Anda di halaman 1dari 4

BAB 4

PEMBAHASAN

Berdasarkan data di Puskesmas Kota Wilayah Utara Kediri, pada Tahun 2018 jumlah
penderita TB sebanyak 26 orang dan pada tahun 2019 mengalami kesamaan jumlah yaitu 26
orang. Hal ini menandakan keberhasilan dalam mempertahankan jumlah penderita TB dibanding
dengan tahun sebelumnya. Terlepas dari kesamaan jumlah penderita TB pada kedua tahun
tersebut, jumlah tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah penderita TB pada
tahun 2017 yang mencapai 33 orang.
Penemuan kasus TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka
kasus dilakukan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan
penemuan tersangka kasus TB. Pelibatan semua layanan dimaksudkan untuk mempercepat
penemuan dan mengurangi keterlambatan program pengobatan (Kementrian Kesehatan RI,
2011).
Sedangkan faktor risiko adalah semua variabel yang berperan timbulnya kejadian
penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko TBC saling berakaitan satu sama lain. Faktor
risiko yang berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis adalah faktor karakteristik individu
dan faktor risiko lingkungan. Beberapa faktor karakteristik individu yang menjadi faktor risiko
terhadap kejadian TB Paru, yaitu :

A. Faktor Umur

Berdasarkan data kejadian TB di Puskesmas Kota Wilayah Utara Kediri tahun 2017,
2018, dan 2019, TB paling banyak menyerang usia kisaran 46-65 tahun (lansia). Pada usia lanjut
lebih dari 55 tahun, sistem imunologis seseorang menurun sehingga sangat rentan terhadap
berbagai penyakit, termasuk penyakit TB.Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York
pada Panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat
infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Prevalensi
tubekulosis paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada wanita prevalensi
mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang sedangkan pada pria
prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002).

Berdasarkan survey Riskesdas (2013), semakin bertambahnya usia, maka prevalensinya


semakin tinggi. Kemungkinan terjadi reaktivasi TB dan durasi paparan TB lebih lama
dibandingkan kelompok umur dibawahnya.

Berdasarkan hasil penelitian di Singapura tahun 1987 menyatakan bahwa sebanyak 31,11
% penderita tuberkulosis paru berada pada usia 60 tahun atau lebih dan 19,17 % berda pada usia
antara 40- 49 tahun. Sedangkan hasil penelitian di Brunai Darussalam tahun 1995 sebanyak
23,85 % penderita TB berusia 60 tahun atau lebih dan 73,85 % penderita berusia antara 15-69
tahun (Aditama, 1990 dalam Ayunah, 2008 ). Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru
adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes, 2007).

B. Faktor Jenis Kelamin

Berdasarkan data kejadian TB di Puskesmas Kota Wilayah Utara Kediri tahun 2017, 2018,
dan 2019, penderita TB paling banyak ditemukan pada laki-laki. Pada tahun 2017, penderita TB
laki-laki berjumlah 22 Kasus (66,67%) sedangkan wanita berjumlah 11 kasus (33,33%), jumlah
penderita TB laki-laki pada tahun 2018 yaitu 19 kasus TB (73,08%) sedangkan wanita berjumlah
7 kasus TB (26,92%), sedangkan pada tahun 2019 jumlah penderita TB laki-laki berjumlah 16
orang (61,54%) sedangkan wanita yang menderita TB berjumlah 10 orang (38,46%). Menurut
Siswani yang dikutip dari WHO, TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB paru. Pada beberapa studi dengan cara cross seksional dan
longitudinal menunjukkan bahwa pekembangan TB aktif tergantung pada gender..

