Anda di halaman 1dari 27

Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.

Ked (406080047)

BAB IV
GERONTOFARMAKOLOGI

TUJUAN BELAJAR

TUJUAN KOGNITIF
Setelah membaca bab ini dengan seksama, maka anda sudah akan dapat:
1. Memahami farmakologi klinik dan lanjut usia.
Mengetahui farmakologi klinik dan lanjut usia.
Mengetahui farmakologi klinik dan lanjut usia untuk membantu diagnosa.

TUJUAN AFEKTIF
Setelah membaca bab ini dengan penuh perhatian, maka penulis mengharapkan anda
sudah akan dapat:
1. Menunjukkan perhatian terhadap farmakologi klinik dan lanjut usia.
Membaca lebih lanjut tentang farmakologi klinik dan lanjut usia.
Dapat memberikan pengetahuan tentang farmakologi klinik dan lanjut usia kepada rekan
sejawat.

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
61
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

I. PENDAHULUAN
Penggunaan obat pada lanjut usia merupakan masalah tersendiri yang perlu
mendapat perhatian khusus dari bidang profesi kedokteran, apalagi dengan
semakin bertambahnya jumlah populasi lanjut usia.
Karena terjadinya proses menua tidak selalu sama pada setiap orang,
penggunaan obat yang efektif dan aman adalah suatu masalah individualisasi
terapi. Menua fisiologis tidak selalu berjalan pararel dengan menua kronologis,
namun terlepas dari adanya penyakit penyerta yang sering berpengaruh besar,
proses menua fisiologislah yang menentukan nasib dan kerja dari suatu obat.
Hal-hal berikut ini menggambarkan keadaan-keadaan yang dihadapi dalam
hubungan farmakoterapi pada lanjut usia:
 Penyakit pada lanjut usia cenderung terjadi pada banyak organ dan bersifat
kronik sehingga pemberian obat juga cenderung bersifat polifarmasi, belum
lagi kalau diingat kecenderungan mengunjungi banyak dokter, sehingga
polifarmasi lebih sering terjadi.
 Polifarmasi menyangkut biaya yang besar untuk pembelian obat. Juga lebih
banyak terjadi interaksi obat, efek samping obat dan reaksi samping yang
merugikan.
 Proses menua yang fisiologis menyebabkan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik obat, juga penurunan fungsi dari berbagai organ, sehingga
tingkat keamanan obat dan efektifitas obat berubah dibanding usia muda.
 Keadaan gizi dan kepatuhan berobat yang kurang mendapat perhatian pada
lanjut usia.
Oleh karena itulah, seorang dokter diharapkan memahami perubahan-
perubahan fisiologi dan farmakologi yang terjadi sejalan dengan proses menua
sehingga bisa memberikan pengobatan yang lebih rasional, individualistik dan
cermat mengevaluasi respons-respons terapi yang terjadi.
Beberapa Istilah Pokok
Farmakologi klinik ialah cabang farmakologi yang mempelajari efek obat
pada manusia dengan tujuan mendapatkan dasar ilmiah untuk penggunaan suatu
obat.
Farmakoterapi ialah cabang ilmu farmakologi yang berhubungan dengan
penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan suatu penyakit. Baik dalam
farmakologi klinik maupun farmakoterapi dipelajari aspek farmakokinetik dan
farmakodinamik suatu obat.
Farmakokinetik mempelajari nasib obat di dalam tubuh yaitu absorpsi,
distribusi, metabolisme (biotransformasi) dan ekskresinya.
Farmakodinamik mempelajari efek obat, baik efek terapeutik maupun efek
non-terapeutik (efek samping / side effect / adverse drug reaction), terhadap
fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya.

II. FARMAKOKLINIK DAN LANJUT USIA


Setiap memberikan obat kepada penderita lanjut usia, diharapkan timbulnya
respons yang tentunya merupakan suatu respons terapeutik yang menguntungkan.
Namun untuk mencapai efek terapeutik ini, ada banyak hal yang berpengaruh.
Secara ringkas, berbagai faktor yang dapat mempengaruhi respons penderita
lanjut usia terhadap obat dapat dilihat pada gambar berikut:

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
62
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

Jumlah obat, dosis dan aturan pakai


 kepatuhan penderita
 ketepatan medikasi
Dosis yang diminum

Faktor-faktor farmakokinetik
 absorpsi
 distribusi
 metabolisme (biotransformasi) - kondisi fisiologis
 ekskresi - kondisi patologik

- interaksi obat
Kadar obat di jaringan - gizi dan diet
tempat kerja obat - faktor genetik
Faktor-faktor farmakodinamik - toleransi
 sensitivitas reseptor
 mekanisme homeostatik

Intensitas efek farmakologik = Respons penderita


(termasuk efek terapeutik dan non-terapeutik)

Faktor-faktor farmakokinetik menentukan dari jumlah obat yang diminum


berapa yang dapat mencapai jaringan tempat kerja obat untuk bereaksi dengan
reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek
farmakologi yang ditimbulkan oleh kadar obat di reseptor. Sedangkan faktor-
faktor lain yang turut berpengaruh mencakup kondisi fisiologis dan patologis,
interaksi obat, keadaan gizi dan diet, serta kepatuhan penderita. Semua faktor-
faktor ini akan dibahas lebih terperinci sebagai berikut:
1. Perubahan Fisiologis
Kapasitas fungsional kebanyakan sistem organ menunjukkan penurunan
yang dimulai sejak dewasa dan berlangsung seumur hidup. Seperti tampak
pada gambar di bawah ini, tidak terdapat “middle age plateau” (plateau usia
pertengahan), namun perubahan fisiologis merupakan penurunan linear yang
sudah dimulai pada usia tidak lebih dari 45 tahun. Akan tetapi, hal ini tidak
terjadi pada semua orang. Kurang lebih 1/3 orang mengalami penurunan
fungsi yang tidak berhubungan dengan usia, misalnya penurunan klirens
kreatinin.

Perubahan fisiologis dalam komposisi tubuh mencakup:


o Penurunan berat badan total termasuk lean body mass, akibat
penurunan jumlah cairan intraselular (body water). Keadaan ini berakibat
menurunnya distribusi obat yang sebagian besar terikat pada air, misalnya
litium.
o Penurunan massa otot menyebabkan distribusi obat yang sebagian
besar terikat pada otot akan menurun, misalnya digoksin.

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
63
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

o Peningkatan kadar lemak tubuh mengakibatkan peningkatan kadar obat


yang larut dalam lemak , misalnya diazepam.
o Penurunan kadar albumin terutama pada lanjut usia yang sakit,
menyebabkan penurunan ikatan obat dengan protein, misalnya salisilat,
tiroksin, warfarin.

Distribusi obat dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh keadaaan komposisi


tubuh. Perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi respons tubuh terhadap
obat, dengan kata lain mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik
obat. Secara ringkas perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik dapat
dilihat pada gambar berikut:

Ikatan protein Ikatan jaringan


(plasma) (depot)

Absorpsi? Obat bebas Metabolisme ?

Reseptor
(sensitivitas)
ekskresi

Efek farmakologik

Homeostatik

Tabel 1. Perubahan yang Berkaitan dengan Menua yang Mempengaruhi


Farmakokinetik Obat.
Variabel Dewasa Muda Usia Lanjut
(20 – 30 tahun) (60 – 80 tahun)
Air tubuh (% dari berat badan) 61 53
Lean body mass (% dari berat badan) 19 12
Lemak tubuh (% dari berat badan) 26 – 33 (wanita) 38 – 45
18 – 20 (pria) 36 – 38
Albumin serum (g/dL) 4,7 3,8
Berat ginjal (% dari dewasa muda) 100 80
Aliran darah hepar (% dari dewasa muda) 100 55 – 60
a. Farmakokinetik
Dari keempat faktor farmakokinetik pada lanjut usia, yang terpenting adalah
faktor ekskresi oleh ginjal.
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
64
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

