Anda di halaman 1dari 17

BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. D
Usia : 57 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jakarta Utara
Pekerjaan : Pensiunan
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status Marital : Menikah

ANAMNESIS (autoanamnesis pada tanggal 1 Juli 2013)


KU: Bercak kemerahan pada paha kiri dan lutut kanan sejak 4 hari
KT : Nyeri dan rasa panas terbakar pada bercak kemerahan dan terasa gatal.
RPS: Seorang Laki-laki usia 57 tahun dengan keluhan bercak merah pada paha kiri
dan lutut kanan sejak 4 hari yang lalu. Awalnya pasien mengalami sakit gigi dan
berobat ke dokter gigi, dilakukan penambalan gigi sementara, Setelah di tambal
pasien karena sering merasakan nyeri, pasien mengkonsumsi obat parasetamol
dengan paten sistenol. Pasien mengatakan pertama kali konsumsi obat sistenol ini
sejak 2 tahun yang lalu, dan merasa cocok karena sakit yang dirasakan pasien dengan
cepat dirasakan pulih. Obat sistenol ini diminum pasien 6 hari yang lalu,2 hari
kemudian timbul keluhan rasa gatal pada paha kiri dan lutut kanan, dan kemerahan.
Gatal ini sering muncul walau pasien sedang tidak beraktifitas, contohnya jika pasien
sedang duduk menonton tv gatal sering dirasakan, sehingga untuk tidur pasien tidak
bisa tidur karena rasa gatal namun jika berjalan gatal dirasa berkurang. Pasien
merasa gatal namun tidak berani menggaruk. Muncul juga rasa pedih pada bagian
tersebut, seperti ditusuk-tusuk jarum yang halus, pasien juga merasa panas pada
bagian tersebut, dan bila memakai celana dan bergesek dengan celana akan terasa
pedih pada seluruh bagian yang berwarna merah tersebut.

1
RPD : Asma (-), Alergi obat-obatan (+) antalgin, novalgin, DM (-), Hipertensi (-),
Ginjal (-)
RPK : Riwayat keluhan sama disangkal. Asma (-), Alergi (-), DM (-), Hipertensi (+),
Ginjal (-)
R. Psikososial : Pasien memiliki kebiasaan mandi secara teratur 3x sehari.
Menggunakan sabun lux. Pasien sering mengkonsumsi parasetamol paten sistenol
apabila merasa nyeri atau sakit kepala sejak dua tahun yang lalu.

I. PEMERIKSAAN FISIK

 Status Generalis

Kesadaran umum : Komposmentis

Keadaan umum : Tampak baik

Kepala : Mata dan THT tidak ada keluhan

Thorax : Tidak ada keluhan

Abdomen : Tidak ada keluhan

Ekstrimirtas : Tidak ada keluhan

 Status dermatologikus

Distribusi :
 Regional
Ad regio :
 Paha kiri dan lutut kanan
Lesi :
Lesi berupa makula bulat sampai oval, eritema dan pada bagian
tengah berwarna keunguan, berbatas tegas. Ukuran lesi plakat, Polisiklik,
Lesi soliter, multiple jumlah lesi sebanyak empat lesi. Tepi sedikit
meninggi. dan Permukaan rata.

2
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

III. RESUME

Seorang Laki-laki 57 tahun, dengan keluhan bercak merah pada paha kiri
dan lutut kanansejak 4 hari yang lalu. Keluhan muncul setelah pasien
mengkonsumsi obat parasetamol merek sistenol yang sudah pernah
dikonsumsi pasien sejak 2 tahun yang lalu. Pasien awalnya merasa gatal
kemudian terasa panas dan pedih yang disusul muncul bercak kemerahan
pada paha kiri dan lutut kanan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi
pada ekstrimitas inferior dekstra dan sinistra dengan efloresensi makula
eritema hiperpigmentasi, plakat, polisiklik, sirkumskrip.