Prevalensi tubekulosis paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia. Angka
pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun
tajam sesudah melampaui usia subur. Wanita sering mendapat tubrkulosis paru sesudah bersalin
(Crofton, 2002)

C. Penyakit Imunosupresif (misalnya : HIV, DM)


Pada data Kejadian TB di Puskesmas Kota Wilayah Utara Kediri pada tahun 2017
didapatkan kasus TB dengan HIV reaktif berjumlah 1 orang sedangkan pada tahun 2018 dan
2019 tidak didapatkan pasien TB dengan status HIV reaktif. Pada data Kejadian TB di
Puskesmas Kota Wilayah Utara Kediri pada tahun 2017, 2018, dan 2019, pada tahun 2017
ditemukan pasien TB dengan DM berjumlah 1 orang, pada tahun 2018 pasien TB dengan DM
berjumlah 4 orang dan pada tahun 2019 pasien TB dengan DM berjumlah 6 orang. Hal ini
penting karena seseorang yang terinfeksi bakteri TB akan menjadi sakit ketika sistem imunnya
melemah. Lemahnya sistem imun biasanya disebabkan oleh kondisi gizi yang menurun,
menderita penyakit lain seperti DM dan tertular HIV (Kementrian Kesehatan RI, 2011).
Epidemi HIV berdampak sangat mencolok terhadap prognosis dan kematian penderita
TB. HIV merupakan factor risiko yang paling kuat karena mengakibatkan kerusakan sistem
imunitas tubuh yang luas sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistik) seperti TB akan
mengakibatkan penyebaran kuman TB yang meluas seperti ke kelenjar getah bening, pleura, dan
organ lainnya. TB ekstra paru sering terjadi pada kondisi kekebalan tubuh sangat menurun,
seperti pada infeksi HIV.
Diabetes melitus adalah salah satu penyakit tidak menular kronis dan menjadi masalah
kesehatan di masyarakat. Penyandang DM memiliki sistem kekebalan tubuh yang melemah
sehingga memiliki kemungkinan tiga kali lebih tinggi untuk mendapatkan TB aktif. Hal ini
menyebabkan kasus TB lebih banyak ditemukan pada penderita DM tipe 2 dibandingkan dengan
populasi umum. (Konsensus Pengelolaan Tuberkulosis dan Diabetes Melitus di Indonesia, 2015).

D. Imunisasi

Kejadian TB di Puskesmas Kota Wilayah Utara Kediri berdasarkan ada tidaknya parut BCG,
pada tahun 2017 didapatkan 21 penderita (63,63%) TB tidak ada parut BCG dan hanya 4
(12,12%) penderita yang memiliki parut BCG, pada tahun 2018 didapatkan 6 penderita (23,07%)
TB tidak ada parut BCG dan hanya 7 (26,92%) penderita yang memiliki parut BCG. Sedangkan
pada Tahun 2019 hanya didapatkan 19 penderita (73,07%) yang tidak memiliki parut BCG dan
sebanyak 7 (26,92%) penderita memiliki parut BCG.
Pemberian Imunisasi BCG merupakan bagian dari faktor imunisasi yang mencegah kejadian
TB. BCG efektif mencegah TB milier, TB Paru dan meningitis TB pada anak-anak, tetapi tidak
untuk TB Paru pada orang dewasa, erutama di negara-negara berkembang. Vaksin yang
diperoleh pada saat bayi ternyata sama sekali tidak memberikan perlindungan terhadap TB pada
orang dewasa. Hal ini disebabkan karena efek perlindungan vaksin BCG yang diberikan pada
saat bayi berlangsung hingga 10 tahun, tetapi tidak diketahui apakah masih terdapat efek
perlindungan setelah waktu tersebut (Leo,2013).
Sel-sel imunokompeten tubuh telah terbentuk sempurna pada bayi lahir, maka dengan
memberikan vaksinasi BCG pada waktu bayi akan menimbulkan respon imun yang lebih baik,
terutama respon imun seluler bukan respon imun humoral. Respon imun berkaitan erat dengan
kemampuan tubuh untuk melawan penyakit. Maka menurut Murniasih (2009), pemberikan
imunisasi akan menambah daya tahan tubuh terhadap penyakit TB.

Anda mungkin juga menyukai