PEMBAHASAN
A. Model-model kurikulum
Pengembangan kurikulum berkenaan dengan model kurikulum yang dikembangkannya.
Minimal ada empat model kurikulum yang banyak diacu dalam pengembangan kurikulum, yaitu
model kurikulum subjek Akademis, Humanistik, Rekonstruksi Sosial dan Kompetensi
(Sukmadinata, 2009)
Masing-masing model sejalan dengan teori yang mendasarinya, bertolak dari asumsinya atau
keyakinan dasar yang berbeda sehingga menimbulkan pandangan yang berbeda pula tentang
kedudukan dan peranan pendidik, peserta didik, isi maupun proses pendidikan. Keempat model
kurikulum tersebut memiliki acuan teori atau konsep pendidikan yang berbeda. Kurikulum subjek
akademis mengacu pada pendidikan klasik, yaitu perenialisme dan esensialisme; kurikulum
humanistic mengacu pada pendidikan pribadi; kurikulum rekonstruksi social mengacu pada
pendidikan interaksional dan kurikulum kompetensi mengacu pada teknologi pendidikan.
4. Kurikulum kompetensi
Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan kompetensi menjadi suatu keharusan.
Setiap orang dituntut kompeten dibidangnya. Kompetensi dapat didefinisikan sebagai
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak (depdiknas, 2004.) sementara itu, menurut spencer dan spencer (1993) kompetensi
merupakan karakteristik mendasar seseorang yang berhubungan timbal balik dengan suatu criteria
efektif atau kecakapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan. Selanjutnya, berdasarkan
kajian dari literature. Widyastono (2013) merumuskan kompetensi adalah pengetahuan (kognitif)
yang setelah dimiliki seseorang, harus diwujudkan dalam bertindak (spikomotor) dan bersikap
(afektif). Seseorang dikatakan kompeten dibidang tertentu, apabila ia memiliki pengetahuan
dibidang itu, kemudian pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bertindak dan bersikap dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya, kita tau bahwa merokok dapat mengganggu kesehatan, tetapi
masih ada diantara kita hobi nya merokok. Nah, orang yang hobi nya merokok itu, dapat dikatakan
baru sekadar memiliki pengetahuan dibidang kesehatan, tetapi belum memiliki kompetensi atau
belum kompeten dibidang kesehatan karena pengetahuannya belum diwujudkan dalam bertindak
dan bersikap.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan tekonologi , dibidang pendidikan berkembang pula
teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan pendidikan klasik, yaitu menekankan
isi kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada pemelihararaa dan pengawetan ilmu tersebut,
melainkan pada penguasaan kompetensi. Suatu kompetensi yang benar diuraikan menjadi
kompetensi yang lebih spesifik dan menjadi perilaku yang dapat diamati atau diukur. Penerapan
tekonologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum ada dalam dua bentuk, yaitu bentuk
perangkat keras (teknologi alat) dan perangkat (teknologi system).[2]
B. Model Pengembangan Kurikulum
Model pengembangan kurikulum merupakan suatu alternative prosedur dalam rangka
mendesain (designing), menerapkan (implementation) , dan mengevaluasi (evaluation) suatu
kurikulum. Oleh karena itu, model pengembangan kurikulum harus dapat menggambarkan suatu
proses sistem perencanaan pembelajaran yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan standar
keberhasilan pendidikan. (Ruhimat, T. dkk 2009: 74).[3]
Dewasa ini telah banyak dikembangkan model-model pengembangan kurikulum, setiap model
pengembangan kurikulum tersebut memiliki karakteristik pada pola desain, implementasi,
evaluasi, dan tindak lanjut dalam pembelajaran. Dalam pengembangan kurikulum dapat
diidentifikasi berdasarkan basis apa yang akan dicapai dalam kurikulum tersebut. Seperti aternatif
yang menekankan pada kebutuhan mata pelajaran, peserta didik, penguasaan kompetensi suatu
pekerjaan, kebutuhan masyarakat atau permasalahan social. Oleh karena itu, pengembangan
kurikulum perlu dilakukan berlandaskan teori yang tepat agar kurikulum yang dihasilkan bisa
efektif.
