Pembimbing :
dr. Balgis, Sp.KK, M.Sc
Disusun Oleh :
Tyas Ratna Pangestika
1813020047
DAFTAR ISI............................................................................................................2
DAFTAR TABEL....................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................4
A. IDENTITAS PASIEN.......................................................................................5
B. ANAMNESIS...................................................................................................5
C. PEMERIKSAAN FISIK...................................................................................7
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG......................................................................9
E. DIAGNOSIS BANDING..................................................................................9
F. DIAGNOSIS KERJA........................................................................................9
G. USULAN PEMERIKSAAN.............................................................................9
H. PENATALAKSANAAN..................................................................................9
I. KOMPLIKASI..................................................................................................9
J. PROGNOSIS..................................................................................................10
BAB II....................................................................................................................11
BAB III...................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24
2
DAFTAR TABEL
3
DAFTAR GAMBAR
4
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 26 tahun
Alamat : Tambak
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
B. ANAMNESIS
Anamnesis dengan pasien dilakukan pada hari Rabu, 26 Februari 2020
pukul 11.00 WIB di Klinik Kulit dan Kelamin RS PKU Muhammadiyah
Gombong
a. Keluhan Utama
Jari tangan sulit digerakkan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang laki-laki berusia 26 tahun datang ke Klinik Kulit dan
Kelamin RS PKU Muhammadiyah Gombong pada tanggal 26
Februari 2020 dengan keluhan jari ke-4 dan jari kelingking tangan
susah digerakkan yang dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Kadang
pasien merasa gatal pada kedua lengannya. Pasien juga merasa
semakin hari matanya menjadi kuning. Kulit tubuh pasien juga
menghitam. Pasien menyangkal adanya ruam kemerahan, bercak putih
mati rasa dan bersisik halus pada kulit pasien. Riwayat bepergian ke
daerah tertentu disangkal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami hal seperti ini. Sekitar tahun
2016, pasien mengeluh ada benjolan di belakang telinga yang tidak
terasa nyeri. Selain itu, pasien juga mengeluh jika kulitnya terluka
sering tidak terasa, tiba-tiba kulitnya sudah lecet atau berdarah. Pada
5
tahun 2018, pasien pulang ke kampung halamannya dan
memeriksakan diri di puskesmas. Dokter puskesmas mendiagnosis
kusta dan direncanakan berobat selama 18 bulan. Sejak awal
didiagnosis kusta pasien minum obat secara teratur hingga sekarang.
Sebelum terkena kusta, pasien bekerja di Cikarang sebagai pegawai
pabrik.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Kakak pasien menderita kusta sejak 1 tahun yang lalu. Kakak
pasien juga mengeluhkan hal yang sama yaitu jari tangan susah
digerakkan. Kakak pasien rutin berobat. Orang tua pasien tidak
menderita keluhan serupa.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien sudah sering kontrol ke Klinik Kulit dan Kelamin serta
diberikan obat tablet yang habis dalam waktu 1 minggu dan keluhan
membaik setelah diberikan obat tersebut. Pasien rutin mengkonsumsi
obat kusta dari puskesmas.
f. Riwayat Kebiasaan
Pasien mandi 2 kali sehari menggunakan handuk sendiri dan
air bersih. Sprei dan selimut jarang di ganti.
g. Riwayat Lingkungan Rumah
Pasien tinggal di rumah berempat yang terdiri dari kedua orang
tuanya dan satu kakak laki-lakinya. Pasien mengaku bahwa di
lingkungan rumahnya tidak ada yang mengalami keluhan serupa.