3
IV. DIAGNOSIS KERJA

Fixed Drug Eruption

V. DIAGNOSIS BANDING

 Eritema Multiforme

 SSJ

VI. PENATALAKSANAAN

 Medikamentosa

o Antihistamin tablet 3 x 1
o Kortikosteroid topikal
o Proris (pengganti sistenol)
 Non medikamentosa

o Hindari pemakaian obat yang diduga sebagai penyebab

VII. RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Uji Tempel, sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6 minggu


setelah erupsi mereda.

2. Uji Provokasi Oral

3. Pemeriksaan Patologi Anatomi dengan biopsi kulit

VIII. PROGNOSIS

 Ad vitam : ad bonam

 Ad fungtionam : ad bonam

 Ad sanationam : ad bonam

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi dengan manifestasi berupa
lesi kulit yang muncul ditempat yang sama dan dapat bertambah akibat pemberian
atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu.

Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-pasien


dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit kelamin pada tahun 1986-1990
dilaporkan pada 135 kasus terdapat kasus FDE sebanyak 16%

Gambaran klinik dari FDE berupa timbulnya satu atau beberapa lesi kulit
yang eritematous berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya terbentuk efloresensi
berupa makula berbatas tegas berwarna ungu atau coklat.

Diagnosis FDE ditegakkan berdasarkan anamnesa adanya riwayat


penggunaan obat sebelum timbulnya lesi dan gambaran klinik yang ditemukan.
Namun jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
jaringan kulit secara patologi anatomi dimana akan didapatkan gambaran
mikroskopis berupa terdapatnya makrofag-makrofag dan adanya penumpukan
pigmen melanin.

Penatalaksanaan yang dipakai adalah dengan pengobatan kausal berupa


mengetahui dan menghindari terpaparnya kembali dengan obat-obatan penyebab dan
pengobatan simptomatis berupa pemberian obat-obatan secara sistemis seperti
kortikosteroid dan antihistamin maupun secara topikal.

FDE bukan merupakan kasus yang mengancam jiwa dimana akan


menyembuh bila obat penyebab dapat diketahui dan disingkirkan. Namun demikian
dilihat dari sudut pandang kosmetik sangat mengganggu dan menimbulkan perasaan

5
tidak nyaman. Jika tidak diterapi secara kausal maka dapat bertambah parah dengan
adanya penambahan jumlah lesi.

A. Definisi

Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul
pada tempat yang sama.

Fixed drug eruption ialah suatu reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan
akibat pemberian obat biasanya secara sistemik.

Sinonim

Eksantema fikstum, fixed exanthema.

B. Epidemiologi

Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda yang
pernah dilaporkan adalah 8 bulan. Kajian oleh Noegrohowati (1999) mendapatkan
FDE (63%), sebagai manifestasi klinis erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus
bayi dan anak disusul dengan erupsi eksantematosa (3%) dan urtikaria (12%).
Jumlah kasus bertambah dengan meningkatnya usia, hal tersebut mungkin
disebabkan pajanan obat yang bertambah.

C. Etiologi dan Patogenesis

Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang paling sering
dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik
pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid.

Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non
imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang
terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada
pasien yang sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut.disebabkan
oleh berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya
sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa
hapten, harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum

6
atau protein dari membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks
hapten protein. Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi
yang dapat berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap.

Ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana kapasitas dari
sebuah obat dalam menimbulkan respon imun :

1. Karakteristik molekular dan sensitisasi.

Sebuah molekul yang imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih dari
1000 dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk memberikan
respon imun harus berikatan dengan makromolekul jaringan yang berperan
sebagai hapten. Hapten adalah sebuah substansi yang tidak imunogenik tetapi
menjadi imunogenik ketika berikatan dengan karier makromolekul. Ikatan yang
terjadi haruslah sangat kuat dan biasanya bersifat kovalen.

