Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL PENELITIAN SKRIPSI

KEPASTIAN HUKUM LEMBAGA KOPERASI YANG MENJALANKAN


KEGIATAN USAHA PERGADAIAN

Legal Certainty Of Cooperative Institutions That Running Pawnshop Business


Activities

Oleh :
Aziz Alfa Antoni
150710101145

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
2019

i
PROPOSAL PENELITIAN SKRIPSI

KEPASTIAN HUKUM LEMBAGA KOPERASI YANG MENJALANKAN


KEGIATAN USAHA PERGADAIAN

Legal Certainty Of Cooperative Institutions That Running Pawnshop Business


Activities

Oleh :
Aziz Alfa Antoni
150710101145

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
2019

ii
PERSETUJUAN

PROPOSAL SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 26 APRIL 2019

Oleh :
Dosen Pembimbing Utama,

I Wayan Yasa, S.H., M.H.


NIP. 196010061989021001

Dosen Pembimbing Anggota,

Dr. Moh. Ali, S.H., M.H.


NIP. 197210142005011002

Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Jember

Prof. Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si.


NIP.195701051986031002

iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Dipersembahkan di Hadapan Panitia Penguji Pada :


Hari : Kamis
Tanggal : 09
Bulan : Mei
Tahun : 2019
Diterima oleh Panitia Penguji Fakultas Hukum Universitas Jember

Panitia Penguji;
Ketua, Sekretaris,

Iswi Hariyani, S.H., M.H. Rhama Wisnu Whardana, S.H., M.H.


NIP. 196212161988022001 NIP. 76002482

Anggota Penguji,

I Wayan Yasa, S.H., M.H. …………………………..


NIP: 196010061989021001

Dr. Moh. Ali, S.H., M.H. …………………………..


NIP: 197210142005011002

iv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN .................................................................... i
HALAMAN SAMPUL DALAM ................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii
HALAMAN PENETAPAN ........................................................................... iv
HALAMAN DAFTAR ISI............................................................................. v
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................... 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 7
2.1 Koperasi ....................................................................................... 7
2.1.1 Istilah dan Pengertian Koperasi ......................................... 7
2.1.2 Landasan Koperasi ............................................................. 8
2.1.3 Prinsip dan Asas Koperasi ................................................. 9
2.1.4 Bentuk dan Jenis Koperasi ................................................. 10
2.1.5 Usaha Perkoperasian .......................................................... 11
2.2 Gadai ............................................................................................ 13
2.2.1 Istilah dan Pengertian Gadai .............................................. 13
2.2.2 Dasar Hukum Gadai........................................................... 14
2.2.3 Operasional Gadai.............................................................. 15
2.3 Teori Kewenangan ....................................................................... 15
2.3.1 Pengertian Wewenang ....................................................... 15
2.3.2 Sumber Wewenang ............................................................ 16
2.4 Teori Pengawasan ........................................................................ 18
2.4.1 Konsep Pengawasan .......................................................... 18
2.4.2 Kewenangan Pengawasan .................................................. 19
BAB 3. METODE PENELITIAN ................................................................. 21
3.1 Tipe Penelitian ............................................................................. 21
3.2 Pendekatan Masalah..................................................................... 21

v
3.3 Bahan Hukum .............................................................................. 22
3.3.1 Bahan Hukum Primer ........................................................ 22
3.3.2 Bahan Hukum Sekuder ...................................................... 23
3.3.3 Bahan Non Hukum ............................................................ 23
3.4 Analisa Bahan Hukum ................................................................. 24
BAB 4. SISTEMATIKA PENULISAN ........................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA

vi
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keberadaan sistem ekonomi di berbagai negara selalu dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain ideologi, sifat, jatidiri bangsa maupun struktur ekonomi di
negara itu. Begitu pula di Indonesia, dalam hal ini negara Indonesia menganut sistem
demokrasi ekonomi yang merupakan perwujudan dari falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya
disebut UUD NRI 1945) yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan dari,
oleh dan untuk rakyat di bawah pimpinan dan pengawasan pemerintah.
Pembinaan sistem ekonomi yang khas bagi Indonesia baiknya berpegang
teguh pada pokok-pokok fikiran sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan
UUD NRI 1945. Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945 telah mengamanatkan bahwa
perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan, bahwa bangun perusahaan yang
sesuai dengan itu adalah Koperasi.1 Melalui kegiatan koperasi dalam tatanan
perekonomian nasional, diharapkan akan mampu mewujudkan masyarakat yang
adil, makmur dan maju berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Koperasi merupakan salah satu dari tiga pilar perekonomian Indonesia,
selain BUMN dan Perusahaan Swasta.2 Keberadaan koperasi dalam sistem
perekonomian Indonesia tetap mempunyai peluang usaha ditengah berbagai
macam tantangan, ancaman, dan hambatannya. Koperasi harus mempunyai
kemampuan untuk bekerja secara produktif dan efisien sebagai wujud pelaku
ekonomi serta mencerminkan ketentuan-ketentuan yang menggambarkan
kehidupan dalam suatu keluarga. Layaknya dalam suatu keluarga, bahwa segala
sesuatu yang dikerjakan secara bersama-sama adalah ditujukan untuk
kepentingan seluruh anggota keluarga.3 Usaha bersama tersebut merupakan
salah satu cerminan semangat kebersamaan dan gotong royong dalam kegiatan
usaha koperasi.
1
Budi Untung, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, (Yogyakarta: ANDI
Yogyakarta, 2005), hlm. 95
2
Cita Yustitia Serfiyani, R. Serfianto D. Purnomo, dan Iswi Hariyani, Restrukturisasi
Perusahaan Dalam Perspektif Hukum Bisnis pada Berbagai Jenis Badan Usaha, (Yogyakarta:
ANDI Yogyakarta, 2017), hlm. 397
3
Budi Untung, Op. Cit., hlm. 95