 Absorbsi
Absorbsi menentukan bioavailabilitas atau availabilitas sistemik (F). Bila
obat diberikan secara intravena maka F=1, bila diberikan secara oral maka F
biasanya kurang dari 1. Penyerapan obat per oral terjadi terutama di lambung
dan usus halus. Kecepatan dan tingkat absorbsi obat dari lambung dan usus
praktis secara keseluruhan tidak mengalami perubahan yang berarti, kecuali
pada beberapa obat seperti Fenitoin, Barbiturat, dan Prazosin. Perubahan ini
tidak bermakna secara klinis, terutama selama pengobatan jangka panjang.
Kadang malah dapat terjadi keadaan sebaliknya yaitu meningkatnya
bioavailabilitas Levodopa dan Propanolol akibat menurunnya inaktivasi di
saluran cerna. Peningkatan pH lambung mempengaruhi proses ionisasi dan
daya kelarutan beberara jenis obat. Penurunan aliran darah usus mengurangi
kecepatan absorbsi aktif obat-obat seperti Fe, Ca, Tiamin, Levodopa dan obat-
obat antineoplastik. Penurunan motilitas tidak memberikan banyak pengaruh.
Absorpsi melalui otot dengan pemberian obat intramuskular cenderung sedikit
melambat dikarenakan turunnya aliran darah pada otot, seperti pada obat
Lidokain dan Klordiazepoksid.
 Distribusi
Parameter distribusi disebut volume distribusi (Vd) yang menunjukkan
volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum.
Besarnya Vd ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, fungsi
kardiovaskular, kemampuan obat memasuki kompartemen tubuh dan derajat
ikatan protein plasma. Obat yang tertimbun dalam jaringan sehingga kadar
plasma rendah memiliki Vd yang besar, seperti digoksin. Sebaliknya, obat yang
terikat kuat pada protein plasma mempunyai Vd yang kecil seperti warfarin. Vd
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Vd = X X = jumlah obat dalam tubuh
C C = kadar obat dalam plasma
Hal terpenting dalam distribusi obat berhubungan dengan penyebaran obat
dalam cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan
albumin, atau pada beberapa obat lain α 1 glikoprotein), dengan sel darah merah
dan jaringan tubuh, termasuk dengan organ target. Pada lanjut usia, terdapat
penurunan massa tubuh tanpa lemak (lean body mass) dan cairan tubuh total,
penambahan lemak tubuh, penurunan albumin plasma. Volume distribusi obat
yang larut air seperti Furosemid dan Paracetamol mungkin menurun pada
lanjut usia dengan akibat meningkatnya konsentrasi dalam darah dan jaringan.
Contoh obat-obat lain yang dapat mengalami hal yang sama ialah antibiotika
Aminoglikosida dan Digoxin. Sedangkan untuk obat yang larut lemak
(lipofilik) seperti Lidokain, Amitriptilin, dan Diazepam distribusi terjadi lebih
luas dan mempunyai waktu paruh yang lebih panjang. Penurunan albumin
plasma sedikit saja pada lanjut usia yang sehat dapat menjadi lebih berarti bila
terjadi pada lanjut usia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu,
juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada
beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi dengan
eliminasi yang lebih cepat. Kadar obat-obat terutama dari jenis asam lemah
yang meningkat karena penurunan albumin plasma misalnya Fenitoin,
Digitoxin, Warfarin, Klorpropamid, Klofibrat dan Furosemid.

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
65
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

Perubahan fisiologis yang terjadi seiring dengan proses menua memang


tidak banyak berpengaruh pada distribusi obat, tetapi untuk obat-obat yang
disebutkan di atas, hendaknya faktor distribusi obat menjadi suatu hal yang
harus dipertimbangkan dalam farmakoterapi lanjut usia.
 Metabolisme
Kapasitas fungsi hepar sebagai tempat metabolisme utama obat-obatan
pada lanjut usia menurun banyak oleh karena faktor-faktor penurunan aktivitas
intrinsik enzim mikrosomal hati, berkurangnya massa hepar dan penurunan
aliran darah hepar. Aktivitas enzim-enzimnya dapat dirangsang (induced)
misalnya rifampisin, luminal dan diazepam, maupun dihambat (inhibited)
misalnya oleh Simetidin, Eritromisin, Allopurinol, Kalsium antagonis dan
Siprofloksasin. Obat-obat yang mengalami metabolisme di hepar misalnya
Parasetamol, Salisilat, Diazepam, Prokain, Propanolol, dan Warfarin,
eliminasinya akan menurun sejalan dengan kemunduran kapasitas fungsional
hepar. Penurunan massa hati konstan sesuai dengan berat badan (massa hepar
2,5% dari berat badan total). Mulai usia pertengahan, massa hati mengalami
penurunan sebesar 0,2% per tahun. Aliran darah hati juga berkurang 0,3-1,5%
pertahun. Hal ini menyebabkan kecepatan metabolisme hati menjadi bekurang,
sehingga waktu paruh eliminasi obat dalam plasma juga meningkat. Obat-obat
yang terpengaruh adalah: Propranolol, Imipramin, Desipramin, Amitriptilin,
Nortriptilin.
 Ekskresi
Perubahan fisiologis yang mempengaruhi farmakokinetik obat meliputi
penurunan massa ginjal, penurunan aliran darah ginjal (laju filtrasi glomerulus
menurun 30% pada usia 65 tahun dan tinggal ± 35% pada usia 90 tahun),
penurunan fungsi sekretorik.
Pemberian dosis obat pada pasien lanjut usia memerlukan acuan nilai
bersihan/klirens kreatinin (creatinine clearance). Nilai ini bisa diperoleh dengan
rumus Cockroft-Gault, yaitu:
Kl kreatinin = (140-umur <thn>) x berat badan <kg>
72 x kreatinin serum <mg/dl>
Untuk wanita, nilai ini dikalikan lagi dengan 0,85.

Selain dengan rumus Cockroft-Gault, perkiraan klirens kreatinin bisa


didapatkan dengan normogram Sierbaek-Nielsen. Selanjutnya, hasil bersihan
kreatinin ini dimasukkan ke dalam formula Giusti Hayton. Formula ini
sebenarnya dipakai pada pasien gagal ginjal, namun karena pada pasien lanjut
usia juga terjadi penurunan fungsi ginjal maka formula ini dapat dipakai.
G = ( 1-fR ) x (1- Kl kreatinin pasien )
Kl kreatinin normal
G = Faktor penyesuaian dosis.
f R = fraksi obat yang diekskresi utuh oleh urin dari dosis yang
bioavailabel

Dosis yang ingin diberikan bisa dihitung dengan cara:


 Dosis per kali pemberian tetap, interval diperpanjang
T = TN x 1/G
 Dosis per kali pemberian diperkecil, interval tetap

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
66
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

D = DN x G
 Cara gabungan kedua cara diatas, yaitu dosis per kali pemberian diperkecil
dan interval diperpanjang, asalkan dosis per satuan waktu sama dengan nilai
tersebut pada ginjal normal dikali dengan G.
Perhitungan ini bisa membantu dalam memperkirakan dosis, namun
pemeriksaan kadar obat plasma beberapa obat yang relatif toksik perlu
dilakukan seperti digoksin dan antibiotik aminoglikosida. Selain itu, harus
diingat bahwa perhitungan tersebut hanya didasarkan atas penurunan fungsi
ginjal penderita yang bersangkutan (berlaku untuk obat-obat yang ekskresinya
melalui filtrasi glomerulus maupun yang melalui sekresi tubulus) dan belum
memperhitungkan berbagai perubahan lainnya yang terjadi pada lanjut usia.
Oleh karena itu, perhitungan ini hanya berguna sebagai perkiraan awal yang
harus diikuti penyesuaian lebih lanjut sesuai respons klinik penderita dan/atau
kadar plasma obatnya.
Fungsi ginjal adalah suatu kerja yang dinamis, sehingga dosis rumatan
perlu diubah sesuai kondisi patologis yang terjadi pada pasien. Pasien lanjut
usia mudah mengalami kerusakan ginjal akibat dehidrasi, gagal jantung
kongestif, hipotensi, retensi urin, dan nefropati diabetikum.
Beberapa obat yang terutama mengalami ekskresi utama di ginjal adalah
simetidin, penisilin, litium, obat anti diabetik oral, pankuronium dan tetrasiklin.
Paru-paru penting dalam ekskresi obat berupa gas. Sebagai akibat
berkurangnya kapasitas respiratori dan peningkatan penyakit paru aktif pada
lanjut usia, pemakaian anestesi inhalasi menjadi pertimbangan tersendiri dan
bisa diganti dengan anestesi parenteral.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu dan
rambut tetapi dalam jumlah kecil sekali sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat.

Tabel 2. Hal-hal yang Mempengaruhi Farmakokinetik Obat pada Lanjut


Usia
Parameter Perubahan fisiologis Kondisi/penyakit
farmakokinetik yang berhubungan dengan terkait
penuaan
Absorpsi Peningkatan pH lambung Akloridia
Penurunan permukaan Diare
absorbsi Gastrektomi
Penurunan aliran darah Sindrom
spanknik malabsorpsi
Penurunan motilitas Pankreatitis
saluran cerna

Distribusi Penurunan output jantung


Penurunan jumlah air Gagal jantung
tubuh kongestif
Penurunan lean mass body Dehidrasi
Penurunan albumin serum Edem atau asites
Gagal hati
Malnutrisi

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
67
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

Gagal ginjal
Metabolisme Peningkatan -1
glikoprotein Gagal jantung
Peningkatan lemak tubuh kongestif
Penurunan massa hati Demam
Penurunan aktivitas enzim Insufisiensi hepar
Keganasan
Malnutrisi
Penyakit tiroid
Infeksi virus atau
imunisasi
Ekskresi Penurunan aliran darah
hati Hipovolemia
Penurunan aliran darah Insufisiensi ginjal
ginjal
Penurunan laju filtrasi
glomerulus
Penurunan sekresi tubulus

b. Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Perubahan-
perubahan dari aspek farmakodinamik lanjut usia meliputi penurunan
maupun peningkatan sensitivitas obat dengan reseptor (interaksi obat-
reseptor), penurunan jumlah reseptor, kejadian pasca penangkapan oleh
reseptor, serta perubahan mekanisme homeostatis.
Obat menimbulkan serentetan reaksi biokimiawi dari reseptor sampai
efektor. Di dalam sel terjadi proses biokimiawi yang menghasilkan respons
selular. Respons ini pada lanjut usia secara keseluruhan menurun. Penurunan
ini tidak dapat diprediksi dengan ukuran-ukuran matematis seperti yang
terjadi pada farmakokinetik.
Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses
biokimiawi selular intensitas pengaruhnya akan menurun, misalnya agonis β
untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal dengan
dosis yang besar, efek samping akan lebih besar pula. Sebaliknya obat-obat
yang cara kerjanya menghambat proses biokimiawi selular, pengaruhnya akan
menjadi lebih nyata sekali terlebih-lebih dengan mekanisme regulasi
homeostasis yang melemah, efek farmakologi obat dapat sangat menonjol
sehingga toksik, misalnya obat-obat antagonis β dan antikolinergik.
Secara umum, didapatkan peningkatan kepekaan sistem saraf pusat usia
lanjut terhadap psikotropika seperti Morfin, Benzodiazepin, sebagian besar
antipsikotik dan analgesik. Sebaliknya didapatkan penurunan efek obat
kardiovaskular terutama Propanolol karena penurunan sensitivitas reseptor
yang terjadi.
Berkurangnya efisiensi mekanisme homeostatik merupakan bagian dari
proses menua dengan akibat berkurangnya kemampuan lanjut usia
menetralkan berbagai efek obat sehingga lebih rentan terhadap efek
sampingnya. Akibat mundurnya fungsi baroreseptor, hipotensi postural akibat
obat sering terjadi, seperti pada penggunaan diuretika tiazid. Kemampuan