Agar dapat mengembangkan kurikulum secara baik, pengembangan kurikulum semestinya
belajar berbagai jenis model pengembangan kurikulum. Yang dimaksud model pengembangan
kurikulum dalam tulisan ini yaitu langkah atau prosedur sistematis dalam proses penyusunan suatu
kurikulum. Dengan memahami esensi model pengembangan kurikulum dan sejumlah alternative
model pengembangan kurikulum, para pengembang kurikulum diharapkan akan bisa bekerja
secara lebih sistematis, sestemik, dan optimal. Sehingga harapan ideal terwujudnya suatu
kurikulum yang akomodatif dengan berbagai kepentingan, teori dan praktik bisa diwujudkan.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, dalam bab ini akan diuraikan beberapa model pengembangan
kurikulum, model-model pengembangan yang akan dibahas, yaitu model Ralph Tyler,
Administratif, Grass Root, Demonstrasi, Miller-Seller, Taba dan Beuchamp[4]
1. Model Ralph Tyler
Model pengembangan kurikulum yang dikemukakan Tyler (1949) diajukan berdasarkan
pada beberapa pertanyaan yang mengarah pada langkah-langkah dalam pengembangan kurikulum.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah :
1) Tujuan pendidikan apa yang harus dicapai oleh sekolah ?
2) Pengalaman-pengalaman pendidikan apakah yang semestinya diberikan untuk mencapai tujuan
pendidikan ?
3) Bagaimanakah pengalaman-pengalaman pendidikan sebaiknya harus diorganisasikan ?
4) Bagaimanakah menentukan bahwa tujuan telah tercapai ?
Oleh karena itu, menurut Tyler ada empat tahap yang harus dilakukan dalam pengembangan
kurikulum yang meliputi :
1) Menentukan tujuan pendidikan
2) Menentukan proses pelajaran yang harus dilakukan
3) Menentukan organisasi pengalaman belajar
4) Menentukan evaluasi pembelajaran
Berikut ini penjelasan setiap tahapan model pengembangan kurikulum Tyler :
1) Menentukan Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan arah atau sasaran akhir yang harus dicapai dalam program
pendidikan dan pembelajaran. Tujuan pendidikan harus menggambarkan perilaku akhir setelah
peserta didik mengikuti program pendidikan sehingga tujuan tersebut harus dirumuskan secara
jelas sampai pada rumusan tujuan khusus guna mempermudah mencapaikan tujuan tersebut.
Ada tiga aspek yang harus dipertimbangkan sebagai sumber dalam penentuan tujuan
pendidikan menurut Tyler, yaitu a) hakikat peserta didik b) kehidupan masyarakat masa kini, dan
c) pandangan para ahli dan bidang studi. Ketiga aspek tersebut harus dipertimbangan dalam
penentuan tujuan pendidikan umum. Penentuan tujuan pendidikan dengan berdasarkan ketiga
aspek tersebut, selanjutnya difilter oleh nilai-nilai filosofis masyarakat dan filosofis pendidikan
serta psikologi belajar.
Ada lima factor yang menjadi arah penentuan tujuan pendidikan yaitu: pengembangan
kemampuan berpikir, membantu memperoleh informasi, pengembangan sikap kemasyarakatan,
pengembangan minat peserta didik, dan pengembangan sikap social.
2) Menentukan Proses Pembelajaran
Setelah penetapan tujuan, selanjutnya adalah menentukan proses pembelajaran apa yang paling
cocok untuk dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu aspek yang harus diperhatiakan
dalam penentuan proses pembelajaran adalah persepsi dan latar belakang kemampuan peserta
didik. Artinya, pengalaman yang sudah dimiliki siswa harus menjadi bahan pertimbngan dalam
menentukan proses pembelajaran selanjutnya. Dalam proses pembelajaran akan terjadi interaksi
antara peserta didik dengan lingkungan atau sumber belajar yang tujuannya untuk membentuk
sikap, pengetahuan dan keterampilan sehingga menjadi perilaku yang utuh. Oleh karena itu,
ketetapan dalam pemilihan proses pembelajaran sangan menentukan dalam pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan.
