Disusun Oleh:
Preseptor:
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga Referat yang berjudul “Penyakit Jantung Rematik” ini dapat
diselesaikan pada waktu yang ditentukan.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang Timbul
Tabel 2.3. Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Fever dan
RHD
4
DAFTAR GAMBAR
5
BAB I
PENDAHULUAN
6
(25%), jarang mengenai katup trikuspid dan tidak pernah mengenai katup
pulmonal.8 PJR dapat mengakibatkan morbiditas seperti gagal jantung, stroke, dan
endokarditis dan sekitar 1,5% penderitanya akan meninggal per tahun.9 Sehingga
penting dilakukan tatalaksana yang adekuat untuk mencegah penyakit ini.
Pencegahan primer dari demam rematik dapat berupa tatalaksana terhadap
streptococcal pharyngitis, dan pencegahan sekunder dapat berupa pemberian
benzatil penicillin.2
Penyakit jantung rematik ini merupakan penyebab kecacatan pada jantung
yang terbanyak. Kecacatan pada katup jantung tidak dapat terlihat secara kasat
mata, tetapi menyebabkan gangguan kardiovaskular dari bentuk ringan sampai
berat sehingga mengurangi produktivitas dan kualitas hidup. Berdasarkan hal
tersebut, penulis tertarik untuk membahas mengenai penyakit jantung rematik
(PJR).
7
1.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan referat ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman mengenai definisi, epidemiologi, faktor risiko, etiologi, patofisiologi,
diagnosis, tatalaksana dan prognosis dari Penyakit Jantung Rematik (PJR).
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
Katup aorta mirip seperti katup pulmonal yang terdiri atas 3 katup
semilunar simetris.
Siklus jantung terdiri (gambar 2.2) atas diastolik dan sistolik. Diastolik
merupkan proses pengisian ventrikel dan sistolik merupkan proses kontraksi
ventrikuler. Proses diastolik dimulai saat penutupan katup aorta-pulmonal dan
berakhir saat menjelang penutupan katup mitral-trikuspid. Pada proses ini, terjadi
relaksasi dan pengisian ventrikel. Proses sistolik dimulai saat penutupan katup
mitral-trikuspid dan berakhir saat penutupan katup aorta-pulmonal.11
10
2.3 Epidemiologi
Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000
kematian bayi premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat
penyakit jantung pada anak-anak dan remaja di negara berkembang.18 Demam
rematik (DR) masih sering didapati pada anak di negara sedang berkembang dan
sering mengenai anak usia antara 5-15 tahun.19 Pada tahun 1994 diperkirakan
diseluruh dunia terdapat 12 juta penderita DR dan PJR.
Berdasarkan laporan WHO Expert Consultation Geneva pada tahun 2004
angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju hingga 8,2
per 100.000 penduduk di negara berkembang sedangkan di daerah Asia Tenggara
diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000
penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.
Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti,
meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak
sekolah.
Penelitian yang dilakukan oleh Marhamah H (2015) mendapati bahwa
pasien PJR yang dalam penelitiannya terdiri dari 54 sampel dengan kelompok usia
yang tertinggi terdapat pada usia 11- 20 tahun, yaitu sebanyak 27 sampel (50%) dan
yang terendah pada kelompok umur usia lanjut (≥60 tahun) sebanyak 1 sampel
(1,85%).13 Pada penelitian ini, sebagian besar pasien PJR berjenis kelamin
perempuan yaitu sebanyak 31 orang (57,41%) dan pasien laki-laki sebanyak 23
orang (42,59%).
11
Demam rematik banyak terjadi pada usia 5-14 tahun, namun jantung
rematik biasnya muncul pada usia 25-45 tahun. jantung rematik banyak terjadi pada
usia dewasa karena berasal dari proses pengrusakan katup secara kronik akibat
episode berulang dari demam rematik.
b. Jenis kelamin
Jantung rematik lebih banyak diderita oleh perempuan dibandingkan laki-
laki dengan perbandingan risiko 1,6-2 kali lebih besar. Risiko jantung rematik pada
perempuan disebabkan karena perempuan lebih rentan dan sensitif terhadap
Streptococcus. Risiko paparan Streptococcus pada perempuan diduga lebih besar
karena lebih banyak berkontak dengan anak-anak. Faktor lain yang berperan
meningkatkan risiko pada perempuan adalah kemampuan akses kesehatan yang
lebih kecil dibandingkan laki-laki. Faktor-faktor tersebut berperan meningkatkan
risiko jantung rematik pada perempuan.
c. Kondisi lingkungan dan kepadatan hunian
Dalam banyak penelitian, penduduk daerah pinggiran dan perdesaan berisiko
menderita jantung rematik dibandingkan daerah kota. Daerah pinggiran identik
terhadap hunian yang padat, jarak fasilitas kesehatan yang jauh, dan tingkat
kepedulian yang rendah terhadap kesehatan.
