LR Michael - 3 Des Bab 3-4 Rev 1
LR Michael - 3 Des Bab 3-4 Rev 1
Tereksklusi 4 studi
Studi terhitung ganda dari
beberapa database
Tereksklusi 43 studi
15 studi tidak sesuai tujuan
penelitian
17 studi tidak menjelaskan
secara rinci diagnosis penyakit
autoimun, ataupun tidak
menjelaskan bukti penyakit
autoimun reumatologi pasca
infeksi COVID-19
Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini terdiri dari 11 studi yang melibatkan 14 subjek dengan interval tahun 2020-2022
Istilah lain yang juga dikaitkan dengan keadaan autoimun pasca COVID-
19 adalah multisystem inflammatory syndrome in adults (MIS-A). CDC
mendefinisikan MIS-A sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan demam
(≥38˚C) selama ≥24 jam, adanya bukti inflamasi sistemik dengan penanda
inflamasi yang meningkat, keterlibatan lebih dari dua organ, tidak ada kausal lain
yang mungkin menjadi penyebab manifestasi serta terbukti telah mengalami
infeksi SARS-CoV-2 dalam beberapa waktu sebelumnya melalui RT-PCT,
pemeriksaan serologi, tes antigen ataupun adanya riwayat paparan terhadap kasus
suspek atau terkonfirmasi COVID-19.24 Respon imun yang dipicu oleh infeksi
COVID-19 dapat menyebabkan proses inflamasi berkelanjutan dan perubahan
regulasi imun subjek sehingga berpotensi menyebabkan disregulasi sistem imun
dan cara sistem imun merespons zat antigenik. Hal inilah yang berpotensi
terbentuknya autoantibodi terhadap autoantigen sehingga timbul manifestasi
autoimun pada subjek.24,25
Peneliti menemukan dua studi yang melibatkan subjek dengan ras Asia,7,8
sedangkan 9 studi lainnya dilakukan di negara di Benua Eropa dan Amerika pada
subjek berkulit putih.1–6,9–11 Peneliti tidak menemukan perbedaan signifikan pada
karakteristik, derajat infeksi SARS-CoV-2 ataupun onset diagnosis autoimun pada
kedua kelompok kedua kelompok subjek. Walaupun demikian, peneliti tidak
dapat menyimpulkan secara langsung bahwa tidak terdapat kaitan antara ras
dengan munculnya autoimun pada subjek. Hal ini dikarenakan penelitian yang
digunakan sebagai dasar penulisan studi literatur ini berupa studi kasus dengan
jumlah subjek yang sangat sedikit. Pengambilan kesimpulan secara langsung
dapat memicu hasil yang bias dan sulit untuk digeneralisasikan. Apabila
dibandingkan dengan hasil studi literatur ini, hasil yang berbeda ditemukan pada
berbagai studi terdahulu yang menilai prognosis pasien dengan COVID-19 dan
penyakit autoimun. Gianfrancesco MA, et al (2021) dalam studinya yang berjudul
“Association of Race and Ethnicity With COVID-19 Outcomes in Rheumatic
Disease: Data From the COVID-19 Global Rheumatology Alliance Physician
Registry” menilai bahwa ras merupakan salah satu faktor prognostik pasien
dengan COVID-19 dan penyakit autoimun. Subjek ras Afrika-Amerika, Latin dan
Asia memiliki risiko lebih tinggi untuk dirawat di rumah sakit, walaupun tidak
ditemukan peningkatan angka mortalias pada kelompok ini.26 Nalbandian A, et al
(2021) juga melaporkan hal yang sejalan. Kelompok subjek berkulit hitam, ras
Asia dan minoritas lain selain ras kulit putih memiliki risiko untuk mengalami
berbagai keluhan terkait post-acute COVID-19 syndrome serta berbagai
manifestasi klinis yang dikaitkan dengan penyakit autoimun pasca infeksi
COVID-19.27
Faktor lain yang juga dinilai dalam studi literatur ini adalah keterkaitan
jenis kelamin dengan kasus autoimun pasca COVID-19. Studi menunjukkan
bahwa dari 14 subjek yang diteliti dalam berbagai literatur, 11 subjek berjenis
kelamin laki-laki dan 3 subjek berjenis kelamin perempuan. Hal ini sedikit
berbeda dengan teori yang telah ada sebelumnya. Literatur menunjukkan bahwa
perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami proses
autoimunitas dibandingkan laki-laki. Liu Y, et al (2021) dalam studinya yang
berjudul “Paradoxical sex-specific patterns of autoantibody response to SARS-
CoV-2 infection” meneliti secara spesifik mengenai hubungan antara jenis kelamin
dengan pola pembentukan autoantibodi pasca infeksi COVID-19. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa wanita memiliki predominansi untuk membentuk
autoantibodi pasca infeksi SARS-CoV-2 asimtomatik, tetapi pria memiliki
predominansi untuk memiliki autoantibodi dengan jumlah yang lebih banyak
dengan jenis autoantibodi yang lebih bervariasi, terutama pada infeksi SARS-
CoV-2 derajat ringan hingga berat.30 Salah satu hal yang dapat menjelaskan hal
tersebut adalah hormon estrogen yang menjadi salah satu faktor utama yang
meningkatkan risiko dan kerentanan subjek berjenis kelamin perempuan untuk
menderita penyakit autoimun.30,31 Lebih lanjut, Taneja V (2018) menjelaskan
bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk memproduksi antibodi dalam
jumlah yang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Peningkatan reaktivitas imun
ini menyebabkan perempuan menjadi lebih kebal terhadap penyakit infeksi, tetapi
menjadi lebih rentan untuk mengalami disregulasi imun; salah satu faktor utama
terjadinya autoimun.32
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi literatur yang dilakukan pada 11 studi kasus
mengenai penyakit autoimun pasca COVID-19, dapat disimpulkan bahwa:
1. Manifestasi penyakit autoimun pasca COVID-19 sangat
bervariasi, yaitu vasculitis dengan yang berbeda, sklerosis
sistemik, myositis, rheumatoid artritis, spondiloartropati
seronegatif, SLE, artritis reaktif, Henoch-schonlein purpura,
serta penyakit Kawasaki.
2. Onset diagnosis penyakit autoimun dari onset terdiagnosisnya
COVID-19 bervariasi dari tiga hari hingga satu bulan
3. Penderita penyakit autoimun pasca COVID-19 tergolong dalam
ras Asia (18,2%) dan ras Eropa dan Amerika (81,8%),
predominansi laki-laki (78,6%), serta tergolong dalam usia yang
bervariasi, dengan rentang usia 5-79 tahun.
4. Keseluruhan subjek tidak memiliki riwayat penyakit autoimun
sebelum terdiagnosis COVID-19 yang menunjukkan adanya
potensi induksi autoimunitas pasca COVID-19
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Penelitian yang digunakan sebagai dasar penulisan studi literatur
hendaknya menggunakan studi dengan jumlah subjek dengan
skala yang lebih besar untuk menurunkan risiko bias
2. Penggunaan keyword juga mungkin masih berpotensi
menyebabkan bias pada saat pencarian literatur pada database
jurnal. Oleh karena itu, diharapkan pada penelitian selanjutnya
untuk menyajikan data dengan pertimbangan peneliti lebih dari
satu untuk meminimalkan bias pencarian dan skrining pada studi
literatur. Hal ini akan berdampak pada gambaran autoimun
pasca COVID-19 yang lebih baik serta dapat menjawab tujuan
penelitian ini dengan lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA