Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
“(Emosi dan Suasana Hati )”.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang tentang“(Emosi dan Suasana
Hati)” ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penulis
1
DAFTAR ISI Hal
DAFTAR ISI............................................................................................................ 2
BAB I ....................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ...................................................................................................3
BAB II...................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ......................................................................................................4
2.7 Aplikasi Perilaku Organisasi terhadap Emosi dan Suasana Hati ..................................... 9
KESIMPULAN ......................................................................................................11
2
BAB I
PENDAHULUAN
Emosi sangat berpengaruh di tempat kerja. Perilaku organisasi kini sangat gencar
untuk membahas mengenai topik tentang emosi.
Pertama adalah mitos rasionalitas. Sampai baru-baru ini, protokol dunia kerja
membatasi emosi. Sebuah organisasi yang dijalankan dengan baik tidaknya mengizinkan
pekerja menunjukkann emosi mereka yang dianggap merupakan antitesis dari
rasionalitas. Meskipun para peneliti dan manajer mengetahui emosi adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, mereka mencoba menciptakan organisasi
yang bebas emosi. Dan hal itu tidaklah mungkin.
Kedua adalah banyak yang percaya emosi bersifat merusak. Para peneliti melihat
pada emosi negatif lebih kuat, terutama amarah yang mengganggu kemampuan bekerja
secara efektif. Mereka jarang memandang emosi itu konstruktif atau berkontribusi dalam
memperbaiki kinerja.
Memang beberapa emosi khususnya yang ditampilkan pada saat yang salah, dapat
menurunkan kinerja. Tetapi para pekerja nyatanya membawa emosi mereka saat bekerja
setiap hari dan tidak ada studi perilaku yang komprehensif tanpa mempertimbangkan
persn emosi dalam perilaku di tempat kerja.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Emosi Dasar
Psikolog mencoba mengidentifikasi emosi dasar dengan mempelajari ekspresi wajah,
tetapi meeka menemukan bahwa proses itu sulit. Hal tersebut dikarenakan beberapa emosi
terlalu kompleks untuk dengan mudah direpresentasikan oleh wajah kita. Budaya juga
memiliki norma-norma yang mengatur ekspresi emosional, jadi cara kita mengalami sebuah
emosi tidak selalu sama dengan bagaimana kita menunjukkannya.
Suasana Hati Dasar : Afeksi Positif Dan Negatif
Emosi positif seperti kebahagiaan dan rasa syukur-mengungkapkan evaluasi atau perasaan
menyenangkan.Emosi negatif seperti amarah atau rasa bersalah-mengungkapkan sebaliknya.
Tetapi ingatlah bahwa emosi tidak bisa netral.
Afeksi positif (positive affect) adalah sebuah dimensi suasana hati yang terdiri atas emosi-
emosi positif spesifik seperti bersemangat, kewaspadaan dan sangat gembira pada ujung
paling tinggi dan kepuasan, ketenangan dan kedamaian pada ujung paling rendah.
Afeksi negatif (negative affect) adalah sebuah dimensi suasana hatiyang terdiri atas emosi-
emosi seperti kegugupan, stres dan kecemasan pada akhir tinggi dan kebosanan, depresi dan
kelesuan pada akhir rendah. Kompensasi positivitas (positivity offset) adalah kecenderungan
kebanyakan individu untuk mengalami suasana hati positif ringan pada masukan nol (saat
tidak ada hal tertentu yang terjadi).
4
Apakah Emosi Menyebabkan Kita Bersikap Tidak Etis ?
Sebelumnya diyakini bahwa, seperti halnya pengambilan keputusan secara
umum, kebanyakan pengambilan keputusan etis didasarkan pada proses kognitif urutan yang
lebih yinggi tetapi riset mengenai emosi moral semakin mempertanyakan perspektif ini.
Contoh emosi moral adalah simpati terhadap orang lain, kemarahan terhadap ketidakadilan
yang dialami. Sejumlah studi menyatakan reaksi-reaksi ini umumnya didasarkan pada
perasaan dibandingkan kognitif semata.
