Anda di halaman 1dari 16

PEDIATRIC FIRST SEIZURE: WHAT SHOULD WE DO IN

LIMITED RESOURCES?
Dewi Sutriani Mahalini
Divisi Neurologi
Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak
FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan
Kejang adalah kelainan paroksismal yang terjadi akibat pelepasan listrik
abnormal pada neuron yang secara klinis bermanifestasi sebagai
gangguan motorik, sensorik, otonomik atau gangguan perilaku. Kejadian
kejang iktal merupakan akibat ketidakseimbangan aktivitas
neurotransmiter eksitasi dan inhibisi dalam otak.
Setiap tahun diperkirakan sekitar 25.000-40.000 anak di Amerika
Serikat mengalami kejang pertama tanpa provokasi yang selanjutnya
disebut first unprovoked seizure (FUS). Sebagian besar anak dengan FUS
tidak mengalami serangan kejang yang berulang. Walaupun demikian
kejang pertama tanpa provokasi ini dapat merupakan gejala awal dari
penyakit yang serius atau bagian dari epilepsi.
Ketika menilai seorang anak yang datang pertama kali dengan kejang
maka seorang klinisi harus mengidentifikasi penyebab, menentukan
terapi yang sesuai, dan menentukan prognosisnya. Kejang yang terjadi
pertama kali merupakan peristiwa yang membuat setiap orangtua panik.
Selalu akan muncul pertanyaan apakah penyebabnya, apakah bisa
disembuhkan, apakah akan berulang, apakah akan menjadi epilepsi?
Bagi seorang dokter yang bertugas di fasilitas terbatas dan di era BPJS
tentu akan menimbulkan berbagai pertanyaan. Apakah perlu dirujuk,
apakah perlu dilakukan pemeriksaan penunjang elektroensefalogram
(EEG), computed tomography (CT) scan atau magnetic resonance imaging
(MRI), dan kapan saat yang tepat melakukan rujukan pemeriksaan?
Berikut ini akan dibahas dari berbagai aspek: bagaimana menegakkan
diagnosis, cara melakukan penelusuran etiologi, tata laksana kejang yang
terjadi pertama kali tanpa provokasi dan selanjutnya bagaimana
menentukan prognosisnya.
Bagaimana menentukan kejang atau bukan kejang?
Hampir 30% anak yang dirujuk dengan kejang pertama kali ternyata
bukan kejang epileptik. Sebagian besar merupakan episode serangan
paroksismal non-epileptik, seperti: gerakan stereotipik dan tics, serangan
panik (anxiety attack), serangan psikogenik kejang non epileptik
(umumnya disebut pseudoseizure).1
Anamnesis merupakan kunci untuk membedakan antara kejang
epileptik dan serangan non-epileptik. Sangat penting melakukan
anamnesis kepada anak dan orang yang mendampingi anak pada saat
serangan terjadi. Sebelum menentukan diagnosis kejang maka harus
diyakini apakah kejadian tersebut memang benar-benar kejang (true
seizure) atau serangan menyerupai kejang (seizure mimickers). Beberapa
kejadian yang menyerupai kejang misalnya, syncope, breath holding spells,
night terrors, tics dan gerakan involunter. Beberapa hal yang dapat
digunakan sebagai patokan untuk membedakan kejang atau bukan dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Bagaimana membedakan kejang dan bukan kejang


Klinis Kejang (true seizure) Mirip kejang (seizure
mimickers)
Kesadaran Tidak sadar Sadar
Gerakan bola mata Abnormal Normal
Sianosis Ada Tidak ada
Durasi Beberapa detik-menit Berlangsung lebih lama
Gerakan sinkron Tidak sinkron
Provokasi Tidak bisa diprovokasi Bisa diprovokasi

