Anda di halaman 1dari 14

Kajian evidence-based

Penggunaan vaksin SARS-CoV-2 pada anak dengan kelainan neurologis

I. Epilepsi

Pertanyaan klinis

Patient/problem Intervention Comparison Outcome


Anak dengan epilepsi vaksinasi COVID- tidak mendapat Risiko peningkatan
19 vaksinasi COVID- frekuensi/beratnya kejang
19

Strategi pencarian

Pencarian di PubMed dengan kata kunci:


("covid-19 vaccine" OR "covid-19 inactivated vaccine" OR "sars-cov-2 vaccine" OR
"sars-cov-2 inactivated vaccine") AND epilepsy

Dengan pembatasan pada telaah sistematis, meta-analisis, randomized clinical trial (RCT), studi
kohort, studi kasus-kontrol, atau laporan kasus.

Dilakukan pula hand search daftar pustaka artikel-artikel yang relevan.

Hasil pencarian

Ditemukan 1 artikel:

Studi Desain Jenis vaksin N Ringkasan Level of


studi evidence
Aladdin dkk Laporan Vektor 1 Status epileptikus 4
(2021)1 kasus adenovirus refrakter awitan
(ChAdOx1 – baru 10 hari
AstraZeneca) setelah vaksinasi
pada dewasa 42
tahun

Simpulan dari evidence yang ada:


Hanya ada satu laporan anekdotal pada orang dewasa mengenai terjadinya kejang epileptik yang
mengikuti vaksinasi COVID-19. Belum terdapat laporan serupa pada anak. Pada laporan tersebut
asosiasi hanya bersifat temporal dan tidak dapat disimpulkan hubungan kausal.
Pertimbangan lain:
- International League Against Epilepsy (ILAE), 2021:2
“Hingga saat ini tidak ada bukti bahwa epilepsi berhubungan dengan risiko yang lebih
besar untuk terjadinya efek samping pada vaksinasi COVID-19. Risiko infeksi COVID-
19 dan potensi komplikasinya pada orang dengan epilepsi jauh lebih besar dibandingkan
risiko efek samping dari vaksin COVID-19. Namun demikian, seperti pada vaksin lain,
vaksinasi COVID-19 dapat diikuti dengan demam. Pada beberapa orang, hal tersebut
dapat menurunkan ambang kejang. Antipiretik (misalnya parasetamol) yang diberikan
secara rutin selama 48 jam pascavaksinasi (atau selama terdapat demam) dapat
menurunkan risiko tersebut.” (Level of evidence 5).
- Pada protokol uji klinis fase 1/2 vaksin CoronaVac (Sinovac) pada anak berusia 3-17
tahun, “kelainan neurologis berat (epilepsi, kejang)” (“severe neurological diseases
(epilepsy, convulsions)”) menjadi salah satu kriteria eksklusi, demikian pula anak yang
mendapat terapi imunosupresan dalam 6 bulan sebelum pemberian vaksin.3
- Laporan kasus yang ada saat ini adalah pada orang dewasa; belum ada laporan kasus pada
anak.

Rekomendasi

Dalam koridor penggunaan dalam kondisi darurat (emergency use), dengan mengingat
keterbatasan validitas eksterna data uji klinis fase 1/2 pada anak yang ada saat ini, serta
dengan menimbang risiko infeksi COVID-19 dan komplikasinya yang jauh lebih besar
dibandingkan risiko efek samping vaksin COVID-19 terkait epilepsi, maka anak dengan
epilepsi dapat diberikan vaksin COVID-19 sesuai jadwal. (Level of evidence 4, grade of
recommendation C)

Dengan mengantisipasi kemungkinan terjadinya demam pascavaksinasi yang dapat


mencetuskan kekambuhan kejang, maka dapat diberikan antipiretik (parasetamol) secara
rutin selama 48 jam pascavaksinasi. (Level of evidence 5, grade of recommendation C)