Untuk sebuah ikatan obat dan makromolekul jaringan kompleks menjadi


imunogenik harus diproses oleh antigen dan sel yang bersangkutan (seperti sel
langerhans dari kulit). Bersama-sama dengan antigen histokompatibiliti ke
sebuah limfosit T sebagai hasil dari presentasi terjadi aktivasi dari populasi sel T
yang berbeda dan setiap populasi sel T dapat menimbulkan reaksi klinik yang
berbeda pada aktivasi TH1 tipe sel T menyebabkan produksi dari interferon γ
dan interleukin 2 yang akan diikuti dengan terjadinya reaksi obat morbiliform
pada kontak dermatitis atau mungkin nekrolisis epidermal toksis. Aktivasi tipe
sel TH2 menyebabkan terjadinya produksi interleukin -4, -5, atau -13, yang akan
menyebabkan terjadinya produksi dari antibodi IgE dan reaksi klinik seperti
urtikaria atau anafilaktik. Mekanisme yang menentukan tipe terakhir dari aktivasi
sel T belum diketahui.

2. Variasi metabolik individu.

Variasi metabolik individu merupakan jalur yang dilewati oleh obat dimana
dapat memberi reaksi intermediet atau diekskresi. Reaktivasi intermediet berlaku

7
sebagai hapten yang dapat melakukan ikatan kovalen pada makromolekul sel
yang dapat menyebabkan kematian sel atau merangsang respon imun sekunder.

3. Kemampuan imunogenetik.

Respon imun dari antigen-antigen yang bervariasi biasanya dikontrol secara


genetik dan berbeda-beda pada tiap individu. Beberapa observasi klinik
mengatakan bahwa kontrol genetik mempunyai suatu peranan yang besar dalam
reaktivasi obat. Mereka percaya bahwa reaksi anafilaktik lebih sering terjadi
pada individu atopik dibanding dengan non-atopik. Wanita memiliki angka
kejadian 35% lebih tinggi daripada pria. Sebagai tambahan pasien dengan SLE
dapat meningkatkan prevalensi dari reaksi alergi obat, tetapi belum jelas apakah
hal ini berhubungan dengan abnormalitas imun atau frekuensi pemaparan obat-
obatan. Demonstrasi yang paling jelas tentang pentingnya sistem imun terhadap
resiko obat adalah pada kasus infeksi HIV. Reaksi obat pada pasien HIV 10 x
lebih tinggi daripada mereka yang tidak terinfeksi dan resiko ini meningkat
seiring dengan perjalanan penyakitnya. Demikian pula untuk pasien yang
melakukan transplantai sumsum tulang, dimana terjadi peningkatan resiko reaksi
obat.

4. Usia

Usia dapat menentukan kemampuan respon imun dari pemberian suatu obat,
dimana dikatakan alergi lebih sering ditemukan pada anak-anak dan pada manula,
mungkin karena ketidakmatangan atau involusi dari sistem imun.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya FDE :

1. Paparan obat.

Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen antibodi


dengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola morfologik yang
spesifik yang dapat meningkat atau menurun pada pemberian obat yang
menyebabkan terjadinya reaksi kulit tersebut. Sebagai contoh FDE lebih sering
ditemukan pada pemberian barbiturat daripada penisilin, walaupun penisilin
memiliki kemungkinan menimbulkan reaksi kulit karena obat yang lebih tinggi.

8
2. Waktu kejadian.

Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu dari terapi pertama.
Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat memberikan onset
yang tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah pemberian obat. Untuk
beberapa reaksi yang lebih serius, resiko yang berhubungan dengan pemberian
obat lebih dari 2 bulan tampak lebih rendah.

3. Uji eliminasi pemakaian obat.

Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan berkurang dengan penghentian


pemakaian obat tersebut. Sebuah reaksi kulit tidak mungkin berhubungan dengan
obat jika reksi terus berlanjut setelah dilakukan penghentian pemakaian obat
tersebut.

