Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kecerdasan spiritual

merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan dan

memaknai hidup dimana didalamnya terdapat kemampuan untuk menilai

tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan hal

lainnya. Kecerdasan spiritual adalah landasan yang sangat dibutuhkan dalam

menjalankan IQ dan EQ dalam diri seorang individu secara efektif. Menurut

Zohar & Marshall, SQ memungkinkan seseorang untuk mengenali sifat-sifat

pada orang lain serta dalam dirinya sendiri.1

Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli dibidangnya

tentang kecerdasan spiritual atau lebih dikenal dengan Spiritual Quotient

(SQ). Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual

memiliki peran yang penting dalam menjaga keseimbangan antara kecerdasan

intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). Beberapa penelitian tersebut

diantaranya adalah:

Penelitian yang pertama dilakukan Ulfah Mudrikah (2017) dengan

judul “Pengembangan Kecerdasan Spiritual Melalui Pendidikan Akhlak di

MTs Sirojul Falah”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengembangan kecerdasan spiritual siswa melalui pendidikan akhlak dan

1
Zohar & Marshall. 2001.

8
9

faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan kecerdasan spiritual siswa di

MTs Sirojul Falah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang menggambarkan keadaan

sesungguhnya dari objek yang diteliti dan dibandingkan dengan teori yang

ada. Dari data yang diperoleh dalam penelitian ini telah dikumpulkan,

disusun dan digambarkan secara objektif dalam bentuk narasi. Dan populasi

dalam penelitian ini pun seluruh siswa kelas VIII di MTs Sirojul Falah157

siswa dan sample diambil 25% dari populasi yaitu sebanyak 39,25 maka

dibulatkan menjadi 40 orang siswa.

Dari penelitian ini diketahui bahwa pengembangan kecerdasan

spiritual siswa di MTs Sirojul Falahyang dilakukan oleh Kepala Sekolah dan

Guru Mata Pelajaran Akidah Akhlak sudah baik, melalui beberapa upaya

seperti guru memberi motivasi dan nasihat kepada siswa serta membiasakan

siswa untuk mengerjakan perintah Allah SWT, selain itu juga dijelaskan

bahwa faktor yang mendukung dalam pengembangan kecerdasan spiritual

siswa adalah guru dan juga keluarga sehingga membantu siswa untuk lebih

mengoptimalkan kecerdasan spiritual.2

Kemudian penelitian yang kedua dilakukan oleh Nurjannah Husnul

Khotimah (2007) yang berjudul “Nilai-Nilai ESQ (Emotional Spiritual

Quotient) dalam Cerpen Anak Karya Lala ST. Wasilah Tahun 2005 serta

Implementasinya dalam Pendidikan Agama Islam”. Penelitian ini bertujuan

untuk menggali nilai-nilai Emotional Spiritual Quotient dalam cerpen anak

2
Ulfah Mudrikah. 2017. Pengembangan Kecerdasan Spiritual Melalui Pendidikan Akhlak
10

karya Lala St. Wasilah tahun 2005 dan bagaimana penerapan nilai-nilai

tersebut dalam pendidikan agama islam.

Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan adalah dengan

pendekatan pendagogis-psikologis yaitu sebuah pendekatan yang dilakukan

dari sudut pandang ilmu pendidikan dan psikologi. Hasil penelitian ini

diketahui bahwa ada beberapa nilai yang terkandung dalam cerpen anak karya

Lala St. Wasilah tahun 2005, yaitu zero mind process atau penjernihan emosi,

personal strength atau ketangguhan kepribadian, mental building atau

pembangunan mental dan social strength atau ketangguhan sosial dimana

seseorang dapat membangun atau menciptakan team work secara bagus,

hubungan baik dengan sesama dan dilandasi dengan keimanan kepada Allah

SWT. Sedangkan untuk penerapannya dalam pendidikan agama islam, nilai-

nilai tersebut termasuk variasi dalam media belajar yang menraik sehingga

mudah diserap ilmunya oleh anak didik.

Penelitian yang terakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh A.

Nuryadin (2008) dengan judul penelitian “Nilai-Nilai Akhlak dalam Cerpen

Anak Harian Kompas”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan

menganalisa secara kritis tentang nilai-nilai akhlak dalam cerpen anak Harian

Kompas dan relevansinya terhadap pendidikan agama islam.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

pragmatik yaitu sebuah kajian sastra yang berorientasi pada kegunaan karya

sastra bagi pembaca.


11

Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai-nilai akhlak yang terdapat

dalam cerpen anak harian kompas, meliputi akhlak terhadap diri sendiri yaitu

bersikap tawadhu dan tidak sombong, amanah, penerimaan diri terhadap

kekurangan dan kelebihan diri serta keyakinan akan potensi diri dan lain-

lainnya. Sedangkan yang kedua adalah akhlak terhadap sesama manusia yang

meliputi hormat dan berbuat baik kepada orangtua, menghormati sesama

teman dan tidak saling merendahkan dan ssebagainya.

Adapun relevansinya dengan pendidikan agama islam adalah bahwa

nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam cerpen anak harian kompas cukup

relevan dengan tujuan pendidikan agama islam yaitu terbentuknya manusia

yang berakhlak mulia.maka berdasarkan penelitian sastra berupa cerpen ini,

cerpen-cerpen anak harian kompas dapat dijadikan materi alternatif

pembelajaran akhlak yang ringan dan mencerdaskan bagi peserta didik.

Dari ketiga penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat

disimpulkan bahwa literatur anak memiliki peran yang cukup penting dalam

pembentukan dan pengembangan kecerdasan emosional anak. Namun, yang

membedakan penelitian yang akan dilakukan peneliti dengan penelitian-

penelitian yang sebelumnya adalah penelitian ini bukan hanya ingin

menunjukan bahwa didalam literatur anak terkandung nilai-nilai yang dapat

mendukung dalam pembentukan dan pengembangan kecerdasan emosional

anak, melainkan bagaimana mengembangkan kecerdasan emosional anak

melalui literatur anak. Dari sini dapat dilihat bahwa penelitian yang akan

dilakukan oleh peneliti ini berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan

sebelumnya.
12

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Pengertian Literatur

Literatur berasal dari bahasa latin yaitu literature, yang berarti huruf

atau letters. Literatur awalnya diartikan dengan kesusastraan dan

kepustakaan, namun dalam perkembangan selanjutnya literatur diartikan

sebagai semua catatan dan rekaman pemikiran intelektual dan artistik

manusia sejak dulu sampai sekarang (Lasa, 2009:191)

Literatur adalah suatu bentuk yang imajinatif dari sebuah kehidupan

dan pikiran yang diuraikan dalam bentuk dan struktur suatu bahasa. Dimana

suatu fiksi dianggap sama dengan non-fiksi, gambar sama dengan kata,

sebuah genre yang berbeda atau susunan simbol kerja untuk menghasilkan

sebuah pengalaman yang estetika (Huck, 2008:3).

Dari beberapa penjabaran singkat mengenai literatur, dapat

disimpulkan bahwa literatur merupakan suatu rekaman pemikiran intelektual

dan artistik manusia yang imajinatif dari sebuah pikiran yang diuraikan dalam

bentuk dan struktur bahasa yang menghasilkan sebuah estetika.

2.2.2 Pengertian Literatur Anak


13

Literatur anak dapat diartikan sebagai buku yang dibaca oleh anak-

anak, yang ditulis khusus untuk memberikan kenyamanan untuk anak-anak.