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum : Tampak sakit
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tanda vital :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/m
Suhu : 36,5 0C
Pernafasan : 22x/m
6
d. Status generalis
Antopometri
Berat badan 55 kg
J 153neddjdh
Tinggi badanjeje 165cm
Kepala & Leher
Inspeksi Leonina face (-), Conjungtiva anemis (+/+), Sklera
Ikterik (+/+), madorosis (-), sadle nose (-)
Palpasi Pembesaran nervus auricularis magnus sinistra (+)
Thorax
Inspeksi Tidak dilakukan
Palpasi Tidak dilakukan
Perkusi Tidak dilakukan
Auskultasi Tidak dilakukan
Abdomen
Inspeksi Tidak dilakukan
Auskultasi Tidak dilakukan
Palpasi Tidak dilakukan
Perkusi Tidak dilakukan
Ekstremitas (Superior, Inferior, Dextra, Sinistra)
Inspeksi Terdapat pada status dermatologis
e. Pemeriksaan Neurologicus
1) Pemeriksaan nervus kranialis
a) Nervus II (optikus) daya penglihatan (subyektif) : Terganggu
(-/-)
b) Nervus I, III, IV, V VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII : dbn
2) Kekuatan motorik
5 5
5 5
7
d) Nervus tibialis posterior : tidak ada pembesaran, tidak ada nye
ri
5) Pemeriksaan sensorik :
a) Nervus trigeminus : baik
b) Nervus medianus : tidak ada anesthesia
c) Nervus ulnaris : anesthesia (+)
d) Nervus tibialis posterior : tidak ada anesthesia
6) Pemeriksaan motorik :
a) Nervus Facialis : tidak ada lagoftalmus
b) Nervus ulnaris : kekuatan otot sedang
c) Nervus medianus : kekuatan otot kuat
d) Nervus radialis : kekuatan otot kuat
e) Nervus peroneus communis : kekuatan otot kuat
f. Status Dermatologikus
Di tangan : xerotic skin (+)
g. Pemeriksaan kecacatan
Tampak atrofi musculus hipotenar dextra et sinistra, atrofi musculus
interosseus, kontraktur (+), clawing digiti ke 5 dextra
8
Gambar 1. Kecacatan di tangan (26/02/2020)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan
E. DIAGNOSIS BANDING
1. Reaksi kusta tipe 2 (ENL)
2. Eritema nodosum et causa tuberculosis, infeksi streptococcus atau obat
3. RFT
F. DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen dengan Kecacatan Tingkat 1
G. USULAN PEMERIKSAAN
Usulan pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis ba
nding:
1. Histopatologi
2. Neuroelectrophysiology
H. PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
a. Istirahat di rumah
b. Latihan untuk kekuatan tangan
c. Menghindari/Menghilangkan faktor pencetus
2. Medikamentosa
a. Regimen MDT
b. Natrium diklofenak 2x25 mg
c. Cetirizine 10 mg/hari jika gatal
d. Vaselin (pelembab) untuk kulit yang kering
9
I. KOMPLIKASI
1. Myopati
2. Neuritis
3. Abses saraf
J. PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : Bonam
2. Quo ad fungtionam : Dubia ad malam
3. Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Morbus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik
oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa
traktus respiratorius, serta organ lainnya (Depkes, 2012).
10
B. ETIOLOGI
Kusta yang merupakan penyakit kronis ini disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (M.leprae). Kuman ini adalah kuman aerob, berbentuk
batang dengan ukuran 1-8 μ, lebar 0,2 – 0,5 μ, sifatnya tahan asam sehingga
tidak mudah untuk diwarnai. M.leprae biasanya berkelompok dan ada pula
yang tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu dingin (kulit, saraf tepi, COA, traktus respiratorius superior, testis) dan
tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman Kusta ini pertama kali
menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan juga
testis, kecuali susunan saraf pusat (Fitzpatrick et al, 2007)
11
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dap
at dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan b
agian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh.
Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderit
a, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman oblig
at intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan selule
r. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi
dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi
keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit
yang berkembang setelah infeksi. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhada
p kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular terseb
ut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit
(Fitzpatrick et al, 2007)
D. KLASIFIKASI
Jenis klasifikasi yang umum:
1. Klasifikasi untuk kepentingan riset menggunakan klasifikasi Ridley-J
opling (1962):
Tuberculoid (TT)
Lesi kulit bisa satu atau beberapa. Dapat berupa makula, batas jelas
dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau
Central Healing. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba serta kelemahan otot.
