Laporan Kasus Fixed Eruption Drug
Laporan Kasus Fixed Eruption Drug
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. D
Usia : 57 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jakarta Utara
Pekerjaan : Pensiunan
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status Marital : Menikah
1
RPD : Asma (-), Alergi obat-obatan (+) antalgin, novalgin, DM (-), Hipertensi (-),
Ginjal (-)
RPK : Riwayat keluhan sama disangkal. Asma (-), Alergi (-), DM (-), Hipertensi (+),
Ginjal (-)
R. Psikososial : Pasien memiliki kebiasaan mandi secara teratur 3x sehari.
Menggunakan sabun lux. Pasien sering mengkonsumsi parasetamol paten sistenol
apabila merasa nyeri atau sakit kepala sejak dua tahun yang lalu.
I. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Status dermatologikus
Distribusi :
Regional
Ad regio :
Paha kiri dan lutut kanan
Lesi :
Lesi berupa makula bulat sampai oval, eritema dan pada bagian
tengah berwarna keunguan, berbatas tegas. Ukuran lesi plakat, Polisiklik,
Lesi soliter, multiple jumlah lesi sebanyak empat lesi. Tepi sedikit
meninggi. dan Permukaan rata.
2
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG
III. RESUME
Seorang Laki-laki 57 tahun, dengan keluhan bercak merah pada paha kiri
dan lutut kanansejak 4 hari yang lalu. Keluhan muncul setelah pasien
mengkonsumsi obat parasetamol merek sistenol yang sudah pernah
dikonsumsi pasien sejak 2 tahun yang lalu. Pasien awalnya merasa gatal
kemudian terasa panas dan pedih yang disusul muncul bercak kemerahan
pada paha kiri dan lutut kanan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi
pada ekstrimitas inferior dekstra dan sinistra dengan efloresensi makula
eritema hiperpigmentasi, plakat, polisiklik, sirkumskrip.
3
IV. DIAGNOSIS KERJA
V. DIAGNOSIS BANDING
Eritema Multiforme
SSJ
VI. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
o Antihistamin tablet 3 x 1
o Kortikosteroid topikal
o Proris (pengganti sistenol)
Non medikamentosa
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungtionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi dengan manifestasi berupa
lesi kulit yang muncul ditempat yang sama dan dapat bertambah akibat pemberian
atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu.
Gambaran klinik dari FDE berupa timbulnya satu atau beberapa lesi kulit
yang eritematous berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya terbentuk efloresensi
berupa makula berbatas tegas berwarna ungu atau coklat.
5
tidak nyaman. Jika tidak diterapi secara kausal maka dapat bertambah parah dengan
adanya penambahan jumlah lesi.
A. Definisi
Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul
pada tempat yang sama.
Fixed drug eruption ialah suatu reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan
akibat pemberian obat biasanya secara sistemik.
Sinonim
B. Epidemiologi
Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda yang
pernah dilaporkan adalah 8 bulan. Kajian oleh Noegrohowati (1999) mendapatkan
FDE (63%), sebagai manifestasi klinis erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus
bayi dan anak disusul dengan erupsi eksantematosa (3%) dan urtikaria (12%).
Jumlah kasus bertambah dengan meningkatnya usia, hal tersebut mungkin
disebabkan pajanan obat yang bertambah.
Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang paling sering
dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik
pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid.
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non
imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang
terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada
pasien yang sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut.disebabkan
oleh berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya
sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa
hapten, harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum
6
atau protein dari membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks
hapten protein. Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi
yang dapat berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap.
Ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana kapasitas dari
sebuah obat dalam menimbulkan respon imun :
Sebuah molekul yang imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih dari
1000 dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk memberikan
respon imun harus berikatan dengan makromolekul jaringan yang berperan
sebagai hapten. Hapten adalah sebuah substansi yang tidak imunogenik tetapi
menjadi imunogenik ketika berikatan dengan karier makromolekul. Ikatan yang
terjadi haruslah sangat kuat dan biasanya bersifat kovalen.
