Anda di halaman 1dari 15

METODE PENELITIAN

Pencarian literatur ilmiah dilakukan pada database jurnal elektronik


PubMed, ProQuest, dan Google Scholar dengan menggunakan Boolean operator
dengan beberapa skenario yang menggunakan kata kunci yang berbeda. Peneliti
menggunakan kata kunci “COVID-19”, “severe acute respiratory syndrome
coronavirus 2”, “2019-nCoV”, ”SARS-CoV-2”, “coronavirus”, “autoimmunity”,
“rheumatic diseases” dan “autoimmune” dengan mengeksklusikan “vaccine”
untuk pencarian artikel penelitian. Pada pencarian di PubMed, didapatkan 132
studi, 142 studi dari database ProQuest, dan 234 studi dari database Google
Scholar. Literatur yang diambil adalah yang telah dipublikasikan sejak 2020
hingga 2022. Pencarian studi dilakukan dengan menggunakan prinsip PICO
(Population, Intervention, Comparison, Outcome), yaitu mengenai efek infeksi
COVID-19 terhadap munculnya manifestasi autoimun spektrum reumatologi.
Kriteria inklusi yang digunakan adalah:
1. Studi dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia,
2. Studi berupa clinical trial, cross-sectional, cohort, case-control, dan
case report
3. Subjek penelitian tidak terbukti memiliki penyakit autoimun
sebelumnya
4. Dilakukan pemeriksaan penunjang terkait serta terbukti memiliki
penyakit autoimun yang dicurigai

Kriteria eksklusi studi adalah:


1. Studi tidak dalam full-text
2. Studi yang tidak relevan berdasarkan hasil skrining judul, abstrak, atau
hasil penelitian.
3. Studi yang terdeteksi ganda pada berbagai database jurnal hanya akan
diambil satu kali, sedangkan sisanya akan dieksklusi dari perhitungan
total studi yang diambil.
4. Studi editorial dan komentar tidak diikutkan dalam studi
5. Studi yang membahas mengenai efek vaksin COVID-19 terhadap
munculnya manifestasi klinis autoimun

Semua studi yang terskrining menggunakan keyword yang telah


disebutkan diatas. Keseluruhan jurnal yang didapatkan adalah sebanyak 508 studi
yang terdiri dari 132 studi melalui PubMed, 142 studi melalui ProQuest dan 234
studi melalui Google Scholar. Keseluruhan studi yang didapatkan tersebut
diskrining berdasarkan judul dan abstrak. Pada proses ini, tereksklusi sebanyak
450 studi sehingga tersisa 58 studi. Sebanyak 47 studi dieksklusi karena terdapat
studi yang terhitung ganda, tidak sesuai tujuan penelitian, serta merupakan
editorial atau komentar. Setelah dilakukan skrining pada isi dan pembahasan
jurnal, maka didapatkan 11 studi yang dapat digunakan sebagai dasar untuk studi
literatur.
Pencarian jurnal melalui Pubmed, ProQuest, dan Google Scholar (n=3.566)

PubMed ProQuest Google Scholar


(n=132) (n=142) (n=234)

Dilakukan pencarian jurnal berdasarkan judul dan abstrak

Tereksklusi 450 studi


 Tidak membahas secara spesifik
mengenai kejadian penyakit
autoimun spektrum reumatologi
pasca infeksi COVID-19

Didapatkan 58 studi, dilakukan pencarian studi ganda

Tereksklusi 4 studi
 Studi terhitung ganda dari
beberapa database

Didapatkan 54 studi, dilakukan review keseluruhan jurnal


mengenai hasil penelitian, kaitan dengan tujuan penulisan studi

Tereksklusi 43 studi
 15 studi tidak sesuai tujuan
penelitian
 17 studi tidak menjelaskan
secara rinci diagnosis penyakit
autoimun, ataupun tidak
menjelaskan bukti penyakit
autoimun reumatologi pasca
infeksi COVID-19