2. Faktor individu
Risiko jantung rematik bergantung terhadap individu penderita. Riwayat menderita
demam rematik berulang menjadi faktor risiko utama terjadinya jantung rematik.
Faktor lain yang berperan menjadi faktor risiko adalah rendahnya kepatuhan pasien
demam rematik terhadap pencegahan sekunder. Pecegahan sekunder dengan
pemberian profilaksis pada penderita demam rematik terbukti mampu mencegah
kejadian demam rematik berulang dan mencegah perekembangan terjadinya
jantung rematik. Pencegahan sekunder dilakukan dengan pemeberian benzatin
penisilin secara intramuskular.
2.5 Patofisiologi
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit
supuratif misalnya faringitis, selulitis, impetigo, pneumonia, miositis, sepsis nifas
dan penyakit non supuratif misalnya glomerulonefritis akut, demam rematik.
Setelah masa inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada
12
faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai
dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis.19 Pasien masih
tetap terinfeksi selama berminggu- minggu setelah gejala faringitis menghilang,
sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak langsung per oral atau
melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis
Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan atau
mengaktifkan kembali demam rematik.
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik
berkelanjutan yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari
60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.4
Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan
katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan
berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar
(jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis.
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang
berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme,
faktor host dan faktor sistem imun. Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
sebagai organisme penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis
rheumatic fever. Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah
tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat berikatan
dengan major histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan
berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin
dan menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup
A yang terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut adalah protein M yang
merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus
beta hemolyticus grup A juga menghasilkan produk ekstraseluler seperti
streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan hialuronidase yang mengaktivasi
produksi sejumlah antibodi autoreaktif.21
Antibodi yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang
tujuannya untuk menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya
proteksi tubuh ini juga menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri.
13
Tubuh memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme
dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh.22
Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1)
Urutan asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak
identik, 3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau
antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup
kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi
reseptor permukaan.
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama
dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari
reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya
dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M yang
terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti
protein M. Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat,
Streptococcus beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan
katup jantung yang menyebabkan kerusakan valvular.
Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga
memainkan peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6%
populasi memiliki potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang genetik
marker menunjukan bahwa gen human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas
II berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart
disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada kromosom 6 berperan dalam kontrol
imun respon. Molekul HLA kelas II berperan dalam presentasi antigen pada
reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem imun selular dan humoral.
Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan rheumatic
heart disease pada lesi-lesi valvular.
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan
verrucae yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah
14
proses inflamasi mereda, verurucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan
parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae
yang lama dan bagian mural dari endokardium dan korda tendinea akan ikut
mengalami kerusakan.
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65-
70% kasus). Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan
korda tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena
peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar
akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan
atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri.
Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan
juga dapat terjadi.
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup
aorta akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke
ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri. Di sisi lain,
dapat terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang
terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari.
Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan
hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang
selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan.
2.6 Diagnosis
Penyakit jantung rematik mengacu pada kerusakan jantung jangka
panjang yang disebabkan oleh satu episode berat tunggal atau beberapa episode
berulang demam rematik akut (DRA). Demam rematik akut merupakan penyakit
sistemik, sehingga pasien dapat menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran
klinis pada pasien demam rematik akut bergantung pada sistem organ yang terlibat
dan manifestasi yang muncul dapat tunggal atau merupakan gabungan beberapa
sistem organ yang terlibat. Gambaran DRA yang paling umum adalah demam (>
90% pasien) dan artritis (75% pasien). Manifestasi yang paling serius adalah
karditis (> 50% pasien) karena dapat berujung menjadi penyakit jantung rematik.12
15
1. Anamnesis
Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit
kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat.
Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan
muntah. Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit
tenggorok 1-5 minggu sebelum muncul demam rematik akut dan sekitar 20% anak-
anak menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan. Gejala spesifik yang
kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah kulit, peningkatan iritabilitas
dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti gangguan neuropsikiatri
autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat
demam rematik akut sebelumnya.13
2.Manifestasi Klinis
Demam rematik akut (DRA) dapat hadir dengan beberapa manifestasi klinis
yang berbeda beberapa minggu setelah episode faringitis S. Pyogenes. Diagnosis
DRA episode pertama memerlukan konfirmasi 2 kriteria utama atau 1 kriteria
mayor dan 2 minor berdasarkan Kriteria Jones tahun 2015 (dapat dilihat pada
Gambar1) bersamaan dengan bukti infeksi streptokokus β-hemolitik kelompok A
pendahuluan. Diagnosis Demam rematik juga dapat ditegakkan walaupun kriteria
Jones tidak terpenuhi seperti dalam kasus chorea rematik atau karditis rematik yang
berat, perjalanan jangka panjang dan perkembangan lesi yang tidak mencolok,
setelah penyebab lain dikeluarkan.14
16
Gambar 2.3. Kriteria Jones (modifikasi 2015) untuk Diagnosis Demam
Rematik Akut 14
Kriteria Mayor
Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari DRA, terjadi pada sekitar
70% pasien DRA. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi Streptococcus yakni
saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai dengan nyeri hebat,
bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang semakin hebat pada
gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering terkena
adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan
pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis
migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam sesudah
serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien dapat
sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tiga
minggu.15
Karditis
DRA dapat menyebabkan pancarditis yang melibatkan perikardium,
epikardium, miokardium, dan endokardium. Namun, manifestasi klinis utama
carditis DRA mencerminkan keterlibatan endokardium, yang muncul sebagai
valvulitis katup mitral (regurgitasi mitral) dan, yang lebih jarang, dari katup aorta
(regurgitasi aorta) Pada pasien dengan regurgitasi mitral, auskultasi
mengungkapkan murmur pansistolik khas regurgitasi mitral, dan jika regurgitasi
mitral parah, maka murmur diastolik tambahan mungkin hadir (murmur Carey-
Coombs). Kardiomegali dapat terjadi ketika ada regurgitasi katup yang lebih berat.
Pericardial friction rub dapat didengar ketika ada keterlibatan luas perikardium
Pasien dengan dugaan DRA harus diperiksa ekokardiogram untuk mengkonfirmasi
temuan klinis dan untuk menilai keparahan regurgitasi katup, untuk mengevaluasi
fungsi jantung dan untuk mendiagnosis keterlibatan subklinis apa pun.12
17
Tabel 2.1. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang Timbul 16
Gangguan Manifestasi
18
emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak
disengaja, tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat
terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini
semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat
beristirahat.15
Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus
terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan
persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas
kolumna vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri,
tidak gatal, mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi
beberapa minggu setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu
sebulan. Nodul ini selalu menyertai karditis rematik yang berat.17
Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang
terjadi kurang dari 10% kasus. 12 Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan
yang kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah
berkelok-kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung)
dan ekstremitas.13
Kriteria Minor
Demam biasanya tinggi sekitar 39◦C dan biasa kembali normal dalam waktu 2-3
minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-
tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai. Artralgia
biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada
pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya
meningkat pada DRA. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai perkembangan
penyakit. 15
C. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendukung
diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :
A.Pemeriksaan Laboratorium
Reaktan Fase Akut
19
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada pemeriksaan
darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase akut/aktif, namun
sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C- reactive protein (CRP) dan
laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap darah merupakan bukti non
spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi peningkatan LED,
namun normal pada pasien dengan congestive failure atau meningkat pada anemia.
CRP merupakan indikator dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat
aktivitas penyakit. CRP yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever
aktif.18
Rapid Test Antigen Streptococcus
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A secara
tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.2
Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis
rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan
adalah antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B.
Pemeriksaan ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan
dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai meningkat pada
minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi. Titer ASO naik >
333 unit pada anak-anak, dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B
mulai meningkat minggu 1-2 dan mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal
titer anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia
sekolah. 13
Kultur tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya streptococcus
beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum pemberian
antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala rheumatic fever atau rheumatic
heart disease mulai muncul. 13
B. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan
kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis.
Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR
20
yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12
tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik. 13
C. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien PJR, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi perikardium,
dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan karditis ringan,
regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada rheumatic
fever dengan karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi mitral/aorta yang
menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi
chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero- lateral.13 Berikut pada
21
Tabel 2.2 adalah kriteria WHF dalam diagnosis PJR berdasarkan pemeriksaan
ekokardiografi.14
Echocardiographic (Doppler) Echocardiographic
criteria: (morphological) criteria:
Pathological mitral regurgitation – 4 In acute mitral valve involvement:
criteria (all must be met): 1. Dilatation of mitral annulus.
1. Visible at least in 2 projections. 2. Elongation of chordae tendineae.
2. Regurgitation jet length ≥ 2 cm at least 3. Rupture of chorda tendinea with acute
in 1 projection. mitral regurgitation.
3. Regurgitation peak velocity > 3 m/s. 4. Prolapse of anterior (less often
4. Regurgitation pansystolic. posterior) leaflet.
5. Nodular lesions on leaflets.
Pathological aortic regurgitation – 4
criteria (all must be met): In chronic mitral valve involvement
1. Visible at least in 2 projections. (invisible in acute involvement):
2. Regurgitation jet length ≥ 1 cm at least 1. Thickening of leaflets.
in 1 projection. 2. Thickening of chordae tendinea, with
3. Regurgitation peak velocity > 3 m/s. their fusion.
4. Regurgitation pandiastolic. 3. Limited mobility of leaflets.
4. Calcifications.
22
Tabel 2.2. Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Fever dan
RHD.19
Kategori diagnosis Kriteria
23
2.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk
gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada
juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.
a. Terapi antibiotik
Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus
beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang
sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A
faring yang berulang.19
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek bakteriologi dan
efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi regimen yang ditentukan
(frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien meminum obat), harga, dan juga efek
samping.20
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral
adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada
pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24
jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta
hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan penisilin
G benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung. Namun terapi dengan
penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat menyelesaikan
terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau gagal jantung
rematik, dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor risiko terkena
rheumatic fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi rendah).20
24
Profilaksis Sekunder
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya
rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta
hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah metode yang paing efektif
untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah.20
b. Terapi Anti Inflamasi
Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon
cepat terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah
aspirin. Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan
kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi
pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik dengan aspirin dan terus mengalami
perburukan.20
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai
diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125
mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat
diturunkan menjadi 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi
terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.21
Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan
dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali sehari.
Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi
yang mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30
mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap
terapi.21
c. Terapi Gagal Jantung
Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah
baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien
dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa
digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah dengan
diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan atau
digoxin.21
25
d. Terapi Operatif
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat dilakukan
ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan, perlu dilakukan
operasi.22
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut (mungkin
akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart disease yang tak
teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup.22
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka. Intervensi
dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih banyak dikerjakan.22
d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi
dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup.22
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada penyakit jantung rematik diantaranya
adalah gagal jantung, pankarditis, pneumonitis rematik, emboli paru, kelainan
karup jantung dan infark. Miokard kehilangan fungsinya sehingga terjadi
penurunan cardiac output. Akibat mitral stenosis darah sedikit melewati katup yang
sempit di atrium kiri ke ventrikel kiri sehingga darah banyak terkumpul di atrium
menyebabkan atrium dilatasi dan hipertrofi. Tekanan di atrium meningkat yang
menyebabkan tekanan di paru meningkat sehingga terjadi edema paru. Regurgitasi
mitral menyebabkan darah yang mengalir ke ventrikel kiri balik lagi ke atrium kiri.