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
68
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

termoregulasi juga berkurang nyata dan hipotermia akibat obat yang


disebabkan oleh efek farmakologi langsung atau tak langsung melalui
berkurangnya mobilitas, adalah masalah utama pada usia lanjut. Fenotiazin
menimbulkan kesukaran yang nyata dalam hal ini. Jatuh pada lanjut usia juga
dapat disebabkan oleh efek obat pada mekanisme pengendalian sikap tubuh,
misalnya kejadian aritmia oleh obat.
Pemeliharaan fungsi intelektual yang normal, pengaturan kadar gula
darah dan pengendalian saraf atas fungsi berkemih dan buang air besar juga
menjadi kurang efisien. Akibatnya, meningkatlah kepekaan terhadap efek
farmakologi atau efek samping obat.
2. Kondisi Patologis
Penderita lanjut usia biasanya menderita beberapa penyakit sekaligus.
Penyakit-penyakit ini biasanya bersifat kronis seperti gagal jantung/gagal
ginjal, hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskular, diabetes, artritis, osteoporosis, katarak demensia dan
sebagainya. Selain itu, masih ada lagi komplikasi dari berbagai penyakit yang
diderita. Dari uraian ini, dapat dilihat bahwa lanjut usia memerlukan obat-
obat yang di antaranya memiliki batas keamanan yang sempit seperti
digitalis, anti-aritmia, antidiabetik oral, antipsikotik dan lain-lain. Hendaknya
diingat bahwa kadang terjadi perubahan respons terhadap penyakit sehingga
memungkinkan diagnosa dan pengobatan yang keliru dengan segala
akibatnya. Salah satu contoh adalah keluhan-keluhan psikis yang sering
muncul sebagai gejala penyakit somatis.
Diantara penyakit-penyakit yang sering diderita lanjut usia, yang dapat
mempengaruhi respons terhadap obat adalah:
- Penyakit yang menurunkan aliran darah ke organ, diantaranya adalah gagal
jantung kongestif (cardiac heart failure/CHF). Pada pasien CHF terjadi
pengurangan luasnya distribusi obat seperti lidokain, digoksin dan teofilin
sehingga dosis awal obat-obat tersebut harus dikurangi paling sedikit
1/3nya. Berkurangnya aliran darah pada hepar akan mengurangi
metabolisme obat-obat seperti Propanolol, Lidokain dan Morfin. Pada
ginjal, berkurangnya aliran darah akan mengurangi ekskresi obat-obat
dengan klirens tinggi di ginjal, terutama obat yang tidak hanya difiltrasi
oleh glomerulus tetapi juga disekresi aktif oleh tubulus ginjal, seperti
Penisilin dan Neostigmin.
- Penyakit hati, dibedakan antara penyakit hepar yang kronik seperti sirosis
hepatis dan yang akut seperti hepatitis viral akut. Pada penyakit hati kronik
terjadi penurunan aliran darah hepar, penurunan produksi albumin dan
penurunan aktivitas intrinsik enzim-enzim metabolisme sehingga
pengurangan dosis obat-obat tertentu yang dimetabolisme maupun terikat
albumin perlu dikurangi seperti Fenitoin dan Warfarin. Berapa besar dosis
yang dikurangi diperkirakan dari respons klinik atau monitoring kadar
plasma obat. Pada penyakit hepar akut, aliran darah dapat meningkat
dengan aktivitas enzim yang bisa meningkat atau menurun, kadar albumin
plasma tetap atau menurun dengan kadar bilirubin meningkat. Oleh karena
itu, klirens obat-obat dapat meningkat, menurun atau tetap.
- Gagal ginjal, jelas mengurangi klirens obat-obat yang bentuk utuhnya atau
metabolit aktifnya diekskresi oleh ginjal sehingga dosis obat perlu

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
69
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

diturunkan, terutama obat dengan batas keamanan yang sempit. Besarnya


penurunan dosis dapat diperkirakan dari mengukur atau menghitung klirens
kreatinin.

INCLUDEPICTU
RE
"http://upsdrug
.info/xanax.jpg
INCLUDEPICTURE "http://upsdrug.info/diazepam.jpg"
" \* \* MERGEFORMATINET

Tabel 3. Perubahan Respons Terhadap Obat pada Lanjut Usia


OBAT RESPONS MEKANISME UTAMA
* Digoksin Intoksikasi Berat badan ↓, filtrasi
glomerulus ↓, adanya
gannguan elektrolit, dan
penyakit kardiovaskular
yang lanjut
* Antihipertensi Sinkope akibat hipotensi Mekanisme homeostatik
(terutama postural, insufisiensi kerdiovaskular ↓
penghambat saraf koroner
adrenergik)
* Diuretik tiazid, Hipotensi, hipokalemia, Berat badan ↓, fungsi
furosemid hipovolemia, hiperglikemia, ginjal ↓, dan mekanisme
hiperurikemia homeostatik
kardiovaskular ↓
* Antikoagulan Perdarahan Respons hemostatik
vaskular ↓
* Antikoagulan Perdarahan Respons hemostatik
oral vaskular ↓, sensitivitas
reseptor di hati ↑, dan
ikatan protein plasma ↓
* Barbiturat Bervariasi dari gelisah Sensitivitas otak ↑,
sampai psikosis (terutama metabolisme hepar ↓
kebingungan mental)
* Diazepam, Depresi SSP ↑ Sensitivitas otak ↑,
nitrazepam, metabolisme hepar ↓
flurazepam
* Fenotiazin (mis. Hipotensi postural, Sensitivitas otak ↑,
klorpromazin) hipotermia, reaksi koreiform metabolisme hepar ↓
* Triheksifenidil Kebingungan mental, Sensitivitas otak ↑,
halusinasi, konstipasi, eliminasi ↓
retensi urin

* Streptomisin, Ototoksisitas Fungsi ginjal ↓


asam etakrinat
* Isoniazid Hepatotoksisitas Metabolisme hepar ↓
* Klorpropamid Hipoglikemia Berat badan ↓, filtrasi
glomerulus ↓

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
70
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

3. Interaksi Obat
Interaksi obat dari segi efek yang ditimbulkan bisa bersifat menguntungkan
seperti kombinasi obat antihipertensi dan kombinasi antituberkulosis, atau
merugikan seperti interaksi warfarin dengan obat anti-inflamasi non-steroid
(OAINS). Efek yang menguntungkan mencakup peningkatan efektifitas obat, efek
samping yang berkurang, mencegah resistensi antagonisme efek toksik oleh
antidotnya. Sedangkan pada efek yang merugikan mencakup penurunan efektifitas
obat yang berinteraksi (misalnya antagonisme) dengan akibat efek terapi tidak
tercapai, peningkatan efek samping dan/atau toksisitas.

