Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Kesadaran menurun dengan derajat paling berat dikenal sebagai koma,


merupakan kasus kedaruratan neurologik yang memerlukan tindakan yang tepat,
cepat dan cermat. Penyebab kesadaran menurun beragam dengan karakteristik
masing-masing. Untuk mendiagnosis kesadaran menurun dan penyebabnya,
diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik (status internus) dan neurologik secara
sistematik dan menyeluruh disertai pemeriksaan penunjang yang relevan.
Terjadinya penurunan kesadaran menunjukkan bahwa pasien mengalami
gangguan pada fungsi dari sistem saraf pusat nya, terutama pada Ascending
Reticular Activating System (ARAS) baik secara langsung maupun tidak
langsung. Ada beberapa mekanisme yang mendasari terjadinya penurunan
kesadaran. Pertama, adanya mekanisme disfungsi otak difus oleh proses
metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas neuronal berpengaruh
langsung pada aktivitas metabolik sel neuron, kemudian adanya lesi pada batang
otak yang menghambat fungsi ARAS, serta adanya efek kompresi atau penekanan
pada batang otak yang akan menyebabkan penurunan kesadaran karena efek desak
ruang dan herniasi, sehingga menyebabkan kompresi pada mesensefalon dan area
subthalamik pada Reticular Activating System (RAS)
Penatalaksanaan pasien dengan kesadaran menurun harus bersifat
antisipatif dan bukannya reaktif, dengan kecepatan dan kecermatan tindakan
sesuai prosedur tetap yang berlaku. Tata laksana awal yang cepat, tepat dan
adekuat sangat diperlukan karena dapat menentukan prognosis pasien. Prognosis
penurunan kesadaran akan membaik jika dilakukan pengenalan awal yang cepat
dari tanda dan gejala klinisnya, tata laksana awal yang tepat, stabilisasi dari
Airway, Breathing and Circulation (ABC), identifikasi dan tata laksana dari
penyebab yang mendasari penurunan kesadaran.

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar penuh
atas dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Komponen yang dapat
dinilai dari suatu keadaan sadar yaitu kualitas kesadaran itu sendiri dan
isinya. Isi kesadaran menggambarkan keseluruhan dari fungsi cortex
serebri, termasuk fungsi kognitif dan sikap dalam merespon suatu
rangsangan. Pasien dengan gangguan isi kesadaran biasanya tampak sadar
penuh, namun tidak dapat merespon dengan baik beberapa rangsangan -
rangsangan, seperti membedakan warna, raut wajah, mengenali bahasa
atau simbol, sehingga seringkali dikatakan bahwa penderita tampak
bingung1.
Penurunan kesadaran mempunyai berbagai derajat. Menurut Plum,
gangguan kesadaran yang maksimal (koma) didefinisikan sebagai
“unarousable unresponsiveness” yang berarti “the absence of any
psychologically understandable response to external stimulus or inner
need”, tiadanya respons fisiologis terhadap stimulus eksternal atau
kebutuhan dalam diri sendiri1.

2.2 Etiologi
Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik
yang bersifat intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik sebagai berikut:
a. Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau batang
otak)
- Perdarahan, trombosis maupun emboli
- Mengingat insidensi stroke cukup tinggi maka kecurigaan terhadap
stroke pada setiap kejadian gangguan kesadaran perlu digarisbawahi.
b. Infeksi: ensefalomeningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/abses
otak)
Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit yang
sering dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran
yang disertai suhu tubuh meninggi perlu dicurigai adanya
ensefalomeningitis.
c. Gangguan metabolisme

2
Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan diabetes melitus sering
dijumpai.
d. Neoplasma
- Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik, sering di jumpai di
Indonesia.
- Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa dan
lanjut.
- Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur namun
progresif/ tidak akut.
e. Trauma kepala
Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas.
f. Epilepsi
Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan status
epileptikus
g. Intoksikasi
Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh diri),
makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
h. Gangguan elektrolit dan endokrin
Gangguan ini sering kali tidak menunjukkan “identitas”nya secara
jelas; dengan demikian memerlukan perhatian yang khusus agar tidak
terlupakan dalam setiap pencarian penyebab gangguan kesadaran.

2.3 Epidemiologi
Prevalensi dan insidensi dari koma dan gangguan kesadaran sulit
untuk ditentukan secara pasti, mengingat luas dan beragamnya faktor
penyebab dari koma. Laporan rawat inap nasional dari Inggris tahun 2002-
2003 melaporkan bahwa 0,02% (2.499) dari seluruh konsultasi rumah
sakit disebabkan olehgangguan terkait dengan koma dan penurunan
kesadaran, 82% dari kasus tersebut memerlukan rawatinap di rumah sakit.
Koma juga nampaknya lebih banyak dialami oleh pasien usia paruh baya
dan lanjutusia, dengan rata-rata usia rawat inap untuk koma adalah 57
tahun pada laporan yang sama. Hasil lain dilaporkan oleh dua rumah sakit
daerah Boston, Amerika Serikat, di mana koma diperkirakanmenyebabkan
hampir 3% dari seluruh diagnosis masuk rumah sakit. Penyebab yang
paling banyak dari laporan tersebut adalah alkoholisme, trauma serebri dan
stroke, di mana ketiga sebab tersebut menyebabkan kurang lebih 82% dari
semua admisi2.