Seringkali pasien datang sudah tidak dalam keadaan kejang lagi atau
kejang sudah berhenti. Apabila masih meragukan apakah kejang atau
bukan maka kita hanya perlu mengobservasi dan apabila terjadi serangan
berikutnya, sarankan kepada orangtua untuk merekam gerakan saat
serangan. Apabila telah yakin dengan serangan kejang, maka anamnesis
dan pemeriksaan fisis dapat dilanjutkan untuk menentukan etiologi
kejang.
Kejang pertama kali pada anak (pediatric first seizure)
Konsep definisi kejang epileptik (epileptic seizure) menurut International
League Against Epilepsy (ILAE, 2005) adalah serangan mendadak berupa
tanda dan/atau gejala yang terjadi akibat aktivitas neuron di otak yang
tidak sinkron/berlebihan (abnormal).2
Kejang epileptik adalah fenomena transien dengan awitan berdurasi
singkat dengan manifestasi klinis (sensorik, motorik, otonomik, kognitif,
psikogenik, dan/atau berafek terhadap kesadaran, kewaspadaan dan
respon terhadap sekitar) dan merupakan suatu iktogenesis akibat
stimulus abnormal yang bersifat sinkron di dalam otak.3
Pada anak yang datang dengan kejang pertama kali, yang harus
dilakukan adalah menentukan apakah kejang terprovokasi atau kejang
tanpa provokasi. Kemungkinan yang berpotensi sebagai etiologi kejang
harus diidentifikasi untuk dapat memberikan tata laksana yang sesuai dan
menentukan prognosis. Beberapa hal yang harus dipikirkan apabila anak
datang pertama kali dengan kejang adalah: 1) provoked seizure, 2) kejang
demam (febrile seizure), 3) acute symptomatic seizure (trauma, gangguan
metabolik, ensefalopati, infeksi SSP), 4) kelainan struktural
Pada kejang terprovokasi atau provoked seizure khas ditandai oleh
adanya faktor pencetus seperti demam, infeksi susunan saraf pusat,
intoksikasi atau trauma kepala. Beberapa penyebab pada kejang
terprovokasi adalah:
- Infeksi SSP: meningitis, ensefalitis, empiema
- Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hiperglikemia
- Trauma kepala
- Adanya kelainan struktural: congenital cerebral malformation
- Gangguan pembuluh darah
- Intoksikasi
Pada kasus kejang terprovokasi maka penanganan harus meliputi
identifikasi dan terapi penyakit yang mendasari.
Kejang tanpa provokasi atau unprovoked seizure adalah kejang yang
tidak berhubungan dengan faktor pencetus apapun dan mungkin
berhubungan dengan epilepsi. Secara umum risiko kejang berulang
setelah episode kejang pertama tanpa provokasi adalah sebesar 45%. 4
Gambar 1 menunjukkan alur pikir secara ringkas dalam menegakkan
diagnosis dan tatalaksana anak yang datang dengan serangan kejang
pertama kali.

Gambar 1. Algoritme diagnosis kejang pertama pada anak (pediatric


first seizure).

Apakah merupakan kejang pertama tanpa provokasi?


Riwayat kejang sebelumnya harus ditanyakan. Apakah serangan saat ini
merupakan serangan yang pertama kali. Dengan anamnesis secara hati-
hati untuk mengenali adanya fenomena/kejadian paroksismal
sebelumnya baik yang bersifat konvulsif maupun non-konvulsif untuk
memastikan apakah kejadian/serangan pertama kali atau telah lebih dari
satu kali. Kejadian serangan kejang tanpa provokasi yang sudah terjadi
lebih dari 1 kali dengan interval lebih dari 24 jam merupakan epilepsi. 4
Jika diagnosis kejang telah ditegakkan maka langkah berikutnya
adalah menentukan penyebab kejang. Apakah ada demam, trauma, infeksi
atau penyebab lainnya. Jika tidak ada penyebab yang ditemukan maka
dapat didiagnosis sebagai kejang pertama tanpa provokasi (FUS).
Pemeriksaan neurologi merupakan hal terpenting dalam menentukan
penyebab kejang. Adanya lesi hipopigmentasi, defisit neurologi fokal,
bukti intelektual disabilitas atau palsi serebral sangat mendukung
penyebab simtomatik dan menyingkirkan unprovoked seizure.4