Isinya terbatas pada pengalaman dan pemahaman anak-anak juga disertai

dengan respon emosional dan psikologikal yang terlihat dari sisi luar dunia

masa kanak-kanak (Huck, 2008:16).

Dalam Lasa Hs (2009), literatur anak adalah buku yang khusus ditulis

untuk anak-anak dan biasanya terdiri dari cerita fiksi, petualangan,

kepahlawanan, banyak ilustrasinya dan disertai dengan CD atau pun DVD.

Ada beberapa jenis literatur anak, yaitu picture books, puisi dan sajak,

folklore, fantasi, science fiction, realistic fiction, historical fiction, biografi

dan non-fiksi (Cullican, 1998:7). Berbeda dengan Lynch-Brown (2005), dia

membagi jenis literatur anak menjadi Poetry dan Plays, Picture Books,

Traditional Literature, Modern Fantasy, Realistic Fiction, Historical Fiction,

Non-Fiction yang terdiri dari Biography dan Informational Books, dan yang

terakhir adalah Multicultural dan International Literature.

Jadi, literatur anak dapat didefinisikan sebagai buku yang ditulis untuk

kenyamanan anak-anak dan dibaca oleh anak-anak serta isinya yang terbatas

pada pengalaman dan pemahaman anak sehingga sesuai dengan anak-anak.

2.2.2.1 Jenis-Jenis Literatur Anak

Seperti yang telah diuraikan dalam penjelasan diatas, literatur

anak dibagi ke dalam dua jenis, yaitu fiksi dan non fiksi. Jenis literature

fiksi terbagi menjadi beberapa jenis yaitu picture books, puisi dan sajak,

folklore, fantasi, science fiction, realistic fiction, historical fiction,


14

biografi (Cullican, 1998:7). Berbeda dengan Lynch-Brown (2005), dia

membagi jenis literature fiksi menjadi Poetry dan Plays, Picture Books,

Traditional Literature, Modern Fantasy, Realistic Fiction, Historical

Fiction, Non-Fiksi yang terdiri dari Biography dan Informational

Books, dan yang terakhir adalah Multicultural dan International

Literature. Setiap jenis-jenis literature anak memiliki keistimewaan

sendiri dan tujuan serta perbedaannya seperti yang dijelaskan oleh

Lynch-Brown.

1. Fiksi, terdiri dari:

1.1 Picture Book

Picture book atau buku bergambar adalah literature anak yang

menggabungkan antara teks dan gambar untuk membentuk suatu

makna dari suatu cerita. Sehingga mudah dipahami dan anak

semakin tertarik dengan literature anak. Selain itu juga mampu

menarik minat baca anak. Jenis literature anak yang ini sangat

baik untuk anak-anak yang sedang dalam proses belajar bahasa.

Jenis buku yang termasuk kedalam picture book adalah buku

untuk bayi, buku interaktif, pop-up book, buku mainan, buku

tanpa teks, buku berhitung, komik, buku cerita, dan lain-lainnya.

1.2 Poetry and plays

Puisi dan sajak merupakan salah satu jenis literature anak yang

baik dalam mengembangkan kecerdasan anak. Puisi merupakan

ekspresi dari ide dan perasaan melalui suatu komposisi ritmik


15

yang imajinatif dan melalui kata-kata yang indah. Puisi mampu

mengungkapkan hal penting dengan cara yang sederhana.

Bahkan anak kecil pun mampu melakukannya tanpa malu.

Selain itu juga dengan puisi anak-anak belajar mengungkapkan

perasaannya sendiri dengan kata-kata dan anak juga bias belajar

penguasaan bahasa yang baik.

1.3 Folklore

Umumnya berisi cerita turun temurun yang berisi tentang

nasehat baik atau buruk. Dicerita dari mulut ke mulut, generasi

ke generasi sehingga kemungkinan berubah ada. Ada beberapa

jenis folklore yaitu nursery rhymes, fairytales, mitologi, fable,

legenda atau cerita-cerita dari Al-qur’an.

1.4 Modern Fantasy

Fantasi modern merupakan literature imajinatif yang dibedakan

oleh karakter, tempat, dan kejadian yang tidak dapat terjadi di

dunia nyata, misalnya binatang yang bias berbicara, benda mati

bias merasakan. Ada beberapa sub-bagian atau genre dari fantasi

modern, yaitu fantasi modern tentang binatang yang

menunjukan campuran karakter antara binatang dan manusia.

Kemudian ada juga high fantasy yang menunjukan keseriusan

dari tujuan dan idealism superior dari seorang pahlawan, lalu

ada time fantasy dimana pengarang dunia parallel yang

bersentuhan dengan sebuah tempat yang berada di dunia magis.


16

Kemudian genre yang terakhir yaitu science fiction yakni

gabungan antara teknologi rasional dengan bentuk sastra.

1.5 Realistic Fiction

Jenis literature fiksi yang dibuat dan disetting di masa modern

dengan kejadian-kejadian yang mungkin terjadi di dunia nyata.

Biasanya berisi cerita tentang orang dan peristiwa yang mungkin

terjadi di dunia nyata. Menggambarkan bagaimana dunia nyata

dengan semua dimensi kehidupan yang ada, misalnya seperti

kebahagiaan, kesedihan, keterpurukan, rasa sakit dan

sebagainya.

1.6 Historical Fiction

Berisi cerita dengan setting masa lalu dan menggambarkan

kejadian-kejadian yang sebenarnya pernah terjadi atau mungkin

bisa saja terjadi. Umumnya mengandung sejarah karena dibuat

dalam setting historis. Walaupun cenderung nyata tetap berbeda

dengan realistic fiction. Karena tokoh dalam cerita hanya fiktif

dan alur ceritanya berdasarkan kisah nyata.

2. Non-fiksi

2.1 Biography

Biografi merupakan buku yang menyajikan tentang kehidupan

seseorang baik itu pengalaman, pengaruh, prestasi dan

warisannya. Cerita yang ada didalam biografi berdasarkan

kenyataan hidup seseorang, bisa saja itu adalah pemimpin,


17

pahlawan, penulis, olahragawan ataupun yang lainnya. Biografi

juga dapat dituangkan dalam berbagai jenis literature anak yang

yang lainnya seperti picture book atau pun teks panjang.

2.2 Informational Book

Buku informative bersifat menyeluruh karena temanya bisa

bermacam-macam, bisa tentang biologi, luar angkasa, kehidupan

sehari-hari ataupun masa lampau. Kadang disajikan dalam

bentuk buku bergambar, khususnya buku untuk anak-anak.

2.3 Multicultural Book

Multicultural book merupakan sebuah buku yang menunjuk

pada trade book, tanpa memandang genre, yang mempunyai

karakter utama seorang anggota kelompok ras, agama maupun

bahasa lain selain Eropa-Amerika. Buku ini akan lebih baik jika

didalamny mengandung tentang nilai, kepercayaan, cara hidup

dan pola kepemikiran. Sehingga mudha dipelajari baik oleh anak

maupun ornag dewasa.

2.4 International Book

International book jika di Amerika diartikan sebagai karya sastra

yang diterbitkan untuk anak-anak di suatu Negara selain

Amerika dan bahasa asalnya dan diterbitkan di Amerika. Buku

jenis ini sangat baik untuk perkembangan guru dan murid,


18

khususnya dalam pemahaman dan apresiasi terhadap

kebudayaan Negara lain. Karena di dalam buku ini berisi tentang

kebudayaan Negara lain.