3
2.4 Fisiologi Kesadaran
Secara singkat, pusat pengaturan kesadaran pada manusia secara
anatomi terletak pada serabut transversal retikularis dari batang otak
sampai thalamus dan dilanjutkan dengan formasio activator reticularis,
yang menghubungkan thalamus dengan korteks cerebri. Formasio
reticularis terletak di substansi grisea otak dari daerah medulla oblongata
sampai midbrain dan thalamus. Neuron formasio reticularis menunjukkan
hubungan yang menyebar. Perangsangan formasio reticularis midbrain
membangkitkan gelombang beta, individu menjadi dalam keadaan bangun
dan terjaga. Lesi pada formasio reticularis midbrain mengakibatkan orang
dalam stadium koma, dengan gambaran EEG gelombang delta. Jadi
formasio reticularis midbrain bekerja merangsang ARAS (Ascending
Reticular Activating System), suatu proyeksi serabut difus yang menuju
bagian area di forebrain. Formasio reticularis secara difus menerima dan
menyebarkan rangsang, menerima imput dari korteks cerebri, ganglia
basalis, hipothalamus, sistem limbik, cerebellum, medula spinalis dan
semua sistem sensorik. Sedangkan serabut efferens formasio retikularis
yaitu ke medula spinalis, cerebellum, hipothalamus, sistem limbik dan
thalamus yang lalu akan berproyeksi ke korteks cerebri dan ganglia
basalis3. ARAS juga mempunyai proyeksi non spesifik dengan
depolarisasi global di korteks, sebagai kebalikan dari proyeksi sensasi
spesifik dari thalamus yang mempunyai efek eksitasi korteks secara
khusus untuk tempat tertentu. Eksitasi ARAS umum memfasilitasi respon
kortikal spesifik ke sinyal sensori spesifik dari thalamus. Dalam keadaan
normal, sewaktu perjalanan ke korteks, sinyal sensorik dari serabut sensori
aferens menstimulasi ARAS melalui cabang-cabang kolateral akson. Jika
sistem aferens terangsang seluruhna, proyeksi ARAS memicu aktivasi
kortikal umum dan terjaga4.

4
2.5 Patofisiologi
Penurunan kesadaran merupakan bentuk disfungsi otak yang
melibatkan hemisfer kiri ataupun kanan atau struktur-struktur lain dari otak
(termasuk sistem reticular activating, yang mengatur siklus tidur dan
bangun), atau keduanya4. Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan
pada korteks secara menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan
dapat pula disebabkan oleh gangguan ARAS di batang otak,terhadap
formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon7.
Secara anatomik, letak lesi yang menyebabkan penurunan kesadaran dapat
dibagi menjadi dua, yaitu : supratentorial (15%), infratentorial (15%)., dan
difus (70%) misalnya pada intoksikasi obat dan gangguan metabolik5.

Gambar 1. Patofisiologi Penurunan Kesadaran

5
a. Koma diensefelik
Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formasio retikularis
di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran)
disebut koma diensefalik. Secara anatomik, koma diensefalik dibagi
menjadi dua bagian utama, ialah koma akibat lesi supratentorial dan
lesi infratentorial. Lesi supratentorial pada umumnya berbentuk proses
desak ruang atau space occupying process, misalnya gangguan
peredaran darah otak (GPDO atau stroke) dalam bentuk perdarahan,
neoplasma, abses, edema otak, dan hidrosefalus obstruktif 5. Proses
desak ruang tadi menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dan
kemudian menekan formasio retikularis di mesensefalon dan
diensefalon (herniasi otak). Lesi infratentorial meliputi dua macam
proses patologik dalam ruang infratentorial (fossa kranii
posterior).pertama, proses diluar batang otak atau serebelum yang
mendesak sistem retikularis, dan yang kedua merupakan proses di
dalam batang otak yang secara langsung mendesak dan merusak sistem
retikularis batang otak5. Proses yang timbul berupa:
- penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon (formasio
retikularis)
- herniasi serebelum dan batang otak ke rostral melewati tentorium
serebeli yang kemudian menekan formasio retikularis di
mesensefalon, dan
- herniasi tonsilo-serebelum ke bawah melalui foramen magnum dan
sekaligus menekan medula oblongata.

6
b. Koma kortikal-bihemisferik5
Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada terkecukupinya
penyediaan oksigen. Pada individu sehat dengan konsumsi okesigan
otak kurang lebih 3,5ml/100gr otak/menit maka aliran darah otak
kurang lebih 50ml/100gr otak/menit. Bila aliran darah otak menurun
menjadi 25-50ml/gr menit/otak, mungkin akan terjadi kompensasi
dengan menaikkan ekstraksi oksigen dari aliran darah. Apabila aliran
darah turun lebih rendah lagi maka akan terjadi penurunan konsumsi
oksigen secara proporsional. Glukosa merupakan satu-satunya substrat
yang digunakan otak dan teroksidasi menjadi karbondioksida dan air.
Untuk memelihara integritas neuronal, diperlukan penyediaan ATP
yang konstan untuk mengeluarkan ion natrium dari dalam sel dan
mempertahankan ion kalium di dalam sel. Apabila tidak ada oksigen
maka terjadilah glikolisis anaerob untuk memproduksi ATP. Glukosa
dapat berubah menjadi laktat dan ATP, tetapi energi yang
ditimbulkannya kecil. Dengan demikian oksigen dan glukosa
memegang peranan yang sangat penting dalam memelihara keutuhan
kesadaran. Namun demikian, walaupun penyediaan oksigen dan
glukosa tidak terganggu, kesadaran individu dapat terganggu oleh
adanya gangguan asam basa darah, elekrolit, osmolalitas, ataupun
defisiensi vitamin5.

