Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN
Perdarahan intrakranial (ICH) adalah perdarahan (patologis) yang terjadi
di dalam kranium, yang mungkin terjadi di ekstradural, subdural, subaraknoid,
atau serebral (parenkimatosa).1 Perdarahan intrakranial dapat terjadi pada semua
umur dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain.2
ICH menjadi penyebab 8-13% terjadinya stroke dan kelainan dengan
spectrum yang luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan
subaraknoid, ICH umumnya lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat
mayor. ICH yang disertai dengan edema akan mengganggu atau mengkompresi
jaringan otak sekitarnya, menyebabkan disfungsi neurologis. Perpindahan
substansi parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom
herniasi yang berpotensi fatal.1,3
Di Amerika, insiden ICH 12-15/100.000 penduduk, termasuk 350/100.000
kejadian hypertensive hemorage pada orang dewasa. Secara keseluruhan insiden
ICH menurun sejak 1950. Insiden ini lebih tinggi di Asia.Setiap tahun terdapat
lebih dari 20.000 orang di Amerika meninggal karena ICH. Tingkat mortalitas
ICH pada 30 hari adalah 44%. Perdarahan batang otak memiliki tingkat mortalitas
75% dalam 24 jam.4
Tingkat insidensi tinggi pada populasi dengan frekuensi hipertensi tinggi,
termasuk Afrika Amerika. Insidensi ICH juga tinggi di Cina, Jepang dan populasi
Asia lainnya, hal ini mungkin disebabkan karena factor lingkungan (spt. diet kaya
minyak ikan) dan/faktor genetik. Insiden ICH meningkat pada individu yang
berusia lebih dari 55 tahun dan menjadi 2 kali lipat tiap decade hingga berusia 80
tahun. Risiko relative ICH >7x pada individu yang berusia lebih dari 70 tahun.5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kepala6,7
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi.
Otak dilindungi oleh: 6
1) SCALP
SCALP/Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat
dan bergerak sebagai satu unit.
SCALP terdiri dari:
 Skin atau kulit
Tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar sebacea.
 Connective Tissue atau jaringan penyambung
Merupakan jaringan lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan
aponeurosis dari m. occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung
pembuluh darah besar terutama dari lima arteri utama yaitu cabang
supratrokhlear dan supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah depan, dan
tiga cabang dari karotid eksternal-temporal superfisial, aurikuler
posterior, dan oksipital di sebelah posterior dan lateral. Pembuluh darah
ini melekat erat dengan septa fibrosa jaringan subkutis sehingga sukar
berkontraksi atau mengkerut. Apabila pembuluh ini robek, maka
pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan
kehilangan darah yang bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.
Perdarahan sukar dijepit dengan forcep arteri. Perdarahan diatasi dengan
menekannya dengan jari atau dengan menjahit laserasi.
 Aponeurosis atau galea aponeurotika
Merupakan suatu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas,
yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan
otot frontalis dan otot occipitalis.
Spatium subaponeuroticum adalah ruang potensial dibawah aponeurosis
epicranial. Dibatasi di depan dan di belakang oleh origo m. Occipito
frontalis, dan meluas ke lateral sampai ke tempat perlekatan aponeurosis
pada fascia temporalis.
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
Menghubungkan aponeurosis galea dengan periosteum cranium
(pericranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa
v.emmisaria yang menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan sinus
venosus intrakranial. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi
dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, sehingga pembersihan
dan debridement kulit kepala harus dilakukan secara seksama bila galea
terkoyak. Darah atau pus terkumpul di daerah ini dan tidak bisa mengalir
ke region occipital atau subtemporal karena adanya perlekatan
occipitofrontalis. Cairan bisa masuk ke orbita dan menyebabkan
hematom yang bisa jadi terbentuk dalam beberapa waktu setelah trauma
kapitis berat atau operasi kranium.
 Pericranium
Merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang tengkorak.
Sutura diantara tulang-tulang tengkorak dan periousteum pada
permukaan luar tulang berlanjut dengan periousteum pada permukaan
dalam tulang-tulang tengkorak.
Gambar 1. Anatomi Kepala

2) Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian
terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini dilapisi oleh
otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselarasi.
Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intracranial. Tulang tengkorak mempunyai 3 lapisan,
yaitu:
a) Tabula interna ( lapisan tengkorak bagian dalam)
b) Diploe (rongga di antara tabula)
c) Tabula eksterna (lapisan tengkorak bagian luar)
Tabula interna mengandung alur-alur yang berisiskan arteria meningea
anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak
menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan
arterial yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat
menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila di temukan dan diobati
dengan segera.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior yang
merupakan tempat lobus frontalis, fossa media yang merupakan tempat
lobus temporalis, fossa posterior yang merupakan tempat bagian bawah
batang otak dan cerebellum.
3) Meningen8
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu:
1. Duramater
Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat pada pada permukaan dalam kranium. Duramater
terdiri dari dua lapisan, yaitu:
 Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar, dibentuk oleh periosteum
yang membungkus dalam calvaria.
 Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang
kuat
yang berlanjut terus di foramen mágnum dengan duramater spinalis
yang membungkus medulla spinalis.
2. Arakhnoid
Arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan tembus
pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal sebagai
subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan LCS.
3. Piamater
Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada permukaan
korteks cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh darah halus, dan
merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua
sulkus dan mem-bungkus semua girus.
Gambar 2. Susunan struktur kepala

2.2. Patofisiologi Cedera Kepala Secara Umum


Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari
bagian terluar hingga bagian terdalam. Setiap komponen yang terlibat memiliki
kaitan yang erat dengan mekanisme cedera yang terjadi. Ditinjau dari sudut tipe
beban yang menimpa kepala, secara garis besar mekanisme trauma kepala dapat
dikelompokkan dalam dua tipe yaitu beban statis (static loading) dan beban
dinamis (dynamic loading). Beban statis timbul perlahan-lahan yang dalam hal ini
tenaga tekanan mengenai kepala secara bertahap. Walaupun sebenarnya
mekanisme ini tidak lazim, namun hal ini bisa terjadi bila kepala mengalami
gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu
yang lebih dari 200 milidetik. Bila kekuatan tenaga tersebut cukup besar dapat
mengakibatkan terjadinya keretakan tulang (egg-shell fracture), fraktur multiple
atau komunitif dari tengkorak, atau dasar tulang tengkorak.1,2
Mekanisme trauma kepala yang lebih umum terjadi adalah akibat beban
dinamis, dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat
(kurang dari 200 milidetik). Durasi pembebanan yang terjadi merupakan salah
satu faktor yang penting dalam menentukan jenis trauma kepala yang terjadi.
Beban dinamis ini dibagi menjadi dua jenis yaitu beban guncangan (impulsive
loading) dan beban benturan (impact loading). Beban guncangan (impulsive
loading) terjadi bila kepala mengalami kombinasi antara percepatan-perlambatan
(akselerasi-deselerasi) secara mendadak, kepala yang diam secara tiba-tiba
digerakkan secara mendadak. Atau sebaliknya bila kepala yang sedang bergerak
tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu benturan. Sedangkan beban benturan
(impact loading) merupakan jenis beban dinamis yang lebih sering terjadi dan
biasanya merupakan kombinasi kekuatan beban kontak (contact force) dan
kekuatan beban inersial (inertial force). Respon kepala terhadap beban-beban ini
tergantung dari objek yang membentur kepala. Efek awal dapat sangat minimal
pada beban tertentu, terutama bila kepala dijaga sedemikian rupa sehingga ia tidak
bergerak waktu kena benturan. Sebaliknya, akibat yang paling hebat dapat terjadi
bila energi benturan dihantarkan ke kepala sebesar tenaga kontak dan selanjutnya
menimbulkan efek gabungan yang dikenal sebagai fenomena kontak.9
Kerusakan otak akibat trauma, bukan cedera misil, dapat dikategorikan
menjadi cedera otak primer dan sekunder. Gaya mekanis yang bekerja pada waktu
cedera akan menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah, akson, sel-sel saraf,
dan glia dari otak. Semua hal ini akan memicu serangkaian perubahan sekunder
sehingga terjadi perubahan pada kompleks selular, inflamasi, neurokimiawi, dan
metabolik. Pola pendekatan tradisional terhadap cedera otak telah membagi
patofisiologi cedera otak menjadi cedera primer dan sekunder. Hal ini berarti
cedera primer merupakan cedera yang bersifat mendadak dan sebagian besar
irreversibel. Gaya mekanis yang timbul akan menyebabkan kerusakan jaringan
yang bersifat progresif. Deformitas yang timbul dapat langsung merusak
pembuluh darah, akson, neuron, dan glia. Kerusakan yang timbul dapat bersifat
fokal, multifokal, atau difus. Semua pola kerusakan ini akan memicu dimulainya
proses-proses perubahan yang dinamis yang berbeda untuk masing-masing
komponen tersebut Sedangkan cedera sekunder yang terjadi pada otak disebabkan
oleh cedera yang tidak terjadi pada otak itu sendiri, penyebabnya dapat berupa
hipotensi dan hipoksia, peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran
darah otak akibat edema otak dan efek massa dari hematoma intrakranial,
hidrosefalus, dan infeksi. Berbagai tipe kerusakan otak sekunder ini secara
potensial masih bersifat reversibel sehingga dengan penanganan yang adekuat
dapat dipulihkan. Penelitian terbaru telah membuktikan bahwa proses cedera tidak
hanya terjadi sesaat pada waktu cedera, namun berlangsung bahkan beberapa jam
setelah awal kejadian. Benturan pada kepala dapat menyebabkan gangguan fungsi
otak yang mendadak, disertai perdarahan interstisial dalam substansia otak, tanpa
terputusnya kontinuitas otak dalam hal ini jaringan otak tampak berwarna merah
tua, berlumuran darah, dan sangat edematous. Apabila benturan kepala cukup
keras sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak, maka pembuluh
darah yang berada di bawah fraktur dapat ikut terluka atau robek, sehingga timbul
perdarahan. Apabila tidak terjadi fraktur tulang tengkorak, pembuluh darah di
bawah tempat benturan dapat pecah juga karena gaya kompresi yang timbul akibat
osilasi indentasi. Dengan demikian terjadi perdarahan di bawah duramater dan
terbentuklah hematom subdural. Gangguan kesadaran merupakan gejala yang
sering menyertai cedera otak. Dalam hal ini naik turunnya derajat kesadaran dan
lamanya gangguan kesadaran, merupakan salah satu petunjuk sangat penting dari
maju mundurnya keadaan pasien dengan cedera otak. Kesadaran yang makin
menurun menunjukkan suatu keadaan yang memburuk.9