3) Menentukan Organisasi Pengalaman Belajar
Setelah proses pembelajaran ditentukan, selanjutnya menentukan organisasi pengalaman
belajar. Pengalaman belajar di dalamnya mencakup tahapan-tahapan belajar dan isi atau materi
belajar. Bahan yang harus dipelajari peserta didik dan pengalaman belajar apa yang harus
dilakukan, diorganisasi sedemikian rupa sehingga dapat memudahkan dalam pencapaian tujuan.
Kejelasan tujuan, materi belajar dan proses pembelajaran serta urutan-urutan akan mempermudah
untuk memperoleh gambaran tentang evaluasi pembelajaran apa yang sebaiknya digunakan.
4) Menetukan Evaluasi Pembelajaran
Menentukan jenis evaluasi apa yang cocok digunakan, merupakan kegiatan akhir dalam model
Tyler. Jenis penilaian yang akan digunakan, harus desesuaikan dengan jenis dan sifat dari tujuan
pendidikan atau pembelajaran, materi pembelajaran, dan proses belajar yang telah ditetapkan
sebelumnya. Agar penetapan jenis evaluasi bisa tepat, maka para pengembang kurikulum
disamping harus memperhatikan komponen-komponen kurikulum laiinya, juga harus
memperhatikan prinsip-prinsip evaluasi yang ada.
2. Model Administratif
Pengembangan kurikulum model ini disebut juga dengan istilah dari atas ke bawah (top down)
atau staf lini (line-staff procedure), artinya pengembangan pengembangan kurikulum ini ide awal
dan pelaksanaanya dimulai dari pejabat tingkat atas pembuat kebijakan dan keputusan berkaitan
dengan pengembangan kurikulum. Tim ini sekaligus sebagai tim pengarah dalam pengembangan
kurikulum. Langkah kedua adalah membentuk suatu tim panitia pelaksana atau komisi untuk
mengembangkan kurikulum yang didukung oleh beberapa anggota yang terdiri oleh beberapa ahli,
yaitu : ahli pendidikan, kurikulum, disiplin ilmu, tokoh masyarakat, tim pelaksana pendidikan, dan
pihak dunia kerja.
Tim ini bertugas untuk mengembangkan konsep-konsep umum, landasan, rujukan, maupun
strategi pengembangan kurikulum yang selanjutnya menyusun kurikulum secara operasional
berkaitan dengan oengembangan atau perumusan tujuan pendidikan maupun pembelajaran,
pemilihan dan penyusunan rambu-rambu dan substansi meteri pelajaran, menyusun alternative
proses pembelajaran, dan menentukan penilaian pembelajaran.
Selanjutnya, kurikulum yang sudah selesai disusun kemudian diajukan untuk deperiksa dan
diperbaiki oleh tim pengarah. Tim ini melakukan penyesuaian antara aspek-aspek kurikulum
secara terkoordinasi dan menyiapkan secara system dalam rangka uji coba maupun dalam rangka
sosialisasi dan penyebarluasan. Setelah perbaikan atau penyempurnaan, kurikulum tersebut perlu
diujicobakan secara nyata dibeberapa sekolah yang dianggap representif. Pelaksana uji coba
adalah tenaga professional sebagai pelaksana lapangan, yaitu kepala sekolah dan guru-guru yang
tidak dilibatkan dalam penyusunan kurikulum.
Supaya uji coba tersebut menghasilkan masukan yang efektif, maka diperlukan kegiatan
monitoring dan evaluasi yang fungsinya untuk memperbaiki atau menyempurnakan berdasarkan
pelaksanaan di lapangan. Kurikulum ini merupakan kurikulum yang bentuknya seragam dan
bersifat sentalistik, sehingga kurang sesuai jika diterapkan dalam dunia pendidikan yang menganut
asas desentralisasi, selain daripada itu, kurikulum ini kurang tanggap terhadap perubahan nyta
yang dihadapi para pelaksana kurikulum dilapangan. Perubahan lebih cenderung dilakukan
berdasarkan pola piker pihak atasan (birokrat) pendidikan.