Kontraindikasi hanya pada pasien epilepsi yang sedang memperoleh terapi kostikosteroid,
misalnya pada sindrom West atau sindrom Landau-Kleffner/continuous spike-wave during
slow-wave sleep (CSWS). (Level of evidence 5, grade of recommendation C)
II. Sindrom Guillain-Barré (SGB) dan penyakit neuromuskular lainnya

Pertanyaan klinis (SGB)

Patient/problem Intervention Comparison Outcome


Anak sehat vaksinasi COVID- tidak mendapat Peningkatan risiko SGB
19 vaksinasi COVID-
19
Anak dengan riwayat vaksinasi COVID- tidak mendapat Risiko kekambuhan SGB
SGB sebelumnya 19 vaksinasi COVID-
19

Strategi pencarian

Pencarian di PubMed dengan kata kunci:


("covid-19 vaccine" OR "covid-19 inactivated vaccine" OR "sars-cov-2 vaccine" OR
"sars-cov-2 inactivated vaccine") AND ("guillain-barré syndrome" OR "acute
immune demyelinating polyneuropathy" OR "acute motor axonal neuropathy" OR
“acute motor sensory axonal neuropathy” OR “chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy”)

Dengan pembatasan pada telaah sistematis, meta-analisis, randomized clinical trial (RCT), studi
kohort, studi kasus-kontrol, atau laporan kasus.

Dilakukan pula hand search daftar pustaka artikel-artikel yang relevan.

Hasil pencarian

Ditemukan 11 artikel:

Studi Desain studi Jenis vaksin N Ringkasan Level of


evidence
Allen dkk (2021)4 Seri kasus Vektor adenovirus 4 SGB bifasial pada 4 4
(ChAdOx1 – orang dewasa terjadi
AstraZeneca) dalam 3 minggu
pascavaksinasi.
Goss dkk (2021)5 Seri kasus Tidak diketahui 32 Dalam Centers for 4
Disease Control and
Prevention (CDC)
Vaccine Adverse
Effects Registry
System (VAERS)
tercatat 32 kasus SGB
di antara 37.000
penerima vaksin. Usia
masing-masing kasus
tidak diketahui.
Waheed dkk (2021)6 Laporan kasus mRNA (Pfizer) 1 SGB terjadi 7 hari 4
pascavaksinasi pada
orang dewasa lansia.
Hasan dkk (2021)7 Laporan kasus Vektor adenovirus 1 SGB terjadi 11 hari 4
(ChAdOx1 – pascavaksinasi pada
AstraZeneca) orang dewasa lansia.
Ogbebor dkk (2021)8 Laporan kasus mRNA (Pfizer) 1 SGB terjadi 1 hari 4
pascavaksinasi pada
orang dewasa lansia.
Setelah dosis vaksinasi
kedua pada pasien
yang sama tidak
terjadi kejadian
serupa. Disimpulkan
sebagai hubungan
temporal, sangat
mungkin koinsidens.
Patel dkk (2021)9 Laporan kasus Vektor adenovirus 1 SGB terjadi 3 minggu 4
(ChAdOx1 – pascavaksinasi pada
AstraZeneca) orang dewasa berusia
37 tahun.
Román dkk (2021)10 Laporan kasus Tidak diketahui 2 2 pasien dewasa 4
dan telaah mengalami acute
non- motor axonal
sistematik neuropathy (AMAN)
bersama dengan
mielitis transversa
akut pascavaksinasi.
Márquez dkk (2021)11 Laporan kasus Vektor adenovirus 2 2 subjek uji klinis 2 (RCT)
dari subjek uji (Janssen) (N=805) vaksin 4 (laporan
klinis acak COVID-19 pada orang kasus)
terkontrol fase dewasa mengalami
1/2. SGB dalam 2 minggu
pascavaksinasi.
Karena 1 subjek
berasal dari kelompok
vaksin dan 1 subjek
berasal dari kelompok
plasebo, maka tidak
terdapat bukti
peningkatan risiko
SGB pada kelompok
vaksin dibandingkan
plasebo.
Finsterer (2021)12 Laporan kasus Vektor adenovirus 1 Pasien dewasa dengan 4
(ChAdOx1 – riwayat SGB 14 tahun
AstraZeneca) sebelumnya,
mengalami
kekambuhan dalam 8
hari pascavaksinasi.
Simpulan dari evidence yang ada:
Semua laporan kasus bersifat laporan anekdotal yang tidak dapat menentukan hubungan
kausalitas. Berdasarkan laporan SGB pada uji klinis acak terkontrol (Márquez dkk) yang
mendapatkan adanya sindrom tersebut pada masing-masing satu pasien baik dalam kelompok
intervensi maupun kelompok kontrol, maka bukti yang ada saat ini tidak menunjukkan
peningkatan risiko SGB yang berhubungan dengan vaksinasi COVID-19. Hingga saat ini semua
laporan adalah pada orang dewasa.