1
2

Usaha perkoperasian berkaitan langsung dengan kepentingan anggota


guna meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota. Dalam hal ini, koperasi
dapat menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan
ekonomi masyarakat. Sebagaimana yang termaktub pada Pasal 44 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi (untuk selanjutnya disebut UU
Perkoperasian), yang menyatakan bahwa
“Koperasi dapat menghimpun dan menyalurkan dana melalui kegiatan
usaha simpan pinjam dari dan untuk anggota koperasi, calon anggota
koperasi, koperasi lain dan atau anggotanya sebagai salah satu atau
satu-satunya kegiatan usaha koperasi”.4
Pengembangan koperasi perlu dilakukan guna mewujudkan koperasi yang
sehat, tangguh, kuat serta mandiri. Untuk itu, koperasi dinilai perlu melakukan
rekayasa kelembagaan dengan cara membagi organisasi ke berbagai bidang usaha
baik produksi, konsumsi maupun jasa. Seiring dengan perkembangan jaman
perkembangan usaha perkoperasian tidak hanya sebatas pada kegiatan usaha
simpan pinjam saja. Saat ini kegiatan usaha koperasi juga telah merambak pada
usaha jasa yakni jasa pada bidang pergadaian.
Usaha pergadaian yang dijalankan koperasi merupakan sebuah kegiatan
usaha yang bergerak di bidang jasa perkreditan atas dasar hukum gadai (untuk
selanjutnya disebut Koperasi Gadai).5 Hal ini dikuatkan dengan peraturan yang
dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (untuk selanjutnya disebut OJK) yaitu
Peraturan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian (selanjutnya
disebut POJK Pergadaian), pada Pasal 2 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa
Koperasi merupakan salah satu badan hukum yang bisa menjalankan usaha
pergadaian selain perseroan terbatas. Keberadaan usaha pergadaian tersebut
dapat membantu, atau setidaknya memudahkan masyarakat yang sedang terbelit
masalah keuangan. Dalam hal mendapatkan pinjaman dana, pergadaian memiliki
tempat tersendiri dihati masyarakat, terutama bagi mereka yang membutuhkan
dana secara cepat. Pemberian pinjaman oleh pergadaian pun sangatlah sederhana,
singkat, dan tidak memerlukan birokrasi yang panjang. Hal ini dikarenakan dalam

4
Koperasi simpan pinjam, http://www.citraniaga.com/index.php/faq/31-general/90-
koperasi-simpan-pinjam, Diakses pada 28 Januari 2019, Pukul 20.00 WIB.
5
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), hlm. 37
3

