Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN PUSTAKA

Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Pengertian Demam Berdarah Dengue

(DBD) Demam berdarah dengue merupakan salah penyakit menular yang di

sebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai

dengan demam mendadak selama 2-7 hari tanpa penyebab yang jelas disertai dengan

lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik

merah, lebam (echymosis) atau ruam (purpura). kadang-kadang disertai dengan

mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (syok)

(Depkes RI, 2010b). Menurut Depkes RI (2013), Demam berdarah dengue (DBD)

merupakan penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi

dengan salah satu dari empat virus dengue. Virus tersebut dapat menyerang bayi,

anak-anak dan orang dewasa. Sedangkan menurut Depkes RI (2011), Demam

berdarah dengue adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Virus DBD dan

ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk (Aedes aegypti atau Aedes

albopictus) yang terinfeksi virus DBD. Demam dengue adalah demam virus akut

yang disertai sakit kepala, nyeri otot, sendi dan tulang. Penurunan jumlah sel darah

putih dan ruam-ruam. Demam berdarah dengue/dengue hemorraghagic fever (DHF)

adalah demam dengue yang disertai 10 Universitas Sumatera Utara pembesaran hati

dan manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi

darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan

ini disebut dengue shock syndrome (DSS) (Mardiana, 2010). Demam Berdarah

Dengue (DBD) adalah masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Pada tahun 2011
tercatat terjadi 65.432 kasus dengan 595 kematian di Indonesia dengan angka Case

Fatality Rate (CFR) DBD sebesar 0,91% dan IR27,56/100.000 penduduk dengan

daerah terjangkit mencapai lebih dari 78% kabupaten/kota. Tiga provinsi dengan

kasus DBD tertinggi adalah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa

Tengah (Depkes RI, 2012a).

1. Etiologi DBD

Nyamuk demam berdarah akan terinfeksi virus dengue saat menghisap darah dari

penderita demam berdarah. Virus dengue termasuk famili Flaviviridae, yang

berukuran kecil sekali, yaitu 35-45 nm. Terdapat 4 jenis virus dengue yang diketahui

dapat menyebabkan penyakit demam berdarah. Keempat virus tersebut adalah DEN-

1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Jenis virus yang sama hanya dapat menginfeksi satu

kali akibat adanya sistem imun tubuh yang terbentuk. Namun karena jenis serotipe

dari virus dengue ini ada 4, sehingga seseorang bisa kena 4 kali demam berdarah.

Virus dengue ini dapat tetap hidup di alam ini melalui dua mekanisme, yaitu

transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk dan transmisi virus dari nyamuk ke tubuh

makhluk seperti manusia (Anies, 2006).

Misalnya seseorang yang telah terinfeksi oleh virus DEN-2, akan mendapatkan

imunitas menetap terhadap virus DEN-2 pada masa yang akan datang. Namun, ia

tidak memiliki imunitas menetap terhadap virus DEN-3 di kemudian hari. Selain itu

ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa jika seseorang yang pernah terinfeksi oleh
salah satu virus dengue, kemudian terinfeksi lagi oleh virus tipe lainnya, gejala klinis

yang timbul akan jauh lebih berat dan sering kali fatal (Ginanjar, 2008).

2. Epidemiologi

Epidemi dengue dilaporkan sepanjang abad kesembilanbelas awal dan

awal abad kedua puluh di Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara, Mediterania

timur, Asia dan Australia, dan beberapa pulau di Samudera India, Pasifik

selatan dan tengah serta Karibia. Demam Dengue dan Demam Berdarah

Dengue telah meningkat dan menetap baik dalam insiden dan distribusi

sepanjang 40 tahun. Setiap tahun, diperkirakan terdapat 20 juta kasus infeksi

dengue, mengakibatkan kira-kira 24 juta kematian (WHO, 2012).

Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali dikenali di di Filipina

pada tahun 1953 (WHO, 2012). Kasus-kasus dilaporkan oleh Quintos dkk.

pada tahun 1954, yaitu pada waktu terdapatnya epidemi demam yang

menyerang anak disertai manifestasi perdarahan dan renjatan. Mereka

menamakannya Philippine haemorrhagic fever untuk membedakannya dengan

demam berdarah lainnya. Kemudian Hammon dkk. berhasil menemukan virus

dengue sebagai etiologi penyakit demam berdarah dengue yang dinamakan

virus dengue tipe 3 dan 4. Sampai dengan tahun 1956 baru dikenal virus tipe 1

dan 2. Pada tahun 1958 meletus epidemi serupa di Bangkok (Soedarmo,

2009).