4. Pemaparan obat ulangan.

Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti apakah obat tersebut


menyebabkan terjadinya reaksi kulit walaupun pemberian yang sering tidak
dimungkinkan karena tidak menjamin keselamatan dari pasien kecuali terjadi
perubahan pola status imunologik pasien.

Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh Coombs &
Gell; suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari ke empat jalur
berikut ini;

1. Tipe I Reaksi Anafilaktik

Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau
golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemakaian obat.
Gejala biasanya bervariasi seperti pruritus, urtikaria, spasme bronkus, dan edema
laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaktik dengan hipotensi
dan kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan melepaskan
mediator-mediator kimia (histamin) atau lemak (leukotriens/prostaglandin) yang
akan menimbulkan gejala klinik yang berbeda-beda tergantung dari interaksi
organ target (kulit, sistim respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan

9
mediator kimia tersebut. Penelitian terbaru mengatakan reaksi obat perantaraan
IgE lebih diakibatkan peran basofil daripada sel mast. Pelepasannya dipicu
ketika terjadi konjugasi protein obat polifalen yang terbentuk secara in vivo dan
behubungan dengan molekul IgE yang mensensitisasi sel-sel.

2. Tipe II Reaksi Sitotoksik

Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan
antara IgE dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem
komplemen teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.

3. Tipe III Reaksi Kompleks Imun

Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk kompleks antigen


antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh
dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistim komplemen
terjadi pelepasan anafilaktosin yang merangsang pelepasan berbagai mediator
oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen akan terjadi kerusakan
jaringan.

4. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan reaksi


dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12 - 48
jam setelah pajanan dengan antigen.

FDE termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi kompleks antigen antibodi.

Patogenesis FDE sampai saat ini belum diketahui pasti, diduga karena karena
reaksi imunologi. Berdasarkan mekanisme imunologik yang terjadi pada reaksi obat
dapat berupa IgE mediated drug eruption, immunecomplex dependent drug reaction,
cytotoxic drug induced reaction dan cell mediated reaction.

Penelitian Alanko dkk (1992) membuktikan bahwa lesi FDE terjadi


peningkatan kadar histamine dan komplemen yang sangat bermakna (200-640
nMol/L). Keadaan ini diduga sebagai penyebab timbulnya reaksi eritema, lepuh dan
rasa gatal.

10
Visa dkk (1987) melakukan penelitian untuk mengetahui sel imunokompeten
pada FDE dengan tehnik imunoperoksidase. Ternyata 60-80% sel infiltrate pada
FDE adalah sel Limfosit T ( T4 dan T8). Terlihat pula peningkatan sel mast sebesar
5-10% serta ditemukan HLA-DR pada limfosit T (limfosit aktif) yang berada di
dermis. Keadaan ini sama dengan lesi pada hipersensitivitas tipe lambat. Mdvi..
Limfosit T yang menetap dilesi kulit berperan dalam memori imunologis dan
menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang sama. Keratinosit pada lesi kulit FDE
menunjukkan peningkatan ekspresi pada ICAM 1 dan HLA DR dan peningkatan
ekspresi ICAM 1 ini menjelaskan migrasi limfosit T ke sel epidermis dan
mengakibatkan kerusakan.

Visa dkk juga menyatakan bahwa mekanisme imunologi bukan satu-satunya


penyebab kelainan ini, akan tetapi faktor genetik turut mendasari terjadinya FDE.
Keadaan ini dapat dibuktikan dengan terjadinya kasus FDE dalam satu keluarga
yang menunjukkan kesamaan pada HLA B12.