peminjaman dan pengembalian pinjaman tidak melibatkan instansi lainnya, tidak


seperti pinjaman kredit dengan konstruksi hak tanggungan dan jaminan fidusia.
Selain itu, syarat untuk menggadaikan pun sangat mudah. Calon peminjam
cukup datang ke kantor pergadaian dengan membawa fotokopi identitas diri dan
barang jaminan.6 Kualitas barang jaminan kemudian dinilai oleh penaksir guna
menentukan jumlah pinjaman yang akan diterimanya.7 Apabila calon peminjam
setuju, maka barang jaminan ditahan untuk disimpan dan nasabah akan
memperoleh pinjaman dana serta surat bukti gadainya. Secara umum, besar atau
kecilnya jumlah pinjaman tergantung dari kualitas barang yang dijadikan jaminan.
Semakin baik kualitasnya, maka akan semakin besar pula jumlah pinjaman yang
dapat diberikan, begitu juga sebaliknya. Meskipun demikian, pergadaian tetap
mempunyai batasan nominal tertentu dalam menentukan besar ataupun kecilnya
pinjaman. Tergantung dari kebijakan dari pergadaian yang bersangkutan.
Pada prinsipnya, gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian
utang-piutang yang mana untuk mendapatkan kepercayaan dari orang si pemberi
pinjaman, maka orang yang menerima pinjaman menggadaikan barangnya
sebagai jaminan terhadap utangnya. Adapaun barang jaminan
“merupakan penegas atau pemberi rasa ketenangan, baik bagi pihak
pemberi dana maupun peminjam dana. Dengan Jaminan tersebut
pemberi dana merasa aman akan dana yang telah diserahkan. Gadai
sebagai transaksi dalam memudahkan orang yang membutuhkan dana,
selain tidak mengorbankan harga diri, tetapi juga menjadi salah satu
upaya untuk menjaga kepercayaan orang lain”.8
Barang jaminan tetap menjadi milik orang yang menggadaikan, akan
tetapi dikuasai oleh si penerima gadai. Hal ini bertujuan untuk memberikan
perlindungan hukum kepada penerima gadai (kreditur), karena apabila objek
dari gadai terutama berupa benda bergerak masih dikuasai oleh pemiliknya
maka tidak menutup kemungkinan adanya itikad tidak baik dari pemilik jaminan

6
Tarita Kooswanto, Eksistensi Gadai Sebagai Lembaga Jaminan di Tengah Menjamurnya
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Dewasa Ini. Jurnal
Repertorium Universitas Sebelas Maret Volume 1 Nomor 2, 2014, hlm. 16
7
Menurut Pasal 1 Angka 13 POJK Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian,
Penaksir adalah orang yang memiliki sertifikat keahlian untuk melakukan penaksiran atas nilai
Barang Jaminan dalam transaksi Gadai
8
Susanti, Konsep Harga Lelang Barang Jaminan Gadai dalam Ekonomi Islam di
Pergadaian Syariah Cabang Simpang Patal Palembang, Jurnal Intelektua Universitas Islam
Negeri Raden Fatah Palembang Volume 5 Nomor 1, 2016, hlm. 46
4

untuk kemudian mengalihkan bendanya yang sudah menjadi objek jaminan


gadai. Adanya barang jaminan gadai digunakan sebagai penegas atau pemberi
rasa ketenangan, baik bagipihak pemberi dana maupun peminjam dana, dengan ini
pemberi dana akan merasa aman atas dana yang telah diserahkan. Terhadap
barang jaminan, pada saat debitur tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
yang telah disepakati, maka lembaga pergadaian mempunyai kewenangan untuk
mengambil pelunasan piutangnya dengan cara melelang barang jaminan gadai
yang ada dibawah kekuasaannya.
Berkaitan dengan beragamnya jenis usaha yang dijalankan oleh koperasi
memiliki beberapa efek samping, termasuk kegiatan pergadaian yang terindikasi
melakukan praktik penyelewengan. Penyimpangan tersebut dapat berupa suku
bunga yang tinggi, menjadi lembaga rentenir, melelang jaminan tanpa pemberitahuan
pemilik barang, maupun hanya menjadi kedok menjalankan bisnis pribadi untuk
mengakali pajak. Di sisi lain, kepastian hukum terkait dengan operasional koperasi
gadai masih sangat abstrak. Hal ini terjadi karena dalam satu lembaga tunduk kepada
dua regulasi yang berbeda. Secara kelembagaan, koperasi tetap tunduk pada UU
Perkoperasian, sementara jenis usaha pergadaian yang dijalankan koperasi tunduk
pada POJK Pergadaian. Jika mengacu pada UU Perkoperasian khususnya Pasal 44
Ayat (2), kegiatan usaha koperasi hanya terbatas pada kegiatan simpan pinjam saja.
Hal ini mengandung arti bahwa kegiatan usaha pergadaian yang dijalankan koperasi
tidak diperbolehkan menurut UU Perkoperasian.
Selain itu, juga terdapat ketidakjelasan dalam pengawasan praktek
koperasi gadai. Pasal 41 POJK Pergadaian menyatakan bahwa Pengawasan
terhadap perusahaan pergadaian dilakukan oleh OJK. Hal tersebut juga dikuatkan
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro,
yang menjadi ranah pengawasan dinas hanya koperasi yang bergerak dibidang usaha
jasa keuangan simpan pinjam saja. Secara otomatis, usaha pergadaian yang
dijalankan koperasi menjadi domain OJK, bukan lagi Dinas Koperasi. Akibatnya,
akan terjadi konflik kewenangan antara Dinas Koperasi dengan OJK jika suatu
saat terdapat aduan dari masyarakat yang merasa dirugikan atas praktik yang
dilakukan koperasi gadai tersebut, karena memang terdapat dua lembaga
pemerintah yang bertugas dan berwenang dalam mengawasinya.
5

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka Penulis akan


membahas dan mengkaji dalam suatu karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi
dengan judul “Kepastian Hukum Lembaga Koperasi yang Menjalankan
Kegiatan Usaha Pergadaian”.