2.6 Diagnosis

a. Anamnesis4,5
Dalam kasus gangguan kesadaran, auto-anamnesis masih dapat
dilakukan bila gangguan kesadaran masih bersifat ”ringan”, pasien masih
dapat menjawab pertanyaan (lihat pemeriksaan Glasgow Coma Scale/
GCS). Hasil auto-anamnesis ini dapat dimanfaatkan untuk menetapkan
adanya gangguan kesadaran yang bersifat psikiatrik – termasuk sindrom
otak organik atau gangguan kesadaran yang bersifat neurologik
(dinyatakan secara kualitatif maupun kuantitatif ke dalam GCS). Namun
demikian arti klinis dari anamnesis perlu dicari dari dengan hetero-

7
anamnesis, yaitu anamnesis terhadap pengantar dan atau keluarganya.
Berbagai hal yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis adalah sebaai
berikut:
- Penyakit yang pernah diderita sebelum terjadinya gangguan
kesadaran, misalnya diabetes melitus, hipertensi, penyakit ginjal,
penyakit hati, epilepsi, adiksi obat tertentu
- Keluhan pasien sebelum terjadinya gangguan kesadaran, antara
lain nyeri kepala yang mendadak atau sudah lama, perasaan pusing
berputar, mual dan muntah, penglihatan ganda, kejang,
kelumpuhan anggota gerak.
- Obat-obat yang diminum secara rutin oleh pasien, misalnya obat
penenang, obat tidur, antikoagulansia, obat antidiabetes (dapat
dalam bentuk injeksi), antihipertensi.
- Apakah gangguan kesadaran terjadi secara bertahap atau
mendadak, apakah disertai gejala lain / ikutan?
- Apakah ada inkontinensi urin dan / atau alvi?
- Apakah dijumpai surat tertentu (misalnya ”perpisahan”)?
b. Pemeriksaan fisik (status internus)
Pada pemeriksaan ini hendaknya diperhatikan hal-hal yang biasanya
dilakukan oleh setiap dokter, dengan memerhatikan sistematika dan
ketelitian, sebagai berikut:
- Nadi, meliputi frekuensi, isi dan irama denyut
- Tekanan darah, diukur pada lengan kanan dan lengan kiri;
perhatikanlah apakah tensimeter masih berfungsi dengan baik
- Suhu tubuh, pada umumnya termometer dipasang di ketiak; bila
perlu diperiksa secara rectal
- Respirasi, meliputi frekuensi, keteraturan, kedalaman, dan bau
pernapasan (aseton, amonia, alkohol, bahan kimia tertentu dll)
- Kulit, meliputi turgor, warna dan permukaan kulit ( dehidrasi,
ikterus, sianosis, bekas suntikan, luka karena trauma, dll)
- Kepala, apakah ada luka dan fraktur vii. Konjungtiva, apakah
normal, pucat, atau ada perdarahan
- Mukosa mulut dan bibir, apakah ada perdarahan, perubahan warna
- Telinga, apakah keluar cairan bening, keruh, darah, termasuk bau
cairan perlu diperhatikan
- Hidung, apakah ada darah dan atau cairan yang keluar dari hidung

8
- Orbita, apakah ada brill hematoma, trauma pada bulbus okuli,
kelainan pasangan bola mata (paresis N.III, IV, VI), pupil, celah
palpebra, ptosis
- Leher, apakah ada fraktur vertebra; bila yakin tidak ada fraktur
maka diperiksa apakah ada kaku kuduk
- Dada, pemeriksaan fungsi jantung dan paru secara sistematik dan
teliti
- Perut, meliputi pemeriksaan hati, limpa, ada distensi atau tidak,
suara peristaltik usus, nyeri tekan di daerah tertentu.

c. Pemeriksaan neurologik5
Di samping pemeriksaan neurologik yang rutin maka terdapat beberapa
pemeriksaan neurologik khusus yang harus dilakukan oleh setiap
pemeriksa. Pemeriksaan khusus tadi meliputi pemeriksaan kesadaran
dengan menggunakan GCS dan pemeriksaan untuk menetapkan letak
proses patologik di batang otak.
1) Pemeriksaan dengan menggunakan GCS
- Instrumen ini dapat diandalkan
- Mudah untuk diaplikasikan dan mudah untuk dinilai sehingga tidak
terdapat perbedaan antarpenilai
- Dengan sedikit latihan maka perawat juga dapat mengaplikasikan
instrumen GCS ini dengan mudah.
- Yang diperiksa dan dicatat adalah nilai (prestasi) pasien yang terbaik
- Bila seseorang sadar maka ia mendapat nilai 15
- Nilai terendah adalah 3

9
Gambar 2. Glasgow Coma Scale

2) Pemeriksaan untuk menetapkan letak proses patologik di


batang otak

a. Observasi umum, meliputi:


- Gerakan otomatik misalnya menelan, menguap, membasahi bibir
- Adanya gerakan otomatik ini menunjukkan bahwa fungsi nukleus
di batang otak masih baik; hal ini berarti bahwa prognosis relatif
baik
-Adanya kejat mioklonik multifokal dan berulang kali; gejala ini
biasanya disebabkan oleh gangguan metabolisme sel hemisfer otak
- Letak lengan dan tungkai; bila lengan dan tungkai dalam posisi
fleksi maka hal ini berarti gangguan terletak di hemsifer otak
(dekortikasi). Bila kedua lengan dan tungkai dalam keadaan
ekstensi (rigiditas deserebrasi) maka ini menunjukkan adanya
gangguan di batang otak dan keadaan ini sangat serius
b. Pengamatan pola penapasan
Bentuk Cheyne-Stokes atau periodic breathing
Pola pernapasan seperti ini disebabkan oleh proses
patologik di hemisfer dan / atau batang otak bagian atas
(pedunkulus serebri).
Central neurogenic breathing (istilah lama: pernapasan
Kussmaul/Biot)