Borderline Tuberculoid (BT)
Lesi kulit dapat berupa hipopigmentasi disertai kekeringan kulit
atau skuama biasanya asimetris. Lesi biasanya ada dan terletak
dekat saraf perifer yang menebal.
Borderline-borderline Mid-borderline (BB)
Paling tidak stabil diantara semua spektrum penyakit kusta, disebut
juga bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak, permukaannya dapat
berkilat, batas lesi kurang jelas dan cenderung simetris. Terdapat
12
lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk bulat pada bagian
tengah dengan batas jelas.
Borderline-lepromatous (BL)
Lesi dimulai dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula
lebih kecil dan bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas
walaupun lebih kecil dan distribusinya hampir simetris.
Berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncul.
Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi infiltrat sangat banyak, simetris, permukaan halus,
lebih eritematosa, berkilat, berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas
yaitu di wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan pada
bagian badan pada bagian belakang, lengan, punggung tangan dan
permukaan ekstensor tungkai bawah. Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan anestesi yang disebut Glove and Socking Anesthesi.
Bila penyakit ini berlanjut, maka makula dan papul baru muncul,
Ada tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi ini, yaitu tipe indet
erminate. Lesi biasanya hanya berbentuk makula hipopigmentasi berbatas t
idak tegas dengan sedikit sisik, jumlah sedikit, dan kulit disekitarnya norm
al. Kadang-kadang ditemukan hipoestesi (WHO, 1988).
2. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta berkaitan dengan pengo
batan (WHO 1988):
Pausibasilar (PB)
Kusta tipe TT, dan BT sesuai klasifikasi Ridley dan Jopling dan tip
e I dengan BTA negatif.
Multibasilar (MB)
Kusta tipe BB, BL, LL menurut klasifikasi Ridley dan Jopling dan
semua tipe kusta dengan BTA positif.
3. Bentuk kusta lain:
Kusta neural
Kusta tipe neural murni atau disebut juga pure neural leprosy atau
primary neuritic leprosy merupakan infeksi M. leprae yang menyer
13
ang saraf perifer disertai hilangnya fungsi saraf sensoris pada area
distribusi dermatomal saraf tersebut, dengan atau tanpa keterlibatan
fungsi motoris, dan tidak ditemukan lesi pada kulit (Sehgal et al,
2009).
Kusta histoid
Merupakan bentuk kusta lepromatosa dengan karakteristik klinis, h
istopatologis, bakterioskopis, dan imunologis yang berbeda. Faktor
yang berpengaruh antara lain: pengobatan ireguler dan inadekuat, r
esistensi dapson, relaps setelah release from treatment (RFT), atau
adanya organisme mutan Histoid bacillus serta dapat juga merupak
an kasus denovo (Sehgal et al, 2009).
14
PGL-1, glikokonjugat utama pada permukaan M. leprae, mengikat laminin-2,
yang menjelaskan kecenderungan dari bakteri untuk menyerang saraf perifer.
Identifikasi reseptor SCs yang ditargetkan M. leprae, dystroglycan (DG),
menunjukkan peran molekul ini dalam degenerasi saraf dini. Demielin yang
diinduksi Mycobacterium leprae adalah hasil dari ligasi bakteri langsung ke
reseptor neuregulin, ErbB2 dan aktivasi Erk1 / 2, dan pensinyalan serta
proliferasi MAP kinase berikutnya. Makrofag adalah salah satu sel inang yang
paling banyak bersentuhan dengan mycobacteria. Fagositosis M. leprae oleh
makrofag yang diturunkan monosit dapat dimediasi oleh reseptor komplemen
CR1 (CD35), CR3 (CD11b / CD18), dan CR4 (CD11c / CD18) dan diatur oleh
protein kinase. Ketidak responsifan terhadap M. leprae tampaknya berkorelasi
dengan profil sitokin Th2 (Bhat & Prakash, 2012).
F. DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan pada temuan tanda kardinal (tanda utama) menurut
WHO, yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa
raba, suhu, dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat/tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang terkena, yai
tu:
Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut
yang terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit p
ada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf.
15
Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardin
al. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, disebut tersangka/suspek kusta, dan
pasien perlu diamati dan diperiksa ulang 3 sampai 6 bulan sampai diagnosis ku
sta dapat ditegakkan atau disingkirkan. Selain tanda kardinal di atas, dari anam
nesis didapatkan riwayat berikut:
1. Riwayat kontak dengan pasien kusta.
2. Latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal di daerah endemis, dan
keadaan sosial ekonomi.
3. Riwayat pengobatan kusta.
Pemeriksaan fisik meliputi:
1. Inspeksi
Dengan pencahayaan yang cukup (sebaiknya dengan sinar oblik), lesi k
ulit (lokasi dan morfologi) harus diperhatikan.
2. Palpasi
Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada ta
ngan dan kaki.
Kelainan saraf: pemeriksaan saraf tepi (pembesaran, konsistensi, nyeri t
ekan, dan nyeri spontan).
3. Tes fungsi saraf
Tes sensoris: rasa raba, nyeri, dan suhu
Tes otonom
Tes motoris: voluntary muscle test (VMT)
Pemeriksaan Penunjang
Bakterioskopik: sediaan slit skin smear atau kerokan jaringan kulit
dengan pewarnaan Ziehl Neelsen.
Bila diagnosis meragukan, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan b
iopsi dan histopatologi, serta pemeriksaan serologi (PGL-1) atau P
CR (Perdoski, 2017).
G. TATALAKSANA
1. Nonmedikamentosa
16
a. Rehabilitasi medik, meliputi fisioterapi, penggunaan protese, dan terap
i okupasi.
b. Rehabilitias non-medik, meliputi: rehabilitasi mental, karya dan sosial.
c. Edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat: menghilangkan stig
ma dan penggunaan obat.
d. Setiap kontrol, harus dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan disabil
itas.
2. Medikamentosa
a. Pengobatan dengan multidrug therapy (MDT) WHO (1998, 2012). Pe
ngobatan dengan MDT disesuaikan dengan indikasi sebagai berikut:
17
o Pasien TB yang menderita kusta tipe PB.
Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100 mg karena rif
ampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai
dengan jangka waktu pengobatan PB.
o Pasien TB yang menderita kusta tipe MB.
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena rifampisi
n sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan d
engan jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah seles
ai, maka pengobatan kusta kembali sesuai blister MDT. Pengobatan k
usta pada penderita yang disertai infeksi HIV pada saat yang sama. M
anajemen pengobatan pasien kusta yang disertai infeksi HIV sama den
gan menajemen untuk penderita non HIV.
Regimen U-MDT untuk kusta PB dan MB.
Obat ini diberikan pada MH-PB dan MB selama 6 bulan, terdiri ata
s: rifampisin 600 mg 1 kali/bulan, dapson 100 mg/hari, serta klofazimin 30
0 mg/bulan pada hari pertama dilanjutkan dengan 50 mg/hari. Regimen ini
efektif dan ditoleransi baik untuk tipe PB tetapi kurang adekuat untuk tipe
MB.
Pengobatan kusta dengan regimen alternatif
Bila MDT-WHO tidak dapat diberikan dengan berbagai alasan, ant
ara lain:
Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin.
Penyebabnya mungkin alergi obat, menderita penyakit penyerta he
patitis kronis, atau terinfeksi dengan kuman yang resisten dengan ri
fampisin. Pasien dengan kuman resisten terhadap rifampisin, biasa
nya resisten juga terhadap DDS. Oleh sebab itu digunakan regimen
berikut.
18
Pasien yang menolak klofazimin
Bila pasien menolak mengonsumsi klofazimin, maka klofazimin da
lam MDT 12 bulan dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari at
au minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan atau rifampisin 600 mg
/bulan, ofloksasin 400 mg/bulan dan minosiklin 100 mg/bulan sela
ma 24 bulan.