Pada waktu bersamaan atrium kiri menerima darah dari vena pulmonalis sehingga
banyak darah dari atrium akan masuk ke ventrikel kiri dan menyebabkan kerja
ventrikel meningkat hingga terjadi hipertrofi ventrikel kiri. Ventrikel gagal
berfungsi dengan baik untuk memompa darah ke aorta, darah yang melewati aorta
untuk dialirkan ke seluruh tubuh berkurang lalu perfusi ke jaringan berkurang
sehingga darah ke organ berkurang yang menyebabkan fungsi organ menurun.23
2.9 Prognosis
1. Pengobatan yang adekuat dengan antibiotik dapat mencegah demam
rematik akut menjadi penyakit jantung rematik sebesar 9 – 39 %. 23
26
2. Insiden penyakit jantung rematik setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada
pasien tanpa serangan demam rematik berulang, tetapi pada pasien dengan
serangan demam rematik yang berulang meningkat menjadi 60%.23
3. Prognosis dubia ad bonam jika karditis sembuh pada saat permulaan
serangan akut demam rematik. Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit
tidak membaik bila bising organik katup tidak menghilang.23
4. Prognosis memburuk jika gejala karditis lebih berat dan demam reumatik
akut dengan payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan
40% setelah 10 tahun. 23
Kelainan katup jantung yang dilakukan pembedahan memiliki hasil jangka panjang
pasca operasi yang tidak selalu bagus untuk perbaikan katup jantung oleh karena
timbulnya jaringan parut pada katup setelah operasi dapat semakin progresif.23
27
BAB III
KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill: New York,
2001; p. 1657 – 65.
2. Szczygielska I, et al. Rheumatic fever – new diagnostic criteria.
Rheumatologia. 2018; 56, 1:37-4.
3. WHO. Rheumatic fever and rheumatic heart disease: report of a WHO Expert
Consultation, Geneva, 29 Oct-1 Nov 2001: Geneva; WHO Technical report
series No.923; 2004; p1-65
4. Madyono B. Epidemiologi penyakit jantung reumatik di Indonesia. J Kardiol
Indones. 2005; 200:25-33.
5. WHO. Rheumatic fever and rheumatic heart disease: report by the Director-
General. 12 April 2018: Geneva; WHO Technical report series No.A71/25;
2018; p1-6.
6. FKUI, 2008; p.37-46.Carapetis JR. Rheumatic heart disease in Asia.
Ciculation [Internet]. 2008 [diakses 15 September 2019]; 118: 27482753.
Tersedia dari : http://circ.ahajournals.org/content/ circulationaha /118/2
5/2748.full.pdf.
7. Madiyono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R. Demam rematik dan penyakit
jantung rematik. In: Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak (Edisi
II). Jakarta: Balai Penerbit
8. Kliegman RM, Stanton B, Joseph SG, Schor N, Behrman RE. Rheumatic
heart disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton B, Joseph SG, Schor N,
Behrman RE. Nelson text book of pediatric. Edisi ke-19. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2011. hlm. 196
9. Seckeler MD, Hoke TR. The worldwide epidemiology of acute rheumatic
fever and rheumatic heart disease. Clin Epidemiol. 2011; 3:67–84.
10. Weinhaus AJ, Robert PK. In: Iaizzo PA. Handbook Of Cardiac Anatomy,
Physiology, And Device. Totowa; 2005. page 51-79.
11. Sacks MS, Yoganathan AP. Heart Valve Function: A Biomechanical
Perspective. Phil Trans R Soc B. 2007; 362: 1369-1391.
12. Dianne Sika-Paotonu, Beaton A, Raghu A, Steer A, Carapetis J. Acute
Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease. In: Streptococcus Pyogenes :
Basic Biology to Clinical Manifestations. Oklahoma: University of Oklahoma
Health Sciences Center; 2017:1-57.
13. Lily R. Penyakit Kardiovaskular. 1st ed. (Rahajoe AU, Karo-karo S, eds.).
Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2016.
14. Szczygielska I, Hernik E, Gazda BKA, Maślińska M, Gietka P. Rheumatic
fever – new diagnostic criteria. Reumatologia. 2018;56(1):37-41.
15. Essop, M.R, Omar T. Valvular Heart Disease: Rheumatic Fever. 3rd ed.
Philadelphia: Crawford; 2010.
16. Mishra T. Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease: current
scenario. JIACM. 2007;8(4):324-330.
17. Carapetis, J., dkk. Acute Rheumatic Fever. Harrison’s Cardiovascular
Medicine. United States: The McGraw-Hill. 2010;17: 290-296.
18. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010. .
29
19. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2.
Jakarta:Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:41-42.
20. Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of Rheumatic Fever and
Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam
Physician. 2010 1;81(3):346-359.
21. Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever & Rheumatic Heart Disease: The
last 50 years. Indian J Med Res. 2013:137; 643-658.
22. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013;331-335.
23. Siswanto BB, Dharma S, Juzan DA, Sukmawan R. Pedoman tatalaksana
penyakit kardiovaskular di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia; 2009. hlm. 267-8.
30