Anda di halaman 1dari 17

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Fisiologi Tidur

Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan


beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola
dunia disebut sebagai irama sirkadian1,4.
Tidur tidak dapat diartikan sebagai meanifestasi proses deaktivasi sistem
Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-
neuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi
terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut
sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang
menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang
otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal center).

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)


2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu
diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM
terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.

Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam
empat stadium, antara lain:

a. Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium


ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran
kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7
siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
b. Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu
tidur. EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle
shaped) yang sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik,
lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini,
orang dapat dibangunkan dengan mudah.
c. Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga
2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat
nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
d. Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran
EEG hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada
jumlah gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur
dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak
dibagi-bagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM.1,4
Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya
terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya
perubahan gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata
dan mempengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang disebut nucleus supra
chiasmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmiter yang mempengaruhi
pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur badan, kortisol, growth
hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun tidur. NSC
bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika pagi hari
cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi
peningkatan temperatur badan, kortisol dan GH sehingga orang terbangun. Jika
malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang
mengantuk dan tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula
pineal. Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan
mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur badan dan
kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam, terus
meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi.5
3.2 Definisi Insomnia

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk
tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Menurut
DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk
memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung
setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan
dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases
mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur
yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The
International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur
yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur
tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk
melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala
yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan
pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi
dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.

3.3 Epidemiologi

Keluhan gangguan tidur sebenarnya dapat terjadi pada berbagai usia tetapi,
prevalensi insomnia sendiri cenderung makin meningkat pada lansia, hal ini juga
berhubungan dengan bertambahnya usia dan adanya berbagai penyebab lainnya.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 5886 lansia berusia 65 tahun ke
atas, didapatkan bahwa lebih dari 70% lansia diantaranya mengalami insomnia.
Faktor lain yang berhubungan dengan peningkatan prevalensi gangguan tidur
adalah jenis kelamin wanita, adanya gangguan mental atau medis dan
penyalahgunaan zat.Dilaporkan juga bahwa, kurang lebih 40-50% dari populasi
usia lanjut mengalami hal ini.
3.4 Etiologi

1. Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga


dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk
tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit
dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat
menyebabkan insomnia.
2. Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan
kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
3. Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur,
termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi,
stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
4. Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung
kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat
menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu
seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering
menyebabkan terbangun di tengah malam.
5. Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan
bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami
insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut.
Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung,
penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit
Parkinson dan penyakit Alzheimer.
6. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh
atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama
sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai
jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
7. 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan
tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh
tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka
berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak
mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau membaca.3,10
3.5 Patofisiologi insomnia

1. Perspektif kognitif dan behaviour


Saat ini belum ada model kognitif-behaviour tunggal pada patofisiologi
insomnia, namun tersedia beberapa model yang saling tumpang tindih. Hal ini
menunjukkan bahwa insomnia adalah kondisi yang terjadi dari waktu ke waktu,
terkait dengan perilaku maladaptif dan kognisi, dan akan menjadi kronis kecuali
dilakukan terapi agresif pada fase akutnya. Spielman dkk mencetuskan model 3-P
insomnia,yang merupakan model diathesis-stres. Model ini mengatakan bahwa :
(1) Individu dapat mengalami insomnia akibat karakteristik predisposisi
individual, seperti berbagai bentuk hyperarousal dan atau kecenderungan untuk
khawatir, (2) Faktor presipitasi, seperti keadaan kehidupan yang membuat stres,
penyakit baru, (3) Faktor predisposisi seperti perilaku yang salah, misalnya tidur
sebentar di siang hari atau tidur-tiduran di ranjang lebih lama dari kebiasaan
waktu tidur yang biasa selain dari kurang tidur, bisa mengakibatkan arousal yang
terkondisikan dan insomnia kronis. Semua hal diatas semakin meyakinkan bahwa
ada banyak faktor etiologi insomnia yang menjadi target dari cognitive behavioral
therapy (CBT).