10
Pola pernapasan seperti disebabkan oleh proses patologik di
tegmentum (batas antara mesensefalon dan pons). Letak proses ini
lebih kaudal bila dibandingkan dengan proses patologik yang
menimbulkan pola pernapasan Chyene-Stokes.
Pernapasan apneustik
Inspirasi dalam kemudian diikuti berhentinya napas pasca-ekspirasi
Pernapasan ataksik
Pernapasan yang cepat, dangkal dan tak teratur. Pola pernapasan
seperti ini biasanya tampak ketika formasio retikularis bagian
dorsomedial medula oblongata terganggu . Pola pernapasan seperti
ini sering tampak pada tahap agonal, sehingga dianggap sebagai
tanda menjelang kematian.

c. Kelainan pupil
Pemeriksaan pupil terutama pada pasien koma sama nilainya
dengan pemeriksaan tanda vital lainnya. Bila pupil tampak sangat
kecil (pin point) maka diperlukan kaca pembesar. Sebelum
diperiksa dengan teliti maka mata jangan ditetesi midriatikum.
Yang harus diperiksa meliputi:
i. Besar / lebar pupil
ii. Perbandingan lebar pupil kanan dan kiri
iii. Bentuk pupil
iv. Refleks pupil terhadap cahaya dan konvergensi
v. Reaksi konsensual pupil

d. Gerak dan / atau kedudukan bola mata


Deviasi konjugat
Kedua bola mata melirik ke samping, ke arah hemisfer yang
terganggu. Ukuran dan bentuk pupil normal. Refleks cahaya
positif. Biasanya jika ada gangguan pada area 8 lobus frontalis.

Proses di thalamus

11
Kedua bola mata melirik ke hidung. Pasien tidak dapat dapat
menggerakkan kedua bola mata ke atas. Pupil kecil dan refleks
cahaya negatif.

Proses di pons
Kedua bola mata berada di tengah. Bila kepala pasien digerakkan
ke samping maka tidak terlihat gerakan bola mata ke samping
(dolls eye manoever yang abnormal). Pupil sangat kecil, reaksi
terhadap cahaya positif (dilihat dengan kaca pembesar). Kadang-
kadang tampak adanya ocular bobbing.

Proses di serebelum
Pasien tidak dapat melihat ke samping. Pupil normal (bentuk dan
reaksi terhadap cahaya)

e. Refleks sefalik batang otak


Refleks pupil (mesensefalon)
Refleks cahaya, refleks konsensual dan refleks konvergensi. Pada
pasien koma hanya dapat diperiksa refleks cahaya dan konvergensi.
Bila refleks cahaya terganggu berarti ada gangguan di
mesensefalon (bagian atas batang otak).

Doll’s eye manoever


Bila kepala pasien digerakkan ke samping maka bola mata akan
bergerak ke arah yang berlawanan. Refleks negatif bila ada
gangguan di pons

Refleks okulo-auditorik

12
Bila telinga pasien dirangsang dengan suara yang keras maka
pasien akan menutup matanya (auditory blink reflex).

Refleks okulovestibular (pons)


Bila meatus akustikus eksternus dirangang dengan air panas (44 C)
maka akan terjadi gerakan bola mata cepat ke arah telinga yang
dirangsang . Bila tes kalori ini negatif berarti ada gangguan di pons

Refleks kornea
Bila kornea digores dengan kapas halus maka akan terjadi
penutupan kelopak mata.

Refleks muntah (medula oblongata)


Dinding belakang faring dirangsang dengan spatel maka akan
terjadi refleks muntah.

f. Reaksi terhadap rangsang nyeri


Lakukan penekanan di atas orbita, jaringan di bawah kuku jari
tangan, atau tekanan pada sternum. Reaksi yang dapat dilihat
berupa :
- Gerakan abduksi, seakan-akan pasien menghalau rangsangan;
ini menandakan bahwa masih terdapat fungsi hemisfer (high
level function)
- Gerakan aduksi, seakan-akan pasien menjauhi rangsangan
(withdrawal); ini berarti bahwa masih terdapat fungsi tingkat
bawah
- Gerakan fleksi lengan dan tungkai; ini berarti bahwa terdapat
gangguan di hemisfer
- Kedua lengan dan tungkai mengambil posisi ekstensi (rigiditas
deserebrasi); hal ini berarti bahwa terdapat gangguan di batang
otak.

13
g. Fungsi traktus piramidalis
Traktus piramdalis merupakan saluran saraf terpanjang dan karena
itu itu amat sering terganggu pada suatu kerusakan struktural
susuna saraf pusat. Bila tidak dijumpai gangguan traktus
piramidalis maka kita harus mencari penyebab koma ke arah
gangguan metabolik. Gangguan traktus piramidalis dapat diketahui
dari:
- Kelumpuhan : lakukan rangsang nyeri, ada gerakan lengan /
tungkai atau tidak. Selain itu, dengan menempatkan lengan /
tungkai dalam kedudukan sulit lalu menjatuhkan lengan /
tungkai dan membandingkan lengan / tungkai kanan dan kiri.
Ekstremitas yang lumpuh akan jatuh lebih cepat dan lebih
berat.
- Refleks tendon:pada tahap akut di sisi kontralateral lesi akan
terjadi penurunan reflex. Pada tahap pasca-akut di sisi
kontralateral lesi muncul peningkatan reflex.
- Refleks patologik : Dijumpai refleks patologik di sisi
kontralateral lesi, di di tangan mau pun di kaki. Tanda refleks
patologis yang paling terkenal dan mudah ditimbulkan adalah
refleks Babinsky di telapak kaki.
- Tonus : pada tahap akut di sisi kontralateral lesi dijumpai
penurunan tonus. Pada tahap pasca-akut di sisi kontralateral
lesi dijumpai peningkatan tonus.