Apakah yang perlu ditanyakan sehubungan dengan keluhan


kejang?
Untuk menentukan diagnosis dan tata laksana pada pasien yang datang
dengan keluhan kejang pertama kali adalah:5
- Usia saat awitan terjadinya kejang (neonatus, bayi, anak)
- Faktor faktor yang diduga sebagai pencetus (apakah ada riwayat
trauma kepala, demam, penyakit yang mendahului seperti diare,
muntah?)
- Frekuensi kejang (apakah merupakan episode kejang yang pertama
kali?)
- Kejadian atau kondisi sebelum kejang (apakah saat bangun, saat tidur,
saat bermain, saat berlatih atau terjadi setelah menangis keras?)
- Adanya aura (somatosensori, auditori, visual, dan abdominal)
- Manifestasi saat kejang/ictal (motor, sensori, otonomik, kognitif, dan
prilaku)
- Periode setelah kejang/post-ictal (pusing, kehilangan kesadaran,
segera kembali seperti sebelum kejang)
- Riwayat persalinan dan perkembangan
- Riwayat keluarga epilepsi dan kejang demam

Klasifikasi kejang
Klasifikasi kejang menurut ILAE 2017 dapat digunakan saat pasien datang
dengan kejang pertama kali. Kejang dikatagorikan berdasarkan awitan
kejang yaitu awitan fokal dan awitan kejang umum (general) atau tidak
diketahui. Kejang fokal identik dengan istilah lama “parsial” namun saat
ini istilah parsial tidak digunakan lagi. Kejang awitan fokal dapat disertai
atau tanpa gangguan kesadaran. Kejang dengan awitan umum
didefinisikan sebagai kejang yang berasal dari beberapa titik dan
berlangsung cepat dan melibatkan jaringan otak yang terdistribusi
bilateral. Kejang umum meliputi kejang tonik, klonik, tonik-klonik, absans,
mioklonik, spasme, dan atonik. Kejang awitan umum atau general dibagi
mejadi tipe motor dan non-motor.Klasifikasi kejang penting untuk
menentukan kemungkinan etiologi, diagnosis, dan prognosis dari FUS.6,7

Apakah perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium penunjang?


American Academy of Neurology (AAN) merekomendasikan pemeriksaan
laboratorium pada anak yang datang dengan keluhan kejang pertama kali
jika terdapat riwayat klinis yang mendukung kelainan. Seorang anak yang
datang dengan kejang pertama kali harus dilakukan pemeriksaan gula
darah. Laboratorium lain diperiksa berdasarkan gejala klinis saat datang
seperti adanya muntah, kemungkinan keracunan atau riwayat klinis
syncope. Pemeriksaan elektrolit (natrium, kalium) dan kalsium serum
sebaiknya dikerjakan.1,5
Penelitian retrospektif untuk evaluasi pemeriksaan laboratorium
telah dilakukan terhadap 87% anak yang datang ke UGD dengan kejang
pertama tanpa provokasi. Hasil penelitian menunjukkan hanya 7% saja
yang memberikan hasil bermakna klinis. Dengan demikian seharusnya
pemeriksaan laboratorium pada FUS dilakukan dengan
mempertimbangkan riwayat penyakit sebelum serangan kejang dan
bukan hanya karena kejang. Di sisi lain apabila pemeriksaan laboratorium
tidak dilakukan maka kasus-kasus dengan inborn errors of metabolism
tidak terdeteksi.8

Apakah perlu dilakukan pungsi lumbal?


Apabila yakin kejang tanpa didahului demam atau tanpa provokasi tidak
seharusnya dilakukan pungsi lumbal. Indikasi pungsi lumbal adalah
adanya tanda rangsang meningeal atau adanya riwayat dan pemeriksaan
fisis mengarah infeksi intrakranial.

Apakah pemeriksaan EEG perlu dilakukan pada FUS?