2. Perspektif Fisiologis
Keadaan hyperarousal, disritmia sirkadian dan disregulasi homeostatik
tidur masing-masing dipikirkan terkait dengan terjadinya insomnia. Aktivitas
tubuh yang sebagian besar terjadi pada hyperarousal adalah peningkatan level
basal atau kegagalan menurunkan regulasi saat malam hari dan lebih lanjut
memperjelas dimensi somatik/fisiologis, kognitif dan kortikal/neurofisiologis.
Dalam terminologi arousal fisiologis, pasien dengan insomnia menunjukkan
peningkatan detak jantung, respon kulit galvanik, arousal simpatis (yang dilihat
dari variabillitas detak jantung), dan peningkatan aktivitas aksis Hipotalamik
Pituitari Adrenal (Roth dkk, 2007; Pigeon, 2008).
Pada terminologi arousal kognitif, pasien dengan insomnia lebih rentan
terhadap rasa khawatir secara umum, khawatir dengan pola tidurnya, dan
cenderung meningkatkan perhatian pada gejala insomnia. Pada terminologi
kortikal, arousal neurofisiologis, pasien dengan insomnia menunjukkan
peningkatan frekuensi aktivitas EEG pada saat tidur atau di sekitar onset waktu
tidur dan pada fase tidur non REM, adanya peningkatan seluruh proses
metabolisme otak saat terbangun dan fase tidur non REM dan sedikit penurunan
metabolisme dibandingkan dengan orang normal pada ARAS, hipokampus,
amigdala dan korteks singuli anterior saat transisi dari bangun ke tidur. Secara
keseluruhan, ada bukti yang menunjang adanya hubungan antara hyperarousal
dan insomnia.
Akibat adanya disregulasi sirkadian, studi menyarankan agar abnormalitas
kronobiologi, dalam bentuk pergeseran fase ritme temperatur inti tubuh, terkait
dengan proses mengawali tidur atau menjaga tetap tertidur. Pergeseran ini hampir
serupa dengan yang terjadi pada gangguan irama sirkardian tidur yang lengkap.
Abnormalitas ini mungkin sebagian disebabkan atau dieksaserbasi oleh
sikap/perilaku. Beberapa pasien mengganti jadwal tidurnya dan aktivitas saat
bangun secara dramatis sehingga merubah waktu mereka terpapar sinar matahari
dan sering ditemukan mereka berusaha tidur sebelum adanya penurunan suhu inti
tubuh yang terkait dengan onset tidur. Perilaku seperti ini dapat merubah jam
biologis seseorang dan dapat berakibat pergeseran fase temperatur inti tubuh.
Seperti yang dikatakan oleh penelitian lain, ada beberapa bukti yang
terbatas bahwa homeostasis tidur mungkin dapat menjadi predisposisi, presipitasi
dan perpetuasi insomnia. Terutama pada pasien dengan insomnia primer,
dibandingkan dengan orang yang kualitas tidurnya baik, cenderung mengalami
abnormalitas homeostatik (Pigeon, 2008).
Pertama, kecenderungan tidur diukur dengan multiple sleep latency test
(MSLT) dimana waktu untuk jatuh tertidur setelah beberapa kesempatan tidur
siang berturut-turut menggambarkan tingkat mengantuk yang obyektif atau sleep
drive. Pasien dengan insomnia cenderung memiliki total waktu tidur yang kurang
dibandingkan orang yang tidur dengan baik, mereka akan memiliki latensi tidur
yang lebih pendek pada MSLT. Sebagian besar studi MSLT menunjukkan pasien
dengan insomnia memiliki latensi tidur yang normal atau memanjang. Hal ini
berarti ada penurunan sleep drive dan disimpulkan sebagai hemostat tidur yang
salah.
Kedua, pasien dengan insomnia memiliki gelombang tidur lambat (slow
wave sleep) yang lebih sedikit dibanding orang normal. Hilangnya SWS tidak
secara langsung melibatkan disregulasi homeostatik. Ketiga, pasien insomnia
dengan sleep deprivation (kurang tidur), menunjukkan SWS yang menghilang,
suatu respon homeostatik kardinal pada hilangnya tidur. Akhirnya, mengikuti
intervensi yang mentargetkan homeostasis tidur, pasien dengan insomnia
menunjukkan peningkatan SWS pada tingkat pra terapi.
Penting untuk diingat bahwa beberapa dari temuan ini mungkin dapat
dijelaskan oleh beberapa faktor selain homeostasis tidur. Sebagai contoh, regulasi
penurunan suhu tubuh saat awal tidur mungkin penting untuk inisiasi SWS,
sehingga termoregulasi mengalami disregulasi. Sebagai tambahan hiperarousal
dapat terjadi lebih lama daripada latensi tidur yang diharapkan pada tes MSLT
dan berpotensi membuat barier konsisten pada SWS. Diatas semuanya, ada
interaksi antara hyperarousal, disritmia sirkadian dan proses homeostasis yang
berkontribusi pada patofisiologi insomnia. Di poin mana insomnia itu terjadi tetap
belum terjawab, tetapi bagaimana dan kapan pun insomnia itu terjadi, insomnia
menyebabkan banyak konsekuensi (Pigeon, 2008).