2.3 Perdarahan Intrakranial


a. Perdarahan Epidural1,9,10,11
1). Definisi
Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak diantara
meningen (membran duramter) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma.
Duramater merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak
dan medulla spinalis. Epidural dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar
duramater dan hematoma dimaksudkan sebagai masa dari darah.1
2). Etiologi
Epidural hematom terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya
disertai dengan fraktur pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. Epidural
hematom juga bisa disebabkan akibat pemakaian obat – obatan antikoagulan,
hemophilia, penyakit liver, penggunaan aspirin, sistemik lupus erimatosus, fungsi
lumbal. Spinal epidural hematom disebabkan akibat adanya kompresi pada
medulla spinalis. Gejala klinisnya tergantung pada dimana letak terjadinya
penekanan.11
3). Patofisiologi
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau
menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling
otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan
hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek
yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena
tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak
atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka
tekanan cenderung mendorong otak ke bawah, otak sebelah atas bisa terdorong ke
dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut
dengan herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang
otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) kedalam medulla
spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi
vital (denyut jantung dan pernafasan). Cedera kepala yang tampaknya ringan
kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang
mengkonsumsi antikoagulan, sangat peka terhadap terjadinya perdarahan di
sekeliling otak.10
Perdarahan epidural timbul akibat cedera terhadap arteri atau vena
meningeal. Arteri yang paling sering mengalami kerusakan adalah cabang anterior
arteri meningea media. Suatu pukulan yang menimbulkan fraktur kranium pada
daerah anterior inferior os parietal, dapat merusak arteri. Cedera arteri dan venosa
terutama mudah terjadi jika pembuluh memasuki saluran tulang pada daerah ini.
Perdarahan yang terjadi melepaskan lapisan meningeal duramater dari permukaan
dalam kranium. Tekanan ntracranial meningkat, dan bekuan darah yang membesar
menimbulkan tekanan ntra pada daerah motorik gyrus presentralis dibawahnya.
Darah juga melintas kelateral melalui garis fraktur, membentuk suatu
pembengkakan di bawah m.temporalis.8
Apabila tidak terjadi fraktur, pembuluh darah bisa pecah juga, akibat daya
kompresinya. Perdarahan epidural akan cepat menimbulkan gejala – gejala, sesuai
dengan sifat dari tengkorak yang merupakan kotak tertutup, maka perdarahan
epidural tanpa fraktur, menyebabkan tekanan intrakranial yang akan cepat
meningkat. Jika ada fraktur, maka darah bisa keluar dan membentuk hematom
subperiostal (sefalhematom), juga tergantung pada arteri atau vena yang pecah
maka penimbunan darah ekstravasal bisa terjadi secara cepat atau perlahan– lahan.
Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau tanpa fraktur linear
ataupun stelata, manifestasi neurologik akan terjadi beberapa jam setelah trauma
kapitis.10
4). Manifestasi Klinis,10
 Saat awal kejadian, pada sekitar 20% pasien, tidak timbul gejala apa– apa
Tapi kemudian pasien tersebut dapat berlanjut menjadi pingsan dan
bangun bangun dalam kondisi kebingungan
 Beberapa penderita epidural hematom mengeluh sakit kepala
 Muntah – muntah
 Kejang – kejang
 Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan
menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis.
Penderita akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa
saat kemudian menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.
 Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya
peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :
 Hipertensi
 Bradikardi
 bradipneu
 kontusio, laserasi atau tulang yang retak
 dilatasi pupil, lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah
lesi, adanya gejala – gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau
herniasi.
 Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang
menetap, yaitu:
 Coma
 Fixasi dan dilatasi pupil
 Deserebrasi
 Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus
dicurigai adanya epidural hematom.
5). Gambaran radiologi5,11
 CT-scan tanpa kontras
Pada hampir setiap kasus perdarahan epidural terlihat pada CT-scan
kepala. Memberikan gambaran hematoma berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung sering terletak di area temporal atau
temporoparietal, gambaran lain yang dapat ditemukan yaitu pergeseran
garis tengah.