1.2 Rumusan Masalah


Melalui latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka permasalahan
yang akan dibahas sebagai berikut :
1. Apa permasalahan hukum yang terjadi pada lembaga koperasi yang
menjalankan kegiatan usaha pergadaian?
2. Bagaimana kepastian hukum lembaga koperasi yang menjalankan kegiatan
usaha pergadaian?

1.3 Tujuan Penulisan


Guna memperoleh manfaat dan memenuhi sasaran yang akan dicapai,
ditetapkan tujuan penulisan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam
penyusunan dan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1.3.1. Tujuan Umum


Adapun tujuan umum yang hendak dicapai dalam penyusunan dan
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Guna memenuhi dan melengkapi persyaratan akademis dalam memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember.
2. Sebagai sarana pengaplikasian ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu
hukum yang didapat selama kuliah dengan realita yang ada di masyarakat.
3. Memberikan informasi dan mengembangkan pikiran yang berguna bagi
kalangan umum dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember.

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Mengkaji dan menganalisis permasalahan hukum yang terjadi pada
lembaga koperasi yang menjalankan kegiatan usaha pergadaian.
2. Mengkaji dan menganalisis kepastian hukum bagi koperasi yang
menjalankan kegiatan usaha pergadaian.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Koperasi
2.1.1 Istilah dan Pengertian Koperasi
Secara etimologis, kata koperasi berasal dari bahasa latin yaitu “Cum” dan
“Aperari” yang berarti dengan bekerjasama. Dalam bahasa Belanda disebut dengan
istilah Cooperative dan dalam bahasa Inggris disebut dengan Cooperation. Secara
leksikologis, koperasi bermakna sebagai suatu perkumpulan kerja sama yang
beranggotakan orang atau badan-badan dimana ia diberikan kebebasan untuk keluar
masuk menjadi anggotanya. Lebih lanjut G. Kartasaputra mendefinisikan koperasi
sebagai
“Suatu badan usaha bernama yang bergerak dalam bidang perekonomian,
beranggotakan mereka yang berekonomi lemah yang bergabung secara
sukarela dan atas dasar persamaan hak, berkewajiban melakukan suatu
usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya”.9
Berkaitan dengan itu, koperasi juga turut berjuang dalam membebaskan diri
para anggotanya dari kesulitan-kesulitan ekonomi yang umumnya diderita oleh
mereka. Atas dasar itulah, masyarakat bergabung secara sukarela atas kesadaran
adanya kebutuhan bersama tanpa ada paksaan dari pihak lain.
Pengertian koperasi menurut Pasal 1 UU Perkoperasian menyatakan bahwa
koperasi
“merupakan badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan
hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan”.10
Mohammad Hatta sebagai bapak koperasi Indonesia juga memberikan
pengertian koperasi sebagai usaha bersama yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki perekonomian berdasarkan tolong-menolong.11 Koperasi merupakan
self-help lapisan masyarakat kecil agar bisa mengendaikan pasar. Berdasarkan hal
tersebut maka koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara
menerapkan prinsip efisiensi.

9
G. Kartasaputra, Koperasi Indonesia yang Berasaskan Pancasila dan UUD 1945,
Cetakan ke-5, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 1
10
R.T.Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 4
11
Pengertian Koperasi Menurut Ahli, https://pengertianahli.com/2013/09/pengertian-
koperasi-menurut-ahli.html?m=1, Diakses pada 26 April 2019, Pukul 13.00 WIB