3.6 Tanda dan Gejala klinis


1. Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari
2. Sering terbangun pada malam hari
3. Bangun tidur terlalu awal
4. Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
5. Iritabilitas, depresi atau kecemasan
6. Konsentrasi dan perhatian berkurang
7. Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
8. Ketegangan dan sakit kepala
9. Gejala gastrointestinal 1,3,7

3.7 Diagnosis
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ III

• Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:


a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur,
atau kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1
bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial
dan pekerjaan
• Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak
menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.
Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis
di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan
penyesuaian (F43.2)
3.8 Tatalaksana

1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku
ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk
penderita insomnia.

Terapi tingkah laku meliputi

- Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.


- Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback,
dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi
kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol
pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
- Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan
pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling
tatap muka atau dalam grup.
- Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di
tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.3,6
- Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk
beraktivitas.
Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:8

1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca,


menonton televisi, makan atau bekerja.
2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu
20 menit di tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan
tempat tidur dan pergi ke ruangan lain dan melakukan hal-hal yang
membuat santai. Hindari menonton televisi. Bila sudah merasa
mengantuk kembali ke tempat tidur, namun bila alam 20 menit di
tempat tidur tidak juga dapat tidur, kembali lakukan hal yang
membuat santai, dapat berulang dilakukan sampat seseorang dapat
tidur.
3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa
lama tidur pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal
tidur-bangun (kontrol waktu).
4. Tidur siang harus dihindari.

b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah


Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

 Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur


 Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
 Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
 Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
 Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan
pernapasan atau beribadah
 Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan
tidur pada malam hari.
 Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti
menghindari kebisingan
 Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit
setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.
 Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin
 Menghindari makan besar sebelum tidur
 Cek kesehatan secara rutin
 Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik1,2,3,6

2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan
yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia”
yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietas
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-
Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-
Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis

- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi


tidur.
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3
kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia
lanjut

Lama Pemberian
- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak
lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan
lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang
menetap sekitar 6 bulan lamanya.
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah
gangguan tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping

Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-


insomnia (waktu paruh) :

- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam)  gejala


rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam  gejala rebound lebih ringan
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam  menimbulkan gejala
“hang over” pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime
sleepiness”

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat


terjadi “disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”

Interaksi obat

- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan


potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation
and respiratory failure”
- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang
menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol
atau “CNS Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus

- Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan
melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)1,3,9

3.9 Komplikasi

Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur.
Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.
Komplikasi insomnia meliputi

 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.


 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan
reaksi kecelakaan.
 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
 Kelebihan berat badan atau kegemukan
 Daya tahan tubuh yang rendah
 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya
tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

2.10 Prognosis

Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain spt depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.
Daftar pustaka:

1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
2. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International
Classification of Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine
Diagnostic and Coding Manual . Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2.
Westchester, Ill: American Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32.
3. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis.
(http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com Diakses
tanggal 8 Juli 2011)
4. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
5. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
6. Insomnia.(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTI
ON=alternative-medicine Diakses tanggal 8 Juli 2011)
7. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.
8. Hazzard. 2009. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology 6th ed.
New York: McGraw-Hill.
9. Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat
Psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
10. Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry.
London: Oxford University Press
11. Pigeon W.R., 2010. Diagnosis, prevalence, pathways, consequences &
treatment of Insomnia. Indian J Med Res 131: 321-332.
12. Roth T., Roehrs T., Pies R., Insomnia: Pathophysiology and implications
for treatment. Sleep Medicine Reviews (2007) 11, 71–79.

Anda mungkin juga menyukai