5
karena hal tersebut memperburuk pengambilan keputusan dan membuatnya sulit untuk
mengontrol emosi.
g. Olahraga
Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa olahraga meningkatkan suasana hati
positif, tetapi tampaknya berpengaruh kuat terhadap mereka yang mengalami depresi.
h. Usia
Suatu penelitian terhadap orang-orang yang berusia 18 hingga 94 tahun
mengungkapkan bahwa emosi negatif tampaknya semakin jarang terjadi seiring
bertambahnya usia seseorang. Bagi seseorang yang lebih tua, suasana hati positif yang tinggi
bertahan lebih lama dan suasana hati yang buruk menghilang dengan lebih cepat.
i. Jenis Kelamin
Sudah menjadi keyakina umum bahwa wanita lebih menggunakan perasaan mereka
dibandingkan pria—bahwa mereka bereaksi lebih secara emosional dan mampu membaca
emosi orang lain dengan lebih baik.
6
mendorong reaksi emosional positif atau negatif yang diterima oleh kepribadian dan suasana
hati pekerja.
Jadi, AET memberikan dua pesan penting. Pertama, emosi memberikan pandangan
yang berharga tentang bagaimana peristiwa yang menjengkelkan dan menyenangkan di
tempat kerja memengaruhi kinerja pekerja serta kepuasannya. Kedua, pekerja dan manajer
seharusnya tidak mengabaikan emosi atau peristiwa yang menyebabkannya, walaupun
mereka tampaknya sepele, tetapi mereka akan terakumulasi.
Kecerdasan emosional telah menjadi sebuah konsep yang kontroversial dalam perilaku
organisasi, dengan argumen-argumen yang mendukung dan menentang viabilitasnya.
Argumen yang mendukung kecerdasan emosional, antara lain :
· Daya Tarik Intuitif
Intuisi menyatakan orang yang dapat mendeteksi emosi orang lain, mengendalikan
emosinya sendiri, dan mengendalikan interaksi sosial dengan baik, memiliki posisi yang kuat
dalam dunia bisnis.
· Kecerdasan Emosional Memprediksi Kriteria yang Berarti
Semakin tinggi level kecerdasan emosional berarti seseorang akan berkinerja baik dalam
pekerjaan. Sebuah tinjauan atas studi mengindikasikan bahwa, secara keseluruhan,
kecerdasan emosional secara lemah tetapi secara konsisten positif berkorelasi dengan kinerja,
bahkan setelah para peneliti memperhitungkan kemampuan kognitif, kehati-hatian, dan
rasionalitas.
· Kecerdasan Emosional Berdasarkan Biologi
Sebuah studi menyatakan bahwa kecerdasan emosional berdasarkan neurologi dengan
cara yang tidak berhubungan dengan ukuran standar kecerdasan. Ada juga bukti bahwa
7
kecerdasan emosional dipengaruhi genetik, yang selanjutnya mendukung pendapat bahwa
kecerdasan emosional mengukur sebuah faktor biologis mendasar yang nyata.
Kecerdasan emosional juga mendapat banyak kritik, antara lain :
· Para Peneliti Kecerdasan Emosional Tidak Sepakat tentang Definisi
Para peneliti menggunakan definisi kecerdasan emosional yang berbeda-beda. Ada yang
memandang kecerdasan emosional sebagai ragam ide yang luas yang dapat diukur dengan
melaporkan sendiri, ada juga yang dihubungkan secara utama oleh fakta yang tidak satu pun
dari mereka sama dengan kecerdasan kognitif. Bukan hanya definisi yang berbeda, tetapi
ukuran yang digunakan masing-masing perspektif pun hampir tidak berkorelasi satu sama
lain.
· Kecerdasan Emosional Tidak Dapat Diukur
Ukuran kecerdasan emosional beragam dan para peneliti tidak dapat memberlakukan
ukuran-ukuran itu seketat seperti pada studi mereka atas ukuran kepribadian dan kecerdasan
umum.