11
D. Gambaran Klinis

FDE dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat
secara oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, berwarna merah atau keunguan,
berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi bisa menjadi bula, mengalami deskuamasi
atau menjadi krusta. Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi
awal biasanya soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka lesi yang
lama akan timbul kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi
biasanya sedikit. Timbulnya kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata
“fixed” pada nama penyakit tersebut. Lesi dapat dijumpai dikulit dan membran
mukosa yaitu di bibir, badan, tungkai, tangan dan genital. Tempat paling sering
adalah bibir dan genital. Lesi FDE pada penis sering disangka sebagai penyakit
kelamin. Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar, jarang dijumpai gejala
sistemik. Tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi pada FDE
jika menyembuh akan meninggalkan bercak hiperpigmentasi post inflamasi yang
menetap dalam jangka waktu lama.

Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya FDE :

1. Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan
pertama kali, waktu reaksi berkisar antara 8-9 hari.
2. Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan
kimiawi obat tersebut.
3. Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat meskipun
obat tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.
4. Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang
sama pada waktu yang berlainan, sebaliknya berbagai obat dapat
menyebabkan reaksi atau manifestasi klinik yang sama.

12
Gambaran klinis lesi FDE

E. Histopatologi

Gambaran histologi FDE menyerupai eritema multiforme (EM). Seperti pada


EM reaksi dapat terjadi di dermis atau epidermis atau keduanya. Yang paling sering
adalah yang melibatkan dermis dan epidermis. Pada tahap awal pemeriksaan
histopatologi menggambarkan adanya bula subepidermal dengan degenerasi hidropik
sel basal epidermis. Dapat juga dijumpai diskeratosis keratinosit dengan sitoplasma
eosinofilik dan inti yang piknotik di epidermis. Pada tahap lanjut dapat dilihat
melanin dan makrofag pada dermis bagian atas dan terdapat peningkatan jumlah
melanin pada lapisan basal epidermis.

F. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.


Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis, macam obat,

13
dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk
membuat diagnosis. Selain itu pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk
menunjang diagnosis:

1. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau menyingkirkan


diagnosis banding.

2. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya . Reaksi anafilaksis sangat
jarang terjadi, dan untuk mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita dalam
waktu setengah jam setelah penempelan. Secara teoritis dapat terjadi sensitisasi
akibat uji tempel, namun dalam prakteknya jarang ditemui. Tidak dianjurkan
melakukan uji tempel selama erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya.
Berdasarkan pengalaman para peneliti, uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang-
kurangnya 6 minggu setelah erupsi mereda.

Khusus untuk FDE Alanko (1994) menggunakan cara uji tempel yang agak
berbeda. Obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin atau etanol 70% diaplikasikan
secara terbuka pada bekas lesi dan punggung penderita. Observasi dilakukan dalam
24 jam pertama, dan dianggap positif bila terdapat eritema yang jelas yang bertahan
selama minimal 6 jam. Kalau cara ini tidak memungkinkan untuk dilaksanakan
dianjurkan uji tempel tertutup biasa dengan pembacaan pertama setelah penempelan
24 jam.

Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan
hasil yang positif dapat menyokong diagnosis dan menentukan penyebab meskipun
peranannya masih kontroversi. Metode uji tempel masih memerlukan banyak
perbaikan, diantaranya dengan menggiatkan penelitian tentang konsentrasi yang
sesuai untuk setiap obat, vehikulum yang tepat dan menentukan metabolisme obat di
kulit.

3. Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk memastikan penyebab.
Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya untuk pasien anak. Uji ini bertujuan
untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat
dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk
memprovokasi reaksi dan provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam.

14
Karena resiko yang mungkin ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah
pengawasan petugas medis yang terlatih.

H. Diagnosis Banding

- Eritematous Multiforme

- Steven Johnson Syndrom

- Toxic Epidermal Nekrolisis

I. Penatalaksanaan

1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab.

2. Pengobatan Sistemik

Pemberian kortikosteroid sistemik sangat penting. Dengan prednison 3 x 10


mg/hari. Untuk keluhan rasa gatal pada malam hari yang kadang mengganggu
istirahat pasien dan orang tuanya dapat diberikan antihistamin generasi lama yang
mempunyai efek sedasi.