d. Pemeriksaan laboratorium5,6
1) Darah
Yang harus diperiksa adalah jumlah lekosit dan diferensiasinya,
kadar hemoglobin, hematokrit, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit,
kadar gula darah, faal hemostatik. Berdasarkan temuan klinik dan

14
laboratorik dapat dipertimbangkan pemeriksaan darah yang lebih
khusus atau relevan dengan situasinya.
2) Cairan serebrospinal
Bila ada indikasi yang kuat, misalnya infeksi saraf dan atau
meningesnya (meningitis, serebritis, ensefalitis), diperlukan
pemeriksaan cairan serebrospinal (dengan sendirinya juga
mengingat kontra-indikasi pungsi lumbal).

e. Pemeriksaan dengan alat


1) Oftalmoskop
Untuk pemeriksaan fundoskopi, meliputi kemungkinan adanya
edema papil, edema retina, arteriosklerosis / fenomenon silang,
perdarahan retina, tuberkel retina.
2) Elektroensefalografi
Bila keadaan memungkinan dan memang ada indikasi yang kuat
untuk pemeriksaan EEG.
3) Ekhoensefalografi
Termasuk pemeriksaan “kuno”, sudah ditinggalkan; dalam keadaan
tertentu maka pemeriksaan ini masih dapat dilakukan, untuk
mengetahui ada / tidak adanya pendorongan garis tengah karena
adanya perdarahan atau tumor.
4) CT Scan atau MRI
Bila keadaan pasien memungkinkan untuk dibawa ke bagian
radiologi / MRI. Fungsinya untuk melihat adanya kelainan struktur
otak.

5) Arteriografi
Pada kasus kemungkinan malformasi arteriovenosa maka
arteriografi akan sangat bermanfaat

15
2.7 Penatalaksanaan
Langkah pertama yang harus diperhatikan saat melakukan
penilaian pada pasien dengan penurunan kesadaran baik etiologi yang
mendasarinya seperti kelainan struktural maupun metabolik kondisi medis
utama yaitu kondisi jalan napas, pola pernafasan, dan sirkulasi untuk
reperfusi dan oksigenasi sistem saraf pusat. Prinsip tatalaksana pasien
dengan penurunan secara umum adalah:6
- Oksigenasi
- Mempertahankan sirkulasi
- Mengontrol glukosa
- Menurunkan tekanan tinggi intrakranial
- Menghentikan kejang
- Mengatasi infeksi
- Mengoreksi keseimbangan asam-basa serta keseimbangan
elektrolit
- Penilaian suhu tubuh
- Pemberian thiamin
- Pemberian antidotum (contoh: nalokson pada kasus keracunan
morfin)
- Mengontrol agitasi

16
a. Mengontrol jalan napas (airway)6
Jalan napas yang baik dan suplementasi oksigen yang adekuat
merupakan tindakan yang sangat penting dalam mencegah terjadinya
kerusakan otak lebih lanjut akibat kondisi penurunan kesadaran
terutama pada kasus-kasus yang akut. Tindakan menjaga jalan napas
tetap baik yang paling sederhana adalah dengan mencegah jatuhnya
lidah ke dinding faring posterior dengan jaw lift maneuver yaitu
dengan mengekstensinya kepala samapi menyentuh atlanto-occipital
joint bersamaan dengan menarik mandibula ke depan. Manuver ini
dapat memperlebar jarak antara lidah dan dinding faring sekitar 25%.
Manuver ini tidak boleh dilakukan pada kecurigaan adanya fraktur
atau lesi pada daerah servikal. Pemasangan oropharingeal tube dapat
juga dilakukan untuk menjaga patensi jalan napas pada pasien dengan
penurunan kesadaran. Oral airway device dapat digunakan untuk
mencegah tergigitnya lidah pada pasien dengan penurunan kesadaran
disertai kejang. Sedangkan nasal airway juga dapat digunakan dengan
menempatkan selang oksigen ke lubang hidung maupun nasofaring.
Nasal airway dapat digunakan pada pasien dengan kecurigaan adanya
lesi pada cervical dan kontraindikasi untuk dilakukan maneuver jaw
lift maupun head-tilt. Tindakan intubasi merupakan indikasi untuk
jalan napas tetap terjaga dengan baik pada pasien dengan penurunan
kesadaran dan gangguan fungsi bulber. Pasien dengan GCS yang
rendah memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan
pernafasan walaupun masalah utamanya bukan pada sistem
pernafasan. Pasien dengan nilai GCS 8 harus dilakukan tindakan
intubasi.

17
b. Pernafasan6
Pada pasien dengan penurunan kesadaran perlu diperhatikan
frekuensi pernafasan dan pola pernafasan. Frekuansi pernafasan
normal adalah 16-24 kali permenit dengan pola nafas
torakoabdominal. Pada psien dengan gangguan pernafasan seringkali
disertai retraksi otot-otot ekstrapulmonal, seperti rektarksi suprasternal,
retraksi supraklavikula, dan retraksi otot abdominal. Suara nafas
tambahan juga perlu diperhatikan pada pasien dengan penurunan
kesadaran. Suplai oksigen binasal dapat diberikan sesuai dengan
oksigenasinya. Pada keadaan tertentu seperti kecurigaan adanya
penyakit paru yang berat dapat siperiksa analisis gas darah dan
digunakan ventilator bila terdapat kondisi gagal nafas.
c. Sirkulasi6
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, untuk monitor dan
evaluasi kondisi sirkulasi sebaiknya dipasang kateterisasi vena sentral
untuk memudahkan dalam monitoring cairan dan pemberian nutrisi.
Selain itu pula optimalkan tekanan darah dengan target Mean Arterial
Pressure di atas 70mmHg. Pada kondisi hipovolemia berikan cairan
kristaloid isotonik seperti cairan NaCl fisiologis dan ringer laktat. Kita
harus menghindari pemberian cairan hipotonik seperti cairan glukosa
maupun dektrosa terutama pada kasus stroke kecuali penyebab
penurunan kesadarannya adalah kondisi hipoglikemi. Bila cairan infus
sudah diberikan tetapi MAP belum mencapoai target, maka diusahakan
untuk pemberian obat-obatan vasopresor seperti dopamine dan
epinefrin/norepinefrin.
Penatalaksanaan penderita penurunan kesadaran secara umum juga
harus dikelola menurutprinsip 5 B yaitu 5,7:
1) Breathing
Jalan napas harus bebas dari obstruksi, posisi penderita miring agar
lidah tidak jatuh kebelakang, serta bila muntah tidak terjadi
aspirasi. Bila pernapasan berhenti segera lakukan resusitasi.