2.2.3 Tahap Perkembangan Anak

Perkembangan manusia selalu diamati berdasarkan keseluruha

dimensi perkembangannya, dapat dibagi ke dalam beberapa fase. Fase

tersebut adalah masa progresif (0- ± 20 tahun), masa stabil (± 21- ± 70 tahun)

dan masa regresif (± 71 tahun ke atas). Setiap fase dibagi lagi ke dalam

pengolongan yang memiliki ciri khusus yang terurai. Selain itu memiliki

karakteristik tertentu, perkembangan manusia juga mengalami masa kritis.

Terdapat tida masa kritis dalam fase perkembangan manusia, yaitu: pertama,

terjadi pada umur 3-5 tahun yakni terjadinya masa keras kepala. Kedua terjadi

pada masa remaja yakni usia 14-18 tahun ketika terjadi gejolak kehidupan

emosional dan konfrontasi dari keinginan untuk bebas mandiri pada satu

pihak dan pihak lain ketidakmampuan mandiri dalam arti ekonomis.

Kemudian yang ketiga adalah apabila seseorang merasa menjadi tua tetapi

tidak ingin menjadi tua (Semiawan, 2009:47).

Menurut Piaget (Semiawan,2009: 48-53), berdasarkan perkembangan

mental maka perkembangan seseorang adalah sebagai berikut:

1. Masa Bayi : 0-2 tahun

Anak dilahirkan di sebuah tempat dimana terdapat hubungan sosial yang

erat hubungannya dengan orang tuanya dimana ia seakan-akan menjadi

satu dengan lingkungannya. Masa bayi disebut juga masa vital karena anak
19

akan semakin sering melakukan eksplorasi terhadap lingkungan

sekitarnya. Dia akan melakukan pengamatan dan uji coba kecil-kecilan ala

anak-anak pada usianya. Sehingga ia juga belajar mengetahui apa yang

boleh dan apa yang tidak boleh. Pada masa ini anak menemukan

kemampuan berjalan tegak dan kemampuan berbahasa. Umur 0 sampai

dengan kurang lebih 2 tahun adalah masa yang ditandai oleh

perkembangan motorik yang cepat, anak memerlukan banyak latihan

pengamatan mealui penglihatan, pendengaran serta gerakannya.

Kelintingan yang berwarna yang digantung diatas tempat tidur saat ia

berumur beberapa bulan adalah suatu condiitiosine qua non, kalau tumbuh

kembangnya terutama segi mental yang diharapkan terjadi secara normal.

Melalui warna dan suara yang menjadi pengalaman belajar baginya ia

akan menyentakan kakinya dan mengembangkan segi sensori-motoriknya.

Keteraturan waktu minum, makan, tidur dan main sangat penting

dibudayakan sejak dini untuk menghidupi perkembangan mentalnya.

2. Masa Prasekolah: 2-5 tahun

Pada masa kanak-kanak merupakan mada keras kepala, anak sangat asyik

hidup dalam dunia fantasinya. Masa ini juga merupakan tahap

perkembangan ketika si anak secara tak sadar menemukan akunya dan

sangat bersifat egosentris. Keras kepala harus dihadapi dengan sangat

bijaksana, bila mood tersebut tampil orang tua dapat mengalihkan

perhatiannya ke objek lain. Masa ini juga disebut dengan masa intuitif dan

masa kritis tahap pertama dalam kehidupan seseorang. Jika dapat dilalui

dengan baik maka perkembangan sosial yang ditandai oleh keinginan


20

sendiri dan alam khayalnya yaitu kehidupan fantasinya akan berkembang

dengan sehat sehingga akhirnya ia siap untuk memasuki dunia sekolah.

3. Masa Sekolah:6-12 tahun

Pada masa ini anak sudah mampu menyesuaikan diri pada lingkungannya.

Masa usia ini juga disebut dengan masa pemantapan intelektual karena

pada umur ini ia haus pengetahuan. Meskipun berpikirnya masih bersifat

holistic dan dalam arti kognitif ia berada pada taraf operasional konkret, ia

sudah memiliki pengetahuan untuk memahami sebab dan akibat.

Ia mulai berkawan dengan anak-anak sebaya dengannya, memilih

kelompoknya, dan mengerti tentang sikap yang cocok baginya. Ida

sudahmulai beridir sendiri dalam arti mengelola dirinya terhadap tuntutan

lingkungan dan paham akan arti dan sifat ekonomis, yang menguntungkan

dan merugikan. Masa ini disebut dengan masa intelek karena peningkatan

kemampuan untuk berpikir secara rasional sangat nyata dan karenaia

gemar belajar. Ia mulai mengerti apa yang benar dan salah dan kata

hatinya mulai berkembang. Disini pengaruh lingkungan terhadap

perkembangan moral anak amat signifikan. Penyesuai diri anak pada

norma-norma yang berlaku di masyarakat terutama dalam lingkungan

keluarga dan sekolah mulai menampakkan diri secara jelas.

4. Masa Pra-Remaja: 11-13 tahun

Masa ini dilukiskan untuk memperhatikan perbedaan yang sedemikian

esensial antara dua masa perkembangan yang begitu berdekatan letaknya

tetapi sangat kontradiktif sifatnya, yaitu antara masa praremaja dan masa

remaja. Dalam masa ini anak akan semakin pandai mengendalikan dan
21

mengemudikan badan-badannya sendiri. Mampu membedakan salah dan

benar, mandiri, pintar memilih teman kelompok, berteman dengan yang

sebaya dengannya. Di sini pengaruh lingkungan terhadap perkembangan

moral anak amat mendalam dan anak bersifat penurut.

5. Masa Remaja:14-18 tahun

Berbeda dari masa praremaja yang ditandai oleh konformitas dan suasana

menurut pada orang tua, masa remaja ditandai oleh gejolak-gejolak dalam

hubungan dengan orang tuanya. Seperti tadi dikatakan, remaja pada masa

ini berupaya mencoba melepaskan diri dari orang tuanya. Ini terjadi karena

ia bermaksud menemukan identitas egonya mencapai individualitas yang

mantap. Remaja yang menginjak tahap persiapan menjadi dewasa seperti

tadi dikatakan, dapat disebut terlalu kecil untuk disebut taplak meja dan

terlalu besar untuk disebut serbet karena ia sedang dalam suatu masa

transisi. Masa ini tidak dapat disebut anak. Seperti menguasai fungsi-

fungsi fisik maupun mental secara penuh, ia berada dalam status interim

sebagai akibat dari posisi tersebut.

6. Masa Peralihan

Pada masa ini remaja sedang mencari identitas; siapa dia itu, apa yang

diharapkan darinya dan bagaimana ia merefleksikannya untuk dapat

memainkan peran secara mantap. Suatu lingkungan pendidikan yang

emansipasif berarti memiliki pemahaman bahwa dalam arti emosional

remaja berkeinginan mencapai kemandirian memperoleh tanggung jawab

dalam mewujudkan dirinya sendiri. Kendala utama dalam arti ekonomis

adalah bahwa ia belum mencapai kemandirian, meskipun emansipasi


22

tersebut merupakan aspek pembentukan identitas yang sangat penting

dalam perkembangannya dan menjadikan dia tumbuh kembang dan

berperilaku wajar sehingga disebut sehat mental.