Pertimbangan lain untuk SGB maupun kelainan neuromuskular lainnya:


- Centers for Disease Control and Prevention, 2021:13
“Tidak ada kasus SGB pascavaksinasi dilaporkan pada subjek uji klinis vaksin COVID-
19 mRNA. Satu kasus dilaporkan pada subjek pada kelompok vaksin dalam uji klinis
vaksin COVID-19 Janssen, dibandingkan dengan satu kasus pada kelompok placebo. …
Dalam panduan umum praktik terbaik imunisasi ACIP, riwayat SGB bukan termasuk
kontraindikasi maupun perhatian khusus untuk vaksinasi. Orang dengan riwayat SGB
dapat diberikan vaksin COVID-19 manapun yang mendapat izin FDA. Semua kejadian
SGB harus dilaporkan melalui system pelaporan VAERS.” (Level of evidence 5)
- Walau adanya asosiasi antara vaksin apapun dengan SGB tidak dapat disingkirkan dan
tetap perlu diwaspadai, namun tidak dapat dibuat praduga adanya hubungan kausal. 14
(Level of evidence 5)
- Berdasarkan studi-studi terdahulu pada vaksin influenza H1N1, vaksinasi tampaknya
tidak meningkatkan risiko rekurensi SGB. Risiko SGB pascainfluenza dan komplikasi
influenza lainnya lebih tinggi dibandingkan risiko SGB pascavaksinasi.15 (Level of
evidence 4-5)
- COVID-19 yang terjadi pada anak dengan penyakit kronik tertentu, termasuk kelainan
neuromuskular, membawa peningkatan risiko perlunya perawatan intensif.16 (Level of
evidence 4)
- Anak dengan disabilitas neurologis berisiko mengalami COVID-19 berat atau fatal.
Vaksinasi dini pada kelompok ini, termasuk palsi serebral, dapat membawa manfaat yang
besar, terutama bila anak mengikuti fasilitas pendidikan luar biasa atau rehabilitasi,
karena di fasilitas tersebut anak yang rentan berkumpul bersama anak lain yang juga
berisiko.17 (Level of evidence 5)

Rekomendasi

Dalam koridor penggunaan dalam kondisi darurat (emergency use), dengan mengingat
keterbatasan data uji klinis fase 1/2 pada anak, saat ini tidak terdapat bukti adanya peningkatan
risiko SGB maupun kekambuhan SGB pascavaksinasi COVID-19. (Level of evidence 4, grade of
recommendation C).