Pasien yang tidak dapat mengonsumsi DDS
Bila dapson menyebabkan terjadinya efek simpang berat, seperti si
ndrom dapson (sindrom hipersensitivitas obat), obat ini harus seger
a dihentikan. Tidak ada modifikasi lain untuk pasien MB, sehingga
MDT tetap dilanjutkan tanpa dapson selama 12 bulan. Sedangkan u
ntuk pasien PB, dapson diganti dengan klofazimin dengan dosis sa
ma dengan MDT tipe MB selama 6 bulan.
Rawat inap
Rawat inap diindikasikan untuk pasien kusta dengan:
Efek samping obat berat
Reaksi reversal atau ENL berat
Keadaan umum buruk (ulkus, gangren), atau terdapat keterlibatan organ
tubuh lain dan sistemik
Rencana tindakan operatif.
19
Tingkat Kecacatan Kusta
(Depkes, 2012).
H. KOMPLIKASI
Diagnosis dan pengobatan yang tertunda dapat menyebabkan komplikasi
serius yang mencakup:
I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam
1. Cenderung ke dubia ad bonam:
Diagnosis dini
Tanpa kerusakan saraf pda saat awal diagnosis
Pengobatan cepat dan tepat dan adekuat
Melaksanakan kegiatan perawatan diri.
20
2. Cenderung ke dubia ad malam:
Tanpa pengobatan, pasien tipe-B akan downgrading ke kutub lepro
matosa dan mempunyai konsekuensi menularkan penyakit dan beri
siko mengalami reaksi tipe-1 yang akan menyebabkan kerusakan sa
raf.
Komplikasi berhubungan dengan hilangnya sensasi pada anggota t
ubuh dan jari-jari, menyebabkan pasien mengabaikan luka atau luk
a bakar kecil sampai terjadi infeksi. Luka terutama pada telapak ka
ki menimbulkan problematik.
Kerusakan saraf dan komplikasinya mungkin menyebabkan terjadi
nya cacat, terutama apabila semua alat gerak dan ke dua mata terke
na.
Sering terjadi neuritis dan reaksi yang mungkin menyebabkan keru
sakan permanen, walaupun telah diobati dengan steroid
Tidak melakukan perawatan diri (Perdoski, 2017).
BAB III
PEMBAHASAN
21
Seorang laki-laki berusia 26 tahun datang ke Klinik Kulit dan Kelamin RS
PKU Muhammadiyah Gombong pada tanggal 26 Februari 2020 dengan keluhan
jari ke-4 dan jari kelingking susah digerakkan yang dirasakan sejak 2 minggu
yang lalu. Kadang pasien merasa gatal pada kedua lengannya. Pasien juga merasa
semakin hari matanya menjadi kuning. Kulit tubuh pasien juga menghitam. Pasien
menyangkal adanya ruam kemerahan, bercak putih mati rasa dan bersisik halus
pada kulit pasien. Riwayat bepergian ke daerah tertentu disangkal.
Pasien belum pernah mengalami hal seperti ini. Sekitar tahun 2016, pasien
mengeluh ada benjolan di belakang telinga yang tidak terasa nyeri. Selain itu,
pasien juga mengeluh jika kulitnya terluka sering tidak terasa, tiba-tiba kulitnya
sudah lecet atau berdarah. Pada tahun 2018, pasien pulang ke kampung
halamannya dan memeriksakan diri di puskesmas. Dokter puskesmas
mendiagnosis kusta dan direncanakan berobat selama 18 bulan. Sejak awal
didiagnosis kusta pasien minum obat secara teratur hingga sekarang. Sebelum
terkena kusta, pasien bekerja di Cikarang sebagai pegawai pabrik. Kakak pertama
pasien juga seorang penderita kusta dan mengeluhkan hal yang sama.