2.2.4 Pengertian Kecerdasan

Kecerdasan atau Intelligence adalah suatu potensi kognitif umum dan

khusus yang dimiliki oleh setiap individu untuk bertahan hidup, memecahkan

masalah-masalah kehidupan, sebagaimana yang telah ditentukan dengan

ukuran dari tes-tes yang ada. Namun, belakangan ini pengertian dari konsep

kecerdasan sedikit mengalami perubahan yakni bukan sebagai potensi

bawaan melainkan sebagai kecerdasan yang bersifat nyata atau realitis, aktual

dan berubah-ubah. Seperti yang diuraikan Jean Piaget, kecerdasan sama

seperti beradaptasi yang dilakukan oleh individu pada lingkungan fisik dan

sosial dimana suatu proses yang tumbuh, berkembang, berubah dan

dinyatakan pada setiap saat dalam cara individu menghadapi dunia sekitarnya

(Mappiare, 2006:176).

Intelligences atau Kecerdasan merupakan sebuah kemampuan atau

berbagai kemampuan untuk mendapatkan dan menggunakan pengetahuan

untuk menyelesaikan masalah dan beradaptasi dengan dunia (Woolfolk,

2009:168). Kecerdasan juga mampu mempengaruhi kinerja di semua tugas

yang berorientasi kognitif, mulai dari soal-soal matematis sampai menulis

puisi ataupun menyelesaikan teka-teki. Akan tetapi, kecerdasan tersebut

selalu berbeda setiap harinya.


23

Berarti kecerdasan dapat dipahami sebagai suatu kemampuan kognitif

baik umum ataupun khusus yang dimiliki oleh setiap individu yang dapat

membantu dalam menyelesaikan masalah yang ada didunia dan dibutuhkan

pula saat individu tersebut beradaptasi dengan lingkungannya.

2.2.5 Pengertian Emosi

Emosi berasal dari bahasa latin yaitu emovere yang artinya

menggerakkan atau bergerak jauh, dari asal kata tersebut emosi dapat

diartikan sebagai suatu dorongan untuk bertindak (Abdoellah, 2012:117). Arti

kata ini juga menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal

mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman, emosi merujuk pada perasaan

dna pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian

kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya nerupakan dorongan

untuk bertindak. Sebagai contoh, emosi gembira mendorong perubahan

suasana hati seseorang sehingga secara fisiologi, ia akan terlihat tertawa

sedangkan emosi sedih akan mendorong seseorang untuk menangis. Emosi

merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia karena emosi

merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tetapi juga

mengganggu perilaku intensional manusia (Abdoellah, 2012: 178). Menurut

Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya yang khas dalam menangani

dan mengatasi emosi mereka, yaitu sadar diri, tenggelam dalam

permasalahan, dan pasrah.

Pengertian emosi sangat beragam, ada sebagian orang mengartikan

emosi sebagai suatu komponen yang terdapat dalam perasaan atau keadaan
24

fisiologis, namun sebagian lagi menggambarkan emosi sebagai seperangkat

komponen dengan suatu struktur yang deterministic atau probabilistic yang

dimana melihat emosi sebagai suatu keadaan atau proses yang dialami oleh

seseorang dalam merespons suatu peristiwa (Riana, 2011:16).

Emosi juga dapat diartikan sebagai aktivitas badaniah secara eksternal,

reaksi menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap peristiwa atau

kondisi mental tertentu (Lewis and Haviland-Jones, 2000). Menurut Lazarus

(dalam Riana, 2011) , emosi adalah suatu keadaan kompleks pada diri

organisme yang meliputi perubahan secara badaniah dan kondisi mental yang

ditandai dengan perasaan yang kuat dan biasanya disertai dengan dorongan

yang mengacu pada suatu bentuk perilaku.

Dengan kata lain, emosi dapat diartikan sebagai aktivitas seseorang

secara eksternal yang mana didalamnya terdapat reaksi menyenangkan atau

tidak menyenangkan terhadap suatu peristiwa atau kondisi mental tertentu

yang juga disertai dengan dorongan yang mengacu pada suatu bentuk

perilaku.

2.2.5.1 Macam-macam Emosi berdasarkan teori Descrates, Watson dan

Goleman

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa emosi

merupakan dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi yang

mendorong seseorang untuk memberikan respon atau bertingkah laku

terhadap stimulus yang ada. Ada beberapa tokoh yang mengemukakan

macam-macam emosi tersebut, diantaranya adalah Descrates, J.B.


25

Watson dan Daniel Goleman. Berikut pendapat mereka tentang macam-

macam emosi, yaitu:

1. Descrates, menurutnya emosi terbagi menjadi:

1.1 Desire (hasrat)

1.2 Hate (benci)

1.3 Sorrow (sedih atau duka)

1.4 Wonder (heran)

1.5 Love (Cinta), dan

1.6 Joy (kegembiraan)

2. J.B. Watson, membagi emosi menjadi:

2.1 Fear (ketakutan)

2.2 Rage (kemarahan), dan

2.3 Love (cinta).

3. Daniel Goleman, mengemukakan beberapa macam emosi yang

tidak berbeda jauh dengna Descrates dan J.B. Watson, yaitu:

3.1 Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel dan kesal hati,

3.2 Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis,

mengasihi diri, putus asa.

3.3 Rasa Takut : cemas, gugup, khawatir, waswas, perasaan

takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri.

3.4 Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, senang.

3.5 Cinta : Penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan

hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih.


26

3.6 Terkejut : terkejut, terkesiap.

3.7 Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka.

3.8 Malu : malu hati, kesal.

2.2.5.2 Jenis Emosi

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ekspresi dan pola

system saraf otonom, Lazarus (Lazarus, 1991) mengategorikan emosi

menjadi dua kategori, yaitu emosi primer atau dasar dan emosi

sekunder. Emosi primer merupakan emosi yang ada pada spesies

mamalia, sedangkan emosi sekunder merupakan kombinasi dari

beberapa emosi primer.

Ada beberapa perbedaan pendapat antara para ahli emosi dalam

mengategorikan emosi primer. Mengacu pada pendapat Darwin,

karakteristik yang biasa ada pada emosi primer adalah pertama emosi

primer yang berakar dari evolusi warisan, yang telah dimiliki sejak

awal masa bayi dan muncul dengan cepat dan otomatis dalam

interaksinya dengan lingkungan; kedua emosi primer memiliki

karakteristik sebagai ekspresi wajah yang universal dan dapat dikenali

pada berbagai budaya yang berbeda; ketiga emosi primer berkaitan

dengan sistem saraf di otak dan berkorelasi dengan aktivitas sistem

otonom.

Kemudian beberapa ahli membedakan emosi dalam beberapa

bentuk. LaFreniere (LaFreniere, 2000), membedakan 6 emosi dasar


27

pada bayi yang terdiri dari 2 emosi positif yaitu kegembiraan (joy,

happiness) dan surpise atau interest, sedangkan emosi negatif terdiri

dari 4 macam yaitu anger, fear, sadness dan digust. Saat anak

memasuki masa prasekolah, emosi anak berkembang lebih kompleks

dan mulai muncul perasaan bangga, malu, bersalah dan empati.