Dengan menimbang risiko infeksi COVID-19 dan komplikasinya yang tinggi pada anak dengan
SGB maupun kelainan neuromuskular lainnya, maka anak dengan riwayat SGB maupun kelainan
neuromuskular lainnya dapat diberikan vaksin COVID-19 sesuai jadwal. (Level of evidence 4,
grade of recommendation C)

Kontraindikasi mutlak adalah pada pasien SGB aktif dan pasien yang sedang mendapatkan terapi
imunosupresan (misalnya kortikosteroid pada CIDP atau agen imunosupresan lain). (Level of
evidence 5, grade of recommendation C)

III. Penyakit neuroimun lainnya: Mielitis transversa, acute demyelinating


encephalomyelitis (ADEM), dan sklerosis multiple (MS)

Pertanyaan klinis

Patient/problem Intervention Comparison Outcome


Anak sehat vaksinasi COVID- tidak mendapat Peningkatan risiko
19 vaksinasi myelitis
COVID-19 transversa/ADEM
Anak dengan riwayat vaksinasi COVID- tidak mendapat Risiko kekambuhan
mielitis 19 vaksinasi penyakit
transversa/ADEM/sklerosis COVID-19
multipel

Strategi pencarian

Pencarian di PubMed dengan kata kunci:


("covid-19 vaccine" OR "covid-19 inactivated vaccine" OR "sars-cov-2 vaccine" OR
"sars-cov-2 inactivated vaccine") AND ("acute disseminated encephalomyelitis"
OR "transverse myelitis” OR “multiple sclerosis”)

Dengan pembatasan pada telaah sistematis, meta-analisis, randomized clinical trial (RCT), studi
kohort, studi kasus-kontrol, atau laporan kasus.

Dilakukan pula hand search daftar pustaka artikel-artikel yang relevan.


Hasil pencarian

Ditemukan 5 artikel:

Studi Desain studi Jenis vaksin N Ringkasan Level of


evidence
Etemadifar dkk Laporan Vektor adenovirus 1 Kekambuhan akut MS 4
(2021)18 kasus (Gamaleya) terjadi 3 hari
pascavaksinasi pada
perempuan dewasa
yang sedang
mendapatkan terapi
rituksimab. 21 hari
setelah vaksinasi
dosis pertama,
antibodi COVID-19
belum terdeteksi.
Román dkk (2021)10 Laporan Tidak diketahui 2 Di antara 43 pasien 4
kasus dan dengan mielitis
telaah non- transversa yang
sistematik terjadi dalam 6
minggu
pascavaksinasi,
didapatkan 2 pasien
anak (usia 3 dan 11
tahun).
Voysey dkk (2021)19 Uji klinis Vektor adenovirus 11.636 Di antara 5.818 2
acak (ChAdOx1 – subjek dewasa yang
terkontrol AstraZeneca) mendapatkan vaksin,
didapatkan 3 kasus
mielitis transversa. 1
kasus berpotensi
terkait vaksinasi, 2
kasus dinyatakan
sebagai koinsidens
setelah evaluasi lebih
lanjut.
Achiron dkk (2021)20 Seri kasus mRNA (Pfizer) 555 Di antara 555 pasien 4
MS dewasa antara
Desember 2020 –
Januari 2021, relaps
akut pascavaksinasi
terjadi pada 2,1%
pasien setelah dosis
pertama dan 1,6%
pasien pada dosis
kedua. Angka tersebut
tidak berbeda
bermakna dengan
angka kejadian relaps
akut pada bulan yang
sama selama 5 tahun
sebelumnya (2,3%-
2,9%).
Kenangil dkk Seri kasus Inaktivasi 1 Gejala mirip ADEM 4
(2021)21 (Sinovac) terjadi 1 bulan
pascavaksinasi pada
perempuan dewasa
dengan riwayat
tiroiditis autoimun.

Simpulan dari evidence yang ada:


Hingga saat ini hanya terdapat 2 laporan kasus mielitis transversa pascavaksinasi COVID-19
pada anak. Hanya terdapat 1 laporan kasus gejala mirip ADEM pascavaksinasi COVID-19 pada
orang dewasa dengan riwayat penyakit autoimun yang telah ada sebelumnya dan masih aktif saat
menerima vaksinasi. Pada studi klinis acak terkontrol salah satu vaksin COVID-19 pada orang
dewasa, hanya 1 kasus mielitis transversa kemungkinan berhubungan dengan vaksinasi,
sedangkan 2 kasus lainnya merupakan kejadian koinsidens. Pada MS, vaksinasi COVID-19 tidak
meningkatkan angka kejadian relaps, namun vaksinasi yang dilakukan saat pasien sedang
mendapatkan terapi imunosupresan mengurangi imunogenisitas vaksin.

