LIMITED RESOURCES?
Dewi Sutriani Mahalini
Divisi Neurologi
Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak
FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Kejang adalah kelainan paroksismal yang terjadi akibat pelepasan listrik
abnormal pada neuron yang secara klinis bermanifestasi sebagai
gangguan motorik, sensorik, otonomik atau gangguan perilaku. Kejadian
kejang iktal merupakan akibat ketidakseimbangan aktivitas
neurotransmiter eksitasi dan inhibisi dalam otak.
Setiap tahun diperkirakan sekitar 25.000-40.000 anak di Amerika
Serikat mengalami kejang pertama tanpa provokasi yang selanjutnya
disebut first unprovoked seizure (FUS). Sebagian besar anak dengan FUS
tidak mengalami serangan kejang yang berulang. Walaupun demikian
kejang pertama tanpa provokasi ini dapat merupakan gejala awal dari
penyakit yang serius atau bagian dari epilepsi.
Ketika menilai seorang anak yang datang pertama kali dengan kejang
maka seorang klinisi harus mengidentifikasi penyebab, menentukan
terapi yang sesuai, dan menentukan prognosisnya. Kejang yang terjadi
pertama kali merupakan peristiwa yang membuat setiap orangtua panik.
Selalu akan muncul pertanyaan apakah penyebabnya, apakah bisa
disembuhkan, apakah akan berulang, apakah akan menjadi epilepsi?
Bagi seorang dokter yang bertugas di fasilitas terbatas dan di era BPJS
tentu akan menimbulkan berbagai pertanyaan. Apakah perlu dirujuk,
apakah perlu dilakukan pemeriksaan penunjang elektroensefalogram
(EEG), computed tomography (CT) scan atau magnetic resonance imaging
(MRI), dan kapan saat yang tepat melakukan rujukan pemeriksaan?
Berikut ini akan dibahas dari berbagai aspek: bagaimana menegakkan
diagnosis, cara melakukan penelusuran etiologi, tata laksana kejang yang
terjadi pertama kali tanpa provokasi dan selanjutnya bagaimana
menentukan prognosisnya.
Bagaimana menentukan kejang atau bukan kejang?
Hampir 30% anak yang dirujuk dengan kejang pertama kali ternyata
bukan kejang epileptik. Sebagian besar merupakan episode serangan
paroksismal non-epileptik, seperti: gerakan stereotipik dan tics, serangan
panik (anxiety attack), serangan psikogenik kejang non epileptik
(umumnya disebut pseudoseizure).1
Anamnesis merupakan kunci untuk membedakan antara kejang
epileptik dan serangan non-epileptik. Sangat penting melakukan
anamnesis kepada anak dan orang yang mendampingi anak pada saat
serangan terjadi. Sebelum menentukan diagnosis kejang maka harus
diyakini apakah kejadian tersebut memang benar-benar kejang (true
seizure) atau serangan menyerupai kejang (seizure mimickers). Beberapa
kejadian yang menyerupai kejang misalnya, syncope, breath holding spells,
night terrors, tics dan gerakan involunter. Beberapa hal yang dapat
digunakan sebagai patokan untuk membedakan kejang atau bukan dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Seringkali pasien datang sudah tidak dalam keadaan kejang lagi atau
kejang sudah berhenti. Apabila masih meragukan apakah kejang atau
bukan maka kita hanya perlu mengobservasi dan apabila terjadi serangan
berikutnya, sarankan kepada orangtua untuk merekam gerakan saat
serangan. Apabila telah yakin dengan serangan kejang, maka anamnesis
dan pemeriksaan fisis dapat dilanjutkan untuk menentukan etiologi
kejang.
Kejang pertama kali pada anak (pediatric first seizure)
Konsep definisi kejang epileptik (epileptic seizure) menurut International
League Against Epilepsy (ILAE, 2005) adalah serangan mendadak berupa
tanda dan/atau gejala yang terjadi akibat aktivitas neuron di otak yang
tidak sinkron/berlebihan (abnormal).2
Kejang epileptik adalah fenomena transien dengan awitan berdurasi
singkat dengan manifestasi klinis (sensorik, motorik, otonomik, kognitif,
psikogenik, dan/atau berafek terhadap kesadaran, kewaspadaan dan
respon terhadap sekitar) dan merupakan suatu iktogenesis akibat
stimulus abnormal yang bersifat sinkron di dalam otak.3
Pada anak yang datang dengan kejang pertama kali, yang harus
dilakukan adalah menentukan apakah kejang terprovokasi atau kejang
tanpa provokasi. Kemungkinan yang berpotensi sebagai etiologi kejang
harus diidentifikasi untuk dapat memberikan tata laksana yang sesuai dan
menentukan prognosis. Beberapa hal yang harus dipikirkan apabila anak
datang pertama kali dengan kejang adalah: 1) provoked seizure, 2) kejang
demam (febrile seizure), 3) acute symptomatic seizure (trauma, gangguan
metabolik, ensefalopati, infeksi SSP), 4) kelainan struktural
Pada kejang terprovokasi atau provoked seizure khas ditandai oleh
adanya faktor pencetus seperti demam, infeksi susunan saraf pusat,
intoksikasi atau trauma kepala. Beberapa penyebab pada kejang
terprovokasi adalah:
- Infeksi SSP: meningitis, ensefalitis, empiema
- Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hiperglikemia
- Trauma kepala
- Adanya kelainan struktural: congenital cerebral malformation
- Gangguan pembuluh darah
- Intoksikasi
Pada kasus kejang terprovokasi maka penanganan harus meliputi
identifikasi dan terapi penyakit yang mendasari.