Dari hasil pemeriksaan dermatologicus, didapatkan xerotic skin. Pada
pemeriksaan kecacatan didapatkan tampak atrofi musculus hipotenar dextra et
sinistra, atrofi musculus interosseus, kontraktur (+), dan clawing digiti ke 5
dextra. Hasil pemeriksaan status neurologis, untuk nervus kranialis dalam batas
normal. Pemeriksaan saraf perifer untuk kusta didapatkan ada pembesaran nervus
auricularis magnus yang tidak nyeri, dan pembesaran nervus ulnaris yang disertai
nyeri . Pemeriksaan sensoris pasien terdapat anestesia pada jari tangan ke 5.
Pemeriksaan motorik didapatkan nervus ulnaris memiliki kekuatan otot sedang.
Berdasarkan temuan anamnesis serta pemeriksaan fisik pasien menderita
morbus hansen yang disertai kecacatan tingkat 1. Pada pasien ditemukan 1 dari 3
tanda kardinal sehingga pasien dapat dikategorikan sebagai penderita
kusta/lepra/morbus hansen. Selain itu, pasien juga telah mengalami kecacatan
tingkat 1 karena adanya kelemahan pada otot nervus ulnaris walaupun belum ada
kelainan pada mata. Berdasarkan pengakuan pasien, tahun 2016 terdapat benjolan
di belakang telinga serta pasien merasa sering tidak terasa (mati rasa) jika
22
kulitnya tergores/terluka. 2 tahun berselang pasien memeriksakan diri ke
puskesmas dan didiagnosis kusta. Selain pasien, kakak pasien juga menderita
kusta akan tetapi pasien kurang paham siapa yang terkena kusta lebih dahulu.
Bakteri M. leprae , penyebab kusta , diketahui dapat menular melalui lesi kulit
dan mukosa hidung. Kemungkinan pasien tertular oleh kakak pertamanya yang
tinggal serumah atau sebaliknya. Walaupun tidak semua manusia yang kontak
dengan penderita lepra dapat tertular, adanya higienitas yang buruk, imunitas yang
rendah dapat meningkatkan risiko tertular lepra.
Manajemen terapi yang diberikan berupa istirahat di rumah, perbaikan gizi,
latihan kekuatan tangan, serta menghindari faktor pencetus. Menurut pengakuan
pasien, dahulu pernah ada benjolan di kulitnya akan tetapi sekrang sudah hilang.
Pasien juga mengaku tidak pernah muncul bercak / ruam di kulitnya. Besar
kemungkinan pasien pernah mengalami reaksi kusta tipe 2 (ENL). Akan tetapi,
sekarang sudah mereda sehingga pasien bisa dilakukan perawatan lanjutan
dirumah. Untuk mencegah perburukan pada kondisi cacat pasien, pasien bisa
melakukan latihan untuk kekuatan tangan dirumah misalnya dengan mencoba
meluruskan jari tangan yang bengkok supaya tidak semakin kaku. Kelemahan
pada jari kelingking juga dapat dilatih dengan berlatih menggerakkan jari
kelingking menjauh dan mendekat atau bisa dibantu dengan karet. Selain itu,
pasien juga diberikan obat anti nyeri golongan NSAID serta antihistamin jika kulit
terasa gatal. Kulit pasien juga mengalami xerosis sehingga diberikan vaselin untuk
melembabkan kulit kering. Pengobatan utama yaitu regimen MDT harus tetap
dilanjutkan sampai 18 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
23
Anand PP, et al. (2014). Pretty leprosy: Another face of Hansen’s disease! A revie
w. DOI: 10.1016/j.ejcdt.2014.04.005
Fitzpatrick, Freedeberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz
St. 2007. Dermatology in General Medicine. Edisi 6. New York. The Mc Gra
w-Hill Companies Inc.
PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelam
in. Jakarta: PERDOSKI
Sehgal VN, Srivastava G, Singh N, Prasad PVS. Histoid leprosy: the impact of the
entity on the postglobal leprosy elimination era. International Journal of Der
matology 2009; 48:603-10.
24