Didapatkan 11 studi yang digunakan


sebagai dasar untuk penulisan studi literatur

Gambar 4. Diagram Alur Pencarian Literatur


HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini terdiri dari 11 studi yang melibatkan 14 subjek dengan interval tahun 2020-2022

Tabel 4. Hasil Penelitian


Onset Diagnosis
Jenis Usia Diagnosis Autoimun Derajat COVID-
No. Jurnal (Penulis, Tahun, Judul) Ras Autoimun Pasca
Kelamin (tahun) Pasca COVID-19 19
COVID-19
1. Duran TI, et al (2021): ANCA-associated vasculitis after COVID-191 Laki-laki 26 Tidak dilaporkan ✓ 3 hari Sedang
(pneumonia)
2. Fineschi S (2021): Case Report: Systemic Sclerosis Laki-laki 47 Tidak dilaporkan ✓ 3 minggu Ringan
After Covid-19 Infection2
3 Lokineni S, Mortezavi M (2021): Delayed-onset Necrotizing Laki-laki 51 Tidak dilaporkan ✓ 3 bulan Sedang
Myositis following COVID-19 Infection3 (pneumonia)
4. Perrot L, et al (2021): First flare of ACPA-positive rheumatoid Perempuan 60 Kaukasia ✓ 25 hari Ringan
arthritis after SARS-CoV-2 infection4
5. Wong JRY, et al (2022): A Case of Axial Spondyloarthritis Laki-laki 66 Kaukasia ✓ 1 bulan Ringan
Triggered by SARS-CoV-2 Infection5
6 Slimani Y, et al (2020): Systemic lupus erythematosus and Perempuan 23 Tidak dilaporkan ✓ 3 hari Berat ( perawatan
varicella‐like rash following COVID‐19 in a previously healthy ICU)
patient6
7 Liew IY, et al (2020): A Case of Reactive Arthritis Secondary to Laki-laki 47 India ✓ 3 hari Tidak dijelaskan
Coronavirus Disease 2019 Infection7
8 Asiri A, et al (2022): New-Onset Henoch–Schonlein Purpura after Laki-laki <5 Tidak dilaporkan ✓ Tidak dijelaskan Tidak dijelaskan
COVID-19 Infection: A Case Report and Review of the Literature8
9 Negrini S, et al (2020): An unusual case of bullous haemorrhagic Laki-laki 79 Tidak dilaporkan ✓ 10 hari Sedang
vasculitis in a COVID-19 patient9 (pneumonia)
10 Li, NL, et al. (2021): Immunoglobulin-A Vasculitis with Renal Laki-laki 30 Kaukasia ✓ Tidak dijelaskan Ringan
Involvement in a Patient With COVID-19: A Case Report and
Review of Acute Kidney Injury Related to SARS-CoV-210
11 Nagra D, et al (2021): A Kawasaki-like illness in an adult with Laki-laki 30 Kaukasia ✓ 1 bulan Ringan
recent SARS-CoV-2 infection11
PEMBAHASAN

Penyakit autoimun merupakan salah satu spektrum penyakit yang telah


terbukti berhubungan dengan kejadian COVID-19. Penyakit autoimun yang
terjadi pasca infeksi COVID-19 memiliki manifestasi klinis yang beragam,
tergantung jenis autoimun yang muncul. Berdasarkan literatur terdahulu,
autoimun yang muncul pasca infeksi COVID-19 dapat terjadi pada sistem
muskuloskeletal, sistem saraf, kardiorespirasi, gastrointestinal, urogenital hingga
sistem hematologi.12–17 Selain itu, keterlibatan organ pada kelainan autoimun yang
terjadi, juga bervariasi dari organ spesifik hingga abnormalitas sistemik. 16 Salah
satu spektrum autoimun pasca COVID-19 yang dilaporkan adalah autoimun
reumatik.16,18 Studi literatur ini membahas lebih mendalam mengenai penyakit
autoimun yang muncul pertama kali pasca infeksi COVID-19 pada subjek tanpa
adanya riwayat penyakit autoimun sebelumnya dengan tujuan untuk menilai
keterkaitan antara COVID-19 dengan penyakit autoimun tertentu secara spesifik.