Mekanisme interaksi obat secara garis besar


dibagi 3 yakni interaksi farmaseutik atau
inkompatibilitas, interaksi farmakokinetik, dan
interaksi farmakodinamik
Interaksi farmaseutik / inkompatibilitas terjadi
di luar tubuh sebelum obat diberikan antara obat
yang tidak dapat dicampur (inkompatibel). Pada
pencampuran ini terjadi interaksisecara kimiawi
dan fisik, yang hasilnya dapat dilihat seperti
endapan dan perubahan warna. Contohnya
pemberian infus
amfoterisin B yang mengendap dalam larutan garam fisiologis atau Ringer
laktat.
Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi
absorbsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar
plasma obat kedua meningkat atau menurun dengan akibat meningkatnya
toksisitas atau penurunan efektivitas. Contohnya adalah antasid yang
mengurangi absorpsi Fe (tingkat absorpsi), asam mefenamat yang menggeser
ikatan protein warfarin sehingga efek/toksisitas warfarin meningkat (tingkat
distribusi), fenitoin menginduksi enzim metabolisme kortikosteroid (tingkat
metabolisme), furosemid menghambat sekresi gentamisin dalam tubuli ginjal
(tingkat sekresi).
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga
terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik. Interaksi
farmakodinamik ini mempunyai arti yang penting dalam klinis. Contoh
interaksi pada reseptor ialah reseptor kolinergik dengan asetilkolin (agonis)
dan atropin (antagonis), interaksi fisiologik seperti antihipertensi dengan
diuretik, interaksi digitalis dan diuretik sehingga terjadi hipokalemia
sehingga toksisitas digitalis meningkat.
4. Faktor Genetik
Kemampuan metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor gen yang disebut
sebagai polimorfisme metabolisme obat. Dengan demikian, individu dalam
suatu populasi dapat dibagi 2 kelompok yaitu pemetabolisme ekstensif dan
pemetabolisme lemah. Farmakogenetik merupakan cabang ilmu farmakologi
klinik yang mempelajari perubahan respons terhadap obat yang disebabkan
oleh faktor genetik, tujuannya adalah mengidentifikasi perbedaan-perbedaan

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
71
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

dan sebab-sebab pada tingkat molekular, dan mengembangkan cara-cara


sederhana untuk mengenali orang-orangnya sehingga obat maupun dosis
yang diberikan dapat disesuaikan. Contoh pada gangguan tingkat gen ini
adalah penderita defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase yang mengalami
hemolisis pada pemberian obat-obat seperti primakuin dan golongan sulfa.
5. Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian
berulang. Berdasarkan mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yaitu toleransi
farmakokinetik, yang biasanya terjadi karena obat meningkatkan
metabolismenya sendiri seperti rifampisin, serta toleransi farmakodinamik
(toleransi selular) terjadi karena proses adaptasi sel terhadap obat yang terus
menerus berada di lingkungannya, misalnya pada amfetamin dan opiat.
Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang bersifat akut.
6. Faktor-faktor Lain
 Kepatuhan Penderita
Kepatuhan makan obat merupakan masalah yang cukup kompleks.
Dalam suatu penelitian, kesalahan tersering yang ditemui yaitu tidak
memakan obatnya, penggunaan obat yang tidak diberikan dokter,
kesalahan besarnya dosis, urutan atau waktu makan obat. Mereka yang
membuat kesalahan umumnya berumur lebih 75 tahun, hidup sendiri, dan
menderita banyak penyakit sekaligus.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan pasien
minum obat:
 Sifat penyakit
Penyakit kronik yang memerlukan terapi profilaksis atau supresif
jangka lama, dan yang bila obat tidak dimakan akibatnya tidak
terlihat langsung, cenderung menimbulkan ketidakpatuhan.
 Regimen obat yang kompleks yang memerlukan berbagai jenis obat
dan pemberian dosis yang sering atau timbulnya efek samping.
 Hambatan fisik, psikologik, sosial dan ekonomi.
Kepatuhan penderita dapat ditingkatkan dengan menyederhanakan
regimen obat dan melakukan langkah-langkah berikut:
Jelaskan mengenai obat yang diberikan meliputi efek obat, cara minum,
dan efek samping, baik kepada penderita atau teman dan kerabatnya,
bila perlu beri petunjuk secara tertulis.
Pilihan preparat, dipilih yang cocok dengan penderita seperti pemberian
bentuk sirup lebih cocok untuk penderita dengan kesukaran menelan.
Wadah obat jelas dengan label yang jelas, mudah dibuka, terbuat dari
bahan transparan seperti plastik atau gelas karena para lanjut usia
sering mengenali obatnya dari bentuk ukuran, dan warna.
Bantuan mengingat misalnya dengan kalender harian atau buku harian.
Anjurkan membuang obat-obat yang lama agar tidak membingungkan
pasien sendiri.
Kepatuhan penderita dapat dicek misalnya dengan melakukan
pemeriksaan mendadak di lemari obat sewaktu kunjungan rumah. Bila
gagal harus dilakukan supervisi pengobatan.
 Faktor Gizi dan Diet

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
72
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

Telah diketahui bahwa diet tinggi protein meningkatkan aktivitas


enzim-enzim metabolisme obat di hati seperti sehingga mempercepat
metabolisme obat-obat seperti Teofilin, Propanolol, Fenitoin dengan
akibat berkurangnya masa kerja, efek farmakologik dan toksisitas.
Kurang protein dan vitamin sering terjadi pada lanjut usia yang tidak atau
kurang aktif. Pada lanjut usia golongan ini, berbagai faktor seperti rasa
kesepian, depresi, keuangan terbatas, penyakit yang membatasi aktivitas
seperti artritis menyebabkan mereka hanya makan sedikit dan mengalami
penurunan nafsu makan. Telah diketahui pula bahwa merokok dapat
menginduksi enzim metabolisme hati untuk beberapa obat seperti
Teofilin, Propanolol, Diazepam pada usia muda dan pertengahan
sedangkan pada lanjut usia efek induksi ini hampir tidak ada. Dengan
demikian, memasuki lanjut usia malah dapat terjadi pengurangan enzim-
enzim ini. Akibatnya toksisitas obat mudah terjadi bila dosis obat-obat
tersebut tidak diturunkan.
 Ketepatan Medikasi
Ini adalah tanggung jawab dokter bila obat didapatkan dari resep
dokter. Diagnosa yang tepat dan pengetahuan akan prinsip-prinsip
pengobatan pada usia lanjut menjadi kunci keberhasilan. Selain itu,
permasalahan dalam tepatnya pemakaian obat dapat diakibatkan oleh
diagnosa yang keliru oleh pasien sendiri karena mengkonsumsi obat-obat
yang dijual bebas tanpa konsultasi terlebih dahulu.

7. Efek Nonterapi pada Lanjut Usia


Efek nonterapi atau efek samping (side effect / adverse drug reaction)
adalah semua efek yang tidak diharapkan atau yang berbahaya akibat obat
yang diminum dengan cara dan dosis yang sesuai dengan anjurannya.
Kejadian ini pada lanjut usia meningkat 2-3 kali lipat yang mencakup paling
banyak mengenai sistem gastrointestinal. Peningkatan efek nonterapi dapat
diakibatkan oleh semua faktor yang mempengaruhi respons penderita lanjut
usia terhadap obat seperti yang telah diuraikan di atas.
Klasifikasi efek samping obat:
- Tipe A (efek samping obat yang dapat diprediksi)
Reaksi tipe A merupakan efek komponen faarmakologis obat yang
bersangkutan. Insidensnya tinggi, tetapi jarang mengancam jiwa.
- Tipe B (efek samping obat yang tidak dapat diprediksi)
Tipe ini mencakup reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi dan anafilaktik. Reaksi
ini jarang terjadi tapi berpotensi mengancam jiwa.
Yang perlu diingat adalah suatu penyakit mungkin merupakan akibat dari
suatu efek samping obat. Cara terbaik dalam menangani pasien yang dicurigai
mengalami efek nonterapi adalah menghentikan pemberian obat atau
mengurangi dosisnya di bawah pengawasan serta mengubah jenis obat.
Kadang diperlukan tambahan obat lain untuk membantu menangani hal ini,
seperti pemberian kalium pada hipokalemia akibat diuretik. Beberapa contoh
obat yang menimbulkan kelainan yang sering terjadi pada usia lanjut:
- Hipotensi postural oleh obat antihipertensi.
- Sembelit oleh kodein, verapamil, nifedipin, antikolinergik.
- Gangguan lambung oleh kortikosteroid dan AINS.

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
73
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

INCLUDEPICTURE "http://upsdrug.info/claritin.jpg" \* MERGEFORMATINET

Tabel 4. Obat Berpotensi Efek Samping Berat atau Tidak Biasa pada
Lanjut Usia
OBAT EFEK YANG TIDAK
DIHARAPKAN
antibiotik aminoglikosida tuli, gagal ginjal
semua barbiturata bingung
antikollinergik (kerja sentral) misal halusinasi visual dan dengar
triheksifenidil
glikosida jantung kelainan prilaku, nyeri perut, lesu,
anokreaksia, berat badan turun,
klopromazin aritmia
kotrimokazol hipotensi postural, hipotermia
agranulositosis, anemia aplastik,
disopiramid reaksi kulit serius
enalapril (kaptopril) pada gagal retensi urin, sembelit
jantung gagal ginjal, hipotensi dosis pertama
estrogen retensi cairan, gagal jantung
flunarizin, sinarizin kongestif
furosemid parkinsonisme
isoniazid hipotensi, gangguan sirkulasi otak
litiuma hepatotoksik
asam mefenamat beser, dehidrasib
metildopa diare, kerusakan hati
nitrofurantoina mengantuk dan depresi
NSAID (beberapa) mis. neuropati perifer, reaksi di paru
azopropazon, luka saluran cerna, perdarahan, dan
ketoprofen, piroksikama perforasi
pentasozina bingung, efeknya beragam
triazolam bingung, reaksi psikosis
a
obat yang kalau mungkin dihindari untuk lanjut usia.
b
akibat poliuria.

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
74
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

III. FARMAKOTERAPI PADA LANSIA


Bab ini membahas aspek-aspek farmakoterapi yang penting pada lanjut
usia pada beberapa keadaan patologis yang menyertainya.