Apakah EEG harus dilakukan pada anak dengan FUS? Kalau dilakukan
kapan sebaiknya dikerjakan, apakah dalam 24 jam atau setelah 1 minggu?
Elektroensefalogram dapat digunakan untuk menilai risiko berulangnya
kejang, menentukan apakah anak mengalami idiopatik atau simptomatik
epilepsi dan sebagai penuntun dalam menentukan atau memilih obat anti-
epilepsi (OAE).1
Penelitian retrospektif tentang risiko kejang berulang setelah
serangan FUS pada anak menunjukkan angka rekurensi sebesar 38% dan
80% kejang kedua terjadi dalam 6 bulan setelah serangan kejang pertama.
Beberapa faktor risiko yang dinilai bermakna secara statistik adalah: 9
- Hubungan dengan serangan kejang saat tidur
- Etiologi kejang yang simtomatik
- Adanya abnormalitas pada EEG
Sebesar 40–50% dapat diperkirakan terjadi kejang berulang dalam 2
tahun setelah kejang pertama tanpa provokasi. Beberapa faktor prediktor
berulangnya serangan kejang pada FUS adalah gambaran EEG abnormal,
teridentifikasi kondisi neurologi atau gejala yang sesuai (simtomatik).
Status epileptikus dan riwayat kejang demam kemungkinan berhubungan
dengan peningkatan risiko kejang berulang pada anak dengan kejang
simtomatik.10
Anak dengan FUS sebanyak 30% berkembang menjadi epilepsi.
Kejang fokal dan perubahan EEG menunjukkan hubungan dengan
peningkatan risiko kejang berulang. Namun adanya riwayat kejang
demam dan riwayat keluarga epilepsi tidak berhubungan dengan risiko
berulangnya kejang.11
Tabel 2. Dasar dan bukti ilmiah perlunya EEG setelah serangan FUS
untuk memprediksi berulangnya serangan kejang12
Perlu EEG Tidak perlu EEG Referensi
Pada anak dengan gelombang Sebanyak 29% anak dengan Stroink dkk. 1998
epileptiform pada EEG angka gelombang epileptoform
rekurensi serangan kejang 71% pada EEG tidak mengalami
(EEG dengan gelombang serangan berulang
epileptiform terbukti merupakan
faktor risiko utama terjadinya
serangan berulang)
54% anak dengan kejang idiopatik 25% anak dengan EEG Shinnar dkk.
pertama dengan gelombang normal mengalami serangan 1994
abnormal pada EEG mengalami kejang kedua (EEG bukan
kejang kedua (EEG abnormal merupakan prediktor yang
terutama dengan gelombang mutlak untuk berulangnya
epileptiform berhubungan dengan serangan kejang dan EEG
risiko lebih tinggi mendapat yang normal dapat juga
serangan kejang berulang pada merupakan hasil negatif
anak FUS) palsu)
EEG abnormal terutama saat awal, - Pohlmann-Eden
jika menunjukkan aktivitas dkk. 2008
gelombang epileptiform fokal
merupakan prediktor yang sangat
baik untuk terjadinya kejang
berulang.
EEG setelah FUS dapat untuk EEG berpotensi bahaya jika Panayiotopolous
diagnosis sindrom epilepsi interpretasinya salah.
tertentu (benign childhood parsial
seizure, minor seizure, absence, Kualitas EEG tergantung
myoclonic jerks). yang menginterpretasikan.
Hal ini dapat menimbulkan
EEG dapat digunakan untuk dampak medis, psikologis,
menentukan diagnosis, prognosis, dan sosial.
tata laksana khusus dan
terpercaya meskipun hanya pada Sebagian besar anak dirawat
kasus tertentu. di luar RS tersier (level III)
yang tidak ada fasilitas
pemeriksaan EEG.
Lanjutan Tabel 2
Perlu EEG Tidak perlu EEG Referensi
- EEG tidak selalu bersifat Tan dkk. National
“exact” seperti “ya” dan Institute of
“tidak” (kualitas laporan EEG Clinical
sangat bervariasi). Excellence (NICE)
2004
EEG normal dan matur
seiring dengan waktu. EEG
mencapai normal sesuai
dengan pola orang dewasa
paling lama sampai usia 12
tahun.
- EEG dilakukan secara selektif Gilbert dkk. 2000
dan tidak rutin pada FUS
pada anak
EEG setelah FUS bernilai - Berg dkk. 2000
diagnosis dan prognostik walupun
diagnosis epilepsi ditentukan
secara klinis. EEG dapat
menunjang diagnosis kejang dan
membantu membedakan kejang
umum dan fokal dan merupakan
dasar pemilihan OAE berdasarkan
tipe kejang.

Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat disimpulkan bahwa EEG setelah


FUS dapat dilakukan pada beberapa kondisi klinis yang mengarah pada
diagnosis sindrom epilepsi tertentu. Pada epilepsi seperti absans dan
myoclonic jerk harus dilakukan karena memberikan implikasi terhadap
terapi dan prognosis. Diagnosis kejang, tipe epilepsi, dan sindrom epilepsi
terutama berdasarkan klinis. Elektroensefalogram tidak boleh rutin
dikerjakan tanpa tujuan yang jelas. Elektroensefalogram dianjurkan
untuk menjawab masalah khusus dan untuk menentukan diagnosis
epilepsi.12

Kapan perlu dilakukan pemeriksaan neuroimaging?