· Kecerdasan Emosional Tidak Lebih dari Sekedar Kepribadian dengan Label Berbeda
Kecerdasan emosional tampak berkorelasi dengan ukuran-ukuran kepribadian,
khususnya stabilitas emosional. Para peneliti menyatakan bahwa kecerdasan emosional
merupakan sebuah konsep yang sebagian ditentukan oleh ciri-ciri seperti kecerdasan kognitif,
kehati-hatian, dan penalaran, sehingga masuk akal bahwa kecerdasan emosional berkorelasi
dengan karakteristik-karakteristik ini.
PENGATURAN EMOSI
Pengaturan emosi (emotion regulation) merupakan bagian dari literatur kecerdasan
emosional tetapi saat ini semakin dipelajari sebagai sebuah konsep terpisah. Riset terkini
menyatakan bahwa kemampuan manajemen emosi ialah alat prediksi kuat atas kinerja tugas
bagi beberapa pekerjaan dan perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship
behavior).
Para peneliti telah mempelajari strategi yang mungkin digunakan orang untuk
mengubah emosinya. Salah satu strateginya ialah akting permukaan atau berpura-pura dengan
wajah sebagai respons yang pantas atas situasi tertentu. Namun, akting permukaan tidak
mengubah emosi, sehingga efek pengaturannya sedikit. Ada juga strategi lain ialah akting
mendalam, meskipun kurang salah dibandingkan akting permukaan mungkin masih tetap
sulit karena bagaimana pun mewakili akting.
Teknik lain dalam pengaturan emosi adalah pengungkapan. Pengungkapan ini harus
dilakukan secara hati-hati, karena mengungkapkan atau menyatakan frustasi anda secara
langsung dapat menyinggung orang lain. Oleh karena itu, jika kita ingin mengungkapkan
amarah pada rekan kerja, kita perlu memilih seseorang yang akan merespons dengan simpati.
Namun, ketika ada banyak harapan dalam teknik pengaturan emosi, jalan terbaik menuju
tempat kerja yang positif ialah merekrut individu yang berpikiran positif dan melatih
pemimpin mengelola suasana hati, sikap kerja, dan kinerja mereka. Jadi, pemimpin terbaik itu
yang dapat mengelola emosi sebanyak mereka mengelola tugas dan aktivitas.
8
2.7. APLIKASI PERILAKU ORGANISASI TERHADAP EMOSI DAN SUASANA HATI
Seleksi
Dalam proses seleksi pekerjaan,para penyeleksi kerja sangat mempertimbangkan
faktor kecerdasan emosional dalam proses perekrutan pekerja. Kecerdasan emosional
menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan karena seseorang yang memilki kecerdasan
emosional yang tinggi mampu bekerja lebih baik,dan berpeluang lebih tinggi untuk diterima
dalam suatu pekerjaan.
Pengambilan Keputusan
Emosi dan suasana hati sangat mempengaruhi seseorang ketika mereka mengambil
keputusan. Seseorang yang berada dalam emosi dan suasana hati baik akan lebih cepat dan
tepat dalam mengambil sebuah keputusan,hal itu dikarenakan emosi dan suasana hati
yang baik akan meningkatkan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah.
Kreativitas
Seseorang yang berada dalam suasana hati dan emosi yang baik memiliki kreatifitas
yang lebih dibanding seseorang yang berada dalam suasana hati dan emosi yang buruk,hal itu
dikarenakan seseorang yang berada dalam suasana hati dan emosi yang baik memiliki pikiran
yang lebih terbuka dan fleksibel,sehingga mampu menghasilkan ide-ide baru yang
mendorong kreatifitas mereka untuk berkembang.
Suasana hati dapat dikelompokkan menjadi perasaan aktivasi (marah,ketakutan) dan
deaktivasi (depresi,kecewa). Suasana hati aktivasi baik positif maupun negatif mendorong
seseorang untuk berkretaifitas lebih dibanding suasana hati deaktivasi.
