Typhus Abdominalis
Typhus Abdominalis
A. DEFINISI
Tifus abdominalis ( demam tifoid, enteric fever ) adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,
gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005). Menurut Suriadi, 2006,
tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan
gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran. Sedangkan menurut
Wikipedia, 2000, Thypoid fever, also known as thypoid is a common worldwide illness,
transmitted by the ingestion of food or water contaminated with the feces of an infected person,
which contain the bacterium Salmonella Typhi.
Jadi, tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran yang
disebabkan oleh infeksi bakteri salmonella typhi.
B. ETIOLOGI
1. Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak
bersepora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu:
a. Antigen O (somatic, terdiri dar izat komplek liopolisakarida)
b. Antigen H (flagella)
c. Antigen V1 dan protein membrane hialin.
2. Salmonella parathypi A
3. Salmonella parathypi B
4. Salmonella parathypi C
5. Feces dan Urin dari penderita thypus
Faktor Risiko
1. Kebiasaan jajan di tempat-tempat yang tidak memenuhi syarat kesehatan
2. Lingkungan yang kotor
3. Daya tahan tubuh yang rendah
( Suriadi. 2006 )
C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik thyphus abdominalis pada pasien dewasa biasanya lebih berat dibandingkan
anak. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi melalui makanan,
sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi
ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, nafsu
makan berkurang,dan tidak bersemangat.
Gejala klinis yang biasa ditemukan ialah :
1. Demam. Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remitens dan
suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu badan berangsur-angsur naik setia
hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu badan
berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu keempat.
2. Gangguan pada saluran pencernaan. Pada mulut terdapat bau nafas tidak sedap (halitosis),
bibir kering dan pecah-pecah (rhagaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue),
ujung dan tepi lidah kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar diserta nyeri pada perabaan.
Defekasi biasanya konstipasi, mungkin normal dan kadang-kadang diare.
3. Gangguan kesadaran. Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak dalam, yaitu
apatis sampai somnolen, jarang terjadi sopor, koma atau gelisah (kecuali penyakitnya berat
dan terlambat mendapatkan pengobatan).
4. Disamping gejala diatas, pada punggung atau anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu
bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit terutama ditemukan pada
minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan pula bradikardia dan epistaksis.
( Ngastiyah, 2005 ).
D. PATOFISIOLOGI
Makanan atau minuman yang telah terkontaminasi oleh kuman Salmonella Typhosa
masuk kedalam lambung, selanjutnya lolos dari sistem pertahanan lambung, kemudian masuk ke
usus halus, melalui folikel limpa masuk kesaluran limpatik dan sirkulasi darah sistemik, sehingga
terjadi bakterimia. Bakterimia pertama-tama menyerang Sistem Retikulo Endoteleal (RES) yaitu
: hati, lien dan tulang, kemudian selanjutnya mengenai seluruh organ di dalam tubuh antara lain
sistem syaraf pusat, ginjal dan jaringan limpa.Cairan empedu yang dihasilkan oleh hati masuk ke
kandung empedu sehingga terjadi Kolesistitis. Cairan empedu akan masuk ke Duodenum dan
dengan virulensi kuman yang tinggi akan menginfeksi intestin kembali khususnya bagian illeum
dimana akan terbentuk ulkus yang lonjong dan dalam. Masuknya kuman ke dalam intestin terjadi
pada minggu pertama dengan tanda dan gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu akan naik
pada malam hari dan akan menurun menjelang pagi hari. Demam yang terjadi pada masa ini
disebut demam intermiten (suhu yang tinggi, naik turun dan turunnya dapat mencapai normal).
Disamping peningkatan suhu tubuh juga akan terjadi obstipasi sebagai akibat penurunan
motilitas suhu, namun ini tidak selalu terjadi dapat pula terjadi sebaliknya. Setelah kuman
melewati fase awal intestinal, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dengan tanda peningkatan
suhu tubuh yang sangat tinggi dan tanda-tanda infeksi pada RES seperti nyeri perut kanan atas,
splenomegali dan hepatomegali. Pada minggu selanjutnya dimana infeksi Focal Intestinal terjadi
dengan tanda-tanda suhu tubuh masih tetap tinggi, tetapi nilainya lebih rendah dari fase
bakterimia dan berlangsung terus menerus ( demam kontinue ), lidah kotor, tepi lidah hiperemis,
penurunan peristaltik, gangguan digesti dan absorbsi sehingga akan terjadi distensi, diare dan
pasien merasa tidak nyaman, pada masa ini dapat terjadi perdarahan usus, perforasi dan
peritonitis dengan tanda distensi abdomen berat, peristaltik menurun bahkan hilang, melena,
syock dan penurunan kesadaran.
(Agus Waluyo. 2004 )
E. PENULARAN
1. Kuman tipes masuk/ menular melalui mulut dengan makanan atau minuman yang tercemar.
2. Pencemaran kuman tipes dapat terjadi :
a. Dengan perantaraan lalat.
b. Melalui aliran sungai.