Karena epidemi terus berlangsung terus di Thailand dan di negara lain

dikawasan Asia Tenggara dengan nama yang berbeda, simposium WHO di


Bangkok telah merumuskan defenisi perbedaan antara dengue fever syndrome

dan dengue haemorrhage fever sebagai berikut. (i) Dengue Fever Syndrome

yang lebih sering terjadi pada orang dewasa biasanya ditandai oleh demam

dan mialgia hebat dan/atau artalgia dan leukopeni dengan atau tanpa

timbulnya ruam. Gejala klinis, seperti nyeri kepala hebat, nyeri ada

pergerakan bola mata, uji tourniquet positif, perubahan rasa, trombositopeni

ringan, timbulnya beberapa petekia spontan sering dijumpai. (ii) Dengue

Haemorrhage Fever terutama menyerang anak dengan manifestasi demam

tanpa mialgia dan artalgia yang menonjol, biasanya penyakit memburuk

setelah dua hari pertama. Uji tourniquet positif dengan atau tanpa timbulnya

ruam disertai beberapa gejala klinis, seperti petekia, purpura, ekimosis,

epistaksis, hematemesis, melena, trombositoeni, perdarahan memanjang,

hematokrit meningkat, dan berhentinya proses maturasi megakariosit. Dengue

haermorrhage fever lebih lanjut dibagi dalam tanpa dan disertai renjatan

(Soedarmo, 2009).

Selama tahun 1960-an dan 1970-an, DHF/DSS secara progressif

meningkat sebagai masalah kesehatan, menyebar dari lokasi primernya di

kota-kota besar ke kota-kota besar yang lebih kecil dan kota-kota negara-

negara endemik. Penyakit ini mempunyai pola epidemik berdasarkan

musiman dan siklus, dengan wabah besar terjadi pada interval 2-3 tahun.

Selama periode ini, 1070207 kasus dan 42808 kematian dilaporkan, sebagian

besar anak-anak. Selama hampir sepanjang tahun 1980-an, pada negara-

negara endemik Cina, Indonesia, Malaysia, Mianmar, Filippina, Thailand, dan


Vietnam, DHF/DSS menyebar secara luas, yang menyerang daerah pedesaan

(WHO, 2012).

Di Indonesia, pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968,

tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Pertama

dilaporkan di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Dari tahun 1968 sampai

tahun 1972 wabah hanya dilaporkan di Pulau Jawa. Epidemi pertama di luar

Jawa pada tahun 1972 di Sumatera Barat, Lampung, yang kemudian disusul di

Riau, Sulawesi Utara, dan Bali. Pada tahun 1975, epidemi dilaporkan oleh 20

provinsi. Sampai tahun 1981, provinsi Timor-Timur merupakan satu-satunya

provinsi yang belum melaporkan terdapatnya kasus Demam Berdarah Dengue

(Soedarmo, 2009).

Sejak 1994, seluruh provinsi di Indonesia telah melaporkan kasus

DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan terjadinya kasus DBD juga

meningkat. Namun angka kematian menurun tajam dari 41,3% (1968)

menjadi 3% (1984) dan sejak tahun 1991 angka kematian ini stabil di bawah

3%. Menurut Soedarmo Poorwo Sodarmo, sewaktu terjadi wabah, berbagai

tipe virus dengue berhasil diisolasi. Virus dengue tipe 2 dan tipe 3 secara

bergantian merupakan tipe dominan. Di Indonesia virus dengue tipe 3 sangat

berkaitan dengan kasus penyakit DBD derajat berat dan fatal (Ginanjar,

2008).
3. Patogenesis

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih

diperdebatkan (Suhendro, 2006). Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti

yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya

demam berdarah dengue dan sindroma syok dengue (dengue shock

syndrome).Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan

infeksi pertama kali mungkin memberi gejala demam dengue. Reaksi tubuh

merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi virus. Reaksi yang amat

berbeda tampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus

yang berlainan. Berdasarkan hal ini Halstead pada tahun 1973 mengajukan

hipotesis yang disebut secondary heterologous infection atau sequential

infection hypothesis. Hipotesis ini telah diakui oleh sebagian besar para ahli

saat ini (Hendarwanto, 1996).

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah

respon imun humoral. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang

berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen

dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue

berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.

Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE). Limfosit T,

baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun

seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu Respons antibodi

TH1 akan memproduksi interferon gamma, interleukin-2 (IL-2) dan limfokin,


sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan

makrofag berperan dalam fagositosis virus. Namun, proses fagositosis ini

menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.

Selain itu, aktivasi oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya senyawa

proaktivator C3a dan C5a, sementara proaktivator C1q, C3, C4, C5-C8, dan

C3 menurun.

Faktor-faktor di atas dapat berinteraksi dengan sel-sel endotel untuk

menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular melalui jalur akhir nitrat

oksida. Sistem pembekuan darah dan fibrinolisis diaktivasi, dan jumlah faktor

XII (faktor Hageman) berkurang. Mekanisme perdarahan pada DBD belum

diketahui, tetapi terdapat hubungan terhadap koagulasi diseminata

intravaskular (dissemintated intravascular coagulation, DIC) ringan,

kerusakan hati, dan trombositopenia.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme

supresi sumsum tulang, serta destruksi dan pemendekan masa hidup

trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari)

menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan

nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk

megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi

trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya

stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan

trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,


terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses

koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi

melalui mekanisme gangguan pelepasan senyawa adenin-di-fosfat (ADP),

peningkatan kadar β-tromboglobulin dan faktor prokoagulator IV yang

merupakan penanda degranulasi trombosit.

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang

menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya

koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV.

Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui jalur

ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui

aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-

inhibitor complex) (Suhendro, 2006).

Kebocoran kapiler menyebabkan cairan, elektrolit, protein kecil, dan,

dalam beberapa kejadian, sel darah merah masuk ke dalam ruang

ekstravaskular. Redistribusi cairan internal ini, bersama dengan defisiensi

nutrisi oleh karena kelaparan, haus, dan muntah, berakibat pada penurunan

hemokonsentrasi, hipovolemia, peningkatan kerja jantung, hipoksia jaringan,

asidosis metabolik dan hiponatremia (Halstead, 2007).

Penelitian tentang patogenesis yang menjelaskan keparahan penyakit

dengue sudah banyak dilakukan. Survei berkala terhadap serotipe DENV

memberi pandangan bahwa beberapa subtipe secara lebih umum dikaitkan


dengan keparahan dengue. Muntaz et al. (2006) dalam penelitiannya

menemukan DEN-3 menyebabkan infeksi lebih parah dibandingkan serotipe

lainnya. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan virus untuk bereplikasi untuk

menghasilkan titer virus yang lebih tinggi. Sementara dalam laporan WHO

Scientific Working Group: Report on Dengue (2006), ditemukan keadaan lain

yang mempengaruhi keparahan penyakit dengue:

 Adanya hubungan infeksi primer dan sekunder. Contohnya, kombinasi

serotipe primer dan sekunder DEN-1/DEN-2 atau DEN-1/DEN-3

dipandang memberi risiko yang tinggi untuk terkena dengue yang parah.

 Imunitas individu dalam menghasilkan sitokin dan kemokin yang

dihasilkan oleh aktivasi imun berhubungan dengan keparahan penyakit.

 Semakin panjang interval antara infeksi virus dengue primer dan

sekunder, maka keparahan dengue semakin meningkat.

 Peranan genetik juga diduga berpengaruh terhadap keparahan penyakit.

Penelitian menunjukkan prevalensi DBD pada orang negroid

diasosiasikan dengan insidensi yang rendah (2%), sementara orang

kaukasoid memilki insidensi yang lebih tinggi (30%).


4. Manifestasi Klinis

Prediksi klinis infeksi virus dengue ditentukan oleh hubungan

kompleks antara faktor penjamu dan virus (WHO Scientific Working Group:

Report on Dengue, 2006). Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat

bersifat asimtomatik atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam

dengue, demam berdarah dengue, atau sindrom syok dengue (Suhendro,

2006).

a. Demam Dengue

Periode inkubasi adalah 1-7 hari. Manifestasi klinis bervariasi dan

dipengaruhi usia pasien. Pada bayi dan anak-anak, penyakit ini dapat tidak

terbedakan atau dikarakteristikkan sebagai demam selama 1-5 hari,

peradangan faring, rinitis, dan batuk ringan. Kebanyakan remaja dan orang

dewasa yang terinfeksi mengalami demam secara mendadak, dengan suhu

meningkat cepat hingga 39,4-41,1oC, biasanya disertai nyeri frontal atau

retro-orbital, khususnya ketika mata ditekan. Kadang-kadang nyeri punggung

hebat mendahului demam. Suatu ruam transien dapat terlihat selama 24-48

jam pertama demam. Denyut nadi dapat relatif melambat sesuai derajat

demam. Mialgia dan artalgia segera terjadi setelah demam.