Hurlock (Hurlock, 1991), mengemukan dua macam emosi yang

umum pada anak-anak yaitu rasa takut dan kemarahan. Pola yang

menyertai ketakutan adalah rasa malu, kecanggungan, kekhawatiran

dan kecemasan. Selain kedua pola pada emosi ini, pada masa anak-

anak juga mengalami kecemburuan, duka cita,

keingintahuan,kegembiraan dan kasih saying. Kebahagiaan pada anak

dipengaruhi oleh tiga hal yaitu penerimaan, kasih saying dan prestasi.

Penerimaan bukan saja berarti penerimaan orang lain melainkanjuga

penerimaan akan diri sendiri. Anak yang diterima orang lain

umumnya merasa lebih mudah menyukai dan menerima diri sendiri,

sehingga mereka menjadi orang yang menyesuaikan diri dengan baik

serta disenangi teman sebayanya dan orang dewasa. Anak yang

diterima dapat mengharapkan adanya kasih sayang. Semakin mereka

diterima orang lain semakin besar perasaan kasih sayang yang akan

mereka peroleh. Akan tetapi, untuk memperoleh kasih sayang mereka

juga harus menunjukan kasih sayang.

Menurut Argyle (Argyle, 2001), orang mempunyai jumlah

emosi negative seperti marah, cemas, depresi dan lainnya. Namun

hanya memiliki satu pengertian emosi positif yang biasanya


28

digambarkan sebagai joy atau kegembiraan. Penelitian mengenai

emosi positif menunjukan bahwa perasaan tersebut terdiri dari

kegembiraan (enjoyment), perasaan lega (relief) dan percaya diri (self

confidence).

Frederickson (dalam Lucas, dkk., 2003), mencatat bahwa emosi

positif dengan mudah diidentifikasikan dalam kecenderungan aksi

(action). Secara umum emosi positif merupakan emosi yang

menyenangkan seperti joy, happiness, elation dan pleasure. Secara

lebih khusus emosi positif mencakup courage, hope, love, wonder,

interest, surprise dan desire. Selain perasaan-perasaan ini, emosi

positif dapat disimpulkan sebagai kombinasi dari high pleasantness

dan high arousal serta meliputi beberapa emosi seperti interest,

engaged dan active.

2.2.5.3 Pola dan Variasi Perkembangan Emosi Anak

Pola perkembangan emosi pada anak dapat dipahami dan

diketahui. Menurut Desmita (dalam Riana, 2011:25), pola

perkembangan emosi anak dimulai sejak anak berada dalam

kandungan dan setelah lahir pola perkembangan disertai dengan :

1. Perkembangan temperamen

Temperamen merupakan salah satu dimensi psikologis yang

berhubungan dengan aktivitas fisik dan emosional serta merespon.

Secara sederhana temperamen dapat diartikan sebagai perbedaan

kualitas dan intensitas respon emosional serta pengaturan diri yang


29

memunculkan perilaku individual yang terlihat sejak lahir, yang

relatif stabil dan menetap dari waktu ke waktu pada semua situasi

yang dipengaruhi oleh interaksi antara pembawaan, kematangan

dan pengalaman. Konsistensi temperamen ini dibentuk oleh faktor

keturunan, kematangan dan pengalaman terutama pola pengasuhan

orang tua.

2. Perkembangan Kedekatan (attachment)

Menurut Herbert (dalam Riana, 2011:25) attachment

diartikan sebagai ikatan antara dua individu atau lebih, sifatnya

adalah hubungan psikologi yang diskriminatif dan spesifik serta

mengikat seseorang dengan orang lain dalam rentang waktu dan

ruang tertentu. Adapun Sheift dan Hoffnung (dalam Riana,

2011:25), menjelaskan attachment sebagai hubungan timbale balik

yang sama kuat antara ibu dan anak, walaupun satu sama lain

berbeda dalam memenuhi kebutuhan kedekatan fisik dan

emosionalnya. Kedekatan ini muncul karena adanya hubungan fisik

antara anak dan orangtua atau anggota keluarga. Rasa kedekatan ini

terbagi menjadi dua, yaitu: kedekatan yang aman (secure

attachment) dna kedekatan yang tidak aman (insecure attachment).

3. Perkembangan rasa percaya (trust)

Pada perkembangan anak mengalami rasa percaya dan rasa

tidak percaya. Rasa percaya akan cenderung memunculkan rasa

aman dan percaya diri pada anak. Begitupun rasa tidak percaya
30

akan berakibat pada rasa tidak aman dan ketidakpercayaan diri

pada anak.

4. Perkembangan otonomi

Menurut Otonomi (dalam Riana, 2011:26), merujuk

perkembangan otonomi sebagai kebebasan individu manusia untuk

memilih, untuk menjadi kesatuan yang dapat memerintah,

menguasai dan menentukan dirinya sendiri. Menurut Erikson,

otonomi atau kemandirian merupakan tahap kedua perkembangan

psikososial yang berlangsung pada masa bayi dan masa baru pandai

berjalan. Otonomi berkembang seseuai dengan perkembangan

mental dan kemampuan saraf motorik anak.

Variasi emosi pada masing-masing anak berbeda-beda,

perbedaaan ini dipengarui oleh beberapa hal diantaranya:

1. Keadaan fisik anak

Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan anak

yang kurang sehat.

2. Reaksi social terhadap perilaku emosional

Reaksi sosial yang tidak menyenangkan akan mengakibatkan

reaksi emosi anak jarang tampak dan terwujud dibandingkan

dengan apabila reaksi sosial yang diterima anak menyenangkan.

3. Kondisi lingkungan

Kondisi lingkungan dengan jenis kelamin sejenis berakibat

semakin seringnya pelampiasan emosi dan lebih kuat.


31

4. Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga besar cenderung berpotensi besar

menimbulkan emosi dibandingkan keluarga kecil.

5. Cara mendidik anak

Cara mendidik otoriter mendorong rasa cemas dan takut. Cara

mendidik anak permisif (serba boleh) dan demokratis mendorong

berkembangnya semangat dan rasa kasih saying.

6. Status sosial-ekonomi keluarga

Anak dengan status sosial ekonomi yang rendah cenderung lebih

mengembangkan rasa takut dibandingkan dengan anak yang

memiliki keluarga dengan status sosial ekonomi yang tinggi.

Menurut Yusuf (dalam Riana, 2011:27), perkembangan emosi

anak terbagi menjadi 5 fase, yaitu:

1. Fase Bayi (0-2 tahun)

Pada masa bayi usia 0-2 tahun terbagi menjadi 3 kategori, yaitu:

1.1 Usia 0-8 minggu

Kehidupan bayi sangat dikuasi oleh emosi. Emosi anak

sangat bertalian dengan perasaan indriawi (fisik), dengan

kualitas perasaan senang dan tidak senang, misalnya: anak

tidur pulas atau tersenyum bila anak merasa kenyang, hangay


32

dan nyaman, serta menangis karena lapar, haus, kedinginan

ataupun sakit.

1.2 Usia 8 minggu-1 tahun

Pada masa ini perasaan psikis sudah mulai berkembang

anak merasa senang atau tersenyum bila melihat mainan yang

tergantung di depan matanya. Tidak merasa senang terhadap

benda asing atau orang asing. Pada masa ini perasaan anak

mengalami diferensiasi (penguraian), yaitu dari perasaan

senang jasmaniah menjadi tidak senang, marah, takut dan

jengkel serta takut.