18
2) Blood
Usahakan tekanan darah cukup tinggi untuk mengalirkan darah ke
otak karena tekanan darah yang rendah berbahaya untuk susunan
saraf pusat. Komposisi kimiawi darah dipertahankan semaksimal
mungkin, karena perubahan-perubahan tersebut akan mengganggu
perfusi dan metabolisme otak.
3) Brain
Usahakan untuk mengurangi edema otak yang timbul. Bila
penderita kejang sebaiknya diberikan difenilhidantoin atau
karbamezepin. Bila perlu difenilhidantoin diberikan intravena
secara perlahan.
4) Bladder
Harus diperhatikan fungsi ginjal, cairan, elektrolit, dan miksi.
Kateter harus dipasang kecuali terdapat inkontinensia urin ataupun
infeksi.
5) Bowel
Makanan penderita harus cukup mengandung kalori dan vitamin.
Pada penderita tua sering terjadi kekurangan albumin yang
memperburuk edema otak, hal ini harus cepat dikoreksi. Bila
terdapat kesukaran menelan dipasang sonde hidung. Perhatikan
defekasinya dan hindari terjadi obstipasi.
Perawatan pasien koma harus bersifat intensif dengan pemantauan
yang ketat dan sistematik. Pemberian oksigen, obat-obatan tertentu maupu
tindakan medik tertentu disesuaikan dengan hasil pemantauan. Setelah
penatalaksanaan dasar, yang dilakukan selanjutnya adalah penatalaksanaan
spesifik sesuai etiologinya.
Penatalaksanaan berdasarkan etiologi, secara singkat akan diuraikan
berdasarkan urutan SEMENITE11, yaitu:
Pada gangguan sirkulasi:
a. Pada perdarahan subaranoidal diberikan Asam traneksamat 4 x 1 gr iv
perlahan-lahan selama 2 minggu, dilanjutkan peroral selama 1 minggu
untuk mencegah kemungkinan rebleeding dan diberikan pula Nimodipin
(ca blocker) untuk mencegah vasospasme. Setelah 3 minggu sebaiknya
dilakukan arteriografi untuk mencari penyebab perdarahan, dan bila
mungkin diperbaiki dengan jalan operasi.

19
b. Pada perdarahan intraserebral prinsip pengobatan sama seperti diatas
dan dilakukan tindakan pembedahan hanya bila perdarahan terjadi di
lokasi tertentu, misalnya serebelum.

c. Pada infark otak dapat disebabkan oleh karena trombosis maupun


emboli. Pengobatan infark akut dapat dibagi dalam 3 kelompok berupa
pengobatan terhadap edema otak dengan mannitol; pengobatan untuk
memperbaiki metabolisme otak dengan citicholine; Pemberian obat
antiagregasi trombosit dan antikoagulan.

Pada gangguan metabolisme:


Koma karena gangguan metabolime harus diobati penyakit primernya.
Penatalaksanaannya tergantung pada keadaan yang menyebabkan
gangguan pada fungsi metabolisme di otak contohnya seperti pada
penyakit diabetes melitus yang menyebabkan ketoasidosis metabolisme
atau gagal ginjal yang menyebabkan ensefalopati uremikum.

2.8 Prognosis
Prognosis penurunan kesadaran bersifat luas tergantung kepada
penyebab, kecepatan serta ketepatan dari pengobatan yang diberikan.
Sehingga pemeriksaan dan penegakan diagnosis pada kasus penurunan
kesadaran harus dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah timbulnya
kelainan yang sifatnya ireversible. Prognosis jelek bila didapatkan gejala-
gejala adanya gangguan fungsi batang otak, seperti doll’s eye, refleks
kornea yang negatif, refleks muntah yang negatif; Pupil lebar tanpa adanya
refleks cahaya; dan GCS yang rendah (1-1-1) yang terjadi selama lebih
dari 3 hari6.

ENSEFALOPATI

1. DEFINISI

20
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan
fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis.
Ensefalopati adalah disfungsi kortikal umum yang memiliki karakteristik
perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga beberapa hari), secara nyata
terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal, halusinasi dan delusi
yang sering dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum
meingkat, akan tetapi dapat menurun). Penggunaan istilah ensefalopati
menggambarkan perubahan umum pada fungsi otak, yang bermanifestasi pada
gangguan atensi baik berupa agitasi hiperalert hingga koma8.
Istilah ensefalopati biasanya diikuti oleh kata lain yang menunjukkan
penyebab dari kelainan otak tersebut.Beberapa jenis ensefalopati berdasarkan
penyebabnya:
a) Ensefalopati hepatik, yaitu ensefalopati akibat kelainan fungsi hati.
b) Ensefalopati uremik, yaitu ensefalopati akibat gangguan fungsi ginjal.
c) Ensefalopati hipoksia, yaitu ensefalopati akibat kekurangan oksigen pada
otak.
d) Ensefalopati wernicke, yaitu ensefalopati akibat kekurangan zat tiamin
(vitamin B1), biasanya pada orang yang keracunan alcohol.
e) Ensefalopati hipertensi, yaitu ensefalopati akibat penyakit tekanan darah
tinggi yang kronis.
f) Ensefalopati salmonela, yaitu ensefalopati yang diakibatkan bakteri
Salmonella penyebab sakit tipus8.