Pertimbangan lain:
- Penyakit autoimun dan terapi imunosupresi dalam 6 bulan sebelum pemberian vaksin
menjadi kriteria eksklusi uji klinis fase 1/2 vaksin inaktivasi (Sinovac) pada anak berusia
3-17 tahun.3
- Pasien yang diketahui akan mendapatkan terapi imunosupresan dalam 6 bulan sebelum
atau sesudah pemberian vaksin dieksklusi dari uji klinis fase 1/2 vaksin mRNA (Pfizer)
pada anak berusia 12-15 tahun.22

Rekomendasi

Dalam koridor penggunaan dalam kondisi darurat (emergency use), dengan mengingat
keterbatasan data uji klinis fase 1/2 pada anak, saat ini tidak terdapat bukti adanya
peningkatan risiko mielitis transversa, ADEM, maupun kekambuhan mielitis transversa,
ADEM, atau MS pascavaksinasi COVID-19. (Level of evidence 4, grade of recommendation
C).

Dalam koridor penggunaan dalam kondisi darurat (emergency use), dengan mengingat
keterbatasan validitas eksterna data uji klinis fase 1/2 yang ada saat ini, serta dengan
menimbang risiko infeksi COVID-19 dan komplikasinya yang jauh lebih besar
dibandingkan risiko kekambuhan riwayat mielitis transversa atau ADEM, maka anak dengan
riwayat mielitis transversa atau ADEM dapat diberikan vaksin COVID-19 sesuai jadwal.
(Level of evidence 4, grade of recommendation C)

Kontraindikasi mutlak adalah pada pasien dengan penyakit neuroimun (mielitis transversa,
ADEM, MS) aktif yang sedang memperoleh terapi imunosupresan baik akut maupun kronik
(kortikosteroid, rituksimab, atau agen imunosupresan lain). (Level of evidence 5, grade of
recommendation C)

IV. Gangguan neurodevelopmental (neurodevelopmental disabilities, NDD) termasuk palsi


serebral (PS), sindrom Down, gangguan spektrum autism (GSA), dan disabilitas
intelektual

Pertanyaan klinis

Patient/problem Intervention Comparison Outcome


Anak dengan NDD vaksinasi COVID- tidak mendapat Risiko kejadian ikutan
(termasuk, namun 19 vaksinasi COVID- pascavaksinasi (KIPI) berat
tidak terbatas pada 19
palsi serebral, sindrom
Down, GSA, dan
disabilitas intelektual)

Strategi pencarian

Dilakukan di PubMed dengan kata kunci:


(((COVID-19) AND (vaccin*)) AND ("neurodevelopmental disability" OR
"neurodevelopmental disabilities" OR "cerebral palsy" OR "Down syndrome" OR
autism OR “intellectual disability”)) AND ("adverse effect" OR "side effect")

Dengan pembatasan pada telaah sistematis, meta-analisis, randomized clinical trial (RCT), studi
kohort, studi kasus-kontrol, atau laporan kasus.

Dilakukan pula hand search daftar pustaka artikel-artikel yang relevan.


Hasil pencarian

Ditemukan 1 artikel:
Studi Desain studi Jenis vaksin N Ringkasan Level of
evidence
Brondino dkk Potong mRNA (Pfizer) 36 Efek samping 4
(2021)23 lintang vaksin COVID-19
observasional yang ditemukan
pada orang dewasa
dengan GSA
adalah demam
subfebris (37,5oC)
pada 7/36 orang,
fatigue pada 2/36
orang, dan
peningkatan
perilaku
maladaptif selama
1 minggu
pascavaksinasi
pada 1/36 orang.