Kejang tanpa provokasi atau unprovoked seizure adalah kejang yang
tidak berhubungan dengan faktor pencetus apapun dan mungkin
berhubungan dengan epilepsi. Secara umum risiko kejang berulang
setelah episode kejang pertama tanpa provokasi adalah sebesar 45%. 4
Gambar 1 menunjukkan alur pikir secara ringkas dalam menegakkan
diagnosis dan tatalaksana anak yang datang dengan serangan kejang
pertama kali.
Klasifikasi kejang
Klasifikasi kejang menurut ILAE 2017 dapat digunakan saat pasien datang
dengan kejang pertama kali. Kejang dikatagorikan berdasarkan awitan
kejang yaitu awitan fokal dan awitan kejang umum (general) atau tidak
diketahui. Kejang fokal identik dengan istilah lama “parsial” namun saat
ini istilah parsial tidak digunakan lagi. Kejang awitan fokal dapat disertai
atau tanpa gangguan kesadaran. Kejang dengan awitan umum
didefinisikan sebagai kejang yang berasal dari beberapa titik dan
berlangsung cepat dan melibatkan jaringan otak yang terdistribusi
bilateral. Kejang umum meliputi kejang tonik, klonik, tonik-klonik, absans,
mioklonik, spasme, dan atonik. Kejang awitan umum atau general dibagi
mejadi tipe motor dan non-motor.Klasifikasi kejang penting untuk
menentukan kemungkinan etiologi, diagnosis, dan prognosis dari FUS.6,7
Apa saja efek samping OAE setelah terapi pada kejang pertama
pada anak?
Terapi OAE dapat menimbulkan efek samping sistemik seperti ruam pada
kulit, hirsutisme, peningkatan berat badan, gangguan menstruasi,
hepatoksik, Steven-Johnson syndrome yang tidak dapat diprediksi sejak
awal. Efek samping yang lain adalah penurunan fungsi kognitif,
penurunan fungsi luhur, hiperaktif dan ganguan prilaku yang tergantung
pada dosis obat.15
Daftar pustaka
1. Michoulas A, Kevin Farrell K, Connolly M. Approach to a child with a first
afebrile seizure. BCMC. 2011;53(6):274-7.
2. Fisher RS, van Emde Boas W, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, dkk. Epileptic
seizures and epilepsy: Definitions proposed by the international league
against epilepsy (ILAE) and the international bureau for epilepsy (IBE).
Epilepsia. 2005; =46:470-2.
3. Panayiotopoulos CP. Epileptic seizures and their classification. In:
Panayiotopoulos CP, penyunting. A clinical guide to epileptic syndromes and
their treatment. London: Springer-Verlag; 2010.h. 21-63.
4. Ghofrani M. Approach to the first unprovoked seizure-part I. Iran J Child
Neurol. 2013;7(3):1-5.
5. Gulati S, Kaushik JS. How I treat a first single seizure in a child. Ann Indian
Acad Neurol. 2016;19(1):29-36.
6. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, Connolly MB, French J, Guilhoto L, dkk.
ILAE classification of the epilepsies: Position paper of the ILAE Commission
for classification and terminology. Epilepsia. 2017; 58(4):512-21.
7. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, Instruction manual for the ILAE 2017
operational classification of seizure types. Epilepsia. 2017; 58(4):531-42.
8. Strobel AM, Strobel, Gill VS, Witting MD, Teshome G. Emergent diagnostic
testing for pediatric nonfebrile seizures. American Journal of Emergency
Medicine. 2015; 33:1261-4.
9. Maia C, Moreira Ar, Lopes T, Martins C. Risk recurrence after a first
unprovoked sizure in children. J Pediatr (Rio J). 2017; 93(3):281-6.
10. Berg AT. Risk of recurrence after a first unprovoked seizure. Epilepsia. 2008;
49(Suppl.1):13-8.
11. Pereira C, Resende C, Fineza I, Robalo C. A 15-year follow-up of first
unprovoked seizures: a prospective study of 200 children. Epileptic Disord.
2014; 16(1): 50-5.
12. Khan A, Baheerathan A. Electroencephalogram after first unprovoked seizure
in children: Routine, unnecessary or case specific. J Pediatr Neurosci. 2013;
8:1-4.
13. Sharma S, Riviello JJ, Harper MB, Baskin MN. The role of emergent
neuroimaging in children with new onset afebrile seizures. Pediatrics. 2003;
111(1):1-5.
14. Rasool A, Choh SA, Nisar A. Wani NA, Ahmad SM, Iqbal Q. Role of
electroencephalogram and neuroimaging in first onset afebrile and complex
febrile seizures in children from Kashmir. J Pediatr Neurosci. 2012; 7:9-15.
15. Ghofrani M. Approach to the first unprovoked seizure-part II. Iran J Child
Neurol. 2013; 7(4):1-5.
16. Porter M, Chacko L. Antiepileptic drugs after first unprovoked seizure. AFP.
2017; 95(3):150. [diakses tanggal 21 Januari 2019]. Tersedia di:
http://www.aafp.org/afp/mbtn.
17. Steinhoff BJ, The debate: Treatment after the first seizure-the contra. Seizure.
2017; 49:92-4.