3. Model Grass Roots
Pengembangan model ini kebalikan dari model administrative. Model Grass Roots merupakan
model pengembangan kurikulum yang dimulai dari arus bawah. Dalam prosesnya pengembangan
kurikulum ini diawali atau dimulai dari gagasan guru-guru sebagai pelaksana pendidikan
disekolah. Model Grass Roots lebih demokratis karena pengembangan dilakukan oleh para
pelaksana dilapangan, sehingga perbaikan dan peningkatan dapat dimulai dari unit-unit terkecil
dan spesifik menuju pada bagian-bagian yang lebih besar.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum model Grass Roots,
diantaranya :
1) Guru harus memiliki kemampuan yang professional.
2) Guru harus terlibat penuh dalam perbaikan kurikulum, penyelesaian permasalahan kurikulum.
3) Guru harus terlibat langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan, dan penentuan evaluasi
4) Seringnya pertemuan kelompok dalam pembahasan kurikulum yang akan berdampak terhadap
pemahaman guru dan akan menghasilkan consensus tujuan, prinsip, maupun rencana-rencana.
Lebih jelasnya langkah-langkah dari model Grass Roots ini adalah :[5]
a) Inisiatif pengembangan datangnya dari bawah (para pengajar)
b) Tim pengajar dari beberapa sekolah ditambah narasumber lain dari orang tua peserta didik atau
masyarakat luas yang relavan.
c) Pihak atasan memberikan bimbingan dan dorongan.
d) Untuk pemantapan konsep pengembangan yang telah dirintisnya diadakan lokakarya untuk
mencari input yang diperlukan.
4. Model Demonstrasi
Model pengembangan kurikulum ini datangnya dari bawah. Semula merupakan suatu upaya
inovasi kurikulum dalam skala kecil yang selanjutnya digunakan dalam skala yang lebih luas,
tetapi dalam prosesnya sering mendapat tantangan dan ketidaksetujuaan dari pihak-pihak tertentu.
Menurut Smith, Stanley, dan Shores, ada dua bentuk model pengembangan ini. Pertama,
sekelompok guru dari suatu sekolah atau beberapa sekolah yang diorganisasi dan ditunjuk untuk
melaksanakan suatu uii coba atau eksperemen suatu kurikulum. Unit-unit ini melakukan suatu
proyek melalui kegiatan peneliatian dan pengembangan untuk menghasilkan suatu model
kurikulum. Hasil dari kegiatan peneliatian dan pengembangan ini diharapkan dapat digunakan
pada lingkungan yang lebih luas. Pengembangan model ini biasanya diprakarsai oleh pihak
Depertemen Pendidikan dan dilaksanakan oleh kelompok guru dalam rangka inovasi dan
perbaikan suatu kurikulum.
Kedua, dari beberapa orang guru yang merasa kurang puas tentang kurikulum yang telah ada,
kemudian mereka melukakan ekperemen, uji coba, dan mengadakan pengembangan secara
mandiri. Pada dasarnya guru-guru tersebut mencobakan yang dianggap belum ada, dan merupakan
suatu inovasi terhadap kurikulum, sehingga berbeda dengan pengembangan kurikulum yang
berlaku, dengan harapan akan ditemukan pengembangan kurikulum yang lebih baik dari yang ada.
Secara rincinya langkah-langkah dalam pengembangan model ini yaitu :
a) Staf pengajar pada suatu sekolah menemukan suatu ide pengembangan dan ternyata hasilnya
dinilai baik.
b) Kemudian hasilnya disebarluaskan disekolah sekitar.