Motivasi
Suasana hati dan emosi mempengaruhi motivasi seseorang. Sebuah studi menjelaskan
bahwa suasan hati dan emosi yang baik akan meningkatkan motivasi seseorang,sehingga
dengan meningktanya motivasi tersebut mendorong mereka untuk bekerja dengan baik.
Kepemimpinan
Dalam hal kepemimpinan,ekspresi dan emosi seorang pemimpin sangat
mempengaruhi diterima atau tidaknya pesan pemimpin tersebut kepada para bawahannya,
misalnya antusiasme dari pemimpin tersebut ketika menyampaikan pesan. Seorang pemimpin
yang mampu membangkitkan emosi dan menginspirasi para pekerjanya akan membuat
mereka lebih antusias dan optimis dalam bekerja.
Negosiasi
Emosi dan suasana hati merupakan faktor penting dalam negosiasi. Seorang
negosiator harus mampu mengontrol emosi dan suasana hatinya ketika sedang bernegosiasi,
ia boleh saja berpura-pura marah (emosi negatif) apabila ia memilki posisi lebih kuat dan
informasi yang lebih banyak ketimbang lawannya.
Layanan Pelanggan
Emosi dan suasana hati seorang pekerja mempengaruhi pelayanan mereka terhadap
pelanggan. Terkadang demi memberikan pelayanan pelanggan yang terbaik,pekerja
dihadapkan pada situasi disonasi emosi. Emosi pekerja dapat ditransfer kepada
pelanggan,seorang pekerja yang sedang berada dalam emosi dan suasana hati yang baik
cenderung akan melayani pelanggan dengan baik pula,sehingga menyebabkan pelanggan
merasa senang dan puas,dimana kepuasan pelanggan sendiri sangat mempengaruhi bisnis
suatu perusahaan.
9
Sikap Kerja
Beberapa studi menjelaskan bahwa seorang pekerja yang memiliki lingkungan kerja
yang baik dan hari baik di tempat kerjanya akan memiliki suasana hati yang baik pula ketika
ia pulang kerumah,dan begitu juga sebaliknya.
10
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Kepribadian adalah keseluruhan cara di mana seorang individu bereaksi dan
berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat
yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang.
Emosi adalah reaksi terhadap suatu objek, bukan suatu sifat. Sedangkan suasana hati
tidak dikaitkan dengan suatu objek. Emosi dapat berubah menjadi suasana hati bila kita
kehilangan fokus pada objek yang kontekstual
3.2 Saran
Seperti yang kita ketahui kepribadian dan emosi memilki definisi dan ciri ciri yang
sudah disebutkan diatas, maka untuk dapat meningkatkan kinerja dalam prilaku organisasi
kita hendaknya tahu betul apa itu pengertian ciri manfaat serta memahami apa itu emosi dan
kepribadian seseorang sehingga dalam proses pengorganisasian tidak terjadi kesalahan dalam
perekrutan di dunia kerja nantinya
11
Konflik Industrial: Buruh dan PT.
Tjiwi Kimia Sidoarjo
Kondisi buruh di PT. Tjiwi Kimia Sidoarjo, saat ini sedang mengalami penindasan.
Penindasan terjadi karena perusahaan mulai mempekerjakan tenaga buruh harian untuk
melakukan aktivitas produksinya. Tindakan inilah yang kemudian memunculkan bibit konflik
antara perusahaan dengan para buruh. Buruh yang bekerja di perusahaan tersebut mau tidak
mau harus menerima kebijakan perusahaan karena posisi mereka yang lemah.
Konflik antara perusahaan dan para buruh yang terjadi di PT. Tjiwi Kimia tidak hanya terjadi
kali ini saja. Sebelumnya, pada tahun 2012 juga pernah terjadi konflik antara perusahaan
dengan buruh yang disebabkan oleh adanya pemutusan hak kerja (PHK) secara sepihak yang
dilakukan oleh pihak perusahaan.