2. ETIOLOGI
Beberapa contoh penyebab ensefalopati meliputi :
a) menular (bakteri, virus, parasit, atau prion).
b) anoxic (kekurangan oksigen ke otak, termasuk penyebab traumatis),
c) beralkohol (toksisitas alkohol).
d) hepatik (misalnya, gagal hati atau kanker hati).
e) uremik (ginjal atau gagal ginjal).
f) Penyakit metabolik (hiper atau hipokalsemia, hipo- atau hipernatremia, atau
hipo- atau hiperglikemia).

21
g) tumor otak.
h) banyak jenis bahan kimia beracun (merkuri, timbal, atau amonia).
i) perubahan tekanan dalam otak (sering dari perdarahan, tumor, atau abses).
j) gizi buruk (vitamin yang tidak memadai asupan B1 atau penarikan alkohol)8.

3. MANIFESTASI KLINIS
Meskipun penyebabnya banyak dan beragam, setidaknya satu gejala hadir
dalam semua kasus adalah kondisi mental yang berubah. Kondisi mental
berubah mungkin kecil dan berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun
(misalnya, pada hepatitis mengalami penurunan kemampuan menggambar
desain sederhana, disebut apraxia) atau mendalam dan berkembang pesat
(misalnya, anoksia otak menyebabkan koma atau kematian dalam beberapa
menit). Seringkali, gejala perubahan status mental dapat hadir seperti tidak
dapat memberikan perhatian, penilaian buruk atau buruknya koordinasi
gerakan. Gejala serius lainnya yang mungkin terjadi antara lain8 :
a) Letargi.
b) Demensia.
c) Kejang.
d) Tremor.
e) Otot berkedut dan mialgia,
f) Respirasi Cheyne-Stokes (pola pernapasan diubah terlihat dengan kerusakan
otak dan koma).
g) Koma.
Seringkali keparahan dan jenis gejala berhubungan dengan penyebab
kerusakan. Misalnya, kerusakan hati akibat alkohol (sirosis alkoholik) dapat
mengakibatkan tremor tangan involunter (asteriksis), sedangkan anoksia berat
(kekurangan oksigen) dapat menyebabkan koma. Gejala lain mungkin tidak
parah dan akan lebih terlokalisasi seperti kelumpuhan saraf kranial (kerusakan
salah satu dari 12 saraf kranial yang keluar otak). Beberapa gejala mungkin
sangat minimal dan hasil dari cedera berulang ke jaringan otak. Sebagai
contoh, ensefalopati kronis traumatik (CTE), karena cedera seperti gegar otak
berulang kali ditopang oleh pemain sepak bola dan lain-lain yang bermain

22
olahraga dapat menyebabkan perubahan lambat dari waktu ke waktu yang tidak
mudah di diagnosis. Kecederaan tersebut dapat mengakibatkan depresi kronis
atau perubahan kepribadian lain yang dapat mengakibatkan hal yang lebih
serius8,9.

4. DIAGNOSIS
Ensefalopati adalah suatu keadaan disfungsi otak yang ditimbulkan oleh
berbagai faktor penyebab antara lain gangguan vaskuler, metabolik, toksik,
iskemia hipoksik dan lain-lain serta dapat disebabkan penyakit yang berat dan
berkelanjutan atau suatu infeksi. Istilah ensefalopati menggambarkan gangguan
otak difus, paling kurang dua dari gejala yaitu penurunan kesadaran, perubahan
kognisi dan kepribadian, serta kejang. Derajat beratnya ensefalopati bervariasi
mulai dari perubahan status mental ringan ke status mental yang lebih berat
sampai koma dalam. Ensefalopati dapat terjadi pada semua umur dan
kelihatannya tidak ada predileksi menurut jenis kelamin dan ras. Dikatakan
ensefalopati apabila terjadi gangguan kesadaran yang berlangsung terus
menerus (> 12 jam) tanpa ada gambaran pleositosis pada CSS, dapat terjadi
kejang fokal, umum, singkat atau persisten dan jarang terjadi demam5,6.
Karakteristik ensefalopati: tidak ada demam ataupun meningismus,
penurunan kesadaran menetap, tidak ada tanda neurologis, gambaran biokimia
yang spesifik pada pemeriksaan darah dan urin, tidak ada leukositosis perifer,
CSS normal, dan EEG perlambatan difus. Diagnosis ensefalopati ditegakkan
berdasarkan gejala klinis sesuai dengan penyakit dasarnya ditambah dengan
pemeriksaan penunjang yaitu CT dan MRI menunjukkan edema difus dan lesi
simetri, EEG menunjukkan kelainan difus, CSS menunjukkan jumlah sel cairan
otak normal, darah tidak ada abnormalitas spesifik tergantung penyebabnya6.

5. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan ensefalopati adalah pemantauan tanda vital, mengatasi
edema serebral, monitor peninggian tekanan intrakranial, cegah dan kendalikan
kejang, cari penyakit yang mendasari, harus dirawat dan mempunyai akses ke
perawatan ICU. Pengobatan ensefalopati bervariasi dengan penyebab utama

23
dari gejala. Akibatnya tidak semua kasus ensefalopati diperlakukan sama.
Beberapa contoh yang berbeda "perawatan ensefalopati" untuk penyebab yang
berbeda. Kunci untuk pengobatan ensefalopati apapun adalah untuk memahami
penyebab dasar dan dengan demikian merancang skema pengobatan untuk
mengurangi atau menghilangkan penyebab. Ada satu jenis ensefalopati yang
sulit atau tidak mungkin untuk mengobati itu adalah ensefalopati statis
(kerusakan otak mental yang diubah yang permanen). Yang terbaik yang dapat
dilakukan dengan ensefalopati statis, jika mungkin, untuk mencegah kerusakan
lebih lanjut dan melaksanakan rehabilitasi untuk memungkinkan individu
untuk tampil di tingkat fungsional tertinggi10.

6. KOMPLIKASI
Komplikasi ensefalopati bervariasi dari tidak ada gangguan mental
sehingga mengarah pada kematian. Komplikasi dapat sama dalam beberapa
kasus. Komplikasi tergantung pada penyebab utama dari ensefalopati dan dapat
diilustrasikan dengan mengutip beberapa contoh dari berbagai penyebab10.
a. Hepatik ensefalopati (pembengkakan otak dengan herniasi, koma, kematian)
b. Metabolik ensefalopati (mudah marah, lesu, depresi, tremor, kadangkadang,
koma atau kematian)
c. Anoxia-ensefalopati (berbagai komplikasi, dari tidak ada di anoksia jangka
pendek untuk perubahan kepribadian, kerusakan otak parah sampai mati dalam
acara anoxic jangka panjang)
d. Uremik ensefalopati (letargi, halusinasi, pingsan, otot berkedut, kejang,
kematian)
e. Ensefalopati Hashimoto (kebingungan, intoleransi panas, demensia)
f. Ensefalopati Wernicke (kebingungan mental, kehilangan memori,penurunan
kemampuan untuk menggerakkan mata)
g. Bovine spongiform ensefalopati (BSE) atau "penyakit sapi gila" (ataksia,
demensia, dan mioklonus atau otot bergetar tanpa irama atau pola)
h. Shigella ensefalopati (sakit kepala, leher kaku, delirium, kejang, koma)
i. Penyebab Infeksi ensefalopati anak (lekas marah, susah makan, hypotonia,
kejang, kematian)

24
7. PROGNOSIS
Prognosis untuk pasien dengan ensefalopati tergantung pada penyebab
awal dan secara umum, tempoh waktu yang dibutuhkan untuk membalikkan,
menghentikan, atau menghambat penyebabnya. Akibatnya, prognosis
bervariasi dari pasien ke pasien dan berkisar di prognosis yang buruk yang
sering menyebabkan kerusakan otak permanen atau kematian. Prognosis sangat
bervariasi ini dicontohkan oleh pasien yang mendapatkan ensefalopati dari
hipoglikemia. Jika pasien dengan hipoglikemia diberikan glukosa pada
tandatanda pertama dari ensefalopati, sebagian besar pasien sembuh
sepenuhnya. Penundaan dalam mengoreksi hipoglikemia (jam sampai hari)
dapat menyebabkan kejang atau koma, yang dapat dihentikan oleh pengobatan
dengan lengkap atau pemulihan dengan kerusakan otak permanen minimal.
Penundaan atau beberapa keterlambatan dalam pengobatan dapat menyebabkan
prognosis yang buruk dengan kerusakan otak, koma, atau kematian10.

BAB III
PENUTUP

Penurunan kesadaran adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh


karena adanya gangguan terhadap sistem aktivasi retikular, baik oleh penyebab
mekanis struktural seperti lesi kompresi atau oleh penyebab metabolik destruktif
seperti hipoksia dan overdosis obat. Keragaman penyebab penurunan kesadaran
memerlukan pemahaman yang menyeluruh mengenai mekanisme dan gambaran
klinis yang berbeda-beda tergantung penyebabnya. Hal ini merupakan kondisi
kegawat-daruratan yang memerlukan penatalaksaan yang cepat namun akurat,
oleh karena penyebab penurunan kesadaran yang beragam, penatalaksanaan yang
secara signifikan berbeda dan dampak luas yang ditimbulkannya.

25
Langkah pertama yang harus diperhatikan saat melakukan penilaian pada
pasien dengan penurunan kesadaran baik etiologi yang mendasarinya seperti
kelainan struktural maupun metabolik kondisi medis utama yaitu kondisi jalan
napas, pola pernafasan, dan sirkulasi untuk reperfusi dan oksigenasi sistem saraf
pusat.

DAFTAR PUSTAKA

1. PlumF, PosnerJB, SaperCB, SchiffND. 2007. Plum and Posner’s


Diagnosis of Stupor and Coma. Ed. IV. Oxford University Press.
NewYork

2. Solomon P, Aring CD. Causes of coma in patients entering general


hospital. 1934, Am J Med Sci, Vol. 188, p. 805.
3. Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit.
Jakarta: EGC
4. Mardjono M, Sidharta P. 2012. Kesadaran dan fungsi luhur dalam
neurologi klinis dasar. Dian Rakyat. Jakarta.
5. Harsono. 2008. Koma dalam Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta
6. Dian S & Basuki A. 2012. Altered consciousness basic, diagnostic, and
management. UPF Ilmu penyakit Saraf. Bandung
7. Priguna Sidharta. 2003. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, Dian
Rakyat. Jakarta
8. Mumenthaler, Mark. Fundamentals of Neurologic Disease. Stuttgard:
Thieme.2006
9. Haberland, Catherine. 2007. Clinical Neuropathology : Text and Color
Atlas. USA: Demos

26
10. Sherwood, L.2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem : Sistem Saraf
Pusat. Jakarta : EGC

27

Anda mungkin juga menyukai