7
8

Menurut beberapa pengertian tersebut, definisi koperasi menunjukan ciri-


ciri sebagai berikut :12
1) Koperasi adalah suatu badan usaha yang pada dasarnya untuk
mencapai suatu tujuan memperoleh keuntungan ekonomis;
2) Keanggotaan koperasi bersifat sukarela, tidak boleh dipaksakan
oleh siapapun dan bersifat terbuka;
3) Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para
anggota dan para anggota yang melaksanakan kekuasaan tertinggi
berdasarkan keputusan rapat anggota;
4) Pembagian pendapatan atau Sisa Hasil Usaha (SHU) dalam
koperasi ditentukan berdasarkan perimbangan jasa usaha anggota
kepada koperasi;
5) Koperasi berprinsip mandiri, mengandung arti bahwa koperasi dapat
berdiri sendiri tanpa tergantung pada pihak lain.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa koperasi merupakan
badan usaha yang beranggotakan perkumpulan orang atau sesama badan hukum
koperasi. Lebih lanjut, koperasi merupakan organisasi ekonomi yang menjunjung
tinggi nilai gotong royong serta semangat kebersamaan dalam menjalankan
usahanya. Oleh karena itu, koperasi merupakan wadah yang tepat dalam
mengembangkan kegiatan usaha secara kolektif.
2.1.2 Landasan Koperasi
Pelaksanaan kegiatan koperasi harus memiliki pedoman guna menentukan
arah kebijakan yang lebih tepat dan membawa manfaat untuk para anggota
koperasi, yang meliputi :
a) Landasan Idiil
Pancasila merupakan landasan idiil koperasi. Bercermin pada
penerapan Pancasila sebagai dasar negara yang memberikan pedoman
dan sumber hukum sehingga akan memberikan manfaat bagi banyak
golongan. Koperasi menjadikan hal tersebut sebagai dasar untuk
menerapkan semua kegiatan koperasi agar tidak bertentangan dengan
nilai-nilai dalam sila Pancasila dengan maksud mewujudkan
kesejahteraan sosial;
b) Landasan Konstitusional
Landasan konstitusional atau sering disebut dengan landasan struktural
dalam koperasi Indonesia adalah UUD NRI 1945. Secara detail
landasan ini tertuang dalam Pasal 33 Ayat 1 yang menegaskan bahwa
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan”. Asas ini erat kaitannya dengan keberadaan koperasi
hingga saat ini, karena asas kekeluargaan merupakan asas koperasi
Indonesia. Dengan adanya persamaan asas yang selaras inilah,

12
R.T.Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Op.Cit., hlm. 4
9

menjadikan UUD NRI 1945 Pasal 33 Ayat (1) sebagai landasan


konstitusional koperasi.
Berkaitan dengan itu, sebagai perwujudan dari Pasal 33 Ayat (1) UUD
NRI 1945 maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian sebagai aspek fundamental koperasi. Undang-undang tersebut
berlaku kembali setelah peraturan yang baru yakni Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini karena selain berjiwa korporasi, UU No. 17 Tahun 2012 juga telah
menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas
koperasi. Oleh karena itu, guna menghindari kekosongan hukum, maka sesuai
dengan Putusan Nomor 28/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku
untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya peraturan yang baru.
2.1.3 Prinsip dan Asas Koperasi
Koperasi mempunyai prinsip-prinsip yang merupakan dasar kerja koperasi
sebagai badan usaha dan merupakan ciri khas dan jati diri koperasi serta yang
membedakan koperasi dengan badan usaha lain. Prinsip-prinsip koperasi
berdasarkan UU Perkoperasian adalah sebagai berikut :13
1) Keanggotaan yang bersifat terbuka dan sukarela, koperasi
merupakan organisasi sukarela dan terbuka kepada semua orang
untuk dapat menggunakan pelayanan yang diberikannya tanpa
membedakan jenis kelamin, status sosial, politik dan agama;
2) Pengelolaan dilaksanakan secara demokratis, menunjukkan bahwa
pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para
anggota sebagai pemegang dan pelaksana kekuasaan tertinggi dalam
koperasi;
3) Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan
besarnya jasa usaha masing-masing anggota. Artinya, pembagian
sisa hasil usaha kepada anggota dilakukan tidak semata-mata
berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam koperasi tetapi
juga berdasarkan perimbangan jasa usaha anggota terhadap
koperasi.;
4) Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal. Modal dalam
koperasi pada dasarnya dipergunakan untuk kemanfaatan anggota
dan bukan untuk sekedar mencari keuntungan. Oleh karena itu balas
jasa terhadap modal yang diberikan kepada para anggota juga
terbatas, dan tidak didasarkan semata-mata alas besarnya modal yang

13
Pandji Anorogo dan Djoko Sudantoko, Koperasi, Kewirausahaan, dan Usaha Kecil,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), hlm. 19
10