1.3 Usia 1-3 tahun

Pada masa ini perasaan emosi anak sudah mulai terarah

pada sesuatu (orang, benda ataupun makhluk lain) sejajar

dengan perkembangan bahasa yang sudah dimulai pada usia

2 tahun maka anak dapat menyatakan perasaannya dengan

menggunakan bahasa dan emosi. Pada fase ini anak bersifat

labil (mudah berubah) dan mudah tersulut (mudah

terpengaruhi tetapi tidak lama).

2. Fase Prasekolah (4-6 tahun)

Pada usia ini anak mulai menyadari dirinya, bahwa dirinya

berbeda denganbukan dirinya (orang lain atau benda). Kesadaran

ini diperoleh dari pengalaman bahwa tidak setiap keinginannya

dipenuhi oleh orang lain atau benda lain. Anak menyadari bahwa

keinginannya berhadapan dengan keinginan ornag lain sehingga


33

orang lain tidak selamanya memenui keinginannya. Bersama

dengan itu, berkembang pula perasaan harga diri yang menuntut

pengakuan dari lingkungannya. Jika lingkungannya terutama

orangtua tidak mengakui harga diri anak seperti memperlakukan

anak secara keras atau kurang menyayangi maka pada diri anak

akan muncul sikap keras kepala, menentang, menyerah jadi penurut

yang diliputi rasa percaya diri kurang dengan sikap pemalu.

3. Fase anak Sekolah (6-12 tahun)

Pada masa ini anak mampu menyesuaikan diri dengan

lingkungan sekitarnya. Anak akan makin pandai mengendalikan

dan mengemudikan emosi dan badannya sendiri. Anak sudah mulai

beridir sendiri, mampu berpikir secara rasional, memahami benar

dan salah. Pengaruh lingkungan terhadap perkembangan moral

anak sangat besar, khususnya sekolah.

4. Fase Remaja (13-18 tahun)

Masa remaja adalah masa puncak emosionalitas yaitu

perkembangan emosi yang tinggi. Pada masa remaja awal

perkembangan emosi menunjukan sifat sensitif dan reaktif yang

sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial.

Emosinya bersifat negatif dan temperamental (mudah tersinggung,

marah, mudah sedih atau murung)

5. Fase Dewasa
34

Fase ini adalah dimana seseorang harus mampu mengenali

perasaan yang ada pada dirinya, dan tahu bagaimana harus

melampiaskannya.

Berdasarkan uraian diatas tentang pola dan variasi

perkembangan emosi pada anak dapat disimpulkan bahwa

perkembangan emosi pada anak dapat diketahui proses

perkembangannya. Variasi perkembangan emosi pada masing-masing

anak berbeda-beda tergantung pada faktor yang mempengaruhi.

Beberapa faktor tersebut adalah:

1. Keadaan fisik anak

2. Reaksi sosial terhadap perilaku emosional

3. Kondisi lingkungan

4. Jumlah anggota keluarga

5. Cara mendidik anak

6. Status sosial-ekonomi keluarga.

2.2.5.4 Karakteristik Perkembangan Emosi Anak

Hurlock (Hurlock, 1993), menyatakan bahwa karakter emosi

pada anak khususnya anak usia dini sangat kuat pada usia 2,5-3,5

tahun dan 5,5,-6,5 tahun. Beberapa cirri utama reaksi emosi pada anak

sebagai berikut :

1. Reaksi emosi pada anak sangat kuat, anak akan merespon suatu

peristiwa dengan kadar kondisi emosi yang sama. Semakin


35

bertambah usia anak, anak akn semakin mampu memilih kadar

keterlibatan emosinya.

2. Reaksi emosi sering kali muncul pada setiap peristiwa dengan cara

yang diinginkannya. Emosi anak dapat bereaksi kapan saja mereka

menginginkannya. Kadang tiba-tiba anak menangis saat bosan

atau karena suatu kondisi yang tidka jelas. Semakin bertambah

usia anak, kematangan emosi anak semakin bertambah sehingga

mereka mampu mengontrol dan memilih reaksi emosi yangdapat

diterima lingkungan.

3. Reaksi emosi anak mudah berubah dari satu kondisi ke kondisi

lain. Bagi seorang anak sangat mungkin sehabis menangis akan

langsung tertawa keras melihat kejadian yang menurutnya lucu.

Reaksi ini menunjukan spontanitas pada diri anak dan menunjukan

kondisi asli dimana anak sangat terbuka dengan pengalaman-

pengalaman hatinya.

4. Reaksi emosi bersifat individual, artinya meskipun peristiwa

pencetus emosi sama namun reaksi emosinya dapat berbeda-beda.

Hal ini terkait dengan berbagai factor yang mempengaruhi

perkembangan emosi terutama pengalaman-pengalaman dari

lingkungan yang dialami anak.

5. Keadaan emosi anak dapat dikenali melalui gejala tingkah laku

yang ditampilkan. Anak-anak sering kali mengalami kesulitan

emosi yang dialami anak lebih mudah dikenali dari tingkah laku

yang ditunjukan.
36

Pemahaman mengenai karakteristik emosi anak sangat penting

bagi orangtua dan pendidik dalam memberikan stimulasi emosi yang

tepat bagi anak nantinya. Keterbatasan pemahaman terhadap

karakteristik emosi anak terkadang menyebabkan kurang tepatnya

orang dewasa dalam mengatasi masalah emosi anak sehingga

seringkali terjadi kesalahpahaman antara orang dewasa dan anak-anak

kemudian juga akan memperburuk perkembangan emosi anak.

2.2.6 Pengertian Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence)

Menurut Goleman kecerdasan emosional adalah kemampuan

seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga

keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui ketrampilan kesadaran diri,

pengendalian diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial (Goleman,

2007: 512). Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali,

mengolah dan mengontrol emosi agar anak mampu merespons secara positif

setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi ini (Riana,

2011:60). Menurut W.T. Grant Consortium (dalam Goleman, 1995),

kecerdasan emosional meliputi mengidentifikasi dan memberikan perasaan-

perasaan, mengungkapkan perasaan, menilai intensitas perasaan, mengelola

perasaan, menunda pemuasan dan mengendalikan dorongan hati, mengurangi

stress dan mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan.

Kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan yang berisi kesadaran

akan perasaan miliki diri sendiri dan juga perasaan milik orang lain, yang

berhubungan dengan rasa empati, cinta, motivasi dan kemampuan untuk


37

menanggapi kesedihan atau kegembiraan yang dipandang sebagai persyaratan

dasar untuk pemakaian kecerdasan kognitif (Mappiare, 2006:108). Dalam

Kamus Kepustakawanan Indonesia (2009), kecerdasan emosional adalah

kemampuan menggabungkan secara sadar pikiran, perasaan dan tindakkan

untuk bersahabat dengan diri sendiri dan orang lain. Kecerdasan emosional

juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk memproses dan menggunakan

informasi emosional secara akurat dan efisien (Woolfolk, 2009:174).

Dalam hal ini, penulis menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional

merupakan sebagai kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya

dengan inteligensi menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui

kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial

khususnya dalam mengidentifikasi dan memberikan perasaan-perasaan,

mengungkapkan perasaan, menilai intensitas perasaan, mengelola perasaan,

menunda pemuasan dan mengendalikan dorongan hati, mengurangi stress dan

mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan.