Berdasarkan hasil pencarian literatur secara sistematik, didapatkan 11 studi


kasus yang membahas mengenai penyakit autoimun khususnya spektrum reumatik
yang muncul pertama kali pasca infeksi COVID-19. Peneliti tidak menemukan
studi potong lintang, kohort ataupun kasus kontrol yang membahas mengenai
spektrum autoimun pasca COVID-19. Hal ini sangat mungkin terjadi karena
angka kejadian ataupun penemuan kasus autoimun baru pasca COVID-19 masih
sedikit. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
prevalensi dan sebaran kasus terkait, serta karakteristik populasi dengan autoimun
pasca COVID-19. Keseluruhan studi melaporkan hal yang sejalan yaitu
munculnya kasus autoimun terkait spektrum reumatik pada subjek terkonfirmasi
COVID-19 yang sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit autoimun apapun.

Dari keseluruhan studi yang digunakan, 2 studi tidak menjelaskan onset


diagnosis autoimun sejak terinfeksi COVID-19, sedangkan 9 studi lainnya
menjelaskan secara spesifik. Peneliti menilai pentingnya onset diagnosis autoimun
tersebut, karena terdapat hipotesis yang sangat kuat mengenai kaitan antara
sindrom post COVID-19 dengan kejadian autoimun. Studi Rojas M, et al (2022)
yang berjudul “Autoimmunity is a hallmark of post-COVID-19 syndrome”
menunjukkan bahwa kejadian autoimun pasca infeksi COVID-19 merupakan
salah satu tanda sindrom post-COVID-19. Berbagai autoantibodi yang muncul
pada subjek penelitian, terbukti berkorelasi positif secara signifikan dengan
antibodi IgG anti-SARS-CoV-2.19 Lebih lanjut, Center of Disease Control and
Prevention beserta beberapa studi terdahulu menunjukkan bahwa durasi rerata
antibodi IgM dan IgG anti SARS-CoV-2 untuk terdeteksi adalah sekitar 1-3
minggu pasca infeksi, tetapi IgM akan mengalami penurunan kadar signifikan
yang lebih cepat dibandingkan dengan IgG.19–21 Rojas M, et al (2022) juga
menjelaskan secara spesifik, bahwa antibodi IgG anti-SARS-CoV-2 yang muncul
selama infeksi COVID-19 memiliki kadar yang berkorelasi dengan kadar berbagai
autoantibodi yang dideteksi dengan pemeriksaan serologi.19 Oleh karena itu,
dengan mengetahui durasi onset diagnosis COVID-19 dan onset keluhan serta
diagnosis kelainan autoimun yang muncul, peneliti berasumsi bahwa korelasi
antibodi keduanya dapat dibuktikan dengan lebih baik, serta dapat digunakan
sebagai acuan dalam tatalaksana manifesstasi autoimun pada pasien yang telah
terinfeksi COVID-19, baik yang sudah sembuh ataupun yang masih dalam status
infeksi aktif COVID-19.

Kemudian, mekanisme terjadinya autoimun pasca infeksi COVID-19 juga


dijelaskan dalam berbagai mekanisme. Mekanisme pertama adalah SARS-CoV-2
dapat berperan sebagai pencetus langsung terjadinya proses autoimun dan/atau
autoinflamasi dengan cara “molecular mimicry” atau mekanisme lainnya yang
belum diketahui dengan jelas. Mekanisme kedua adalah adanya proses inflamasi
dan disregulasi respon imun setelah infeksi SARS-COV-2 yang secara sinergi
dengan berbagai faktor lingkungan menjadi penyebab sekaligus pencetus
terjadinya autoimun pada subjek.20 Macela A, et al (2021) lebih lanjut
menyebutkan bahwa produksi autoantibodi yang terjadi pasca infeksi COVID-19
merupakan hasil dari interaksi antara molekul imunogenik virus (pathogen-
associated molecular patterns) dengan molekul imunogenik sel inang (Danger-
associated molecular patterns). Kemudian, studi ini juga menilai bahwa
terlambatnya pengenalan molekul imunogenik sel inang terhadap virus saat
infeksi akut, menyebabkan akumulasi autoantigen, sehingga risiko terbentuknya
antibodi terhadap virus bersamaan dengan autoantibodi terhadap autoantigen
semakin besar.22 Canas CA, et al (2020) memperjelas mekanisme munculnya
disregulasi imun, yaitu terjadinya respon imunosupresi disertai kegagalan
mengenali autoantigen saat infeksi akut SARS-CoV-2 akan diikuti oleh respon
rekonstitusi imun. Rekonstitusi imun akan menyebabkan amplifikasi anomali ini,
yang akan menyebabkan munculnya manifestasi autoimun.23