Variasi metabolik individu merupakan jalur yang dilewati oleh obat dimana
dapat memberi reaksi intermediet atau diekskresi. Reaktivasi intermediet berlaku
7
sebagai hapten yang dapat melakukan ikatan kovalen pada makromolekul sel
yang dapat menyebabkan kematian sel atau merangsang respon imun sekunder.
3. Kemampuan imunogenetik.
4. Usia
Usia dapat menentukan kemampuan respon imun dari pemberian suatu obat,
dimana dikatakan alergi lebih sering ditemukan pada anak-anak dan pada manula,
mungkin karena ketidakmatangan atau involusi dari sistem imun.
1. Paparan obat.
8
2. Waktu kejadian.
Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu dari terapi pertama.
Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat memberikan onset
yang tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah pemberian obat. Untuk
beberapa reaksi yang lebih serius, resiko yang berhubungan dengan pemberian
obat lebih dari 2 bulan tampak lebih rendah.
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh Coombs &
Gell; suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari ke empat jalur
berikut ini;
Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau
golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemakaian obat.
Gejala biasanya bervariasi seperti pruritus, urtikaria, spasme bronkus, dan edema
laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaktik dengan hipotensi
dan kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan melepaskan
mediator-mediator kimia (histamin) atau lemak (leukotriens/prostaglandin) yang
akan menimbulkan gejala klinik yang berbeda-beda tergantung dari interaksi
organ target (kulit, sistim respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan
9
mediator kimia tersebut. Penelitian terbaru mengatakan reaksi obat perantaraan
IgE lebih diakibatkan peran basofil daripada sel mast. Pelepasannya dipicu
ketika terjadi konjugasi protein obat polifalen yang terbentuk secara in vivo dan
behubungan dengan molekul IgE yang mensensitisasi sel-sel.
Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan
antara IgE dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem
komplemen teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
FDE termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi kompleks antigen antibodi.
Patogenesis FDE sampai saat ini belum diketahui pasti, diduga karena karena
reaksi imunologi. Berdasarkan mekanisme imunologik yang terjadi pada reaksi obat
dapat berupa IgE mediated drug eruption, immunecomplex dependent drug reaction,
cytotoxic drug induced reaction dan cell mediated reaction.
10
Visa dkk (1987) melakukan penelitian untuk mengetahui sel imunokompeten
pada FDE dengan tehnik imunoperoksidase. Ternyata 60-80% sel infiltrate pada
FDE adalah sel Limfosit T ( T4 dan T8). Terlihat pula peningkatan sel mast sebesar
5-10% serta ditemukan HLA-DR pada limfosit T (limfosit aktif) yang berada di
dermis. Keadaan ini sama dengan lesi pada hipersensitivitas tipe lambat. Mdvi..
Limfosit T yang menetap dilesi kulit berperan dalam memori imunologis dan
menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang sama. Keratinosit pada lesi kulit FDE
menunjukkan peningkatan ekspresi pada ICAM 1 dan HLA DR dan peningkatan
ekspresi ICAM 1 ini menjelaskan migrasi limfosit T ke sel epidermis dan
mengakibatkan kerusakan.
11
D. Gambaran Klinis
FDE dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat
secara oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, berwarna merah atau keunguan,
berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi bisa menjadi bula, mengalami deskuamasi
atau menjadi krusta. Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi
awal biasanya soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka lesi yang
lama akan timbul kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi
biasanya sedikit. Timbulnya kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata
“fixed” pada nama penyakit tersebut. Lesi dapat dijumpai dikulit dan membran
mukosa yaitu di bibir, badan, tungkai, tangan dan genital. Tempat paling sering
adalah bibir dan genital. Lesi FDE pada penis sering disangka sebagai penyakit
kelamin. Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar, jarang dijumpai gejala
sistemik. Tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi pada FDE
jika menyembuh akan meninggalkan bercak hiperpigmentasi post inflamasi yang
menetap dalam jangka waktu lama.
1. Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan
pertama kali, waktu reaksi berkisar antara 8-9 hari.
2. Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan
kimiawi obat tersebut.
3. Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat meskipun
obat tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.
4. Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang
sama pada waktu yang berlainan, sebaliknya berbagai obat dapat
menyebabkan reaksi atau manifestasi klinik yang sama.
12
Gambaran klinis lesi FDE
E. Histopatologi
F. Diagnosis
13
dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk
membuat diagnosis. Selain itu pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk
menunjang diagnosis:
2. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya . Reaksi anafilaksis sangat
jarang terjadi, dan untuk mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita dalam
waktu setengah jam setelah penempelan. Secara teoritis dapat terjadi sensitisasi
akibat uji tempel, namun dalam prakteknya jarang ditemui. Tidak dianjurkan
melakukan uji tempel selama erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya.
Berdasarkan pengalaman para peneliti, uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang-
kurangnya 6 minggu setelah erupsi mereda.
Khusus untuk FDE Alanko (1994) menggunakan cara uji tempel yang agak
berbeda. Obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin atau etanol 70% diaplikasikan
secara terbuka pada bekas lesi dan punggung penderita. Observasi dilakukan dalam
24 jam pertama, dan dianggap positif bila terdapat eritema yang jelas yang bertahan
selama minimal 6 jam. Kalau cara ini tidak memungkinkan untuk dilaksanakan
dianjurkan uji tempel tertutup biasa dengan pembacaan pertama setelah penempelan
24 jam.
Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan
hasil yang positif dapat menyokong diagnosis dan menentukan penyebab meskipun
peranannya masih kontroversi. Metode uji tempel masih memerlukan banyak
perbaikan, diantaranya dengan menggiatkan penelitian tentang konsentrasi yang
sesuai untuk setiap obat, vehikulum yang tepat dan menentukan metabolisme obat di
kulit.
3. Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk memastikan penyebab.
Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya untuk pasien anak. Uji ini bertujuan
untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat
dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk
memprovokasi reaksi dan provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam.
14
Karena resiko yang mungkin ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah
pengawasan petugas medis yang terlatih.
H. Diagnosis Banding
- Eritematous Multiforme
I. Penatalaksanaan
2. Pengobatan Sistemik
3. Pengobatan Topikal
a. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah untuk
mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan krusta serta memberikan efek
menyejukkan. Pengompresan dilakukan cukup 2-3 kali sehari, biarkan basah (tetapi
tidak sampai menetes) selama ±15-30 menit. Eksudat akan ikut mongering
bersama penguapan. Biasanya pengompresan cukup dilakukan 2 sampai 3 hari
pertama saja. Cairan kompres yang dapat dipilih antara lain larutan NaCl 0,9 atau
dengan larutan antiseptik ringan misalnya larutan Permanganas Kalikus 1:10.000
atau asam salisilat 1:1000.
b. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1 %
atau 2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan menghilang dalam
15
jangka waktu lama. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan
kortikosteroid topikal pada bayi dan anak.
c. Pilihlah potensi kortikosteroid sesuai dengan daerah atau lokasi yang akan diobati,
misalnya daerah lipatan (aksila,popok) atau muka sebaiknya menggunakan potensi
rendah sedangkan pada badan atau ekstremitas dapat diberikan potensi sedang.
d. Pilihlah potensi terendah yang dapat menghilangkan kelainan kulit dalam waktu
sesingkat mungkin. Sedapat mungkin hindari penggunaan kortikosteroid yang sangat
poten, terutama untuk anak berusia kurang dari 12 tahun.
e. Gunakan vehikulum yang tepat sesuai kondisi kelainan kulit, misalnya salap untuk
lesi kering dan tebal serta krim untuk radang ringan atau lipatan.
h.Penggunaan di daerah yang oklusif harus hati-hati, misalnya daerah popok atau
aksila.
J. Prognosis
16
DAFTAR PUSTAKA
17