Ada 4 kemampuan dalam kecerdasan emosional, yakni: memersepsi,

mengintegrasikan, memahami dan mengelola emosi, menurut Mayer & Cobb

(dalam Woolfolk, 2009:174). Jika kita tidak dapat memersepsikan apa yang

kita rasakan, maka bagaimana membuat pilihan. Orang-orang yang mampu

memberikan persepsi dan memahami emosi orang lain dan merespon dengan

tepat lebih sukses dalam bekerja sama dengan orang lain dan lebih sering

tampil sebagai pemimpin. Begitu pula, jika kita tidak bisa mengintegrasikan

emosi ke pemikiran dan memahaminya, bagaimana kita dapat

mengkomunikasikan perasaan kita kepada orang lain agar mereka


38

mengetahuinya. Kemudian, suatu keharusan untuk mengelola emosi yang ada

khususnya emosi negatif misalnya seperti marah atau depresi. Kecerdasan

emosional di sekolah sangat penting, seperti yang diuraikan berikut ini:

Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukan

bahwa program-program yang dirancang untuk membantu siswa membangun

kompetensi emosionalnya mampu memberikan efek yang menguntungkan,

termasuk meningkatnya sikap kooperatif dan menurunnya kegiatan antisosial

seperti menghina atau bullying. Sebagai contoh, program yang dijalankan

oleh Norma Feshbach (1997, 1998), yakni mengembangkan sebuah program

36-jam untuk membantu siswa SD menjadi lebih simpatik. Dalam program

ini, siswa diminta untuk membayangkan bagaimana jika mereka menjadi

sesuatu atau mengalami sesuatu yang dituangkan dalam bentuk cerita,

kemudian siswa-siswa akan bermain peran dengan cerita yang ada dengan

bergantian. Dengan karakter yang berbeda di setiap cerita akan membantu

siswa dalam memahami sifat dan watak dari seseorang sehingga mereka akan

jauh lebih simpatik dalam suatu hal atau kejadian (Woolfolk, 2009:175).

Hal inilah, yang diteliti lebih lanjut oleh Daniel Goleman. Dalam

penelitiannya, tingkat inteligensi yang tinggi tidak menjamin gengsi,

kesejahteraan, kebahagiaan dan kesuksesan hidup. Ada kecerdasan lain yang

tidak kalah pentingnya yaitu kecerdasan emosional. Kecerdasan inteligensi

sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Goleman menegaskan

bahwa kecerdasan emosional dapat sama ampuhnya dengan kecerdasan

inteligensi. Bahkan, dengan memanfaatkan penelitian yang menggemparkan

tentang otak dan perilaku, dia memperlihatkan faktor-faktor yang terkait


39

mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-

sedang saja sukses. Faktor tersebut adalah kecerdasan emosional. Dengan

kecerdasan emosional orang dapat membuat seseorang mampu

mengendalikan emosinya sehingga dia dapat berpikir dengan jernih saat

melakukan sesuatu. Berbeda dengan orang yang tidak memiliki kecerdasan

emosional yang baik, misalnya orang yang tidak memiliki kepandaian dalam

mengendalikan emosinya dia akan mudah marah. Dan sikap marah-marah

tersebut akan mematikan sistem kerja nalar dan IQ. Disinilah kelebihan

kecerdasan emosional dibandingkan kecerdasan inteligensi (Baharudin,

201:155-161).

2.2.6.1 Komponen dan Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan,

tidak bersifat menetap dan dapat berubah setiap saat. Untuk itu, peranan

lingkungan terutama orangtua pada masa kanak-kanak sangat

mempengaruhi pembentukan kecerdasan emosional. Ketrampilan EQ

bukan lawan IQ melainkan keduanya berinteraksi secara dinamis baik

pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak

dipengaruhi oleh faktor keturunan (Sahpiro, 2003: 8).

Ada 5 kemampuan utama dalam mengembangkan kecerdasan

emosional, menurut Goleman, yaitu:

1. Mengenali emosi diri

Mengenali emosi diri merupakan kemampuan untuk

mengenali perasaan pada saat perasaan itu terjadi. Kemampuan ini


40

merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Para ahli psikologi

menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yaitu kesadaran

seseorang terhadap emosi dirinya. Menurut Mayer, kesadaran diri

adalah waspada terhadap suasana hati ataupun pikiran tentang

suasana hati. Apabila kurang waspada, individu menjadi mudah larut

dalam aliran emosi dan dikuasi oleh emosi. Kesadaran diri memang

belum menjamin penguasaan emosi, tetapi merupakan salah satu

prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu

mudah menguasai emosi.

2. Mengelola emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam

menangani perasaan agar terungkap dengan tepat atau selaras

sehingga tercapai keseimbangan dalam dirinya. Menjaga agar emosi

yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju

kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan yangmeningkat dengan

intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan individu.

Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri

sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan

dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk

bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

3. Memotivasi diri

Prestasi harus dilalui dengan memiliki motivasi dalam diri

sendiri, yang berarti memiliki ketekunan menahan diri terhadap

kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai


41

perasaan motivasi yang positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis dan

keyakinan diri.

4. Mengenali emosi orang lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain di sebut juga

dengan empati. Kemampuan seseorang untuk mengenali emosi

orang lain menunjukan kemampuan empati seseorang. Individu yang

memiliki kemampuan empati yang lebih mampu menangkap sinyal-

sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang

dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut

pandang orang lain, peka terhadap perasaan ornag lain, dan lebih

mampu untuk mendengarkan orang lain.

Rosenthal dalam penelitiannya menunjukan bahwa orang

yang mampu membaca perasaan dan isyarat non-verbal lebih mampu

menyesuaikan diri secara emosional, lebih popular, lebih mudah

bergaul dan lebih peka. Nowicki menjelaskan bahwa anak-anak yang

tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik

akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu

membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi.

Semakin mampu terbuka pada emosinya, mampu mengenal dan

mengakui emosinya, orang tersebut mempunyai kemampuan untuk

membaca perasaan orang lain.

5. Membina hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan

ketrampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan


42

keberhasilan antarpribadi. Keterampilan dalam komunikasi

merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina

hubungan.

Orang-orang yang hebat dalam ketrampilan membina hubungan

ini akan sukses dalam bidang apapun. Mereka berhasil dalam pergaulan

karena mampu berkomunikasi dengan lancar kepada orang lain. Orang-

orang ini popular dalam lingkungannya dan menjadi teman yang

menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi. Ramah tamah,

baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif

cara siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauh mana

kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan

interpersonal yang dilakukannya.

2.2.6.2 Ciri-Ciri Anak dengan Kecerdasan Emosional

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa kecerdasan

emosional adalah kemampuan untuk mengenali, mengolah dan

mengontrol emosi agar anak mampu merespon secara positif setiap

kondisi yang merangsang munculnya emosi. Dengan mengajari anak

ketrampilan emosi dan sosial maka anak-anak akan mampu mengatasi

berbagai masalah yang muncul selama masa perkembangan mereka.

Selain itu, anak juga akan lebih mampu untuk mengatasi tantangan-

tantangan emosional dalam kehidupan modern sekarang ini (Riana,

2011:60).
43

Salovey dan Mayer (dalam Shapiro, 2003), menjelaskan tentang

aspek-aspek yang terdapat dalam kecerdasan emosional yaitu empati,

mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah,

kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan

memecahkan masalah pribadi, ketekuanan, kesetiakawanan,

keramahan dan sikap hormat.