Peran EEG pada FUS masih kontroversi. Pemeriksaan neuroimaging
emergensi dilakukan hanya apabila terdapat dugaan kuat adanya kondisi
yang memerlukan tindakan intervensi segera (misalnya riwayat baru saja
mengalami trauma, adanya udem papil, defisit neurologi fokal). American
Academy of Neurologi (AAN) merekomendasikan pemeriksaan CT scan
pada anak yang datang dengan keluhan kejang pertama kali jika terdapat
riwayat klinis yang mendukung kelainan.
Pada 35% pasien yang datang ke UGD dengan kejang pertama tanpa
provokasi dilakukan pemeriksaan penunjang CT scan dan ternyata hanya
9% yang hasilnya menunjukkan kelainan/abnormalitas. Pada anak
dengan FUS tanpa gambaran klinis kejang fokal hanya 2% yang
menunjukkan gambaran abnormal yang sesuai dengan klinis pada
neuroimaging. 8,13
Sekitar 9,8% pasien dengan kejang pertama kali menunjukkan
gambaran CT scan yang abnormal terutama pada pasien dengan kejang
fokal. Gambaran abnormal pada CT scan lebih banyak ditemukan pada
pasien yang memiliki hasil EEG yang abnormal. Terdapat korelasi antara
EEG dan CT scan dimana hasil EEG yang abnormal menunjukkan angka
abnormalitas pada CT scan menjadi lebih tinggi. Dengan demikian, hasil
pemeriksaan klinis dan EEG yang abnormal merupakan indikator yang
baik untuk merujuk pemeriksaan neuroimaging pada anak dengan kejang
pertama tanpa provokasi.14
Pemeriksaan CT scan sebaiknya dibatasi apalagi jika anak yang datang
dengan kejang pertama dan segera pulih kesadarannya serta
menunjukkan aktivitas normal seperti sebelum kejang. Hal ini
menurunkan risiko malignansi akibat terpapar radiasi. Indikasi
pemeriksaan imaging pada anak dengan FUS yang datang ke Unit Gawat
Darurat (UGD) adalah:1,5
- FUS dengan status epileptikus
- Kejang fokal dengan gejala defisit neurologis fokal
- Kejang kluster
- Adanya riwayat trauma kepala
- Adanya cefalgia persisten
- Adanya riwayat keganasan atau gangguan koagulasi
- Terdapat penurunan kesadaran yang tidak pulih setelah beberapa jam.
Computed tomography scan kepala dengan kontras dapat membantu
mengidentifikasi etiologi seperti neurosistiserkosis, tuberkuloma,
meningitis, hidrosefalus, dan infark. Meskipun MRI lebih superior dari CT
untuk menunjukkan abnormalitas perkembangan otak, pilihan modalitas
dipengaruhi oleh tersedianya alat imaging MRI dan selama MRI
memerlukan anestesi umum. Pemeriksaan MRI kepala dapat dilakukan
atas indikasi developmental delay atau gangguan perkembangan,
disabilitas intelektual untuk menyingkirkan malformasi kongenital dan
gejala sisa hipoksia atau trauma perinatal serta apabila terdapat kejang
yang refrakter. Beberapa tanda stigmata pada kulit yang dapat membantu
dalam pemeriksaan dan merupakan indikasi dilakukan pemeriksaan
imaging dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Manifestasi pada kulit pada sindrom neurokutaneus dengan


epilepsi5
Lesi pada kulit Sindrom neurokutaneus
Ash leaf macula, shagreen patch, subungual Tuberosklerosis
fibroma, adenoma sebaceum
Port wine stain/ hemangioma kutan Sturge Weber syndrome
unilateral pada wajah
Café au lait macula, neurofibromatosis Neurofibromatosis
Multiple hairy pigmented nevi Neurocutaneus melanosis

Apa saja faktor-faktor yang meningkatkan risiko kejang?


