TINJAUAN PUSTAKA
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu
diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM
terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam
empat stadium, antara lain:
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk
tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Menurut
DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk
memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung
setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan
dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases
mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur
yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The
International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur
yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur
tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk
melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala
yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan
pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi
dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.
3.3 Epidemiologi
Keluhan gangguan tidur sebenarnya dapat terjadi pada berbagai usia tetapi,
prevalensi insomnia sendiri cenderung makin meningkat pada lansia, hal ini juga
berhubungan dengan bertambahnya usia dan adanya berbagai penyebab lainnya.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 5886 lansia berusia 65 tahun ke
atas, didapatkan bahwa lebih dari 70% lansia diantaranya mengalami insomnia.
Faktor lain yang berhubungan dengan peningkatan prevalensi gangguan tidur
adalah jenis kelamin wanita, adanya gangguan mental atau medis dan
penyalahgunaan zat.Dilaporkan juga bahwa, kurang lebih 40-50% dari populasi
usia lanjut mengalami hal ini.
3.4 Etiologi
2. Perspektif Fisiologis
Keadaan hyperarousal, disritmia sirkadian dan disregulasi homeostatik
tidur masing-masing dipikirkan terkait dengan terjadinya insomnia. Aktivitas
tubuh yang sebagian besar terjadi pada hyperarousal adalah peningkatan level
basal atau kegagalan menurunkan regulasi saat malam hari dan lebih lanjut
memperjelas dimensi somatik/fisiologis, kognitif dan kortikal/neurofisiologis.
Dalam terminologi arousal fisiologis, pasien dengan insomnia menunjukkan
peningkatan detak jantung, respon kulit galvanik, arousal simpatis (yang dilihat
dari variabillitas detak jantung), dan peningkatan aktivitas aksis Hipotalamik
Pituitari Adrenal (Roth dkk, 2007; Pigeon, 2008).
Pada terminologi arousal kognitif, pasien dengan insomnia lebih rentan
terhadap rasa khawatir secara umum, khawatir dengan pola tidurnya, dan
cenderung meningkatkan perhatian pada gejala insomnia. Pada terminologi
kortikal, arousal neurofisiologis, pasien dengan insomnia menunjukkan
peningkatan frekuensi aktivitas EEG pada saat tidur atau di sekitar onset waktu
tidur dan pada fase tidur non REM, adanya peningkatan seluruh proses
metabolisme otak saat terbangun dan fase tidur non REM dan sedikit penurunan
metabolisme dibandingkan dengan orang normal pada ARAS, hipokampus,
amigdala dan korteks singuli anterior saat transisi dari bangun ke tidur. Secara
keseluruhan, ada bukti yang menunjang adanya hubungan antara hyperarousal
dan insomnia.
Akibat adanya disregulasi sirkadian, studi menyarankan agar abnormalitas
kronobiologi, dalam bentuk pergeseran fase ritme temperatur inti tubuh, terkait
dengan proses mengawali tidur atau menjaga tetap tertidur. Pergeseran ini hampir
serupa dengan yang terjadi pada gangguan irama sirkardian tidur yang lengkap.
Abnormalitas ini mungkin sebagian disebabkan atau dieksaserbasi oleh
sikap/perilaku. Beberapa pasien mengganti jadwal tidurnya dan aktivitas saat
bangun secara dramatis sehingga merubah waktu mereka terpapar sinar matahari
dan sering ditemukan mereka berusaha tidur sebelum adanya penurunan suhu inti
tubuh yang terkait dengan onset tidur. Perilaku seperti ini dapat merubah jam
biologis seseorang dan dapat berakibat pergeseran fase temperatur inti tubuh.
Seperti yang dikatakan oleh penelitian lain, ada beberapa bukti yang
terbatas bahwa homeostasis tidur mungkin dapat menjadi predisposisi, presipitasi
dan perpetuasi insomnia. Terutama pada pasien dengan insomnia primer,
dibandingkan dengan orang yang kualitas tidurnya baik, cenderung mengalami
abnormalitas homeostatik (Pigeon, 2008).
Pertama, kecenderungan tidur diukur dengan multiple sleep latency test
(MSLT) dimana waktu untuk jatuh tertidur setelah beberapa kesempatan tidur
siang berturut-turut menggambarkan tingkat mengantuk yang obyektif atau sleep
drive. Pasien dengan insomnia cenderung memiliki total waktu tidur yang kurang
dibandingkan orang yang tidur dengan baik, mereka akan memiliki latensi tidur
yang lebih pendek pada MSLT. Sebagian besar studi MSLT menunjukkan pasien
dengan insomnia memiliki latensi tidur yang normal atau memanjang. Hal ini
berarti ada penurunan sleep drive dan disimpulkan sebagai hemostat tidur yang
salah.
Kedua, pasien dengan insomnia memiliki gelombang tidur lambat (slow
wave sleep) yang lebih sedikit dibanding orang normal. Hilangnya SWS tidak
secara langsung melibatkan disregulasi homeostatik. Ketiga, pasien insomnia
dengan sleep deprivation (kurang tidur), menunjukkan SWS yang menghilang,
suatu respon homeostatik kardinal pada hilangnya tidur. Akhirnya, mengikuti
intervensi yang mentargetkan homeostasis tidur, pasien dengan insomnia
menunjukkan peningkatan SWS pada tingkat pra terapi.
Penting untuk diingat bahwa beberapa dari temuan ini mungkin dapat
dijelaskan oleh beberapa faktor selain homeostasis tidur. Sebagai contoh, regulasi
penurunan suhu tubuh saat awal tidur mungkin penting untuk inisiasi SWS,
sehingga termoregulasi mengalami disregulasi. Sebagai tambahan hiperarousal
dapat terjadi lebih lama daripada latensi tidur yang diharapkan pada tes MSLT
dan berpotensi membuat barier konsisten pada SWS. Diatas semuanya, ada
interaksi antara hyperarousal, disritmia sirkadian dan proses homeostasis yang
berkontribusi pada patofisiologi insomnia. Di poin mana insomnia itu terjadi tetap
belum terjawab, tetapi bagaimana dan kapan pun insomnia itu terjadi, insomnia
menyebabkan banyak konsekuensi (Pigeon, 2008).
3.7 Diagnosis
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ III
1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku
ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk
penderita insomnia.
2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan
yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia”
yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietas
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-
Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-
Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.
Pengaturan Dosis
Lama Pemberian
- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak
lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan
lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang
menetap sekitar 6 bulan lamanya.
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah
gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Efek Samping
Interaksi obat
Perhatian Khusus
- Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan
melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)1,3,9
3.9 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur.
Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.
Komplikasi insomnia meliputi
2.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain spt depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.
Daftar pustaka:
1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
2. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International
Classification of Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine
Diagnostic and Coding Manual . Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2.
Westchester, Ill: American Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32.
3. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis.
(http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com Diakses
tanggal 8 Juli 2011)
4. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
5. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
6. Insomnia.(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTI
ON=alternative-medicine Diakses tanggal 8 Juli 2011)
7. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.
8. Hazzard. 2009. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology 6th ed.
New York: McGraw-Hill.
9. Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat
Psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
10. Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry.
London: Oxford University Press
11. Pigeon W.R., 2010. Diagnosis, prevalence, pathways, consequences &
treatment of Insomnia. Indian J Med Res 131: 321-332.
12. Roth T., Roehrs T., Pies R., Insomnia: Pathophysiology and implications
for treatment. Sleep Medicine Reviews (2007) 11, 71–79.