Gambar 5 : gambaran bikonveks.


 MRI4
Meskipun MRI sangat sensitif dalam mengevaluasi SEDH (spinal epidural
hematoma), MRI jarang menjadi modalitas awal pilihan untuk menilai
hematoma epidural intrakranial yang dikarenakan oleh tahap akut dan
tingkat keparahan hematoma epidural.Gerak artefak pada pasien tidak
sadar dan tidak adanya unit MRI tersedia di luar daerahperkotaan juga
membatasi kegunaannya
MRI dapat jelas menunjukkan pergeseran duramater yang muncul sebagai
garis hypointense pada T1 dan T2 urutan yang membantu dalam
membedakannya dari hematoma subdural. Akut EDH muncul isointense
pada T1 dan menunjukkan intensitas variabel dari hipo ke hyperintense
pada urutan T2. EDH subakut awal muncul hypointense pada T2 saat akhir
subakut dan EDH kronis hyperintense pada kedua T1 dan T2.

Gambar 6: MRI epidural hematoma - meninggalkan proton daerah kepadatan -


hypersignal di daerah temporal kanan T2W - dura dipandang sebagai garis
hyposignal
 Angiografi
Hal ini dapat digunakan untuk mengevaluasi penyebab nontraumatic dari
EDH (yaitu AVM). Jarang angiography dapat menunjukkan laserasi arteri
meningeal media dan kontras ekstravasasi dari arteri meningea
dipasangkan ke vena meningea dikenal sebagai "trem track sign".

b. Perdarahan Subdural1,9,5,12
1). Definisi
Subdural Hematoma atau Perdarahan subdural adalah salah satu bentuk
cedera otak dimana perdarahannya terjadi diantara duramater (lapisan pelindung
terluar dari otak) dan arachnoid (lapisan tengah meningens) yang terjadi akibat
dari trauma.
2). Etiologi
Hematom subdural disebabkan robekan vena – vena di korteks cerebri atau
bridging vein oleh suatu trauma. kebanyakan perdarahan subdural disebabkan
karena trauma kepala yang merusakkan vena-vena kecil didalam lapis meninges.
3). Patofisiologi
Meningen terdiri dari duramater, arachnoid, dan piamater. Daerah yang
terdapat diantara arachnoid dan duramater disebut daerah subdural. Bridging veins
melintasi daerah ini, berjalan dari permukaan kortikal menuju sinus dural
Perdarahan pada vena-vena ini dapat terjadi akibat dari mekanisme
sobekan di sepanjang permukaan subdural dan peregangan traumatic dari vena-
vena, yang dapat terjadi dengan cepat akibat dekompresi ventrikular. Karena
Permukaan subdural yang tidak dibatasi oleh sutura cranialis, darah dapat
menyebar di seleuruh hemisper dan masuk ke dalam fisura hemisfer.
Mekanisme yang bisa menyebabkan munculnya hematom subdural akut
adalah benturan yang cepat dan kuat pada tengkorak. Subdural Hematom akut
biasanya ada hubungannya dengan trauma yang jelas dan seringkali disertai
dengan laserasi atau kontusi otak.
4). Manifestasi Klinis
Subdural Hematom diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
 Subdural Hematom Akut (Hiperdens)
Bila perdarahan terjadi kurang dari bebrapa hari atau dalam 24 – 48 jam
setelah trauma.
 Subdural Hematom SubAkut (Isodens)
Bila perdarahan berlangsung antara 2-3 minggu setelah trauma
 Subdural Hematom Kronik
Bila perdarahan lebih dari 3 minggu setelah trauma
Gejala klinis dari subdural hematom akut tergantung dari ukuran hematom
dan derajat kerusakan parenkim otak. Subdural hematom biasanya bersifat
unilateral. Gejala neurologis yang sering muncul adalah :
 Perubahan tingkat kesadaran, terjadi penurunan kesadaran
 Dilatasi pupil ipsilateral hematom
 Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya
 Hemiparesis kontralateral
 Papiledema
Pada penderita subdural hematom subakut, terdapat trauma kepala yang
menyebabkan penurunan kesadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologic yang perlahan-lahan. Namun, setelah jangka waktu tertentu pasien
memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk.
Manifestasi klinis dari subdural hematom kronik biasanya tersembunyi
dengan gejala-gejala berupa penurunan kesadaran, gangguan keseimbangan,
disfungsi kognitif dan gangguan memori, hemiparesis, sakit kepala dan afasia.
5). Gambaran radiologi5,12
 CT-Scan
 Subdural Hematom Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti bulan sabit)
didekat tabula interna, kadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi. adanya hematom di daerah
fissura interhemisfer dan tentorium juga menunjukkan adanya hematom
subdural.9