Sebagai reaksi atas pemutusan secara sepihak tersebut, para buruh kemudian melakukan
demo untuk menuntut hak kerja mereka. Pasca terjadinya demo tersebut, perusahaan tetap
tidak memenuhi tuntutan dari para buruh yang telah di PHK, total buruh yang di PHK oleh
Tjiwi Kimia pada saat itu berjumlah sebanyak 72 buruh terhitung sejak bulan Februari hingga
Maret 2014.[1]
Dalam perjalanannya gerakan buruh pasca reformasi (selama lebih dari sepuluh tahun
terakhir ini), dapat dilihat bahwa kehidupan buruh tidak banyak mengalami perubahan. Hal
ini dapat dilihat misalnya, meskipun pada saat ini pemerintah sudah mengeluarkan beberapa
regulasi mengenai perburuhan, akan tetapi buruh tetap saja menerima upah yang relative
rendah dengan jam kerja panjang dan keselamatan kerja yang kurang memadai.[2]
Kehidupan buruh yang selalu tertindas, juga tergambar pada konflik antara perusahaan dan
buruh yang terjadi di Tjiwi Kimia. Lebih jauh apabila dilihat konflik tersebut, pasca
terjadinya PHK di tahun 2012 lalu, saat ini buruh di Tjiwi Kimia juga mengalami penindasan
yang dilakukan oleh perusahaan. Salah satu bentuk penindasan yang nampak adalah
munculnya tenaga outsourcing yang dikontrak melalui mandor di perusahaan tersebut.
Penggunaan tenaga outsourcing pada perusahaan seringkali memicu reaksi keras dari
kalangan masyarakat. Outsourcing merupakan bentuk baru penindasan yang sebenarnya telah
lama muncul dalam dunia tenaga kerja. Munculnya kebijakan outsourcing di Indonesia
sendiri berawal dari disahkan oleh munculnya Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
outsourcing.
12
Penindasan yang dialami oleh buruh di Tjiwi Kimia diperparah dengan hadirnya karyawan
perusahaan yang ikut dalam penindasan terhadap para buruh. Pada kasus Tjiwi Kimia,
mandor yang merupakan karyawan dari perusahaan kemudian mencari orang yang bersedia
bekerja tanpa ikatan kontrak resmi dari perusahaan dengan upah yang seadanya. Dalam studi
ini, ditemukan bahwa mandor tersebut mencari para pekerja yang mau bekerja dengan sistem
kerja outsourcing.
Para pekerja tersebut dibayar dengan gaji di bawah rata-rata para pekerja yang jelas-jelas
merugikan dirinya. Pemberian upah yang sangat kecil tersebut tentunya tidak mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan dari para buruh pekerja harian tersebut. Disamping itu, buruh
yang juga telah bekerja lama di perusahaan tersebut, hingga saat ini juga masih dipertanyakan
kesejahteraannya.
Pada kasus Tjiwi Kimia, dengan dipekerjakannya pekerja outsourcing pada bagian produksi
pabrik, jelas-jelas menguntungkan perusahaan karena upah yang didapat oleh outsourcing
selalu di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Buruh harian yang dipekerjakan di
perusahaan tersebut diketahui meneriman pemotongan upah harian sebesar 30%, upah harian
yang seharusnya Rp 20.000,00 terkadang menjadi Rp 8.000,00.
Mandor yang diserahkan tanggung jawab untuk memberikan upah tersebut diketahui
memotong upah para buruh tersebut untuk keuntungannya sendiri. Para buruh harian tersebut
dipekerjakan pada sektor produksi yaitu memproduksi kertas.