Dari hari kedua sampai hari keenam demam, mual dan muntah terjadi,

dan limfadenopati generalisata, hiperestesia atau hiperalgesia kutan, gangguan

pengecapan, dan anoreksia dapat berkembang. Sekitar 1-2 hari kemudian,


ruam makulopapular terlihat, terutama di telapak kaki dan telapak tangan,

kemudian menghilang selama 1-5 hari. Kemudian ruam kedua terlihat, suhu

tubuh, yang sebelumnya sudah menurun ke normal, sedikit meningkat dan

mendemonstrasikan karakteristik pola suhu bifasik.

b. Demam Berdarah Dengue

Pembedaan antara demam demam dengue dan demam berdarah

dengue sulit pada awal perjalanan penyakit. Fase pertama yang relatif

lebih ringan berupa demam, malaise, mual-muntah, sakit kepala,

anoreksia, dan batuk berlanjut selama 2-5 hari diikuti oleh deteriorasi

dan pemburukan klinis. Pada fase kedua ini, pasien umumnya pilek,

ekstremitas basah oleh berkeringat, badan hangat, wajah kemerah-

merahan, diaforesis, kelelahan, iritabilitas, dan nyeri epigastrik.

Sering dijumpai petekie menyebar di kening dan ekstremitas,

ekimosis spontan, dan memar serta pendarahan dapat dengan mudah

terjadi di lokasi pungsi vena. Ruam makular atau makulopapular dapat

terlihat. Respirasi cepat dan melelahkan. Denyut nadi lemah dan cepat,

suara jantung melemah. Hati dapat membesar 4-6 dan biasanya keras

dan sulit digerakkan. Sekitar 20-30% kasus demam berdarah dengue

berkomplikasi syok (sindrom syok dengue). Kurang dari 10% pasien

mengalami ekimosis hebat atau perdarahan gastrointestinal, biasanya


sesudah periode syok yang tidak diobati. Setelah krisis 24-36 jam,

pemulihan terjadi dengan cepat pada anak yang diobati. Temperatur

dapat kembali normal sebelum atau selama syok. Bradikardia dan

ektrasistol ventrikular umumnya terjadi saat pemulihan (Halstead,

2007).

5. Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakkan diagnostik DHF perlu dilakukan berbagai

pemeriksaan penunjang, diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan radiologi, (Hadinegoro, 2006: 17).

 Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan darah

b. Pemeriksaan serologi

c. Pemeriksaan radiology
LAPORAN KASUS

A. Identitas

1. Nama : An. Z

2. Umur/ tgl lahir/ BB : 1,6 tahun / 12-10-2017 / 14 kg

3. Jenis Kelamin: Laki - laki

4. Alamat : Sambibulu,

5. Agama : Islam

6. Tanggal Pemeriksaan : 29/04/19

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama.

Kejang

2. Riwayat Penyakit Sekarang.

Pasien datang ke IGD RSUD Sidoarjo dengan keluhan kejang sebanyak 2x,

kejang pertama +/- 20 menit, kejang kedua +/- 20 menit, sebelum kejang

ibu pasien mengatakan pasien panas terlebih dahulu, kira - kira 2 jam

sebelum kejang, muntah (+), batuk (+), pilek (+), nafsu makan berkurang,

BAK (+) banyak, BAB (+) normal

3. Riwayat Penyakit Dahulu.

Kejang -

Antenatal : Lahir di Bidan UK 9 bulan

Natal : Placenta Previa

Neonatal : Warna kulit : Sawo Matang


Sianosis :-

Pucat :-

Kuning :-

Kejang :-

Pendarahan :-

4. Riwayat Penyakit lain yang pernah di derita.

5. Riwayat Imunisasi.

Hepatitis B : (0,2,3,4 bulan )

BCG : (1 bulan)

Polio : (1,2,3,4 bulan )

DPT : (0,2,3,4 bulan )

Campak : (9 bulan)

HIB : ( 2,3,4 bulan )