Gambar 7. CT Scan Kepala Polos Subdural hematom akut


 Subdural Hematom Kronik
Pada CT Scan tampak area hipodens, isodens dan sedikit hiperdens,
berbentuk bikonveks, berbatas tegas, melekat pada tabula.
Ada 4 macam tampilan CT Scan untuk subdural hematom kronik, yaitu:9
1. Tipe I : Hypodens Chronic Subdural Hematom
2. Tipe II : Chronic Subdural Hematom densitas inhomogen
3. Tipe III : isodens Chronic Subdural Hematom
4. Tipe IV : Sligthly hyperdens chronic subdural hematom

Gambar 8.CT Scan Subdural hematom Kronik

Gambar 9. CT Scan Subdural hematom kronik

 MRI4
Subdural hematoma (SDH) memiliki 5 tahap yang berbeda evolusinya,
oleh karena itu, terdapat 5 penampilan di MRI. Dura tervaskularisasi
dengan baik dan mempunyai tekanan oksigen yang agar tinggi,
mengakibatkan perkembangan dari satu tahap ke tahap lainnya menjadi
lebih lambat di dalam lesi daripada di dalam otak. 4 tahapan yang pertama
itu adalah sama dengan yang untuk hematoma parenkim, dengan
karakteristik yang sama pada T1-WI dan T2-WI. Tahap kronis ditandai
dengan denaturasi oksidatif methemoglobin yang terus-menerus, terjadi
pembentukan hemochromates nonparamagnetic. Selain itu, tidak ada
pinggiran hemosiderin dan jaringan makrofag terlihat di sekitarnya
hematoma. Apabila terjadinya perdarahan rekuren di SDH, akan terlihat
lesi dengan gambaran intensitas sinyal yang berbeda pada MRI.10

Gambar 10: Hematoma subdural subakut pada frontoparietal. Menunjukkan


isodens – hipodens subdural hematoma. Pada MRI, T1-W1 dan T2-W2 terlihat
gambaran intensitas sinyal tinggi menunjukkan perdarahan subakut akhir.