Pengobatan Hipertensi pada Lanjut Usia


Kebanyakan orang tua yang mengalami hipertensi, kecuali hipertensi
sistolik, menunjukkan resistensi perifer yang meningkat. Di samping itu
pembuluh darah besar khususnya aorta menjadi kaku sehingga sukar
mengembang. Naiknya resistensi perifer menjadi unsur untuk terjadinya
peningkatan diastolik yang diikuti tekanan sistolik. Di lain pihak, kekakuan
aorta akan meningkatkan tekanan sistolik. Pemilihan obat hipertensi
dipengaruhi pula oleh volume intravaskular yang rendah dan tonus neurogenik
yang tinggi. Adanya penyakit-penyakit lain seperti diabetes melitus, penyakit
paru, jantung, gout serta penyakit sendi merupakan pertimbangan khusus dalam
memilih obat.

Diuretik
Diuretik tiazid dapat merupakan pilihan pertama, sebaiknya diberikan
sekali sehari dalam dosis kecil dan dinaikkan (bila perlu) setelah waktu yang
cukup. Dosis hidroklorotiazid 12,5 mg atau klortalidon 25 mg sehari umumnya
memuaskan. Harus diingat bahwa pemberian berlebihan dapat menimbulkan
hipovolemia. Hipokalemia dapat dihindarkan dengan diuretik hemat kalium
seperti spironolakton atau triamteren atau dengan memberikan substitusi
kalium, terutama pada penderita penyakit jantung koroner dan penderita yang
juga memakai preparat digitalis. Efek samping lain yang perlu diingat ialah
golongan tiazid dapat mencetuskan hiperglikemia dan serangan gout.

Beta-bloker
Variasi individu farmakoninetik β-bloker sangat nyata sehingga dosis perlu
perhatian penyesuaian yang cermat. Efek nonterapi ringan cukup sering terjadi,
dan yang paling penting pada kaum usia lanjut adalah hipotensi postural,
bradikardia dan asma bronkiale. Penghentian tiba-tiba setelah penggunaan
jangka panjang kadang dapat menyebabkan hipersensitivitas simpatis
sementara seperti takikardia.
Tabel 5. Interaksi Penting Antara β-bloker dengan Obat Lain
Obat yang berinteraksi Akibat yang mungkin timbul

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
75
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

Verapamil Blok jantung, hipotensi postural, asistol


Disopiramid Gagal jantung, hipotensi postural
Turunan nitrat Hipotensi postural
Zat simpatomimetik Berkurangnya efek antihipertensi
Kelompok obat β-bloker dapat dibagi menjadi 2 yaitu yang bekerja pada
reseptor β1 dan β2 (β-bloker nonselektif) dan yang terutama bekerja pada
reseptor β1 (β-bloker selektif). β-bloker nonselektif yang bisa dipakai berupa
propanolol 20mg, 2 kali sehari dengan dosis maksimum 120 mg atau sotalol 40
mg, 2 kali sehari. Sedangkan β-bloker selektif dapat berupa atenolol 25 mg
sekali sehari dengan dosis maksimum 100 mg atau metoprolol 25 mg sekali
sehari dengan dosis maksimum 200mg.
Efek hipertensi mungkin baru timbul 1-3 minggu. Yang perlu diingat ialah
denyut nadi tidak boleh kurang dari 45 kali per menit sebelum terapi dan
kontraindikasinya yaitu gangguan aliran nafas dan gagal jantung. Ekskresi
atenolol dan sotalol bergantung pada fungsi ginjaldan dosis harus diturunkan
sampai 50% bila nilai klirens kreatinin di bawah 30 ml/mnt.

Penghambat ACE ( angiotensin converting enzyme )


Pengalaman pada usia lanjut terbatas pada kaptopril 25 mg, dua kali sehari
atau 12,5 mg, tiga kali sehari dan enalapril dosis rendah. Obat ini bermanfaat
juga bagi gagal jantung. Eliminasi obat maupun metabolitnya melalui ginjal
sehingga pada lanjut usia dengan penurunan fungsi ginjal harus diberikan hati-
hati terutama terhadap kemungkinan hiperkalemia.

Kalsium antagonis
Kalsium antagonis adalah segolongan obat yang dipakai pada jantung
koroner juga mempunyai efek hipotensif, terutama pada orang hipertensi. Dari
berbagai jenis dalam golongan obat ini, yang terbanyak dipakai ialah
verapamil, diltiazem dan nifedipin. Akhir-akhir ini amlodipin juga semakin
banyak dipergunakan. Semua analog dihidropiridin relatif aman dan efektif
untuk mengatasi hipertensi pada lanjut usia dengan penyesuaian dosis menurut
berat badan dan fungsi ginjal. Perhatian perlu diberikan pada pasien dengan
angina tidak stabil. Dikatakan pula golongan obat ini kurang memberikan
manfaat bila dikombinasikan dengan obat lain.

Antihipertensi lainnya
Banyak obat lain yang bersifat vasodilator seperti metildopa, prazosin dan
doksazosin dipakai pada usia lanjut namun obat-obat ini biasanya kurang
efektif dan memberikan resiko tertentu. Tak satu pun yang telah dipelajari
mendalam pada pasien lanjut usia dengan hipertensi. Karena itu
penggunaannya secara umum tidak dianjurkan.
Reserpin, walaupun efektif, sebaiknya dihindarkan karena depresi yang
dapat ditimbulkannya. Metildopa kadang menyebabkan kekeringan mulut dan
rasa mengantuk. Klonidin efektif, namun kadng-kadang penurunan tekanan
darah terjadi secara cepat. Selain itu penghentian mendadak dapat
menimbulkan krisis hipertensi. Guanetidin sebaiknya tidak diberikan pada
lanjut usia.

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
76
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

Pengobatan Hiperlipidemia pada Lanjut Usia


Seperti halnya pengobatan hipertensi, sasaran
penggunaan obat penurun kadar lipid bukanlah untuk
mengadakan koreksi biokimiawi atau memperbaiki
variabel-variabel klinis-fisiologis, melainkan untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.
Telah diperhitungkan bahwa kadar kolesterol serum yang tinggi pada orang
berusia di atas 65 tahun tetap merupakan faktor resiko, tetapi belum dibuktikan
bahwa resiko ini dapat diturunkan hanya dengan menggunakan obat penurun
kadar kolesterol. Obat-obat yang lebih tua (asam nikotinat, fibrat) relatif kurang
aman bagi kaum lanjut usia. Kalau diputuskan untuk menggunakan obat,
pilihannya adalah penghambat HMG-CoA reduktase, misalnya simvastatin
dengan dosis serendah mungkin seperti 10 mg per hari satu kali sehari.

Penggunaan Obat Kardiovaskular pada Lanjut Usia


Glikosida Jantung
Masalah timbul dari meningkatnya waktu paruh digoksin akibat lanjut usia
maupun kondisi patologi yang menyertai seperti penurunan fungsi ginjal yang
penting untuk tahap ekskresi obat ini. Dosis toksik dan terapi berdekatan
sehingga memiliki “margin of safety” yang rendah. Interaksi dengan diuretik
terutama pengosongan kalium yang bisa berakibat toksik terhadap jantung.
Efek samping banyak dan dapat dikelompokkan sebagai efek samping susunan
saraf pusat seperti kebingunan, mual, muntah dan pusing, serta efek samping
kardiovaskular seperti bradikardia, ekstrasistol dan aritmia yang dapat fatal.
Kadang dapat terjadi pula ginekomastia. Untuk penilaian efektivitas digoksin,
hasil monitoring kadar digoksin plasma tidak boleh dipakai sebagai pedoman
mutlak, tetapi harus dikaitkan juga dengan penilaian secara klinis penderita.
Glikosida jantung diindikasikan untuk terapi gagal jantung, sering diberikan
dalam dosis beban (loading dose) untuk segera mengatasi gejala lalu
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan. Untuk dosis beban, digoksin dapat
diberikan 0,5-0,75mg ; 0,125-0,25 adalah dosis pemeliharaan yang lazim.

Antiaritmia
Efek samping antiaritmia sering terjadi pada lanjut usia sehingga
pengobatan dibatasi pada aritmia yang menyebabkan gejala yang serius dan
parah saja serta mengancam jiwa. Hendaknya dihindari kombinasi dua atau
lebih antiaritmia karena dapat memicu terjadinya blok jantung yang parah,
gagal jantung dan hipotensi postural. Umumnya antiaritmia bervariasi
farmakokinetiknya dari orang ke orang. Karena batas keamanan yang sempit,
obat ini harus dititrasi dosisnya. Pengukuran kadar dalam serum secara rutin
dianjurkan untuk penggunaan kebanyakan antiaritmia pada lanjut usia.
Amiodaron merupakan antiaritmia yang efektif, sayangnya menimbulkan
sejumlah efek samping. Diantaranya adalah perubahan fungsi tiroid, fibrosis
paru dan hepatitis. Dengan dosis serendah-rendahnya (tidak lebih dari
200mg/hari), obat ini diindikasikan untuk takiaritmia dengan sindrom pra-
eksitasi.
Kuinidin dan verapamil bermanfaat pada takikardia supraventrikular,
sedangkan β-bloker efektif untuk takikardia akibat keracunan digitalis maupun

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
77
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

tirotoksikosis. Kuinidin berkurang klirensnya sampai 30% pada usia di atas 60


tahun. Penurunan klirens terjadi pada ginjal dan hati. Lidokain digunakan untuk
mengobati aritmia ventrikular. Obat ini mengalami metabolisme terutama di
hati sehingga kemunduran faal hati akan meningkatkan toksisitas seperti
pengaruh sedasi dan kejang-kejang. Untuk glikosida jantung, selain untuk
terapi gagal jantung, dapat pula diberikan pada fibrilasi atrium.