Istilah lain yang juga dikaitkan dengan keadaan autoimun pasca COVID-
19 adalah multisystem inflammatory syndrome in adults (MIS-A). CDC
mendefinisikan MIS-A sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan demam
(≥38˚C) selama ≥24 jam, adanya bukti inflamasi sistemik dengan penanda
inflamasi yang meningkat, keterlibatan lebih dari dua organ, tidak ada kausal lain
yang mungkin menjadi penyebab manifestasi serta terbukti telah mengalami
infeksi SARS-CoV-2 dalam beberapa waktu sebelumnya melalui RT-PCT,
pemeriksaan serologi, tes antigen ataupun adanya riwayat paparan terhadap kasus
suspek atau terkonfirmasi COVID-19.24 Respon imun yang dipicu oleh infeksi
COVID-19 dapat menyebabkan proses inflamasi berkelanjutan dan perubahan
regulasi imun subjek sehingga berpotensi menyebabkan disregulasi sistem imun
dan cara sistem imun merespons zat antigenik. Hal inilah yang berpotensi
terbentuknya autoantibodi terhadap autoantigen sehingga timbul manifestasi
autoimun pada subjek.24,25

Peneliti menemukan dua studi yang melibatkan subjek dengan ras Asia,7,8
sedangkan 9 studi lainnya dilakukan di negara di Benua Eropa dan Amerika pada
subjek berkulit putih.1–6,9–11 Peneliti tidak menemukan perbedaan signifikan pada
karakteristik, derajat infeksi SARS-CoV-2 ataupun onset diagnosis autoimun pada
kedua kelompok kedua kelompok subjek. Walaupun demikian, peneliti tidak
dapat menyimpulkan secara langsung bahwa tidak terdapat kaitan antara ras
dengan munculnya autoimun pada subjek. Hal ini dikarenakan penelitian yang
digunakan sebagai dasar penulisan studi literatur ini berupa studi kasus dengan
jumlah subjek yang sangat sedikit. Pengambilan kesimpulan secara langsung
dapat memicu hasil yang bias dan sulit untuk digeneralisasikan. Apabila
dibandingkan dengan hasil studi literatur ini, hasil yang berbeda ditemukan pada
berbagai studi terdahulu yang menilai prognosis pasien dengan COVID-19 dan
penyakit autoimun. Gianfrancesco MA, et al (2021) dalam studinya yang berjudul
“Association of Race and Ethnicity With COVID-19 Outcomes in Rheumatic
Disease: Data From the COVID-19 Global Rheumatology Alliance Physician
Registry” menilai bahwa ras merupakan salah satu faktor prognostik pasien
dengan COVID-19 dan penyakit autoimun. Subjek ras Afrika-Amerika, Latin dan
Asia memiliki risiko lebih tinggi untuk dirawat di rumah sakit, walaupun tidak
ditemukan peningkatan angka mortalias pada kelompok ini.26 Nalbandian A, et al
(2021) juga melaporkan hal yang sejalan. Kelompok subjek berkulit hitam, ras
Asia dan minoritas lain selain ras kulit putih memiliki risiko untuk mengalami
berbagai keluhan terkait post-acute COVID-19 syndrome serta berbagai
manifestasi klinis yang dikaitkan dengan penyakit autoimun pasca infeksi
COVID-19.27