diberikan. Yang dimaksud dengan terbatas adalah wajar dalam arti


tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar;
5) Kemandirian. Kemandirian mengandung pengertian dapat berdiri
sendiri, tanpa bergantung pada pihak lain yang dilandasi oleh
kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan, dan usaha
untuk mengelola sendiri.
Sehubungan dengan pengembangan koperasi agar menjadi lebih baik,
koperasi juga melaksanakan dua prinsip yang lain, yaitu pendidikan perkoperasian
dan kerja sama antar koperasi. Pendidikan koperasi harus ditanamkan kepada
seluruh anggota agar memiliki sifat gotong royong, toleransi, bekerja sama,
mandiri dan sikap-sikap baik lainnya. Adapun yang dimaksud kerja sama antar
koperasi merupakan strategi dalam memperluas dan mengembangkan kegiatan
usaha yang dilakukan koperasi yang berkaitan dengan efektivitas, efisiensi dan
produktivitas dalam arti luas.
Berkaitan dengan asas, sebagimana termaktub dalam Pasal 2 UU
Perkoperasian, Koperasi Indonesia berdasar atas asas kekeluargaan. Asas
kekeluargaan merupakan kesadaran dari hati nurani setiap anggota untuk
mengerjakan segala sesuatu dalam keluarga yang berguna untuk semua anggota
dan dari semua anggota keluarga tersebut.14 Artinya, pelaksanaan kegiatan dalam
koperasi harus didasarkan pada kebenaran, keadilan serta kerelaan berkorban
untuk kepentingan bersama.
2.1.4 Bentuk dan Jenis Koperasi
Sesuai dengan Pasal 15 UU Perkoperasian bahwa koperasi di Indonesia
dapat berbentuk koperasi primer dan koperasi sekunder. Yang dimaksud dengan
koperasi primer adalah koperasi yang anggotanya ialah orang-orang yang
memiliki kesamaan kepentingan ekonomi dan menjalankankan kegiatan usahanya
dengan langsung melayani para anggotanya. Adapun contoh koperasi primer
adalah koperasi unit desa (Untuk selanjutnya disebut KUD). Sementara itu, yang
dimaksud koperasi sekunder meliputi semua koperasi yang didirikan oleh dan
beranggotakan koperasi primer dan/atau koperasi sekunder.15 Berdasarkan
kesamaan kepentingan dan tujuan efisiensi, koperasi sekunder dapat didirikan
oleh koperasi sejenis maupun berbagai jenis atau tingkatan. Dalam hal koperasi

14
Kamus Hukum Online Indonesia–Arti Istilah Hukum, https://kamushukum.web.id/arti-
kata/asaskekeluargaan/, Diakses pada 28 Maret 2019, Pukul 20.00 WIB
15
Lihat penjelasan Pasal 15 UU Perkoperasian
11

mendirikan koperasi sekunder dalam berbagai tingkatan, seperti yang selama ini
dikenal sebagai pusat, gabungan, dan induk, maka jumlah tingkatan maupun
penamaannya diatur sendiri oleh koperasi yang bersangkutan. Contoh koperasi
sekunder adalah pusat atau induk KUD dan Koperasi tingkat sekunder lainnya.
Pada penjelasan Pasal 16 UU Perkoperasian juga membagi jenis koperasi
berdasarkan kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya. Secara
mendasar, koperasi di Indonesia meliputi :16
1) Koperasi Simpan Pinjam. Jenis koperasi ini didirikan untuk
memberikan kesempatan pada anggotanya dalam memperoleh
pinjaman dengan mudah dan biaya bunga yang ringan. Koperasi dapat
memberikan pertolongan kepada anggotanya karena koperasi memiliki
dana atau modal dalam jumlah yang cukup. Untuk itu, koperasi perlu
melakukan akumulasi modal dalam hal simpanan wajib, pokok, dan
sukarela. Dari uang simpanan tersebut koperasi kemudian mampu
menyalurkan kredit kepada para anggotanya.
2) Koperasi Konsumsi. Sesuai dengan namanya bahwa koperasi konsumsi
merupakan koperasi yang menangani pengadaan berbagai barang guna
memenuhi kebutuhan anggotanya. Tujuan dibentuknya koperasi
konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan anggotanya terhadap
barang konsumsi dengan harga dan mutu yang layak.
3) Koperasi Produksi. Koperasi produksi merupakan koperasi yang
bergerak dalam bidang produksi barang baik yang dilaksanakan oleh
koperasi yang bersangkutan maupun anggotanya. contoh koperasi
produksi diantaranya adalah koperasi sapi perah, koperasi pengusaha
tahu dan tempe, koperasi pengusaha batik yang kegiatannya bertumpu
pada kegiatan produksi.
4) Koperasi Jasa. Koperasi jasa adalah koperasi yang bergerak di bidang
penyediaan jasa tertentu bagi para anggota maupun masyarakat umum
seperti koperasi angkutan, koperasi jasa audit, koperasi perumahan, dll.
Berdasarkan uraian di atas, pembagian koperasi menjadi beberapa jenis
tentu tidaklah mudah karena berkembang sesuai dengan perkembangan jaman.
Undang-undang telah memberikan peluang secara luwes guna memilih dan
mengembangkan kegiatan usaha yang akan dijalankan oleh koperasi sesuai dengan
kebutuhan anggota serta masyarakat pada umumnya.
2.1.5 Usaha Perkoperasian
Sehubungan dengan peranan dan tugas koperasi dalam rangka
pembangunan ekonomi di Indonesia, maka penanganan dan pengelolaan koperasi
harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar tidak mengalami hambatan-