Ada beberapa kebaikan dalam penerapan model pengembangan ini, diantaranya adalah :
1) Kurikulum ini akan lebih nyata dan praktis, karena dihasilkan melalui proses yang telah diuji dan
diteliti secara ilmiah.
2) Perubahan kurikulum dalam skala kecil atau pada aspek yang lebih khusus kemungkinan kecil
akan ditolak oleh pihak administrator, akan berbeda dengan perubahan kurikulum yang sangat luas
dan kompleks.
3) Hakikat model demonstrasi berskala kecil akan terhindar dari kesenjangan dokumen dan
pelaksanaan dilapangan.
4) Model ini akan menggerakkan inisiatif, kreativitas guru-guru serta memberdayakan sumber-
sumber administrasi untuk memenuhi kebutuhan dan minat guru dalam mengembangkan program
yang baru.
5. Model Miller-Seller
Pengembangan kurikulum ini ada perbedaan dengan model-model sebelumnya. Model
pengembangan kurikulum Miller-Seller merupakan pengembangan kurikulum kombinasi dari
model tranmisi (Gagne) dan model transaksi (Taba’s & Robinson), dengan tahapan pengembangan
sebagai berikut :
1) Klarifikasi Orientasi Kurikulum
Langkah pertama yang dianggap sangat penting adalah menguji dan mengklarifikasi orientasi.
Orientasi ini mereflekasikan pandangan filosofis, psikologis, dan sosiologis terhadap kurikulum
yang seharusnya dikembangkan. Menurut Miller dan Seller, ada tiga jenis orientasi kurikulum
yaitu tranmisi, transaksi, dan tranformasi
2) Pengembangan Tujuan
Setelah klarifikasi orientasi kurikulum, langkah berikutnya adalah mengembangkan tujuan umum
(aims) dan mengembangkan tujuan khusus berdasarkan orientasi kurikulum yang bersangkutan.
Tujuan umum dalam konteks ini adalah merefleksikan pandangan orang (image person) dan
pandangan (image) kemasyarakatan. Tujuan pengembangan merupakan tujuan yang masih relative
umum. Oleh karena itu, perlu dikembangkan tujuan-tujuan yang lebih khusus hingga pada tujuan
intruksional.
3) Identifikasi Model Mengajar
Identifikasi model mengajar (startegi mengajar) harus sesuai dengan tujuan dan oreintasi
kurikulum. Pada tahap ini pelaksanaan kurikulum harus mengidentifikasi strategi mengajar yang
akan digunakan yang disesuiakan dengan tujuan dan oreintasi kurikulum. Ada beberapa kreteria
dalam menentukan model mengajar yang akan digunakan, yaitu :
a) Disesuaikan dengan tujuan umum maupun tujuan khusus.
b) Strukturnya harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa.
c) Guru yang menerapkan kurikulum ini harus sudah memahami secara utuh, sudah dilatih, dan
mendukung model.
d) Tersedia sumber-sumber yang esensial dalam pengembangan model.
4) Implementasi
Langkah ini merupakan langkah penerapan kurikulum berdasarkan langkah-langkah sebelumnya.
Implementasi sebaiknya dilaksanakan dengan memperhatikan komponen-komponen program
studi, identifikasi sumber, peranan, pengembangan professional, penetapan waktu,
komunikasi, dan system monitoring. Langkah ini merupakan langkah akhir dalam pengembangan
kurikulum.
6. Model Hilda Taba
Model ini dikembangkan oleh Hilda Taba atas dasar data induktif yang disebut model terbalik,
karena biasanya pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-konsep yang datangnya dari atas
secara deduktif, terlebih dahulu mencari data dari lapangan dengan cara mengadakan percobaan,
kemudian disusun teori atas dasar hasil nyata, baru diadakan pelaksanaan.