Berdasarkan karakteristik subjek, studi literatur ini tidak menemukan


kecenderungan usia terjadinya penyakit autoimun pasca infeksi COVID-19 pada
keseluruhan subjek yang diteliti. Hal ini didasarkan sebaran usia yang mengalami
kejadian autoimun berdasarkan hasil literatur sangat bervariasi, yaitu dari usia di
bawah 5 tahun hingga kelompok usia lansia (usia maksimal penderita yang
ditemukan adalah 79 tahun). Hal ini perlu dipertimbangkan bahwa kejadian
disregulasi imun pada pasien COVID-19 tidak hanya terjadi pada satu kelompok
usia, tetapi pada semua kelompok usia. Walaupun demikian, berbagai studi
terdahulu menunjukkan bahwa terdapat kaitan antara usia dengan ekspresi
autoantibodi IgG yang berkaitan dengan proses autoimun. Rojas M, et al (2022)
melaporkan bahwa usia menjadi salah satu faktor independen yang berpengaruh
terhadap munculnya autoantibodi pada pasien pasca infeksi COVID-19. 19 Liu M,
et al (2020) melaporkan bahwa pasien dengan COVID-19 dan penyakit autoimun
yang muncul setelahnya memiliki kecenderungan terjadi pada usia paruh baya
hingga lanjut usia.28 Pendapat lain oleh Bastard P, et al (2021), lebih spesifik
menunjukkan bahwa subjek usia lanjut (diatas 70 tahun) memiliki tendensi lebih
tinggi terhadap munculnya autoantibodi, karena disregulasi imun dengan
intensitas yang lebih bermakna pada kelompok usia ini.29

Faktor lain yang juga dinilai dalam studi literatur ini adalah keterkaitan
jenis kelamin dengan kasus autoimun pasca COVID-19. Studi menunjukkan
bahwa dari 14 subjek yang diteliti dalam berbagai literatur, 11 subjek berjenis
kelamin laki-laki dan 3 subjek berjenis kelamin perempuan. Hal ini sedikit
berbeda dengan teori yang telah ada sebelumnya. Literatur menunjukkan bahwa
perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami proses
autoimunitas dibandingkan laki-laki. Liu Y, et al (2021) dalam studinya yang
berjudul “Paradoxical sex-specific patterns of autoantibody response to SARS-
CoV-2 infection” meneliti secara spesifik mengenai hubungan antara jenis kelamin
dengan pola pembentukan autoantibodi pasca infeksi COVID-19. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa wanita memiliki predominansi untuk membentuk
autoantibodi pasca infeksi SARS-CoV-2 asimtomatik, tetapi pria memiliki
predominansi untuk memiliki autoantibodi dengan jumlah yang lebih banyak
dengan jenis autoantibodi yang lebih bervariasi, terutama pada infeksi SARS-
CoV-2 derajat ringan hingga berat.30 Salah satu hal yang dapat menjelaskan hal
tersebut adalah hormon estrogen yang menjadi salah satu faktor utama yang
meningkatkan risiko dan kerentanan subjek berjenis kelamin perempuan untuk
menderita penyakit autoimun.30,31 Lebih lanjut, Taneja V (2018) menjelaskan
bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk memproduksi antibodi dalam
jumlah yang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Peningkatan reaktivitas imun
ini menyebabkan perempuan menjadi lebih kebal terhadap penyakit infeksi, tetapi
menjadi lebih rentan untuk mengalami disregulasi imun; salah satu faktor utama
terjadinya autoimun.32