Gambar 11: Pada MRI menunjukkan subdural hematoma subakut bilateral


dengan intensitas sinyal yang meningkat. Daerah intensitas yang intermediate
menunjukkan perdarahan akut pada perdarahan subakut.
c. Perdarahan Subarachnoid
1). Definisi
Perdarahan Subarakhnoid merupakan gangguan mekanikal system
vaskuler pada intracranial yang menyebabkan masuknya darah ke dalam ruang
subarachnoid.2
2). Etiologi
Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya
aneurisma (85%). kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA
merupakan kaitan dari pendarahan aneurisma.2
3). Patofisiologi
Aneurisma merupakan luka yang yang disebabkan karena tekanan
hemodinamic pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji
aneurisma dispesifikasikan untuk arteri intracranial karena dindingnya kehilangan
suatu selaput tipis bagian luar dan mengandung faktor adventitia yang membantu
pembentukan aneurisma. Suatu bagian tambahan yang tidak didukung dalam
ruang subarachnoid.
Aneurisma kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam arteri
karotid bagian dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari
lingkaran wilis. Selama 25 tahun John Hopkins mempelajari otopsi terhadap 125
pasien bahwa pecah atau tidaknya aneurisma dihubungkan dengan hipertensi,
cerebral atheroclerosis, bentuk saluran pada lingkaran wilis, sakit kepala,
hipertensi pada kehamilan, kebiasaan menggunakan obat pereda nyeri, dan
riwayat stroke dalam keluarga yang semua memiliki hubungan dengan bentuk
aneurisma sakular.
Ruang antara membran terluar arachnoid dan pia mater adalah ruang
subarachnoid. Pia mater terikat erat pada permukaan otak. Ruang subarachnoid
diisi dengan CSF. Trauma perdarahan subarachnoid adalah kemungkinan
pecahnya pembuluh darah penghubung yang menembus ruang itu, yang biasanya
sma pada perdarahan subdural. Meskipun trauma adalah penyebab utama
subarachoid hemoragik, secara umum digolongkan denga pecahnya saraf serebral
atau kerusakan arterivenous.
4). Manifestasi Klinis
 Gejala prodromal : nyeri kepala hebat dan perakut, hanya 10%, 90%
tanpa keluhan sakit kepala.
 Kesadaran sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tak sadar sebentar,
sedikit delirium sampai koma.
 Gejala / tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk, tanda kernig ada.
 Fundus okuli : 10% penderita mengalami edema papil beberapa jam
setelah pendarahan. Sering terdapat pedarahan subarachnoid karena
pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior, atau arteri karotis
interna
 Gejala-gejala neurologik fokal : bergantung pada lokasi lesi.
 Gangguan fungsi saraf otonom : demam setelah 24 jam, demam ringan
karena rangsangan meningen, dan demam tinggi bila pada hipotalamus.
Begitu pun muntah,berkeringat,menggigil, dan takikardi, adanya hubungan
dengan hipotalamus
5). Gambaran Radiologi
 CT-Scan
Perdarahan subarakhnoid yang terjadi karena trauma biasanya terletak di
atas gyri pada konveksitas otak. SAH yang disebabkan oleh pecahnya
aneurisma otak biasanya terletakdi cisterns subarakhnoid pada dasar otak.
SAH dapat terjadi sendiri atau dalam hubungandengan hematoma
intraserebral atau ekstraserebral lainnya. Pada gambaran TK, SAH
terlihatmengisi ruangan subaraknoid yang biasanya terlihat gelap dan terisi
cairan serebrospinal di sekitar otak. Rongga subaraknoid yang biasanya
hitam mungkin tampak putih di perdarahan akut. Temuan ini paling jelas
terlihat dalam rongga subaraknoid yang besar. Jika pemeriksaan13
TK dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan awal, temuan
akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung
menurun, dan tampak sebagai abu-abu. SAH dapat menyebabkan
hidrosefalus dan konfusi akibat trauma, pecahnya pembuluh darah arteri
(aneurisme) atau malformasi arteriovenosa (AVM). Selain menentukan
SAH, gambaran TK juga dapat digunakan untuk melokalisir sumber
perdarahan.

Gambar 14 Gambar 15

Gambar 14: Menunujukkan perdarahan subarachoid. Gambaran TK kepala


ditemukan adanya perdarahan di ruang subarakhoid (tanda panah hitam)

Gambar 15: Menunjukkan pasien mengalami hematoma esktradural di sebelah


kanan dan perdarahan subarakhnoid di sebelah kiri

 MRI
SAH memiliki kadar oksigen yang tinggi, sehingga mereka menua lebih
lambat daripada hematoma parenkim yang lakukan.11,12
Gambar 16: MRI menunjukkan perdarahan subarachnoid (SAH). SAH muncul
hyperintense pada T2 dan fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR)
images. Isointense – hipointense pada gambar T1. Marked blooming diamati
pada gambar echo gradient (GRE). Gambaran menunjukkan perdarahan
hiperakut atau akut.

Gambar 17: Perdarahan subarachnoid tampak hiperintense pada gambar T2,


hipointense pada FLAIR, dan tampak marked blooming pada gradien echo-
(GRE) gambar di celah Sylvian, pada basal cisterns, dan sepanjang folia
serebellar karena darah. Gambaran ini menunjukkan perdarahan subarachnoid
kronis dan / atau siderosis superfisia.

d. Perdarahan Intraventrikular
1). Definisi
Merupakan rupturnya dinding ventrikelpada tepi ependymal dan vaskuler
sub ependymal, perdarahan/petechie di sekitar ganglia basalis yang disebabkan
Akselerasi traumatik dan distorsi otak.2
2). Patofisiologi
Akselerasi traumatik dan distorsi otak menyebabkan dinding ventrikelpada
tepi ependymal dan vaskuler sub ependymal, perdarahan/petechie di sekitar
ganglia basalis kemudiandarah menghambat aliran CSF sehingga ventrikel
melebar.
3). Gambaran Radiologi5
 CT-Scan
Daerah berbatas tegas dengan densitas meningkat pada sistem ventrikel
dan tampak pelebaran ventrikel.12