Simpulan dari evidence yang ada:


Hingga saat ini hanya terdapat 1 artikel asli mengenai risiko efek samping vaksin COVID-19
pada populasi NDD, yaitu pada orang dewasa dengan GSA. Pada populasi terbatas tersebut tidak
dijumpai peningkatan risiko efek samping berat pascavaksinasi COVID-19. Peningkatan perilaku
maladaptif pascavaksinasi dapat terjadi namun jarang dan hanya bersifat sementara.

Pertimbangan lain:
- Individu dengan GSA berat disertai gangguan sensory processing sulit untuk
menggunakan alat pelindung diri secara konsisten, sehingga semuanya dianggap berisiko
tinggi terpapar virus SARS-CoV-2.23 (Level of evidence 4)
- Anak dengan gangguan neurodevelopmental, termasuk palsi serebral, yang secara rutin
mengunjungi atau mengikuti sekolah khusus, pusat terapi, atau institusi khusus lainnya,
berisiko tinggi terpapar COVID-19 apabila terdapat outbreak di institusi tersebut.17
(Level of evidence 5)
- Pada studi observasional prospektif di Inggris, kelainan neurologis merupakan
komorbiditas tersering (11%, 65/614) pada anak dengan COVID-19 yang dirawat di
rumah sakit.24 (Level of evidence 4)
- Studi kohort prospektif pada orang dewasa dengan COVID-19 di Inggris menunjukkan
risiko perawatan rumah sakit dan kematian lebih tinggi secara bermakna pada orang
dengan sindrom Down [hazard ratio (HR) 9,8 (IK95% 4,62-20,78) pada lelaki; 32,55
(IK95% 18,13-58,42) pada perempuan], palsi serebral [HR 3,45 (IK95% 1,10-10,78)],
dan disabilitas intelektual lain [HR 1,36 (IK95% 1,11-1,65 )] dibandingkan populasi
umum.25 (Level of evidence 3)

Rekomendasi

Dalam koridor penggunaan dalam kondisi darurat (emergency use), dengan mengingat
keterbatasan data uji klinis fase 1/2 pada anak, saat ini tidak terdapat bukti adanya
peningkatan risiko KIPI berat pascavaksinasi COVID-19 pada anak dengan gangguan
neurodevelopmental. (Level of evidence 4, grade of recommendation C).

Mengingat risiko paparan COVID-19, risiko perawatan di rumah sakit, dan risiko infeksi
COVID-19 derajat berat yang lebih tinggi pada anak dengan gangguan neurodevelopmental
dibandingkan dengan anak normal, maka anak dengan gangguan neurodevelopmental perlu
mendapat vaksin COVID-19 sesuai jadwal. (Level of evidence 5, grade of recommendation
C)