3. Pengobatan Topikal

Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering


atau basah.

a. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah untuk
mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan krusta serta memberikan efek
menyejukkan. Pengompresan dilakukan cukup 2-3 kali sehari, biarkan basah (tetapi
tidak sampai menetes) selama ±15-30 menit. Eksudat akan ikut mongering
bersama penguapan. Biasanya pengompresan cukup dilakukan 2 sampai 3 hari
pertama saja. Cairan kompres yang dapat dipilih antara lain larutan NaCl 0,9 atau
dengan larutan antiseptik ringan misalnya larutan Permanganas Kalikus 1:10.000
atau asam salisilat 1:1000.

b. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1 %
atau 2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan menghilang dalam

15
jangka waktu lama. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan
kortikosteroid topikal pada bayi dan anak.

c. Pilihlah potensi kortikosteroid sesuai dengan daerah atau lokasi yang akan diobati,
misalnya daerah lipatan (aksila,popok) atau muka sebaiknya menggunakan potensi
rendah sedangkan pada badan atau ekstremitas dapat diberikan potensi sedang.

d. Pilihlah potensi terendah yang dapat menghilangkan kelainan kulit dalam waktu
sesingkat mungkin. Sedapat mungkin hindari penggunaan kortikosteroid yang sangat
poten, terutama untuk anak berusia kurang dari 12 tahun.

e. Gunakan vehikulum yang tepat sesuai kondisi kelainan kulit, misalnya salap untuk
lesi kering dan tebal serta krim untuk radang ringan atau lipatan.

f. Aplikasi 2 kali sehari selama 7- 14 hari biasanya cukup

g.Hati-hati dengan penggunaan kortikosteroid potensi sedang sebanyak >


15g/minggu.

h.Penggunaan di daerah yang oklusif harus hati-hati, misalnya daerah popok atau
aksila.

J. Prognosis

Prognosis umumnya baik. Apabila obat tersangka penyebab telah dapat


dipastikan maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil
yang memuat jenis obat tersebut serta golongannya. Kartu tersebut dapat ditunjukkan
bilamana diperlukan (misalnya apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah
pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya FDE.

Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-


kelainan berupa sindrom lyell dan steven johnsons sindrom, prognosis dapat menjadi
buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.

16
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Boediardja


SA,eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
2001:139-42.
Breathnach SM. Drug reaction. In: Champion RH, Burton JL, Ebling FJG,
eds. Textbook of Dermatology. 6th ed. London Balckwell Scientific
Publications. 1998:3349-87.
Gruschalla RS, Beltrani VS. Drug induced cutaneus reactions. In: Leung
DYM, Greaves MW. Allergic skin diseases. Marcel Dekker, Inc: New
York-Basel. 2000:307-35.
Soebaryo RW, Effendi EHF, Suyoto EK. Eksantema Fikstum. Dalam:
SularsitoSA dkk eds. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi
Obat Alergik. Balai Penerbit FKUI, Jakarat, 1995:63-5
Shear NH, Landau M, Shapiro Le. Hypersensitivity reactions to drug. In:
Harper J, Oranje A, Prose N, eds. London Blackwell Scientific
Publication. 2000:1743-63.
Sudigdoadi, Widiantoro Y. Fixed Drug Eruption pada Anak berumur 18
bulan. Media Dermato-Venereologica Indonesiana 1995, 22 :4 : 166-8.
Jakarta
Dahl MV. Drug reactions. In: Dahl MV. Clinical Immunodermatology. 3rd
ed. Mosby Year Book inc . Minneapolis – Minnesota. 1996:355-67.
Hurwitz S. Eczematous Eruptions in Childhood. In: Clinical Pediatric
Dermatology. 2nd ed. Philadelphia. WB Saunders Company. 1993:67-8.
Habif TP. Clinical Dermatology. 3rd ed. St Louis. Mosby Year
Book.1996:439-40.

17

Anda mungkin juga menyukai