Selain itu kebijakan outsourcing yang dilakukan melalui mandor juga memperlihatkan
lemahnya posisi buruh yang ada di perusahaan tersebut. Posisi tawar pekerja dan masyarakat
miskin yang rendah di tengah melimpahnya jumlah pencari kerja, pengangguran dan
meningkatnya jumlah penduduk migran yang mencoba mengadu nasib mencari kerja di kota
besar adalah titik-titik lemah yang seringkali disadari benar oleh para investor untuk
membuat para pekerjanya pasrah menerima nasib menerima upah yang tak pernah beringsut
ke taraf yang terkategori layak dan adil.[3]
Studi yang dilakukan Monique Borrel, tentang Konflik Industri, Demonstrasi Masa, serta
Perubahaan Ekonomi dan Politik di Perancis Pascaperang (2004), menunjukkan bahwa salah
satu temuannya adalah bahwa gelombang pemogokan dan pemogokan umum secara
signifikan dipengaruhi oleh kesejahteraan sosial, upah minimum, dan jam kerja.[4]
Munculnya berbagai macam isu seperti akan dilakukan PHK pada buruh, penggantian tenaga
buruh dengan mesin, dan lain sebagainya menjadikan para pekerja semakin sering
membicarakan apa yang saat ini menjadi kekhawatiran mereka seperti adanya PHK,
peningkatan beban kerja, dan penambahan jam kerja.
13
Selain itu hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa gelombang pemogokan dan
pemogokan umum memiliki dampak signifikan pada pertumbuhan serikat maupun pada
kekuatan serikat dalam perusahaan sejak tahun 1968 sampai akhir tahun 1970an. Sebagai
tambahan, krisis ekonomi 1975 menambah jumlah perwakilan serikat sementara karena para
pekerja merasa bahwa mereka berada dalam situasi rapuh dan membutuhkan dukungan
tambahan dari serikat untuk melindungi kepentingan mereka.[5]
Oleh karena itu perlu memunculkan kesadaran dari para buruh terkait dengan kondisi yang
mereka alami pada saat ini, baik terhadap buruh yang telah menjadi pekerja di Tjiwi Kimia,
maupun terhadap buruh harian yang saat ini semakin bertambah jumlahnya.
Marx mengakui bahwa konflik bersumber dari perubahan yang terjadi dalam Model produksi
(mode of production), komunis primitif, kuno, feodal, kapitalis dan komunis.[6] Model
produksi (mode of production) terdiri atas kekuatan produksi (forces of production) dan
hubungan/relasi produksi (relations of production).
Kekuatan produksi meliputi sarana produksi (means of production) yaitu bahan mentah dan
alat produksi (instrument of production) atau sarana/alat produksi yang mengolah.
Kekuatan produksi menghasilkan komoditas yang dibutuhkan masyarakat pada waktu itu,
dan kekuatan produksi ini akan menentukan bentuk hubungan/relasi produksi. Hanya ada dua
kelompok dalam relasi produksi ini, yaitu kelompok yang memiliki/pemilik dan kelompok
yang tidak memiliki/bukan pemilik. Inilah yang oleh Marx disebut struktur kelas.[7]
Pemisahan antara kelompok sosial yang menghasilkan profit – dan karenanya menguasai
kapital- dan kelompok sosial yang hanya mampu menjual tenaga kerja saja, menentukan
hubungan kelas, yang menjadi basis eksploitasi dan konflik sosial dalam masyarakat modern.
Di dalamnya menyangkut relasi sosial : pertama, hubungan-hubungan produksi yang bersifat
primer seperti hubungan buruh dan majikan; kedua, hubungan-hubungan produktif yang
bersifat sekunder seperti serikat buruh, asosiasi pemilik modal dan pola-pola dasar kehidupan
keluarga yang berkaitan erat dengan sistem produksi kapitalistik; ketiga, hubungan-hubungan
politik dan sosial yang bersumber dari hubungan produksi primer dan sekunder, lembaga-
lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga sosial lainnya yang mencerminkan hubungan
buruh dan majikan.[8]
Berbeda dengan pandangan Marx, Dahrendorf melihat munculnya konflik yang terjadi di
masyarakat karena adanya perbedaan kewenangan.[9] Kewenangan melekat pada setiap aktor
yang terdapat dalam konflik. Dahrendord melihat aktor yang sedang berkonflik, akan
memunculkan asosiasi yang saling berkonflik. Dalam setiap asosiasi, terdapat dua kelompok
dikotomis, yaitu kelompok yang menggunakan otoritas (Superordinat) dan kelompok yang
patuh atasnya (Subordinat).