Goleman (Goleman, 2001), mengungkapkan ciri-ciri anak yang

memiliki kecerdasan emosional sebagai berikut:

1. Mampu memotivasi diri sendiri,

2. Mampu bertahan menghadapi frustasi,

3. Lebih cakap untuk menjalankan jaringan informal/non-verbal

(memiliki tiga variasi yaitu jaringan komunikasi, jaringan keahlian

dan jaringan kepercayaan),

4. Mampu mengendalikan dorongan lain,

5. Cukup luwes untuk menemukan cara/ alternatif agar sasaran tetap

tercapai atau mengubah sasaran jika sasaran semula sulit

dijangkau.

6. Tetap memilikii kepercayaan yang tinggi bahwa segala sesuatu

akan beres ketika menghadapi tahap sulit,

7. Memiliki empati yang tinggi,

8. Mempunyai keberanian untuk memecahkan tugas yang berat

menjadi tugas kecil yang mudah ditangani,

9. Merasa cukup banyak akal untuk menemukan cara dalam

mencapai tujuan.
44

Berdasarkan urai tersebut, maka dapat disimpulkan aspek emosi

yang mengacu pada pendapat Goleman dan Salovey-Mayer ke dalam

5 ciri, yaitu :

1. Kemampuan mengenali emosi diri,

2. Kemampuan mengelola dan mengekspresikan emosi,

3. Kemamuan memotivasi diri,

4. Kemampuan mengenali emosi orang lain, dan

5. Kemampuan membina hubungan dengan orang lain.

Kemudian ke 5 aspek tersebut dijabarkan dalam pemetaan yang

sistematis oleh Syamsu Yusuf (dalam Nugraha dan Rachmawati,

2004), sebagai berikut :

ASPEK KARAKTERISTIK PERILAKU


1. Kesadaran Diri 1.1 Mengenal dan merasakan emosi sendiri
1.2 Memahami penyebab perasaan yang
timbul
1.3 Mengenal pengaruh perasaan terhadap
tindakan

2. Mengelola Emosi 2.1 Bersikap toleran terhadap frustasi dan


mampu mengelola amarah secara baik.
2.2 Lebih mampu untuk mengungkapkan
amarah dengan tepat
2.3 Dapat mengendalikan perilaku agresif
yangmerusak diri dan orang lain
2.4 Memiliki perasaan yang positif tentang
diri sendiri, sekolah dan keluarga
2.5 Memiliki kemampuan untuk mengatasi
ketegangan jiwa (stress)
2.6 Dapat mengurangi perasaan kesepian
dan cemas dalam pergaulan.

3. Memanfaatkan 3.1 Memiliki rasa tanggung jawab


Emosi secara 3.2 Mampu memustakan perhatian pada
Produktif tugas yang dikerjakan
3.3 Mampu mengendalikan diri dan tidak
45

bersifat impulsif.

4. Empati 4.1 Mampu menerima sudut pandang orang


lain
4.2 Memiliki kepekaan terhadap perasaan
orang lain
4.3 Mampu mendengarkan orang lain.

5. Membina 5.1 Memiliki pemahaman dan kemampuan


Hubungan untuk menganalisis hubungan dengan
orang lain
5.2 Dapat menyelesaikan konflik dengan
orang lain
5.3 Memiliki kemampuan berkomunikasi
dengan orang lain
5.4 Memiliki sikap bersahabat atau mudah
bergaul dengan teman sebaya
5.5 Memiliki sikap tenggang rasa dan
perhatian terhadap orang lain
5.6 Memperhatikan kepentingan sosial
(senang menolong orang lain) dan dapat
hidup selaras dengan kelompok
5.7 Bersikap senang berbagi rasa dan
bekerja sama
5.8 Bersikap demokratis dalam bergaul
dengan orang lain.

Table 1.1 Aspek emosi dan krakteristik perilaku

2.2.6.3 Cara Menstimulasi Kecerdasan Emosional

Orang tua dan pendidik biasanya lebih memperhatikan

perkembangan fisik dan kemampuan kognitif anak, namun terkadang

kurang memberikan perhatian terhadap perkembangan kecerdasan

emosional anak. Sebagai orang tua dan pendidik yang menginginkan

kebahagiaan anak perlu secara serius mengasah kecerdasan emosional

anak dan bahkan menempatkannya sebagai prioritas dalam bagian

pengasuhan (Riana, 2011:64).


46

Karena itulah, maka orang tua dan pendidik perlu memberikan

rangsangan yang tepat sehingga anak pun dapat mempelajari

ketrampilan emosi dan sosial yang baru. Menurut Nugraha dan

Rachmawati (Nugraha, 2004), ada beberapa rangsangan

pengembangan kecerdasan emosional yang dapat dilakukan oleh

orang tua dan pendidik, yaitu :

1. Memberikan kegiatan yang diroganisasikan berdasar kebutuhan,

minat dan karakteristik anak yang menjadi sasaran pengembangan

kecerdasan emosional.

2. Pemberian kegiatan yang diorganisasikan bersifat holistic

(menyeluruh). Kegiatan holistic ini meliputi semua aspek

perkembangan dan semua pihak yang terkait dalam proses tumbuh

kembang anak.

Kecerdasan emosional anak perlu diasah sejak dini, karena

kecerdasan emosional merupakan salah satu proses keberhasilan

individu dalam berbagai aspek kehidupan. Kemampuan anak

mengembangkan kecerdasan emosionalnya, berkorelasi positif dengan

keberhasilan akademis, sosial dan kesehatan mentalnya. Anak yang

memiliki kecerdasan emosional tinggi identik dengan anak yang

bahagia, bermotivasi tinggi dan mampu bertahan dalam menjalani

berbagai kondisi stress yang dihadapi. Orang tua dan pendidik

memegang peran penting dalam memberikan stimulasi kecerdasan

emosional ini, meski demikian sebelum mengembangkan kecerdasan


47

emosional anak selayaknya orang tua dan pendidiklah yang terlebih

dahulu memilikik kecerdasan emosional dalam dirinya.

2.2.6.4 Manfaat Kecerdasan Emosional Bagi Siswa

Pendidikan adalah kegiatan yang dijalankan dengan sengaja,

teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau

mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga

formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan

tersebut. Dalam pendidikan formal,belajar menunjukan perubahan

yang sifatnya positif sehingga tahap akhir, peserta didik memperoleh

ketrampilan, kecakapan dan pengetahuan baru.

Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks

dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih

prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki IQ yang

tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan

memudahkan dalam belajar dan akan menghasilkan prestasi belajar

yang optimal. Namun kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di

sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi

belajar setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang

mempunyai kemampuan inteligensi tingg, tetapi memperoleh prestasi

belajar yang relatif rendah, tetapi ada siswa yang walaupun

kemampuan inteligensinya relatif rendah namun ia dapat meraih

prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya, taraf inteligensi

bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan


48

seseorang. Ada faktir lain yang mempengaruhi taraf inteligensi

tersebut.

Menurut Goleman, IQ hanya menyumbang 20% bagi

kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-

kekuatan lain diantaranya adalah EQ yaitu kemampuan memotivasi

diri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana

hati, berempati serta kemampuan bekerja sama.

Anda mungkin juga menyukai