6. Riwayat Tumbuh Kembang.

Mengangkat kepala : 4 tahun 3 bulan

Tengkurap sendiri : 7 bulan

Merangkak : 8 bulan

Duduk sendiri : 9 bulan

Berjalan : 1 tahun

7. Riwayat Gizi dan Makanan.

ASI ekslusif :-
Susu formula :+

Maknaan bubur halus : 6 bulan

Makanan bubur kasar : 7 bulan s/d sekarang

8. Riwayat Penyakit Keluarga : Kejang (-), DM (-), HT (-)

9. Riwayat Penyakit Dahulu.

Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya

10. Riwayat Pengobatan : Paracetamol

C. Pemeriksaan Fisik.

1. Pemeriksaan Umum.

Keadaan umum: Cukup

Kesadaran : Compos Mentis

Vital Sign : Nadi (120x/mnt), Term (38,5 derajat celcius), RR (24x/mnt),

TD (110/70mmHg)

Berat badan : 14 kg

Status gizi : 127% (Baik)

2. Kepala/Leher.

Rambut : Hitam

Ubun- ubun : Menutup

Mata : Konjungtiva pucat (-)

Hidung : Pernapasan cuping hidung (-)

Telinga : Sekret (-)

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-),

Tenggorok dan mulut : Faring hiperemi (+)


Tonsil : T1/T1 hiperemi (-)

Mukosa : sianosis (-), berdarah (-), dbn

3. Thoraks.

Jantung : I. Iktus cordis tidak tampak

P. Iktus cordis tidak teraba

P. Tidak ada pembesaran

A. S1S2 Tunggal Regular Murmur (-) Gallop (-)

Paru-paru : I. Bentuk dada simetris, retraksi (-)

P. Gerak nafas simetris

P. Sonor kedua lapang paru

A. Vesikular +/+ Rhongki -/- Whezing-/-

4. Abdomen : I. Distended

A. Bising usus (+) normal

P. Timpani (+), Asites (+)

P. Soefl(+), turgor kulit kembali cepat, nyeri tekan(-),

massa (-)

5. Ekstremitas :

Akral Hangat Kering Merah (+)

Odema (-)

Capillary refill time (+)

6. Status nurologi.

Meningeal sign : kaku kuduk (-), Brudzinski I-II (-)

Refleks fisiologis : Knee pass refleks (+), Achilles pass refleks (+)
Refleks patologis : babinski (-), Chaddock (-), Tromner (-), hoffman (-)

Motorik : 5 5 sensorik : dbn

5 5

D. Resume.

Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : Cukup

Kesadaran : compos mentis

Vital Sign : Nadi (120x/mnt), Term (38,5 derajat celcius), RR

(24x/mnt), TD (110/70mmHg)

Berat badan : 14 kg

Status gizi : 127%

Thoraks : dbn

Abdomen : dbn

Diagnosis.

Kejang demam sederhana et causa faringitis akut

Penatalaksanaan.

Planing diagnosis : DL, UL, SE

Terapi : Inf. D5 1/4 1400 cc/24 jam

Inj. Parasetamol 3 x 200 mg

Inj. Cefotaxime 2 x 200 mg

Inj. Diazepam 4 mg (bila kejang).


Edukasi.

Edukasi penyakit :

- Kejang demam sederhana memiliki prognosa yang baik

- Edukasi apabila terjadi kejang berulang

- Cara penanganan kejang di rumah

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, Regional Office for South East Asia (2011). Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever: Revised and
expanded edition. SEARO Technical Publication Series No. 60. India
2. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas
Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
3. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72
4. Hadinegoro, S.Sri Rezeki (2011). Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Terbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta.
5. World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis, treatment,
prevention and control. New Edition 2009.
6. Buchy P, Yoksan S, Peeling RW, Hunsperger E. Laboratory Tests for The
Diagnosis of Dengue Virus Infection. J Clin Microbiol 2006;40:376-81.
7. Guzman MG, Kouri G. Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J Infect
Dis 2007;8:69-80.
8. Shu PY. Comparison of a capture immunoglobulin M (IgM) and IgG ELISA and
non-structural protein NS1 serotype-specific IgG ELISA for differentiation of
primary and secondary dengue virus infections. Clin Diagn Lab Immunol
2006;10:622-30.
9. Chien LJ. Development of a real time reverse transcriptase PCR assays to detect
and serotype dengue viruses. J Clin Microbiol 2008;44:1295-04.
10. Lanciotti RS. Rapid detection and typing of dengue viruses from clinical samples
by using reverse transcriptase-polymerase chain reaction. J Clin Microbiol
2008;30:545-51.

Anda mungkin juga menyukai