Tidak ada satupun studi yang menjelaskan adanya riwayat penyakit


autoimun dalam keluarga subjek yang menderita autoimun pasca COVID-19.
Peneliti menilai bahwa hal studi kasus tersebut bertujuan untuk menururnkan
risiko bias; apakah kejadian autoimun yang terjadi merupakan proses yang
terinduksi oleh infeksi SARS-CoV-2 atau merupakan proses reaktivasi penyakit
autoimun yang telah dideritanya. Walaupun demikian, berbagai hipotesis telah
dikemukakan bahwa terdapat peran genetik dalam proses terjadinya autoimunitas
pasca infeksi SARS-CoV-2. Lima LF, et al (2021) menyebutkan bahwa adanya
riwayat penyakit autoimun dalam keluarga menjadi faktor independent terjadinya
autoimun pasca COVID-19.33 Hal ini juga disebutkan oleh Knight JS, et al (2021)
dan Karaderi T, et al (2020); terjadi peningkatan risiko terjadinya proses autoimun
pada subjek dengan riwayat penyakit autoimun dalam keluarga sedarah.34,35 Hal
ini terjadi karena subjek dengan riwayat autoimun dalam keluarga memiliki bakat
terjadinya disregulasi imun. Ketika infeksi SARS-CoV-2 terjadi, maka proses
disfungsi imun akibat infeksi tersebut akan mengalami amplifikasi secara sinergis
dengan defek genetic tersebut. Hal ini akan meningkatkan risiko terjadinya
autoimun.33,35

Secara keseluruhan, data hasil studi literatur menunjukkan adanya


kemungkinan peran infeksi SARS-CoV-2 terhadap munculnya penyakit autoimun
pada subjek yang tidak memiliki riwayat penyakit autoimun sebelumnya.
Walaupun demikian, peneliti menilai bahwa pernyataan ini belum dapat diakui
sepenuhnya. Walaupun hasil penelitian ditunjang oleh berbagai hipotesis
sebelumnya, belum banyak kasus autoimun de novo pasca COVID-19 yang
diteliti. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang melibatkan
jumlah subjek yang lebih besar untuk membuktikan pernyataan tersebut untuk
mencegah adanya bias dalam pengambilan kesimpulan mengenai hal ini.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi literatur yang dilakukan pada 11 studi kasus
mengenai penyakit autoimun pasca COVID-19, dapat disimpulkan bahwa:
1. Manifestasi penyakit autoimun pasca COVID-19 sangat
bervariasi, yaitu vasculitis dengan yang berbeda, sklerosis
sistemik, myositis, rheumatoid artritis, spondiloartropati
seronegatif, SLE, artritis reaktif, Henoch-schonlein purpura,
serta penyakit Kawasaki.
2. Onset diagnosis penyakit autoimun dari onset terdiagnosisnya
COVID-19 bervariasi dari tiga hari hingga satu bulan
3. Penderita penyakit autoimun pasca COVID-19 tergolong dalam
ras Asia (18,2%) dan ras Eropa dan Amerika (81,8%),
predominansi laki-laki (78,6%), serta tergolong dalam usia yang
bervariasi, dengan rentang usia 5-79 tahun.
4. Keseluruhan subjek tidak memiliki riwayat penyakit autoimun
sebelum terdiagnosis COVID-19 yang menunjukkan adanya
potensi induksi autoimunitas pasca COVID-19

5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Penelitian yang digunakan sebagai dasar penulisan studi literatur
hendaknya menggunakan studi dengan jumlah subjek dengan
skala yang lebih besar untuk menurunkan risiko bias
2. Penggunaan keyword juga mungkin masih berpotensi
menyebabkan bias pada saat pencarian literatur pada database
jurnal. Oleh karena itu, diharapkan pada penelitian selanjutnya
untuk menyajikan data dengan pertimbangan peneliti lebih dari
satu untuk meminimalkan bias pencarian dan skrining pada studi
literatur. Hal ini akan berdampak pada gambaran autoimun
pasca COVID-19 yang lebih baik serta dapat menjawab tujuan
penelitian ini dengan lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Izci Duran T, Turkmen E, Dilek M, Sayarlioglu H, Arik N. ANCA-


