa.
Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di
kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat
berita acara pembungkusan dan penyegelan.

2) Pemeriksaan Terhadap Barang Bukti Medik


Pada kasus tindak pidana seksual sering kali dapat ditemukan barang bukti medik
berupa bagian-bagian dari tubuh pelaku, antara lain:

1) Sperma atau bercak sperma.


Adanya sperma bukan saja membuktikan adanya senggama, tetapi dari sperma
itu juga dapat diketahui golongan darah (bagi tipe secretor) serta DNA yang akan
berguna bagi kepentingan identifikasi pelaku.
2) Rambut kepala
Seringkali korban tindak pidana seksual menarik rambut pelaku sebagai
perlawanan diri. Oleh karena itu perlu dicari disela-sela jari tangan korban. Dari
rambut tersebut dapat diketahui suku bangsa, golongan darah, dan bahkan DNA
asalkan pada pangkal dari rambut tersebut ditemukan sel.
3) Rambut kelamin.
Rambut kelamin pelaku juga sering ditemukan pada tubuh korban sehingga
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan identifikasi.
4) Darah.
Jika korban mencakar pelaku maka ada kemungkinan di bawah
kukunyaditemukan sel-sel darah sehingga dapat dimanfaatkan untuk
mengetahui golongan darah serta DNA pelaku.
5) Gigi.
Dalam kasus perkosaan mungkin terjadi perlawanan yang mengakitbatkan gigi
pelaku tanggal. Dari gigi tersebut dapat diketahui ras, golongan darah, serta
DNA.
6) Jejas gigit (bite mark) dan air liur.
Jika pelaku tindak pidana seksual menderita sadism, maka ada kemungkinan
dapat ditemukan jejas gigit pada tubuh korban dengan air liur di sekitarnya. Pola
jejas gigit tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan identifikasi dengan
cara mencocokkannya dengan pola jejas gigit dariorang yang diduga sebagai
pelakunya.Sedangkan air liur yang ditemukan disekitarnya dapat digunakan
untuk mengetahui golongan darah (bagi yang bertipe sekretor) atau DNA sebab
di dalam air liur terdapat sel-sel buccal yang lepas.
11. Untuk mengetahui kelainan yang mungkin didapatkan pada pemeriksaan genitalia dan
pada hymen pada korban anak tersebut.
Hymen inferforata
Atresia labia minora
Hipoplasi vulva
Septum vagina
Kista vagina
12. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam pembuktian kasus
diatas.
 Pemeriksaan baian khusus
ada tidaknya rambut kemaluan yang saling melekat menjadi satu karena air mani
yang mongering Pada vulva
 Pemeriksaan jenis slaput dara
Tentukan besar orifisium, sebesar ujung jarikelingking atau telunjuk atau 2 jari.
Ukuran pada seseorang perawan kira-kiran 2,5 cm
13. Untuk mengetahui akibat yang terjadi pada kasus kejahatan seksual.
Pertama, dampak psikologis
korban kekerasan dan pelecehan seksual akan mengalami trauma yang mendalam,
selain itu stres yang dialami korban dapat menganggu fungsi dan perkembangan
otaknya.
Kedua, dampak fisik.
Kekerasan dan pelecehan seksual pada anak merupakan faktor utama penularan
Penyakit Menular Seksual (PMS). Selain itu, korban juga berpotensi mengalami luka
internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat
terjadi.Dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.
Ketiga, dampak sosial.
Korban kekerasan dan pelecehan seksual sering dikucilkan dalam kehidupan sosial, hal
yang seharusnya dihindari karena korban pastinya butuh motivasi dan dukungan moral
untuk bangkit lagi menjalani kehidupannya. Salah satu penyebab utama semakin
tingginya kasus-kasus kekerasan seksual adalah, semakin mudahnya akses pornografi di
dunia maya, dengan situs yang sengaja ditawarkan dan disajikan kepada siapa saja dan
di mana saja.
14. Untuk mengetahui konsep dualism biomedik pada kasus tersebut.
15. Untuk mengetahui prosedur pemeriksaan orang tersebut diatas sebagai korban.
Anamnesis khusus
Waktu kejadian, tanggal, jam kejadian dan, tempat kejadian(sebagai petunjuk dalam
pencariantrace evidence)
Informasi tentang pelaku (nama, deskripsi penampilan pelaku)
Penggunaan senjata, ada tidaknya pengancaman.
Ada tidaknya kontak seksual, oral, anal maupun vaginal.
Kontak oral oleh mulut pelakukepada korban.
Kekerasan lain selain kekerasanseksual
Perlawanan oleh korban
Apakah korban pingsan? Iniuntuk menyelidiki kemungkinan pemerkosaan difasilitasi
denganobat.
Riwayat pemberian obat/alkohol pada korban.
Apakah setelah kejadian korbanmencuci, mandi, sikat gigi danmengganti pakaian?
Riwayat menstruasi korban.
Pemeriksaan fisik
Untuk membantu korban dan juga pengadilan, dokter wajib
melakukan pemeriksaan yang tujuannya dalam ialah:
Untuk mengetahui ada tidaknya tanda persetubuhan;
Untuk mengetahui ada tidaknya tanda kekerasan.
emeriksaan fisik yang dilakukan pada korban meliputi:
Pemeriksaan fisik umum: penampilan korban dan tanda vital
Pemeriksaan fisik khusus: pemeriksaan genetalia
16. Untuk mengetahui cara mendeskripsikan luka dan interpretasi hasil luka pada korban
tersebut.
Secara istilah bahasa “luka” dianalogkan dengan akibat dari suatu penganiayaan
atau trauma. Istilah penganiayaan hanya merupakan istilah hukum dan tidak
dikenal dalam istilah kedokteran, oleh karena penganiayaan dapat menimbulkan
luka maka dalam penulisan visum et repertum digunakan istilah luka sebagai
pengganti kata penganiayaan. Dengan kriteria kualifikasi luka terdiri dari:
1) Luka ringan: yang tergolong luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.
2) Luka sedang: yang tergolong luka yang menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan atau pencaharian.
3) Luka berat, menurut KUHP pasal 90, maka “luka berat” berarti :
a) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.
b) Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencaharian.
c) Kehilangan salah satu panca indera.
d) Mendapat cacat berat.
e) Menderita sakit lumpuh.
f) Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih.
g) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Referensi
Budiyanto, A,dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik.. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p1-5
Idries, Abdul Munim dan Tjiptomartono, Agung Legowo. 2013. Penerapan Ilmu
Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan Edisi Revisi. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Idries, AM. 1997. Kejahatan Seksual. Dalam: Idries, AM, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik.
Jakarta: Bina Rupa Aksara. p 216-27
Idries, Abdul Mun'im. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa Aksara: Jakarta
1997. Hal 85-129.

Widiatmoko W, Gunardi H, editor. Buku panduan tatalaksana kasus penganiayaan dan


penelantaran anak. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2000.h.1-64.

Anda mungkin juga menyukai