Gambar 19. Perdarahan Intraventrikel


2.4 Tatalaksana Perdarahan Intrakranial1,13,14
2.4.1. Terapi Medikamentosa
a. Cairan Intravena
Prinsip manajemen adalah mempertahankan perfusi serebral yang adekuat
dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan darah. Cairan intravena
diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemia, jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk
pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan
garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan
untuk mencegah terjadinya edema otak.3 Strategi terbaik adalah mempertahankan
volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik.
Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa
menyebabkan edema otak.2
b. Hiperventilasi
Hiperventilasi segera adalah tindakan life saving yang bisa mencegah atau
menunda herniasi pada pasien yang mengalami trauma kapitis parah. Gol tindakan
ini adalah menurunkan PCO2 ke rentang 30-35 mmHg. Hiperventilasi akan
menurunkan ICP dengan menyebabkan vasokonstriksi serebri; dengan onset efek
dalam 30 detik. Hiperventilasi menurunkan ICP sekitar 25% pada rata-rata pasien;
jika pasien tidak berespon terhadap intervensi ini, prognosisnya secara umum
adalah buruk. Hiperventilasi berkepanjangan tidak dianjurkan karena bisa
menyebabkan vasokonstriksi dan iskemi. Hiperventilasi profilaksis juga tidak
dianjurkan. Hiperventilasi hanya dilakukan pada pasien trauma kapitis parah yang
mengalami penurunan neurologis atau menunjukkan tanda herniasi.8 Selain itu,
hiperventilasi dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya asidosis.7
c. Manitol
Jika pasien tidak berespon terhadap intubasi dan hiperventilasi dan ada
kecurigaan hematom ekstra-aksial maupun herniasi, penggunaan diuretika
osmotik, seperti manitol atau HTS, harus dipertimbangkan. Indikasi penggunaan
agen osmotik adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadi koma, dilatasi
pupil, pupil anisokor, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam
observasi.3. Manitol dipilih sebagai drug of choice dengan HTS sebagai alternatif.
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat.3Sediaan yang
tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dengan dosis 0,25-1
g/kgBB. Manitol mengurangi edem serebri dengan menciptakan gradient osmotis
yang akan menarik cairan dari jaringan ke intravascular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis.1 Efek osmosis terjadi dalam hitungan menit dan
mencapai puncak sekitar 60 menit setelah bolus dimasukkan. Efek penurunan ICP
bolus tunggal manitol bertahan sekitar 6-8 jam. 3 Dosis tinggi manitol tidak boleh
diberikan pada penderita yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik
yang poten dan akan memperberat hipovolemia.3 HTS pada konsentrasi 3,1%-
23% digunakan untuk merawat pasien yang menderita trauma kapitis dan
kenaikan ICP. HTS menyebabkan penyebaran volume plasma, mengurangi
vasospasme, dan mengurangi respon inflamasi pascatrauma. HTS bermanfaat
pada trauma kapitis yang terjadi pada anak dan edem serebri.
d. Furosemid (Lasix)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.3 Dosis yang
biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena.3 Furosemid tidak
boleh diberikan pada penderita dengan hipotensi karena akan memperberat
hipovolemia.
e. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter
terhadap obat-obatan lain. Barbiturat bekerja dengan cara “membius" pasien
sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan
oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang.1 Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat. Oleh karena itu,
obat ini tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.11
f. Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala
tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi
epilepsi tetapi kejang dini bisa memperburuk secondary brain injury dengan
menyebabkan hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan
ICP.9Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi pasca trauma, yaitu
kejang awal yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau
fraktur depresif. Penelitan menunjukkan, pemberian antikonvulsan bermanfaat
mengurangi kejang dalam minggu pertama setelah cedera namun tidak setelah itu.
Namun penelitian lain menyebutkan, penggunaan antikonvulsan tidak mengurangi
risiko serangan kejang secara bermakna. Penggunaan obat antiepilepsi profilaksis
pada trauma kapitis akut dilaporkan menurunkan risiko kejang sekitar 66%, walau
profilaksis kejang dini tidak mencegah kejang pasca trauma. Tujuan terapi
antiepilepsi adalah untuk mencegah akibat tambahan yang disebabkan trauma.12
Kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30-
60 menit) dapat menyebabkan cedera otak sekunder.3Benzodiazepine dipilih
sebagai first-line antikonvulsan. Lorazepam (0.05-0.15 mg/kg IV, tiap 5 menit
hingga total 4 mg) sangat efektif menggagalkan serangan epilepsy. Pillihan lain
adalah diazepam. Untuk antikonvulsan jangka panjang, fenitoin atau fosfenitoin
bisa diberikan.11
2.4.2 Terapi Konservatif
Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik konservatif, karena
pembedahan tidak akan membawa hasil lebih baik. Kriteria trauma kapitis yang
hanya memerlukan penatalaksanaan konservatif adalah sebagai berikut:
- Fraktura basis kranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak
mata
- Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (battle’s sign) dan atau
kebocoran cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.
- Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer
- Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan tulang
yang
- Menembus dura dan jaringan otak
- Hematoma intraserebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau
progresif akibat contusio.
Pada hematoma intraserebral yang luas dapat ditatalaksana dengan
hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial
sebagai usaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk
hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya
elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis.