associated vasculitis after COVID-19. Rheumatol Int. 2021 Aug
7;41(8):1523–9.
2. Fineschi S. Case Report: Systemic Sclerosis After Covid-19 Infection. Front
Immunol. 2021 Jun 28;12.
3. Sravani Lokineni, Mahta Mortezavi. Delayed-onset Necrotizing Myositis
following COVID-19 Infection. Eur J Case Rep Intern Med. 2021 Apr 20;
(Vol 8 No 4).
4. Perrot L, Hemon M, Busnel JM, Muis-Pistor O, Picard C, Zandotti C, et al.
First flare of ACPA-positive rheumatoid arthritis after SARS-CoV-2
infection. Lancet Rheumatol. 2021 Jan;3(1):e6–8.
5. Wong JRY, Zhu L, Shah S, Gadikoppula S. A Case of Axial
Spondyloarthritis Triggered by SARS-CoV-2 Infection. Cureus. 2022 Mar
5;
6. Slimani Y, Abbassi R, el Fatoiki F, Barrou L, Chiheb S. Systemic lupus
erythematosus and varicella‐like rash following COVID‐19 in a previously
healthy patient. J Med Virol. 2021 Feb 28;93(2):1184–7.
7. Liew IY, Mak TM, Cui L, Lim XR. A Case of Reactive Arthritis Secondary
to Coronavirus Disease 2019 Infection. Vol. 1. 2020. p. 1–1.
8. Asiri A, Alzahrani F, Alshehri S, Hassan AbdelQadir Y. New-Onset
Henoch–Schonlein Purpura after COVID-19 Infection: A Case Report and
Review of the Literature. Case Rep Pediatr. 2022 Mar 29;2022:1–5.
9. Negrini S, Guadagno A, Greco M, Parodi A, Burlando M. An unusual case
of bullous haemorrhagic vasculitis in a COVID‐19 patient. Journal of the
European Academy of Dermatology and Venereology. 2020 Nov 6;34(11).
10. Li NL, Papini AB, Shao T, Girard L. Immunoglobulin-A Vasculitis With
Renal Involvement in a Patient With COVID-19: A Case Report and
Review of Acute Kidney Injury Related to SARS-CoV-2. Can J Kidney
Health Dis. 2021 Jan 5;8:205435812199168.
11. Nagra D, Russell MD, Rosmini S, Sado D, Buazon A, Shafi T, et al. A
Kawasaki-like illness in an adult with recent SARS-CoV-2 infection.
Rheumatol Adv Pract. 2021 May 4;5(2).
12. Gaignard ME, Lieberherr S, Schoenenberger A, Benz R. Autoimmune
Hematologic Disorders in Two Patients After mRNA COVID-19 Vaccine.
Hemasphere. 2021 Aug;5(8):e618.
13. Datta SD, Talwar A, Lee JT. A Proposed Framework and Timeline of the
Spectrum of Disease Due to SARS-CoV-2 Infection. JAMA. 2020 Dec
8;324(22):2251.
14. Yazdanpanah N, Rezaei N. Autoimmune complications of COVID‐19. J
Med Virol. 2022 Jan 31;94(1):54–62.
15. Kaulen LD, Doubrovinskaia S, Mooshage C, Jordan B, Purrucker J,
Haubner C, et al. Neurological autoimmune diseases following vaccinations
against SARS‐CoV‐2: a case series. Eur J Neurol. 2022 Feb 31;29(2):555–
63.
16. Gracia-Ramos AE, Martin-Nares E, Hernández-Molina G. New Onset of
Autoimmune Diseases Following COVID-19 Diagnosis. Cells. 2021 Dec
20;10(12):3592.
17. Maserejian NN, Curto T, Hall SA, Wittert G, McKinlay JB. Reproductive
History and Progression of Lower Urinary Tract Symptoms in Women:
Results From a Population-based Cohort Study. Urology. 2014
Apr;83(4):788–94.
18. Tang KT, Hsu BC, Chen DY. Autoimmune and Rheumatic Manifestations
Associated With COVID-19 in Adults: An Updated Systematic Review.
Front Immunol. 2021 Mar 12;12.
19. Rojas M, Rodríguez Y, Acosta-Ampudia Y, Monsalve DM, Zhu C, Li QZ,