Angka kejadian kejang berulang pada FUS sebesar 38% dan sebanyak
80% serangan kejang yang kedua terjadi dalam 6 bulan setelah kejang
pertama. Faktor risiko yang berhubungan secara bermakna dengan
serangan berulang adalah serangan kejang saat sedang tidur,
teridentifikasi etiologi remote symptomatic yang mendasari, dan adanya
abnormalitas pada EEG.9
Adanya etiologi yang mendasari yang dibuktikan dari EEG abnormal
dan kelainan pada CT scan atau MRI merupakan faktor yang dapat
meningkatkan risiko berulangnya serangan kejang. Angka rekurensi
kejang lebih tinggi jika etiologinya diketahui sebagai remote symptomatic
dibandingkan dengan yang etiologi tidak diketahui (idiopatik) atau
etiologi kriptogenik. Remote symptomatic etiologi merupakan istilah yang
menunjukkan tidak ada penyebab langsung tetapi sebelumnya
teridentifikasi adanya major brain insult atau suatu kondisi yang terjadi
bersama seperti palsi serebral atau retardasi mental. Penyebab idiopatik
tidak berhubungan dengan adanya defect SSP yang diketahui dan diduga
berhubungan dengan genetik. Kejang kriptogenik ditujukan apabila
diduga ada defek pada SSP namun tidak terbukti dengan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan.4
Pada anak dengan kejang pertama yang penyebabnya idiopatik dan
kriptogenik, risiko rekurensi antara 30-50% dalam 2 tahun. Pada anak
dengan penyebab remote symptomatik diduga risiko rekurensi secara
umum di atas 50%. Pemeriksaan EEG setelah kejang pertama dapat
membantu memprediksi risiko berulangnya kejang terutama apabila hasil
EEG abnormal dan terdapat gambaran gelombang epileptiform. 4
Beberapa faktor yang diketahui meningkatkan risiko untuk terjadi
serangan kejang kedua pada FUS adalah sebagi berikut:1,4,9
- Kejang fokal
- Pemeriksaan neurologi abnormal
- Keterlambatan perkembangan (developmental delay)
- Kejang pada saat tidur
- Riwayat keluarga epilepsi
- Terdapat gambaran gelombang epileptiform pada EEG.

Perhatian khusus pada kejang pertama jika berlangsung lama


Sekitar 10-12% anak dengan FUS datang dengan durasi kejang lebih dari
30 menit. Secara umum risiko rekurensi pada anak dengan kejang
pertama tidak berbeda antara setelah kejang lama dibandingkan dengan
kejang yang berlangsung singkat. Apabila tidak disebabkan oleh adanya
penyakit akut atau progresif pada otak morbiditas dan mortalitas status
epileptikus pada anak relatif rendah. Namun, apabila anak kejang pertama
dengan status epileptikus, kemudian mengalami kejang berulang lagi
maka kemungkinan lebih besar akan berlangsung kejang yang lama lagi. 15

Apakah FUS perlu diberikan terapi OAE atau tidak?


Satu dari 10 pasien FUS yang segera diberikan terapi ternyata tidak
mendapat serangan kejang lagi dalam 5 tahun pertama setelah serangan
kejang pertama, dan 1 dari 10 pasien FUS yang diberikan terapi segera
setelah serangan kejang pertama mengalami efek samping obat. 16
Sebuah studi meta-analisis pada FUS dewasa dan anak yang
melibatkan partisipan dengan berbagai tipe kejang dan hanya
menggunakan OAE lini pertama dan lamotrigin, menunjukkan bahwa
pemberian OAE segera setelah FUS menurunkan risiko kejang berikutnya
tetapi tidak berdampak pada pencapaian remisi dalam jangka waktu yang
panjang dan juga tidak berdampak terhadap mortalitas secara
keseluruhan. Reaksi efek samping obat lebih sering terjadi pada kelompok
yang diterapi. Dengan demikian sampai saat ini penelitian tersebut masih
seiring dengan meta-analisis sebelumnya dan mendukung rekomendasi
petunjuk klinis dari AAN dan American Epilepsy Society (AES). Keputusan
apakah segera memulai terapi diambil secara individual berdasarkan
keputusan bersama orangtua, pasien dan dokter.16
Alasan utama untuk memulai pemberian OAE pada FUS adalah cedera
atau kematian akibat kejang yang terjadi berikutnya. Cedera yang serius
merupakan kejadian yang jarang yang dapat terjadi setelah jatuh akibat
hilangnya kesadaran. Untuk mengurangi risiko tersebut pada anak-anak
adalah dengan melarang bersepeda dan berenang kecuali dengan
pengawasan.15
Seharusnya juga diketahui bahwa meminum OAE setiap hari bagi anak
bukan hal yang mudah. Minum obat setiap hari bagi anak dapat
menurunkan rasa percaya diri anak karena dianggap sakit dalam jangka
lama baik oleh anak, keluarga, dan lingkungan sekolah. Meminum obat
epilepsi juga mempersulit untuk memperoleh jaminan asuransi dan pada
remaja tidak mendapat surat ijin mengemudi.4
Pada pasien yang diberikan terapi segera setelah serangan kejang
pertama kali dan setelah serangan kejang yang kedua menunjukkan
kemungkinan yang sama mengalami remisi dalam 1-2 tahun. Jadi tidak
terdapat bukti yang membedakan hasil remisi jika terapi segera dimulai
dibanding dengan menunggu terapi setelah serangan kejang yang
kedua.15