2.4.3. Terapi Operatif


Operasi di lakukan bila terdapat:
- Volume hematoma > 25 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana
(burr hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma.
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya
menjadi operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan
oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
- > 25 cc  desak ruang supra tentorial
- > 10 cc  desak ruang infratentorial
- > 5 cc desak ruang thalamus
Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan

- Penurunan klinis
- Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift >5 mm
denganpenurunan klinis yang progresif
- Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
BAB 3
KESIMPULAN

Perdarahan Intrakranial adalah perdarahan di dalam tulang tengkorak. Perdarahan


bisa terjadi di dalam otak atau di sekeliling otak:
 Pendarahan Ekstra-aksial: pendarahan intra-ventrikular, pendarahan sub-
arachnoid, pendarahan subdural dan pendarahan epidural.
 Pendarahan Intra-Aksial: pendarahan intra-serebral dan diffuse axonal
injury
Setiap perdarahan akan menimbulkan kerusakan pada sel-sel otak. Ruang di
dalam tulang tengkorak sangat terbatas, sehingga perdarahan dengan cepat akan
menyebabkan bertambahnya tekanan dan hal ini sangat berbahaya.
Penyebab perdarahan Intrakranial ini bisa karena cedera kepala merupakan
penyebab yang paling sering ditemukan pada penderita perdarahan intrakranial
yang berusia dibawah 50 tahun.
Tomografi Komputer (TK) adalah modalitas alat pencitraan utama yang
digunakan dalam keadaan akut dan sangat bermanfaat dalam menegakkan serta
menentukan tipe trauma kapitis karena kemampuannya memberikan gambaran
fraktur, hematoma dan edema yang jelas baik bentuk maupun ukurannya.
Sedangkan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan
informasi yang tidak dapat dilihat pada sinar-X atau tomografi komputer (TK).
DAFTAR PUSTAKA
1. Liebeskind, D. S. Intracranial Hemorrhage. Medscape (2018). Available
at: https://emedicine.medscape.com/article/344973-overview. (Accessed:
19th October 2019)
2. Cordonnier, C., Demchuk, A., Ziai, W. & Anderson, P. C. S.
Intracerebral haemorrhage: current approaches to acute management.
Stroke 392, 1257–1268 (2018).
3. Lee, M., Saver, J. L., Hong, K.-S., Wu, H.-C. & Ovbiagele, B. Risk of
Intracranial Hemorrhage With Protease-Activated Receptor-1
Antagonists. Stroke 1, 3189–3195 (2012).
4. Ashtekar, J. L. Intracranial Hemorrhage Evaluation with MRI. Medscape
(2017). Available at: https://emedicine.medscape.com/article/344973-
overview. (Accessed: 19th October 2019)
5. Heit, J. J., Iv, M. & Wintermark, M. Imaging of Intracranial
Hemorrhage. J. Stroke 19, 11–27 (2017).
6. Tortora, G. J. & Derrickson, B. Dasar Anatomi dan Fisiologi. (Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2014).
7. Baehr, M. & Frotscher, M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS, Anatomi,
Fisiologi, Tanda dan Gejala. (Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2012).
8. Snell, R. & Sugiharto, L. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. (Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2011).
9. Caceres, J. & Goldstein, J. Intracranial Hemorrhage. Emergency
Medicine Clinics of North America. 30, 771–794 (2012).
10. Ullman, J. Epidural Hemorrhage. Medscape (2018). Available at:
https://emedicine.medscape.com/. (Accessed: 19th October 2019)
11. McDonald, D. K. Imaging in Epidural Hematoma. Medscape (2018).
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/340527-overview.
(Accessed: 19th October 2019)
12. Wagner, A. L. Imaging in Subdural Hematoma. Medscape (2017).
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/344482-overview.
(Accessed: 19th October 2019)
13. Murthy, S. B. et al. Restarting Anticoagulant Therapy After Intracranial
Hemorrhage. Stroke 1594–1600 (2017).
doi:10.1161/STROKEAHA.116.016327
14. Wang, X. et al. Mannitol and Outcome in Intracerebral Hemorrhage.
Stroke 2762–2767 (2015). doi:10.1161/STROKEAHA.

Anda mungkin juga menyukai