Ringkasan rekomendasi

1. Anak dengan epilepsi dapat diberikan vaksin COVID-19 sesuai jadwal. Dengan
mengantisipasi kemungkinan terjadinya demam pascavaksinasi yang dapat mencetuskan
kekambuhan kejang, maka dapat diberikan antipiretik (parasetamol) secara rutin selama
48 jam pascavaksinasi. (Level of evidence 4-5, grade of recommendation C)
2. Risiko COVID-19 dan komplikasinya lebih tinggi pada anak dengan kelainan
neurologi/neuromuskular kronik, sehingga anak dalam kelompok ini perlu mendapatkan
vaksin COVID-19. (Level of evidence 5, grade of recommendation C)
3. Tidak terdapat bukti bahwa vaksinasi COVID-19 berhubungan dengan peningkatan
risiko kejadian maupun kekambuhan sindrom Guillain-Barré, mielitis transversa, dan
ADEM, sehingga pada anak dengan riwayat penyakit-penyakit tersebut dapat diberikan
vaksin COVID-19. (Level of evidence 4, grade of recommendation C)
4. Penyakit neurologis autoimun yang masih aktif merupakan kontraindikasi vaksinasi
COVID-19. Pemberian terapi imunosupresan untuk indikasi apapun merupakan
kontraindikasi mutlak vaksinasi COVID-19. (Level of evidence 5, grade of
recommendation C)
5. Tidak terdapat bukti bahwa vaksinasi COVID-19 pada anak dengan gangguan
neurodevelopmental (termasuk, namun tidak terbatas pada palsi serebral, sindrom Down,
GSA, dan disabilitas intelektual) berhubungan dengan peningkatan risiko KIPI berat.
(Level of evidence 4, grade of recommendation C)
6. Risiko paparan COVID-19, perawatan di rumah sakit, dan infeksi COVID-19 derajat
berat lebih tinggi pada anak dengan gangguan neurodevelopmental dibandingkan dengan
anak normal, sehingga anak dalam kelompok ini perlu mendapatkan vaksin COVID-19.
(Level of evidence 5, grade of recommendation C)
7. Perlu diperhatikan bahwa semua rekomendasi tersebut di atas dibuat dalam koridor
penggunaan dalam kondisi darurat (emergency use), dengan terbatasnya data pada anak
yang ada saat ini, sehingga sebagian besar rekomendasi diekstrapolasi dari data pada
orang dewasa atau merupakan pendapat ahli.
Daftar pustaka