14
Bagi Dahrendorf, konflik hanya akan muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Setiap
individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tidak akan mungkin terlibat
dalam konflik. Dahrendorf menyebutnya sebagai “integrated into a common frame of a
reference”.[11]
Dalam kaitannya dengan konflik dalam konteks wilayah sosial industri, Ralf Dahrendorf
melalui buku fenomenalnya mengenai Conflict and Industrial Conflict (1959)
memperlihatkan bagaimana konflik industrial terbangun melalui proses dari ketidakpuasan
individual buruh, menuju pada ketidakpuasaan kolektif yang tidak teroganisir, dan sampai
pada tingkat pengorganisasian ketidakpuasan kolektif buruh dalam rangka perjuangan untuk
mencapai tujuan.[12]
Menurut Dahrendorf, otoritas tidak konstan karena terletak pada posisi, bukan dalam diri
orangnya, sehingga seseorang yang berwenang dalam suatu lingkungan tertentu tidak harus
memegang posisi otoritas di dalam lingkungan yang lain, begitu pula orang yang menempati
posisi subordinat dalam suatu kelompok belum tentu subordinat pada kelompok lain.
Pendapat ini berasal dari argumen Dahrendorf yang menyatakan bahwa masyarakat tersusun
dari sejumlah unit yang disebut asosiasi yang dikoordinasikan secara imperative atau dikenal
dengan ICAs (Imperatively Coordinated Associations).[13]
Asosiasi yang dikoordinasikan secara imperative (ICAs) terbangun dalam suatu proses
sosiologis yang spesifik dan sistematis dalam satu wilayah sosial. Pada awalnya di dalam
suatu wilayah sosial, seperti perusahaan, para buruh yang berada pada posisi diatur dan
disubordinasi (the ruled class) mulai mendapatkan kesadaran bahwa posisi dan hak mereka
tertindas. Walaupun demikian mereka belum mempunyai dan membangun kepentingan
melakukan perubahan posisi ketertindasan tersebut.
Mereka hanya memiliki kepentingan (latent interest), yaitu berada di level individu, muncul
di bawah sadar. Kepentingan semu tidak hanya terbatas pada satu individu buruh, namun
tersebar pada mereka yang merasa ditindas sebagai kelompok subordinasi. Sehingga
menciptakan kelompok semu pula (quasi groups).[14]
Kepentingan semu dari kelompok semu pada gilirannya mulai mengalami aktualisasi secara
kolektif menuju menjadi kepentingan yang terwujudkan (manifest interest). Proses
penyadaran dilakukan oleh beberapa orang yang terlebih dulu mengerti kepentingan yang
harus diperjuangkan.
Mereka menciptakan kelompok yang benar-benar sadar pada kepentingan bersama dan perlu
diperjuangkan. Proses ini menumbuhkan bentuk kesadaran pada kepentingan yang nyata,
yaitu lepas dari ketertindasan. Pada fase inilah terjadi proses pembentukan kelompok
terorganisir, kelompok kepentingan (interest groups), (ICAs) yang siap melakukan gerakan
perlawanan terhadap posisi dominan kelompok teorganisir lainnya. Seperti kelompok
terorganisir buruh terhadap kelompok terorganisir pengusaha.[15]
Resolusi dalam konflik antara kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan, atau
wewenang, kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem
15
sosial. Selanjutnya, sekelompok peran baru dalam memegang kunci kekuasaan dan
wewenang dan yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang diatur.
Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan perlembagaan dari kelompok peranan baru
yang mengatur (ruling class) versus peranan yang diatur (rules class), yaitu dalam kondisi
khusus kontes perebutan wewnang akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok
kepentingan yang ada, dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. Sehingga kenyataan
sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam
tipe konflik terkoordinasi dari sistem sosial.[16]
16
DAFTAR PUSTAKA
Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2015. Perilaku Organisasi. (Terj.) Jakarta:
Salemba Empat., http://www.koranopini.com/antitesis/konflik-industrial-buruh-dan-pt-tjiwi-
kimia-sidoarjo
17