Faktor-faktor yang dapat menjadi dasar memulai terapi OAE pada


FUS
Sebelum memulai terapi OAE, harus benar benar dipertimbangkan
konsekuensinya. Bebas kejang kemungkinan merupakan hasil pemberian
terapi, namun tidak untuk semua kasus. Pada sebagian kasus kejang tidak
terjadi walaupun tidak mengkonsumsi OAE. Alasan untuk memulai OAE
lebih awal meskipun hanya setelah FUS adalah sebagai berikut:17
- Sangat mendukung suatu sindrome epilepsi yang berisiko relap
jika OAE tidak segera diberikan (contoh: juvenile myoclonic
epilepsy).
- Prognosis sangat baik jika diberikan OAE (contoh: juvenile
myoclonic epilepsy).
- Epilepsy syndrome yang ditandai peningkatan risiko kejang saat
tidur (sleep deprivation).
- Kejang pertama dengan penurunan kesadaran.
- Elektroensefalogram abnormal dengan gambaran gelombang
epileptiform.
- Magnetic resonance imaging abnormal yang mengindikasikan
suatu sindrom epilepsi atau patofisiologi epilepsi.

Apa saja efek samping OAE setelah terapi pada kejang pertama
pada anak?
Terapi OAE dapat menimbulkan efek samping sistemik seperti ruam pada
kulit, hirsutisme, peningkatan berat badan, gangguan menstruasi,
hepatoksik, Steven-Johnson syndrome yang tidak dapat diprediksi sejak
awal. Efek samping yang lain adalah penurunan fungsi kognitif,
penurunan fungsi luhur, hiperaktif dan ganguan prilaku yang tergantung
pada dosis obat.15

Edukasi terhadap keluarga


Diagnosis kejang maupun epilepsi pada anak dapat menimbulkan
kekhawatiran orangtua dan seringkali menyebabkan orangtua ingin
mengetahui penyebabnya, kemungkinan kerusakan yg terjadi pada otak,
dan prognosisnya terhadap perkembangan intelektual serta efek samping
obat. Sekitar 30% ibu dari anak yang terdiagnosis epilepsi menunjukkan
gejala stres atau depresi. Edukasi terhadap anak dan orangtua tentang
kejang, epilepsi serta obat obatan merupakan bagian yg penting untuk
mengurangi stress pada keluarga. Edukasi tentang penanganan anak saat
kejang, keamanan saat berenang dan keamanan berkendaraan. Apabila
terjadi gangguan stres atau depresi pada orangtua dapat dirujuk untuk
konsultasi ke Psikologi atau Psikiater.1,4
Ringkasan
Pada anak yang datang dengan kejang pertama kali, yang harus dilakukan
adalah menentukan apakah kejang terprovokasi atau kejang tanpa
provokasi. Kemudian harus diidentifikasi etiologi kejang untuk
menentukan tata laksana yang sesuai dan menentukan prognosis.
Pemeriksaan EEG setelah serangan kejang pertama tanpa provokasi
dapat memberikan nilai diagnosis yang bermanfaat dan dapat
memberikan informasi dalam menentukan prognosis.
Elektroensefalogram juga dapat digunakan untuk menentukan sindrom
epilepsi yang spesifik. Namun rujukan EEG seharusnya berdasarkan
klinis dan tidak rutin dianjurkan jika tanpa tujuan yang jelas.
Adanya etiologi yang mendasari yang dibuktikan dari EEG abnormal
dan kelainan pada CT scan atau MRI merupakan faktor yang dapat
meningkatkan risiko berulangnya serangan kejang. Pemeriksaan
penunjang laboratorium dan imaging dilakukan secara selektif atas
indikasi riwayat klinis yang terjadi sebelum kejang dan adanya temuan
klinis yang mendasari kelainan.
Sebagian besar anak yang mengalami serangan kejang pertama kali
(FUS), tidak mengalami serangan ulang dan hanya sedikit yang akan
mengalami serangan kejang yang berulang ulang dan memerlukan terapi.
Pemberian terapi OAE segera setelah serangan kejang pertama tidak
meningkatkan prognosis dalam hal remisi untuk jangka panjang jika
dibandingkan dengan pemberian terapi setelah serangan kejang yang
kedua. Pada FUS pemberian terapi OAE tidak dianjurkan jika hanya untuk
mencegah epilepsi. Terapi OAE harus memperhitungkan manfaat dan
kerugian antara menurunkan risiko kejang kedua dan risiko efek samping
farmakologi dan psikososial.