Langkah-langkahnya sebagai berikut :
a) Mengadakan unit-unit eksperemen bersama dengan guru-guru
Dalam kegiatan ini perlu disiapkan 1) perencanaan berdasarkan teori-teori yang kuat, 2)
eksperemen harus dilakukan di dalam kelas agar menghasilkan data emperik dan teruji. Unit
eksperemen ini harus dirancang melalui tahapan sebagai berikut :
1. Mendiagnosis kebutuhan
2. Merumuskan tujuan-tujuan khusus
3. Memilih isi
4. Mengorganisasi isi
5. Memilih pengalaman belajar
6. Mengorganisasi pengalaman belajar
7. mengevaluasi
8. melihat sekuens dan keseimbangan (Taba, 1962: 347)
b) Menguji unit eksperemen
Unit yang sudah dihasilkan pada langkah pertama diujicobakan dikelas-kelas eksperemen pada
berbagai situasi dan kondisi belajar. Pengujian dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas dan
kepraktisan sehingga dapat menghimpun data untuk penyempurnaan.
c) Mengadakan revisi dan konsolidasi
Setelah langkah pengujian, maka langkah selanjutnya adalah melakukan revisi dan konsolidasi.
Perbaikan dan penyempurnaan dilakukan berdasarkan pada data yang dihimpun sebelumnya.
Selain perbaikan dan penyempurnaan, dilakukan juga konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan
pada hal-hal yang bersifat umum dan konsestensi teori yang digunakan. Langkah ini dilakukan
secara bersama-sama dengan coordinator kurikulum maupun ahli kurikulum. Produk dari langkah
ini adalah berupa teaching learning unit yang telah teruji dilapangan.
d) Pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum
Apabila dalam kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang lebih
menyeluruh atau berlaku lebih luas, hal itu harus dikaji oleh para ahli kurikulum, ada
beberapa pertannyaan yang harus dijawab dalam langkah ini :
1. Apakah lingkup isi telah memadai ?
2. Apakah isi telah tersusun secara sistematis ?
3. Apakah pembelajaran telah memberikan peluang terhadap pengembangan intelektual, keterampla,
dan sikap ?
4. Apakah konsep dasar sudah terakomodasi ?
e) Implementasi dan desiminasi
Dalam langkah ini dilakukan penerapan dan penyelebarluasan program ke daerah dan sekolah-
sekolah, dan dilakukan pendataan tentang kesulitan serta permasalahan yang dihadapi guru-guru
dilapangan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan tentang persiapan dilapangan yang berkaitan
dengan aspek-aspek penerapan kurikulum.
9. Model Beuchamp
Model ini dikembangkan oleh G.A. Beauchamp (1964). Langkah-langkahnya sebagai berikut :
a) Suatu gagasan pengembangan kurikulum yang telah dilaksanakan dikelas, diperluas di sekolah,
disebarkan di sekolah-sekolah di daerah tertentu baik berskala regional maupun nasional yang
disebut arena.
b) Menunjuk tim pengembang yang terdiri atas ahli kurikulum, para ekspert, staf pengajar, petugas
bimbingan, dan narasumber lain.
c) Tim menyusun tujuan pengajaran, materi, dan pelaksanaan proses belajar mengajar. Untuk tugas
tersebut perlu dibentuk : dewan kurikulum sebagai koorninator yang bertugas juga sebagai
penilai pelaksanaan kurikulum, memilih materi pelajaran baru, menentukan berbagai kriteria
untuk memilih kurikulum mana yang akan dipakai, dan menulis secara menyeluruh mengenai
kurikulum yang akan dikembangkan.
d) Melaksanakan kurikulum di sekolah.
e) Mengevaluasi kurikulum yang berlaku
DAFTAR PUSTAKA
Widyastono , Herry, Pu. Pengembangan Kurikulum Di Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT. Bumi
Aksara. 2014.
http://www.idsejarah.net/2014/01/model-model-kurikulum.html
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._Pend._Luar_Biasa/195705101985031ENDANG_RUSYANI/
Model_Organisasi_Pengemb_Kurikulum.pdf
H. Dakir. 2010. Perencanaan & Pengembangan Kurikulum. Cet.2. Jakarta: Reneka Cipta,
Tim Pengembang MKDP. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Ed 3-1. Jakarta: Rajawali Pers,