Antiangina
Nyeri iskemia sangat menakutkan dan melumpuhkan sehingga harus selalu
diobati. Antiangina dapat diberikan untuk keadaan akut seperti nitrogliserin
sublingual atau untuk mencegah serangan. Semua obat golongan ini dapat
menyebabkan hipotensi postural. Antiangina dapat berupa β-bloker, antagonis
kalsium atau sediaan nitrat.
β-bloker yang dipakai yang bersifat kardioselektif. Karena sifatnya
hidrofilik, maka obat ini sukar masuk ke dalam otak dan efek sentralnya seperti
kelemahan dan depresi juga berkurang. Atenolol tidak mengalami metabolisme
hati yang berarti dan mempunyai masa kerja yang lama dan dapat diramalkan,
karena itu dapat diberikan dalam dosis tunggal.
Kalsium antagonis relatif aman untuk lanjut usia untuk angina pasca kerja
maupun nokturnal, kecuali angina tidak stabil dan dapat digunakan untuk
penderita asma. Efek samping yang tersering adalah hipotensi postural, sakit
kepala, udem dan sembelit. Untuk nifedipin, sediaan lepas lambat lebih disukai
pada usia lanjut. Dosis awal untuk nifedipin, verapamil dan diltiazem berturut-
turut 3x5 mg, 3x40 mg dan 3x60 mg.
Derivat nitrat mencakup nitrogliserin, isosorbiddinitrat dan isosorbid
mononitrat. Efek antianginanya efektif dan aman bagi pasien gagal jantung dan
asma. Namun penggunaan berlebihan dapat menyebabkan toleransidan angina
yang lebih parah ketika obat dihentikan. Efek samping yang sering berupa
hipotensi postural dan sakit kepala. Isosorbid dinitrat merupakan derivat nitrat
yang paling umum digunakan dengan dosis 5-10 mg, 3-4 kali sehari untuk
pencegahan serangan dan 5-10 mg sublingual untuk serangan akut.

Penggunaan Antidiabetik pada Lanjut Usia


Tujuan pengobatan diabetes pada lanjut usia adalah meringankan gejala,
mencegah komplikasi dan mengendalikan penyakit dalam keadaan darurat.
Kelompok obat antidiabetik ini adalah:
- Sulfonilurea
Golongan ini mencakup glibenklamid, glipizid, glikuidon dan
glibenklamid yang sering digunakan. Walaupun tersedia di pasar, klorpropamid
yang diekskresi melalui ginjal, dan karenanya akan tertimbun terutama pada
penderita gagal ginjal, tidak boleh digunakan pada lanjut usia. Hal ini dapat
menyebabkan hipoglikemia berat dan lama (dengan kemungkinan kerusakan
otak menetap), hiponatremia dan retensi cairan. Efek samping tersering
mencakup ruam kulit dan hipoglikemia. Interaksi utama adalah dengan
antikoagulan (resiko perdarahan meningkat) dan sulfonamid (resiko
hipoglikemia meningkat) Pada banyak pasien, respons terhadap sulfonilurea
menurun sejalan dengan usia.
Tabel 6. Obat Antidiabetik

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
78
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

Obat Dosis harian ( mg )


Kerja singkat (2-4 kali sehari)
Glibenklamid 5-45
Glipizid 2,5-7,5
Glikuidon 15-45
Tolbutamid 500-1500
Kerja lama (1 kali sehari ) (pada lanjut usia sebaiknya dihindari )
Klorpropamid 12,5-75
- Biguanid
Kini hanya metformin yang tersedia. Obat ini dapat menyebabkan
asidosis laktat pada lanjut usia dan tidak boleh diberikan pada penderita
penyakit jantung, ginjal dan hati berat. Efek samping berupa anoreksia dan
diare. Efek anoreksia ini digunakan untuk mengurangi berat badan penderita.
- Insulin
Insulin dikelompokkan menjadi kerja singkat, menengah, lama dan
kombinasinya. Untuk lanjut usia dan rumatan , sekali suntik dalam sehari
lebih baik daripada dua kali atau lebih sehingga dapat dipakai insulin
kombinasi. Dosis insulin pada lanjut usia harus selalu disesuaikan dengan
perubahan nutrisi dan berpegang prinsip bahwa mencegah hipoglikemia lebih
penting daripada hiperglikemia.

Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) pada Lanjut Usia
Golongan obat ini banyak digunakan dalam regimen terapi penyakit sendi
seperti osteoartritis, artritis reumatoid dan artritis gout. Banyak tersedianya
OAINS menyulitkan pemilihan obat yang rasional. Banyak di antaranya
menimbulkan interaksi yang serius dengan obat lain seperti antikoagulan
warfarin. Semua OAINS menyebabkan gangguan saluran cerna termasuk
perdarahan. Jika suatu jenis OAINS tidak efektif, lebih baik ganti dengan jenis
lain daripada melanjutkan dengan dua macam obat. Jika nyeri tidak dapat
hilang dengan OAINS saja, penambahan analgesik seperti paracetamol dapat
berguna.

Klasifikasi OAINS:
- Derivat salisilat
Biasanya sangat efektif, namun sering menimbulkan mual, muntah, diare
atau perdarahan saluran cerna. Kaum lanjut usia lebih besar
kemungkinannya untuk menderita tinitus dan pusing. Gangguan saluran
cerna dapat dikurangi dengan sediaan salut enterik.
- Derivat pirazol
Termasuk dalam golongan ini adalah fenilbutazon, oksifenbutazon dan
azapropazon. Selain efek samping saluran cerna, golongan ini dapat
menimbulkan retensi cairan dan NaCl. Ini dapat menimbulkan volume
plasma meningkat dengan akibat resiko serangan gagal jantung akut pada
lanjut usia yang sakit jantung. Walaupun daya inflamasi cukup baik dan
relatif ekonomis, efek samping terhadap sumsum tulang dan hematopoesis
sangat mengganggu. Efek ini dapat berupa anemia aplastik yang sering
terutama pada lanjut usia sedangkan agranulositosis lebih sering pada

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
79
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

dewasa muda. Jika tidak perlu sekali, sebaiknya obat ini tidak diberikan
pada lanjut usia.
- Derivat asam asetat
Indometasin relatif sering menimbulkan dispepsia dan iritasi lambung
dibandingkan OAINS lain. Efek samping lain termasuk nyeri kepala dan
bingung/pusing dan retensi cairan dapat juga pada lanjut usia. Sedangkan
diklofenak dan fenklofenak memiliki sifat farmakologik yang sama dengan
efek samping yang lebih rendah.
- Derivat asam propionat
Derivat ini mencakup banyak obat seperti yang umum dikenal antara lain
ibuprofen, ketoprofen dan naproksen. Absorpsi obat golongan ini cukup
baik dan fraksi yang terikat protein plasma cukup tinggi. Karena ikatan
protein obat-obat ini terjadi di tempat lain daripada ikatan obat
hipoglokemik dan antikoagulan oral, maka interaksi antara obat-obat ini
tidak begitu bermakna secara klinis. Secara umum derivat propionat lebih
sedikit menimbulkan efek samping gastro-intestinal di banding salisilat.
- Derivat fenamat
Obat ini sering menimbulkan diare dan dapat mengakibatkan dehidrasi.
Contoh golongan obat ini adalah asam mefenamat dan asam flufenamat.
- Derivat oksikam
Suatu contoh yang umum adalah piroksikam. Obat ini mempunyai masa
kerja panjang sehingga dapat diberikan sekali sehari. Perlu diperhatikan
bahwa hambatan terhadap biosintesis prostaglandin yang penting untuk
homeostasis seperti PGI2 (prostasiklin) untuk mukosa lambung mungkin
mengandung resiko yang lebih besar dibanding OAINS yang masa kerja
pendek.

Tabel 7. Beberapa Interaksi yang Penting Antara Obat NSAI dengan


Obat Lain
OAINS OBAT MEKANISME EFEK
INTERAKSINY INTERAKSI
A
Aspirin Antasida Kompleks tidak larut dalam Kegagalan terapi
lumen usus.
Hemorrhagia
Antikoagulan Sinergisme dan
oral penggeseran ikatan protein
Indometasin Bendrofluazid ? Efek hipotensif
berkurang
Furosemid Interaksi farmakodinamik Diuresis
berkurang

Propanolol ? Efek hipotensif


berkurang
Fenilbutazon Klorpropamid Penggeseran ikatan protein Hipoglike
oskifenbutazo dan hambatan enzim mia
n metabolisme.

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
80
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

Tolbutamid Sama seperti diatas. Hipoglikemia


Fenitoin Sama seperti diatas. Peningkatan
toksisitas
Warfarin Sama seperti diatas. fenitoin
Potensiasi efek
anti koagulan

Tabel 8. Resiko dan Kontra Indikasi Relatif OAINS pada Lanjut Usia
KEADAAN OAINS DAN KETERANGANNYA
1.Usia sangat lanjut a.Resiko toksik sistem hematopoeitik akan sangat
bertambah pada pemberian fenilbutazon dan
oksifenbutazon.
b.Presipitasi decompensatio-cordis dengan fenilbutazon
dan oksifenbutazon.