Daftar pustaka
1. Michoulas A, Kevin Farrell K, Connolly M. Approach to a child with a first
afebrile seizure. BCMC. 2011;53(6):274-7.
2. Fisher RS, van Emde Boas W, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, dkk. Epileptic
seizures and epilepsy: Definitions proposed by the international league
against epilepsy (ILAE) and the international bureau for epilepsy (IBE).
Epilepsia. 2005; =46:470-2.
3. Panayiotopoulos CP. Epileptic seizures and their classification. In:
Panayiotopoulos CP, penyunting. A clinical guide to epileptic syndromes and
their treatment. London: Springer-Verlag; 2010.h. 21-63.
4. Ghofrani M. Approach to the first unprovoked seizure-part I. Iran J Child
Neurol. 2013;7(3):1-5.
5. Gulati S, Kaushik JS. How I treat a first single seizure in a child. Ann Indian
Acad Neurol. 2016;19(1):29-36.
6. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, Connolly MB, French J, Guilhoto L, dkk.
ILAE classification of the epilepsies: Position paper of the ILAE Commission
for classification and terminology. Epilepsia. 2017; 58(4):512-21.
7. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, Instruction manual for the ILAE 2017
operational classification of seizure types. Epilepsia. 2017; 58(4):531-42.
8. Strobel AM, Strobel, Gill VS, Witting MD, Teshome G. Emergent diagnostic
testing for pediatric nonfebrile seizures. American Journal of Emergency
Medicine. 2015; 33:1261-4.
9. Maia C, Moreira Ar, Lopes T, Martins C. Risk recurrence after a first
unprovoked sizure in children. J Pediatr (Rio J). 2017; 93(3):281-6.
10. Berg AT. Risk of recurrence after a first unprovoked seizure. Epilepsia. 2008;
49(Suppl.1):13-8.
11. Pereira C, Resende C, Fineza I, Robalo C. A 15-year follow-up of first
unprovoked seizures: a prospective study of 200 children. Epileptic Disord.
2014; 16(1): 50-5.
12. Khan A, Baheerathan A. Electroencephalogram after first unprovoked seizure
in children: Routine, unnecessary or case specific. J Pediatr Neurosci. 2013;
8:1-4.
13. Sharma S, Riviello JJ, Harper MB, Baskin MN. The role of emergent
neuroimaging in children with new onset afebrile seizures. Pediatrics. 2003;
111(1):1-5.
14. Rasool A, Choh SA, Nisar A. Wani NA, Ahmad SM, Iqbal Q. Role of
electroencephalogram and neuroimaging in first onset afebrile and complex
febrile seizures in children from Kashmir. J Pediatr Neurosci. 2012; 7:9-15.
15. Ghofrani M. Approach to the first unprovoked seizure-part II. Iran J Child
Neurol. 2013; 7(4):1-5.
16. Porter M, Chacko L. Antiepileptic drugs after first unprovoked seizure. AFP.
2017; 95(3):150. [diakses tanggal 21 Januari 2019]. Tersedia di:
http://www.aafp.org/afp/mbtn.
17. Steinhoff BJ, The debate: Treatment after the first seizure-the contra. Seizure.
2017; 49:92-4.

Anda mungkin juga menyukai