( Duta. 2010 )
F. PENCEGAHAN
1. Usaha terhadap lingkungan hidup
a. Penyediaan air minum yang memenuhi syarat
b. Pembuangan kotoran manusia yang higienis
c. Pemberantasan lalat
d. Pengentasan terhadap rumah-rumah makan dan penjual makanan
e. Tingkatkan kebersihan diri dan lingkungan
f. Pilih makanan yang telah diolah dan disajikan dengan baik (memenuhi syarat kesehatan)
g. Jamban keluarga harus cukup jauh dari sumur (harus sesuai standar pembuatan jamban yang
baik)
2. Usaha terhadap individu
a. Imunisasi
b. Menemukan dan mengawasi carrier typhoid
c. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat
( Vietha. 2009 )
G. KOMPLIKASI
1. Kompilikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstra intestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler
Kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah
Anemia hemolitik, trombositopenia, disseminated intravascular coaguilation (DIC) dan sindrom
uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru
Pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi hepar dan kandung empedu
Hepatitis dan kolesistitis.
e. Komplikasi ginjal
Glomerulonefritis, pielonefretis dan perinefretis.
f. Komplikasi tulang
Osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik
Delirium, meningismus, menengitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain Barre, psikosis dan
sindrom katatonia.
( Yoga. 2009 )
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk membuat diagnosa pasti perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan darah tepi
Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas, terjadi gangguan absorbsi,
hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan penghancuran sel darah merah dalam
peredaran darah. Leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000 – 4000 /mm3 ditemukan pada
fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu
hilangnya eosinofil dari darah tepi. Trombositopenia terjadi pada stadium panas yaitu pada
minggu pertama. Limfositosis umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan
endotoksin. Laju endap darah meningkat.
2. Pemeriksaan urine
Didaparkan proteinuria ringan ( < 2 gr/liter) juga didapatkan peningkatan lekosit dalam urine.
3. Pemeriksaan tinja
Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan usus dan perforasi.
4. Pemeriksaan bakteriologis
Diagnosa pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman salmonella dan biakan darah tinja, urine,
cairan empedu atau sumsum tulang.
5. Pemeriksaan serologis
Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ). Adapun antibodi yang dihasilkan
tubuh akibat infeksi kuman salmonella adalah antobodi O dan H. Apabila titer antibodi O adalah
1 : 20 atau lebih pada minggu pertama atau terjadi peningkatan titer antibodi yang progresif
(lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu kemudian menunjukkan diagnosa
positif dari infeksi Salmonella typhi.
6. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat demam tifoid.
( Sutedjo. 2008 )
I. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan adalah :
a. Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam
tifoid.Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena,sampai 7 hari
bebas demam.Penyuntikan kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak dianurkan karena
hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.Dengan
kloramfenikol,demam pada demam tifoid dapat turun rata 5 hari.
b. Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol.Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada
klloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun rata-
rata 5-6 hari.
c. Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas ko-trimoksazol
kurang lebih sama dengan kloramfenikol,Dosis untuk orang dewasa,2 kali 2 tablet
sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400
mg sulfametoksazol).dengan ko-trimoksazol demam rata-rata turun d setelah 5-6 hari.
d. Ampicillin dan Amoxicillin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam, efektivitas
ampicillin dan amoxicillin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak
penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar
antara 75-150 mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan Amoxicillin dan
Ampicillin, demam rata-rata turun 7-9 hari.
e. Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi
ketiga antara lain cefoperazon, ceftriaxon, dan cefotaxime efektif untuk demam tifoid tetapi dosis
dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti.
f. Fluorokinolon : Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama pemberian
belum diketahui dengan pasti.
2. Perawatan
a. Penderita dirawat dengan tujuan untuk isolasi, observasi, dan pengobatan. Klien harus tetap
berbaring sampai minimal 7 hari bebas demam atau 14 hari untuk mencegah terjadinya
komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
b. Pada klien dengan kesadaran menurun, diperlukan perubahan-perubahan posisi berbaring
untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
3. Diet
a. Pada mulanya klien diberikan bubur saring kemudian bubur kasar untuk menghindari
komplikasi perdarahan usus dan perforasi usus.
b. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat secara dini yaitu nasi, lauk
pauk yang rendah sellulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman
kepada klien.
( Anonim. 2009 )
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata
1) Usia ( sering terjadi pada anak-anak tetapi bisa juga pada semua usia )
2) Jenis kelamin ( tidak ada pebedaan yang nyata antara insidensi demam tifoid pada pria dan
wanita )
3) Pendidikan ( kebersihan makanan atau minuman )
b. Keluhan utama
Minggu pertama : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi/diare peraaan tidak enak di perut, batuk dan epitaksis.
Minggu kedua : pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara berangsur-angsur
pada minggu ketiga.
Kriteria hasil :
Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Pasien mampu menghabiskan porsi makanan yang telah disediakan.
Adanya keseinbangan intake dan output.
Intervensi:
a. Dorong tirah baring
Rasional:
Menurunkan kebutuhan metabolic untuk meningkatkan penurunan kalori dan simpanan energi
b. Anjurkan istirahat sebelum makan
Rasional:
Menenangkan peristaltic dan meningkatkan energi makan
c. Berikan kebersihan oral
Rasional :
Mulut bersih dapat meningkatkan nafsu makan
d. Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan
Rasional:
Lingkungan menyenangkan menurunkan stress dan konduktif untuk makan
e. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat
Rasional:
Nutrisi yang adekuat akan membantu proses
f. Kolaborasi pemberian nutrisi, terapi IV sesuai indikasi
Rasional:
Program ini mengistirahatkan saluran gastrointestinal, sementara memberikan nutrisi penting.
d. Resiko volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh b/d kehilangan cairan sekunder terhadap
diare
Tujuan:
Mempertahankan volume cairan adekuat dengan membran mukosa, turgor kulit baik, kapiler
baik, tanda vital stabil, keseimbangan dan kebutuhan urin normal
Intervensi:
a. Awasi masukan dan keluaran perkiraan kehilangan cairan yang tidak terlihat
Rasional:
Memberikan informasi tentang keseimbangan cairan dan elektrolit penyakit usus yang
merupakan pedoman untuk penggantian cairan
b. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa turgor kulit dan pengisian kapiler
Rasional:
Menunjukkan kehilangan cairan berlebih atau dehidrasi
c. Kaji tanda vital
Rasional :
Dengan menunjukkan respon terhadap efek kehilangan cairan
d. Pertahankan pembatasan peroral, tirah baring
Rasional:
Kalau diistirahkan utnuk penyembuhan dan untuk penurunan kehilangan cairan usus
e. Kolaborasi utnuk pemberian cairan parenteral
Rasional:
Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan cairan untuk mempertahankan kehilangan
e. Intoleransi aktivitas b/d peningkatan kebutuhan metabolisme sekunder terhadap infeksi akut
Tujuan:
Melaporkan kemampuan melakukan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
a. Tingkatkan tirah baring dan berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung
Rasional:
Menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan
b. Ubah posisi dengan sering, berikan perawatan kulit yang baik
Rasional:
Meningkatkan fungsi pernafasan dan meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk
menurunkan resiko kerusakan jaringan
c. Tingkatkan aktifitas sesuai toleransi
Rasional :
Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan karena keterbatasan aktifitas yang menganggu
periode istirahat
d. Berikan aktifitas hiburan yang tepat (nonton TV, radio)
Rasional:
Meningkatkan relaksasi dan hambatan energi
f. Resiko infeksi berhubungan dengan melemahnya daya tahan penjamu sekunder akibat infeksi
bakteri.
Tujuan : individu melaporkan faktor resiko yang berkaitan dengan infeksi dan kewaspadaan yang
diperlukan.
Kriteria hasil :
- Menggambarkan metode penularan infeksi
- Menggambarkan pengaruh nutrisi pada pencegahan infeksi
Intervensi dan rasional :
a. Lakukan teknik isolasi untuk infeksi enteric dan pernafasan sesuai kebijakan rumah sakit.
Rasional : Mencegah transmisi penyakit bakteri ke orang lain.
b. Awasi/batasi pengunjung sesuai indikasi.
Rasional : Pasien terpajan terhadap proses infeksi potensial resiko komplikasi sekunder
c. Jelaskan prosedur isolasi pada pasien/orang lain.
Rasional : Pemahaman alasan untuk perlindungan diri mereka sendiri dan orang lain dapat
mengurangi perasaan isolasi dan stigma.
g. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya emboli dalam kapiler.
Tujuan :klien menunjukkan penyembuhan jaringan progresif
Kriteriahasil :
- Menguraikan etiologi dan tindakan pencegahan
- Menjelaskan rasional intervensi
Intervensi :
a. kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, hangat lokal, eritema,
ekskoriasi.
Rasional : Kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi, dan imobilisasi. Jaringan dapat
menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi dan rusak.
b. Ubah posisi secara periodik dan pijat dan pijat permukaan tulang bila pasien tidak bergerak
atau ditempat tidur.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi ke semua area kulit membatasi iskemia jaringan/
mempengaruhi hipoksia seluler.
c. Batasi penggunaan sabun.
Rasional : -Sabun dapat mengeringkan kulit secara berlebihan dan meningkatkan iritasi.
d. Gunakan alat pelindung. Misal : kulit domba, keranjang, kasur tekanan udara/air, pelindung
tumit/siku.
Rasional : Menghindari kerusakan kulit dengan mencegah/menurunksn tekanan terhadap
permukaan kulit.
( Carpenito. 2006 )
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.
Vietha. 2009.http://viethanurse.wordpress.com/2009/02/25/asuhan-keperawatan-anak-dengan-
typhus-abdominalis/. Diperoleh tanggal 15-10-2010.