2.Hipertensif dan Fenilbutazon dan oksifenbutazon menambah


CHF (gagal jantung kemungkinan retensi cairan.
kongesif)

3.Fungsi hepar yang Resiko toksik akan bertambah dengan semua OAINS
sangat menurun karena hampir semua menjalani metabolisme hepar.

4.Fungsi ginjal yang Resiko toksik akan bertambah dengan OAINS yang juga
sangat menurun diekskreasi melalui ginjal seperti aspirin, azapropazon dan
alklofenak.

5.Ulkus peptikum Semua obat OAINS bersifat iritan terhadap mukosa


lambung dan seringkali menimbulkan eksaserbasi ulkus
dan juga perdarahan gastro-intestinal. Beberapa OAINS
memang lebih baik toleransinya.

6.Asma Aspirin menimbulkan asma pada penderita yang sensitive.


OAINS lainnya ternyata dapat menimbulkan juga gejala
asma atau penurunan dalam FEV1.

7.Anemia refrakter, Pemberian fenilbutazon dan oksifenbutazon dapat


diskrasia darah meningkatkan toksik terhadap sIstem hematopoetik.

8.Diare kolitis OAINS sejenis asam mefenamat dapat memperhebat


ulseratif diare.

Penggunaan Kortikosteroid pada Lanjut Usia


Walaupun kortikosteroid digunakan dengan indikasi yang sama dengan
indikasi pada orang muda, kaum lanjut usia memperlihatkan kerentanan
terhadap banyak efek samping. Kebanyakan efek samping ini hilang bila obat
diberikan tetapi ada juga yang tidak dapat pulih. Di antaranya adalah
berkurangnya massa tulang, hipertensi, dipicunya atau kambuhnya tukak

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
81
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

lambung, memburuknya diabetes dan berkurangnya ketahanan terhadap infeksi.


Karena alasan inilah kortikosteroid tidak boleh diberikan pada usia lanjut,
kecuali jika benar-benar diperlukan. Pengobatan dengan steroid mencakup
indikasi yang luas misalnya injeksi intra-artikular untuk artritis, krim untuk
dermatitis, tetes mata, obat hirup untuk asma. Karena cakupan yang luas ini,
bentuk, dosis dan lama pengobatan disesuaikan dengan masing-masing kondisi
fisiopatologis penderita.

Penggunaan Antimikroba pada Lanjut Usia


Secara umum indeks terapi antimikroba cukup lebar.
Banyak di antara obat antimikroba memiliki waktu paruh
yang pendek sehingga bila ada perubahan akibat usia,
maka pemanjangan waktu paruh secara absolut bernilai
kecil. Keberhasilan terapi dengan antimikroba pada lanjut
usia juga dipengaruhi
terutama oleh keadaan imunitas dan kondisi patologis lain yang menyertai.
Pada lanjut usia dapat terjadi penurunan fungsi imunologis yang ditandai
dengan malfungsi dan deteriorisasi sel-sel T yang berperan dalam imunitas
selular. Kadar imunoglobulin IgM juga sangat menurun. Adanya penyakit-
penyakit seperti diabetes melitus, malnutrisi dan pengobatan dengan sitostatika
akan menyebabkan kemunduran reaksi pertahanan tubuh dan umumnya infeksi
lebih berat dan lebih sulit untuk diatasi. Pemilihan antibiotika juga harus hati-
hati karena misalnya kloramfenikol dan sulfonamida menyebabkan potensiasi
kerja obat sulfonilurea.
Toksisitas antimikroba sering dianggap remeh. Efek nonterapi sering
terjadi walaupun kebanyakan ringan, misalnya reaksi kulit yang sering terjadi.
Obat yang ototoksik atau nefrotoksik seperti aminoglikosida sedapat mungkin
dihindari atau dosisnya dikurangi. Tetrasiklin dapat meningkatkan urea darah
dan berbahaya pada gangguan ginjal. Tetrasiklin dan sulfadiazin dapat
mengganggu aktivasi sistem komplemen sehingga hal ini berarti pula
penghambatan kerja bakterisidal fisiologik.
Terdapat hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemakaian antimikroba:
1. Ratio untung/rugi. ( Benefit/Risk ratio )
Pertimbangan untung-rugi ini harus diterapkan lebih ketat pada lanjut usia.
Aminoglikosida, tetrasiklin, amfoterisin B dan vankomisin yang disekresi
melalui ginjal perlu perhatian khusus. Perlu diperoleh data dasar dan
periodik dari klirens kreatinin. Lanjut usia mungkin pula disertai gangguan
kardiovaskular, hepar, gastrointestinal, endokrin atau anemia. Semua
keadaan ini dipertimbangkan pada pemilihan dan pemakaian antibiotik.
2. Keterbatasan penggunaan bakteriostatik.
Tujuan penggunaan antibiotik adalah memusnahkan mikroorganisme. Pada
pemakaian bakteriostatik diperlukan bantuan pertahanan tubuh untuk proses
eliminasi total kuman-kuman dari tubuh yang mungkin kurang adekuat
sehingga untuk mencapai hasil pengobatan yang optimal untuk kelompok
usia lanjut ini sebaiknya diberikan preferensi untuk menggunakan
bakterisida.
3. Pembatasan lama pemakaian antibiotika.

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
82
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

Masalah kapan menghentikan terapi timbul bila tidak ditemukan suatu


kausa yang jelas dari kelainan penderita. Suatu pedoman yang dapat dipakai
adalah meneruskan obat selama 5 hari setelah penderita tidak demam lagi
bila infeksi diduga disebabkan oleh bakteri. Pemberian antimikroba yang
lama tanpa indikasi yang jelas akan memperbesar kemungkinan
superinfeksi dan membahayakan keadaan penderita. Usaha ke suatu
diagnosis yang pasti perlu ditingkatkan.
4. Memperhatikan interaksi antibiotika dengan obat yang lain.
Contoh yang umum telah dikemukakan seperti interaksi antara
kloramfenikol dan sulfonilurea yang dapat mempotensiasi kerja
sulfonilurea. Kloramfenikol juga menghambat enzim hati yang merusak
fenitoin sehingga meningkarkan kadar fenitoin. Tetrasiklin dan sulfonilurea
akan meningkatkan toksisitas pada hepar.

Penggunaan Obat Susunan Saraf Pusat pada Lanjut Usia


Pada umumnya telah disetujui bahwa para lanjut usia lebih sensitif
terhadap obat-obat yang bekerja terhadap susunan saraf pusat karena jumlah
neuron di korteks serebri berkurang, adanya akumulasi pigmen lipofusin di sel-
sel otak, adanya gangguan endokrin dan turunnya peredaran darah otak sebagai
akibat aterosklorosis. Sebagai akibat insufisiensi ginjal dan hepar serta
akumulasi zat-zat yang biasanya didetoksifikasi, terdapat suatu peninggian
respons sistem saraf terhadap berbagai psikofarmaka.
Klirens levodopa berkurang pada lanjut usia karenanya perlu dosis
permulaan yang lebih rendah dan harus dimonitor akan efek samping yang
terjadi. Pada penggunaan jangka panjang dapat terjadi komplikasi motorik
seperti fluktuasi on-off dan diskinesia. Disarankan oleh sebagian ahli neurologis
untuk menggunakan agonis dopamin (bromokriptin, pergolide) awal sebelum
menggunakan levodopa sehingga bisa menghindari atau menunda komplikasi-
komplikasi ini. Karena pasien lanjut usia dengan parkinson mungkin
mengalami juga gangguan kognitif, obat-obat antikolinergik sebaiknya
dihindari jika mungkin. Parkinsonisme akibat obat (drug-induced) bisa
berlangsung sampai 9 bulan setelah obat dihentikan.
Untuk obat-obat antipsikotik, umumnya menyebabkan sedasi, hipotensi
postural, efek antikolinergik dan akatisia. Jika digunakan, obat antipsikotik
sebaiknya sekitar ¼ dosis dewasa muda dan ditingkatkan perlahan-lahan.
Klorpromazin suatu neuroleptik kuat hanya digunakan bila benar-benar perlu.
Resiko terjadinya disfungsi ekstrapiramidal tampak lebih jarang terjadi pada
obat antipsikotik baru seperti olanzepin, quetiapin dan risperidon. Hal ini
merupakan suatu keuntungan tersendiri untuk pasien lanjut usia. Namun,
pengalaman dengan obat-obat ini masih jarang dan pengurangan dosis awal
diperlukan misalnya risperidon 2-4 mg/hari.
Insomnia merupakan kejadian yang cukup sering ditemui. Sebab-sebab
terjadinya hal ini harus dicari sebelum memberikan hipnotik. Umumnya,
benzodiazepin dengan lama kerja singkat sampai menengah lebih disukai
seperti alprazolam dan lorazepam. Benzodiazepin kerja panjang sebaiknya
dihindari karena resiko terjadinya akumulasi dan toksisitas meningkat, yang
dapat berupa kebingungan, gangguan memori atau keseimbangan yang bisa
menyebabkan jatuh dan fraktur.