1. Aladdin Y, Shirah B. New-onset refractory status epilepticus following the ChAdOx1 nCoV-19
vaccine. J Neuroimmunol. 2021;357:577629.
2. International League Against Epilepsy. COVID-19 vaccine and people with epilepsy. Diunduh
dari: https://www.ilae.org/patient-care/covid-19-and-epilepsy/covid-19-vaccines-and-people-
with-epilepsy. Diakses pada 4 Juli 2021.
3. Sinovac Biotech Co Ltd. Safety of an inactivated SARS-CoV-2 vaccine (CoronaVac) in children
and adolescents [protocol]. Diunduh dari: https://www.clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT04884685.
Diakses pada 5 Juli 2021.
4. Allen CM, Ramsamy S, Tarr AW, Tighe PJ, Irving WL, Tanasescu R, dkk. Guillain-Barré
syndrome variant occurring after SARS-CoV-2 vaccination. Ann Neurol. 2021;00:1-4.
5. Goss A, Samudralwar RD, Das RR, Nath A. ANA investigates: Neurological complications of
COVID-19 vaccines. Ann Neurol. 2021;89:856-7.
6. Waheed S, Bayas A, Hindi F, Rizvi Z, Espinosa PS. Neurological complications of COVID-19:
Guillain-Barré syndrome following Pfizer COVID-19 vaccine. Cureus. 2021;13:e13426.
7. Hasan T, Khan M, Khan F, Hamza G. Case of Guillain-Barré syndrome following COVID-19
vaccine. BMJ Case Rep. 2021;14:e243629.
8. Ogbebor O, Seth J, Min Z, Bhanot N. Guillain-Barré syndrome following the first dose of SARS-
CoV-2 vaccine: A temporal occurrence, not a causal association. IDCases. 2021;24:e01143.
9. Patel SU, Khurram R, Lakhani A, Quirk B. Guillain-Barre syndrome following the first dose of
the chimpanzee adenovirus-vectored COVID-19 vaccine, ChAdOx1. BMJ Case Reports.
2021;14: doi: 10.1136/bcr-2021-242956.
10. Román GC, Gracia F, Torres A, Palacio A, Gracia K, Harris D. Acute transverse myelitis (ATM):
Clinical review of 43 patients with COVID-19-associated ATM and 3 post-vaccination ATM
serious adverse events with the ChAdOx1 nCoV-19 vaccine (AZD1222). Front Immunol.
2021;12:653786.
11. Márquez Loza AM, Holroyd KB, Johnson SA, Pilgrim DM, Amato AA. Guillain-Barré syndrome
in the placebo and active arms of a COVID-19 vaccine clinical trial: Temporal associations do
not imply causality. Neurology. 2021;96:1052-4.
12. Finsterer J. Exacerbating Guillain-Barré syndrome eight days after vector-based COVID-19
vaccination. Case Reports Infect Dis. 2021;3619131.
13. Centers for Disease Control and Prevention. Interim clinical considerations for use of COVID-19
vaccines currently authorized in the United States. Diunduh dari:
https://www.cdc.gov/vaccines/covid-19/clinical-considerations/covid-19-vaccines-us.html.
Diakses pada 4 Juli 2021.
14. Keddie S, Pakpoor J, Mousele C, Pipis M, Machado PM, Foster M, dkk. Epidemiological and
cohort study finds no association between COVID-19 and Guillain-Barré syndrome. Brain.
2021;3:682-93.
15. Zivkovic SA, Gruener G, Narayanaswami P, The AANEM Quality and Patient Safety
Committee. Doctor – should I get the COVID-19 vaccine? Infection and immunization in
individuals with neuromuscular disorders. Muscle Nerve. 2021;63:294-303.
16. Moore DL. COVID-19 vaccine for children. Position statement of the Canadian Paediatric
Society Infectious Diseases and Immunization Committee. Diunduh dari:
https://cps.ca/en/documents/position/covid-19-vaccine-for-children. Diakses pada 4 Juli 2021.
17. Wong BLH, Ramsay ME, Ladhani SN. Should children be vaccinated against COVID-19 now?
Arch Dis Child. 2020;doi:10.1136/archdischild-2020-321225.
18. Etemadifar M, Sigari AA, Sedaghat N, Slari M, Nouri H. Acute relapse and poor immunization
following COVID-19 vaccination in a rituximab-treated multiple sclerosis patient. Hum Vaccin
Immunother. 2021;doi: 10.1080/21645515.2021.1928463.
19. Voysey M, Clemens SAC, Madhi SA, Weckx LY, Folegatti PM, Aley PK, dkk. Safety and
efficacy of the ChAdOx1 nCoV-19 vaccine (AZD1222) against SARS-CoV-2: an interim
analysis of four randomized controlled trials in Brazil, South Africa, and the UK. Lancet.
2021;397:99-111.
20. Achiron A, Dolev M, Menascu S, Zohar D, Dreyer-Alster S, Miron S, dkk. COVID-19
vaccination in patients with multiple sclerosis: What we have learnt by February 2021. Multiple
Sclerosis J. 2021;27:864-70.
21. Kenangil GO, Ari BC, Demir MK. Acute disseminated encephalomyelitis-like presentation after
an inactivated coronavirus vaccine. Acta Neurol Belg. 2021;doi: 10.1007/s13760-021-01699-x.
22. Frenck Jr RW, Klein NP, Kitchin N, Gurtman A, Absalon J, Lockhart S, dkk. Safety,
immunogenicity, and efficacy of the BNT162b2 Covid-19 vaccine in adolescents. N Engl J Med.
2021;doi: 10.1056/NEJM012107456.
23. Brondino N, Bertoglio F, Forneris F, Faravelli S, Borghesi A, Damiani S, dkk. A pilot study on
covid and autism: Prevalence clinical presentation and vaccine side effects. Brain Sci.
2021;11:860.
24. Swann OV, Holden KA, Turtle L, Pollock L, Fairfield CJ, Drake TM, dkk. Clinical
characteristics of children and young people admitted to hospital with covid-19 in United
Kingdom: prospective multicentre observational cohort study. BMJ. 2020;320:m3249.
25. Clift AK, Coupland CA, Keogh RH, Diaz-Ordaz K, Williamson E, Harrison EM, dkk. Living risk
prediction algorithm (QCOVID) for risk of hospital admission and mortality from coronavirus 19
in adults: National derivation and validation cohort study. BMJ. 2020;371:m3731.

Anda mungkin juga menyukai