et al. Autoimmunity is a hallmark of post-COVID syndrome. J Transl Med.
2022 Dec 16;20(1):129.
20. Galeotti C, Bayry J. Autoimmune and inflammatory diseases following
COVID-19. Nat Rev Rheumatol. 2020 Aug 4;16(8):413–4.
21. Center for Disease Control and Prevention. Interim Guidelines for COVID-
19 Antibody Testing in Clinical and Public Health Settings. Center for
Disease Control and Prevention. 2022. p. 1–4.
22. Macela A, Kubelkova K. Why Does SARS-CoV-2 Infection Induce
Autoantibody Production? Pathogens. 2021 Mar 22;10(3):380.
23. Cañas CA. The triggering of post-COVID-19 autoimmunity phenomena
could be associated with both transient immunosuppression and an
inappropriate form of immune reconstitution in susceptible individuals. Med
Hypotheses. 2020 Dec;145:110345.
24. Patel P, DeCuir J, Abrams J, Campbell AP, Godfred-Cato S, Belay ED.
Clinical Characteristics of Multisystem Inflammatory Syndrome in Adults.
JAMA Netw Open. 2021 Sep 22;4(9):e2126456.
25. Ahmad F, Ahmed A, Rajendraprasad SS, Loranger A, Gupta S, Velagapudi
M, et al. Multisystem inflammatory syndrome in adults: A rare sequela of
SARS-CoV-2 infection. International Journal of Infectious Diseases. 2021
Jul;108:209–11.
26. Gianfrancesco MA, Leykina LA, Izadi Z, Taylor T, Sparks JA, Harrison C,
et al. Association of Race and Ethnicity With COVID‐19 Outcomes in
Rheumatic Disease: Data From the COVID‐19 Global Rheumatology
Alliance Physician Registry. Arthritis & Rheumatology. 2021 Mar
2;73(3):374–80.
27. Nalbandian A, Sehgal K, Gupta A, Madhavan M v., McGroder C, Stevens
JS, et al. Post-acute COVID-19 syndrome. Nat Med. 2021 Apr
22;27(4):601–15.
28. Liu M, Gao Y, Zhang Y, Shi S, Chen Y, Tian J. The association between
severe or dead COVID-19 and autoimmune diseases: A systematic review
and meta-analysis. Journal of Infection. 2020 Sep;81(3):e93–5.
29. Bastard P, Gervais A, le Voyer T, Rosain J, Philippot Q, Manry J, et al.
Autoantibodies neutralizing type I IFNs are present in ~4% of uninfected
individuals over 70 years old and account for ~20% of COVID-19 deaths.
Sci Immunol. 2021 Aug 10;6(62).
30. Liu Y, Ebinger JE, Mostafa R, Budde P, Gajewski J, Walker B, et al.
Paradoxical sex-specific patterns of autoantibody response to SARS-CoV-2
infection. J Transl Med. 2021 Dec 30;19(1):524.
31. Voskuhl R. Sex differences in autoimmune diseases. Biol Sex Differ.
2011;2(1):1.
32. Taneja V. Sex Hormones Determine Immune Response. Front Immunol.
2018 Aug 27;9.
33. Freire-de-Lima L, Scovino AM, Barreto Menezes CC, Marques da Fonseca
L, Santos dos Reis J, Rodrigues da Costa Santos MA, et al. Autoimmune
Disorders &amp; COVID-19. Medicines. 2021 Sep 28;8(10):55.
34. Knight JS, Caricchio R, Casanova JL, Combes AJ, Diamond B, Fox SE, et
al. The intersection of COVID-19 and autoimmunity. Journal of Clinical
Investigation. 2021 Dec 15;131(24).
35. Karaderi T, Bareke H, Kunter I, Seytanoglu A, Cagnan I, Balci D, et al.
Host Genetics at the Intersection of Autoimmunity and COVID-19: A
Potential Key for Heterogeneous COVID-19 Severity. Front Immunol. 2020
Dec 22;11.
 

Anda mungkin juga menyukai