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
83
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

Penanganan insomnia harus dibatasi pada terapi jangka pendek kalau


memungkinkan karena toleransi dan ketergantungan dapat terjadi, dan putus
obat jangka panjang bisa menyebabkan rebound insomnia dan ansietas yang
lebih berat. Buspiron, suatu agonis serotonin partial, seefektif benzodiazepin
pada penanganan gangguan kecemasan. Namun karena mula kerja yang lama
(2-3 minggu), pada keadaan akut kurang berguna.
Pada umumnya, antidepresi pilihan adalah golongan SSRI (selective
serotonin re-uptake inhibitor, misalnya fluoksetin, paroksetin, sertralin). SSRI
seefektif antidepresi trisiklik namun dengan toksisitas yang lebih rendah.
Paroksetin dapat menginhibisi aktivitas enzim sitokrom P-450 hepar dengan
akibat terganggunyametabolisme beberapa obat seperti beberapa antipsikotik,
antiaritmia dan antidepresi trisiklik. Dosis awal SSRI sebaiknya dikurangi
sampai 50% pada lanjut usia. Antidepresi trisiklik dengan efek antikolinergik
signifikan (amitriptilin dan imipramin), efek antihistamin (doksepin) dan efek
antidopaminergik (amoksapin) sedapat mungkin dihindari. Nortriptilin dan
desipramin dengan efek antikolinergik minimal dapat dipakai, misalnya dengan
dosis 10-20 mg/hari. Penghambat monoamin oksidase seperti transipromin dan
fenelzin diresepkan hanya oleh psikiatrist yang berpengalaman dengan pasien
lanjut usia.

IV. PRINSIP PERESEPAN DAN PEMBERIAN OBAT PADA LANSIA


Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam proses pembuatan
preskripsi (peresepan obat):
1. Diagnosis dan patofisiologi penyakit.
2. Kondisi dan konstitusi tubuh/organ.
3. Farmakologi klinik obat.
Setelah diagnosis ditegakkan perlu dibuat pemetaan proses patofisiologis
yang sedang berlangsung. Dan dengan peta ini ditentukan titik-titik sasaran obat
dengan cermat. Secara farmakologik dipilih obat-obat yang sesuai/pas dengan
kondisi/konstitusi organ pasien. Dengan kaidah-kaidah farmakologi klinik
(farmakokinetik dan farmakodinamik), ditentukan dosis, cara, frekwensi dan
lama pemakaian serta cara penghentian obat.
Lima kriteria pokok pemakaian obat secara rasional adalah:
1. Tepat indikasi.
2. Tepat pasien.
3. Tepat obat.
4. Tepat dosis (cara dan lama pemberian).
5. Waspada efek samping obat.
Adapun prinsip-prinsip pemberian obat pada lanjut usia pada hakekatnya
sama dengan pada penderita muda, dengan beberapa modifikasi berdasarkan
adanya perubahan-perubahan yang khusus terdapat pada lanjut usia sebagaimana
telah diuraikan di atas.
Prinsip-prinsipnya adalah sebagai berikut:
1. Tinjau apakah perlu dimulainya suatu terapi farmakologis.
a. Tidak semua penyakit yang dialami oleh pasien lanjut usia perlu
penanganan secara medis.
b. Jika mungkin, hendaknya penggunaan obat dihindarkan, tetapi jangan
pula menunda suatu terapi farmakologis bila penyakit pasien memerlukan

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
84
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

penatalaksanaan farmakologis dengan segera, untuk meningkatkan


kualitas hidup pasien tersebut.
c. Terapi hendaknya disesuaikan dengan diagnosa dan hindari sedapat
mungkin pengobatan atas dasar simptom.
2. Perhatikan riwayat dan kebiasaan penggunaan obat pasien.
a. Pasien sering kali berobat pada dokter yang berbeda-beda.
b. Pengetahuan tentang terapi yang sering dan sudah diterima pasien, baik
yang diresepkan oleh dokter maupun yang tidak diresepkan sangat
membantu dalam mengantisipasi terjadinya interaksi obat.
c. Kebiasaan merokok, minum alkohol, dan kafein dapat mempengaruhi
respons tubuh terhadap obat.
3. Pengetahuan tentang farmakologi obat yang akan diresepkan.
a. Gunaakan sesedikit mungkin obat, dengan tujuan yang jelas tetapi efektif
daripada mengunakan banyak macam obat tetapi tidak efektif.
b. Hati-hati pada perubahan fisiologis yang terkait usia.
c. Perhatikan kemungkinan efek samping obat dan interaksi obat.
d. Hati-hati pada perubahan fisiologis yang terkait usia.
e. Bila terdapat keragu-raguan, lebih baik tidak memberikan obat.
4. Berikan dosis obat yang rendah.
a. Dosis standar sering terlalu besar untuk pasien lanjut usia.
b. Metabolisme obat oleh hati kurang dapat diprediksi, sedangkan ekskresi
obat melalui ginjual cenderung menurun pada pasien lanjut usia.
5. Titrasi obat berdasarkan respons pasien terhadap terapi.
a. Mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan sampai dosis yang
adekuat tercapai, misalya dengan ½ lebih sedikit dosis biasa pada
penderita dewasa muda.
b. Efek samping obat yang tidak diinginkan membatasi peningkatan dosis.
c. Gunakan dosis yang cukup. Hal ini penting pada pasien-pasien yang
mengalami rasa nyeri yang hebat terkait dengan keganasan.
d. Kadang kala terapi kombinasi lebih efektif daripada terapi dengan satu
macam obat.
6. Sederhanakan regimen pemberian obat dan kepatuhan berobat.
a. Hindari regimen pemberian obat yang rumit. Sekali sehari atau dua kali
sehari adalah regimen pemberian yang ideal. Upayakan bersaman dengan
kegiatan rutin harian, misalnya makan.
b. Pilih bentuk obat yang tepat untuk pasien.
c. Berikan label obat dengan jelas atau jika perlu berikan tempat khusus
yang mudah diingat untuk tiap macam obat.
d. Berikan penjelasan yang cukup kepada pasien mengenai obat yang
diberikan.
e. Sarankan penggunaan kalender obat atau diari/catatan harian.
f. Sarankan pasien untuk membuang obat-obatan yang sudah lama. Jangan
sampai pasien mencari dan memakai obat yang telah lama dibuka
meskipun tanggal kadaluarsa belum dilampaui.
g. Sarankan adanya pengawasan pemantauan minum obat oleh tetangga,
keluarga, teman atau tenaga medis.
7. Periode pengobatan jangan terlalu lama, tinjau secara teratur rencana
pengobatan, hentikan obat-obat yang sudah tidak diperlukan.

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
85
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

8. Ingat bahwa suatu penyakit mungkin merupakan efek samping obat.

V. KESIMPULAN
Ada banyak faktor-faktor yang mempengaruhi respons akhir penderita lanjut
usia terhadap suatu obat di antaranya yang dipelajari secara khusus dalam
farmakologi klinik yaitu perubahan aspek farmakokinetik dan farmakodinamik.
Efek samping atau toksik juga lebih mudah terjadi pada usia lanjut akibat
kemunduran metabolisme dalam tubuh yang mengatur detoksifiksasi obat. Jadi,
untuk memberikan suatu pengobatan yang rasional diperlukan pengetahuan
medis dan obat yang baik serta pemahaman keadaan yang ada pada penderita
secara utuh dan menyeluruh sesuai dengan lima kriteria pokok pemakaian dan
prinsip-prinsip pemberian obat-obat pada lanjut usia.

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
86
Gerontofarmakologi Meilisa Maretta Arif, S.Ked (406080047)

DAFTAR PUSTAKA

Ahronheim JC : Special Problems in Geriatrics Patient. Cecil’s Textbook of


Medicine. Goldman L, Bennett SC (editors), WB Saunders Company, 2000

Bietje IS, dr. : Farmakoterapi pada Lanjut Usia. Kumpulan Kuliah Farmakologi
Kedokteran, fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara.

Erton AN, Overstall PW : Principles of Drug Theraphy. Guidelines in Geriatrics


Medicine, vol 1. University Rock Press, 1979.

Hazzard WR, Andres R, et al : Clinical Pharmacology. Principles of Geriatrics and


Gerontology, 2nd ed. Mc Graw Hill, 1990.

Katzung BG : Special Aspects of Geriatrics. Pharmacology and Clinical


Pharmacology, 4th ed. Prentice-Hall Int Inc, 1989.

Martono HH, Nasution I, et al : Penggunaan Obat Secara Rasional pada Usia Lanjut.
Buku Ajar Geriatri, Boedhi R, Martono AVASCULAR NECROSIS (editor). FKUI,
1999

Muchtar A, Setiawati A : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respons Penderita


terhadap Obat. Buku Ajar Farmakologi dan Terapi, edisi 4. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1999.

Ofterhaus L : Obat untuk Kaum Lanjut usia (terjemahan), edisi 2. World Health
Organization, Penerbit ITB, 1997.

Setiawati A, Suyatna FD, et al : Pengantar Farmakologi. Buku Ajar Farmakologi dan


Terapi, edisi 4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999.

Suherman SK, Wilmana F, et al : Simposium obat pada Usia Lanjut. Ikatan Ahli
Farmakologi Indonesia, 1983.

Wilmana PF : Problem Geriatri dalam Terapi Obat. Acta Medica Indonesiana X,


1979.

www.merck.com/mrkshared/mmg,sec1/ch6/ch6e.jsp

www.mssm.edu/grecc/modules/Module14.pdf#search=’geriatrics%20pharmacology

Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Sasana Tresna Werdha Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan, Cibubur
Periode 06 April 2009 – 09 Mei 2009
87

Anda mungkin juga menyukai