16
Pandji Anorogo dan Djoko Sudantoko, Op.Cit., hlm. 20-21
12

hambatan atau patah di tengah jalan. Kenyataannya, tidak sedikit jumlah koperasi
yang tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsinya, salah satu penyebabnya
adalah pengelolaan yang tidak baik sehingga ditinggalkan anggotanya. Agar
koperasi dapat terkelola dengan baik, dapat bertahan, dan berkembang maka perlu
diperhatikan usaha yang dapat menopang keberadaan koperasi itu sendiri.
Berbagai bidang usaha koperasi sesungguhnya dapat menciptakan
lapangan kerja baru baik bagi para anggota maupun masyarakat umumnya. 17
Berkaitan dengan makna koperasi dari, oleh, dan untuk anggota, maka lapangan
usaha koperasi pun tiada lain bertujuan untuk menyejahterakan anggota pada
khusunya dan masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan ini maka pengelola
usaha koperasi harus dilakukan secara produktif, efektif, dan efisien. Hal ini
berarti, koperasi harus mempunyai kemampuan untuk mewujudkan pelayanan
usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang sebesar-
besarnya untuk anggota. Koperasi dinilai perlu melakukan rekayasa
kelembagaan dengan cara membagi organisasi koperasi ke berbagai sektor usaha
baik jasa, produksi dan konsumsi. Berbagai macam kegiatan usaha yang dapat
dilakukan koperasi berupa :18
1) Kegiatan Usaha Simpan Pinjam: Sebagai pelaksanaan dari ketentuan
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992, telah dibuat
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi. Kegiatan usaha
simpan pinjam merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menghimpun dan menyalurkan dana melalui kegiatan usaha simpan
pinjam kepada anggota, calon anggota dan koperasi lain dan
anggotanya. 19 Melalui kegiatan simpan pinjam dapat memberikan
kesempatan kepada para anggota dalam memperoleh pinjaman dana
dengan mudah dan biaya bunga yang ringan.
2) Perusahaan Asuransi: Kegiatan usaha koperasi tidak terbatas pada
kegiatan simpan pinjam saja, tetapi juga dapat menjalankan
perusahaan asuransi. Hal ini sesuai dengan Ketentuan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang
menyebutkan bahwa selain perseroan terbatas, koperasi juga dapat
menyelenggarakan usaha perasuransian. Usaha Perasuransian
merupakan segala usaha yang menyangkut jasa pertanggungan dan

17
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, (Jakarta: PT. Citra Aditya Abadi, 2015), hlm. 81
18
Agne Yasa, Koperasi Perlu Lakukan Pembagian Sektor Usaha, https:// m.bisnis.com/
amp/read/20180321/87/752310/koperasi-perlu-lakukan-pembagian-sektor-usaha, Diakses pada 9
Mei 2019, Pukul 20.00 WIB
19
Ahmad Subagyo, Manajemen Koperasi Simpan Pinjam, (Jakarta: Mitra Wacana Media,
2014), hlm. 23
13

pengelolaan resiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan


distribusi produk asuransi ataupun produk asuransi syariah. 20
3) Usaha Pergadaian: Selain melakukan kegiatan simpan pinjam dan
usaha perasuransian, koperasi juga dapat menjalankan usaha
pergadaian. Usaha Pergadaian merupakan segala usaha yang
menyangkut pemberian pinjaman dengan jaminan barang bergerak,
jasa titipan, jasa taksiran, dan/atau jasa lainnya, termasuk yang
diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah. Hal ini sesuai dengan
Pasal 2 POJK Nomor 31/ POJK.05/ 2016 tentang Usaha Pergadaian
yang menyebutkan bahwa bentuk badan hukum perusahaan
pergadaian dapat berupa badan hukum koperasi selain perseroan
terbatas.21
Beragam kegiatan usaha yang dijalankan koperasi diatas bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan anggotanya. Kegiatan usaha yang dijalankan koperasi
dapat dilakukan dengan kerjasama antar koperasi maupun badan usaha lainnya,
baik didalam maupun diluar wilayah Republik Indonesia. Berkaitan dengan itu,
pemberdayaan koperasi secara terstruktur dan berkala akan mampu mendorong
dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
2.2 Gadai
2.2.1 Istilah dan Pengertian Gadai
Ketentuan mengenai gadai diatur dalam Buku II KUH Perdata pada Pasal
1150 sampai dengan Pasal 1160. Istilah gadai berasal dari terjemahan kata pand
(Belanda) atau pledge atau pawn (Inggris). Secara umum, gadai dapat diartikan
sebagai suatu hak yang diperoleh perusahaan atas suatu benda bergerak sebagai
jaminan atas pinjamannya. Sedangkan Menurut ketentuan Pasal 1150 KUH
Perdata, pengertian gadai merupakan
“suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang
diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan
atas utangnya dan yang memberi wewenang kepada debitur untuk
mengambil pelunasan utang dari barang itu dengan mendahului kreditur
lain, dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan
atas tuntutan mengenai pemilikan atau pelunasan, dan biaya penyelamatan
barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai
dan yang harus didahulukan”.
Pengertian gadai diatas masih sangat luas, bukan hanya mengatur tentang
pembebanan jaminan atas barang bergerak saja, tetapi juga mengatur tentang
kewenangan kreditur mengambil pelunasan dan eksekusi barang gadai apabila
20
Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Asuransi.
21
Lihat Pasal 2 Ayat 1 POJK Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian.
14

debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya. Wirjono Prodjodikoro berpendapat


bahwa
“Hak untuk mendapat pembayaran utang dari uang pendapatan
penjualan barang yang digadaikan ini, diatur dalam Pasal 1155 dan
Pasal 1156 KUH Perdata, sebelum pasal tersebut, ditentukan dalam
Pasal 1154 KUH Perdata, bahwa apabila si berutang tidak membayar
utangnya, tidak diperbolehkan si pemegang gadai memiliki barang itu
dan kalau juga diadakan perjanjian yang memperbolehkan ini,
perjanjian itu adalah batal (nietig). Yang diperbolehkan hanya
memperhitungkan pendapatan kembali uang pinjaman itu dengan uang
pendapatan penjualan gadai”.22
Berdasarkan uraian tersebut, maka gadai merupakan suatu perjanjian riil
dan hanya ada manakala benda yang akan digadaikan telah diberikan
penguasaannya kepada si penerima gadai. Layaknya pada lembaga keuangan
lainnya, pergadaian pun mengenakan bunga untuk jasa yang dilakukannya.
Perjanjian gadai tidak sah apabila benda yang dijadikan jaminan tidak ditarik dari
kekuasaan debitur. Kesepakatan untuk memberi gadai tidak dengan serta merta
melahirkan gadai, akan tetapi sampai perbuatan pengeluaran objek gadai dari
penguasaan pemberi gadai.
2.2.2 Dasar Hukum Gadai
Guna memahami pelaksanaan hukum gadai konvensional, terdapat beberapa
aturan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum gadai, yakni sebagai berikut;
1) Pasal 150 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1160 Buku II KUH Perdata;
2) Artikel 1196 vv, titel 19 Buku III NBW;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1970 tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan
Pergadaian;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum
(Perum) Pergadaian.
5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/ POJK.05/ 2016 tentang Usaha
Pergadaian.
Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut dijadikan sebagai
landasan atau dasar dalam setiap penyelenggaraan gadai konvensional. Selain itu,
peraturan tersebut juga dapat disebut sebagai landasan yuridis yang biasanya
tercantum dalam konsideran peraturan hukum atau surat keputusan yang
diterbitkan oleh lembaga tertentu.

22
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, (Jakarta:
Intermasa, 1980), hlm. 158
15

2.2.3 Operasional Gadai


Gadai merupakan kegiatan usaha yang menyangkut pemberian pinjaman
dengan jaminan barang bergerak. Proses peminjaman dana pada lembaga gadai
sangat mudah dan cepat. 23 Setiap nasabah atau pemberi gadai yang ingin
mendapatkan pinjaman dari pergadaian cukup menyampaikan keinginan kepada
penerima gadai dengan membawa objek yang akan digadaikannya. Objek gadai
diserahkan kepada penaksir untuk dilihat kualitas serta besarnya nilai taksiran dan
pinjaman yang akan diberikan kepada pemberi gadai. Selanjutnya, nilai taksir dan
pinjaman tersebut dicatat pada Buku Taksir Kredit (BTK) dan petugas
menerbitkan Surat Bukti Kredit (SBK). Surat bukti kredit merupakan suatu surat
yang didalamnya berisikan perjanjian utang-piutang. Surat ini kemudian
diserahkan kepada kasir untuk diperiksa keabsahannya. Setelah dirasa cukup
kemudaian kasir menyiapkan pembayaran dengan membubuhkan paraf dan tanda
bayar pada Surat Bukti Kredit (SBK).
Prosedur pelunasan kredit gadai pun sangat praktis dan tidak memerlukan
birokrasi yang panjang. Hal ini karena dalam peminjaman dan pengembalian kredit
tidak melibatkan instansi lainnya sebagimana kredit dengan menggunakan
konstruksi hak tanggungan dan jaminan fidusia. Pinjaman kredit dengan konstruksi
gadai hanya melibatkan lembaga pergadaian saja. Berbeda dengan pembebanan
pada hak tanggungan, begitu banyak instansi yang terlibat diantaranya adalah
kreditur (lembaga perbankan), notaris PPAT, dan Badan Pertanahan Nasional.
Begitu pun konstruksi jaminan fidusia, maka lembaga yang terlibat adalah kreditur
(lembaga perbankan), notaris, dan juga Kantor Pendaftaran Fidusia.
2.3 Teori Kewenangan
2.3.1 Istilah dan Pengertian Wewenang
Istilah wewenang atau kewenangan dalam bahasa Belanda disebut
“Bevoegdheid”. Prajudi Atmosudirjo mengartikan kewenangan sebagai
“kekuasaan formal yang terdiri atas beberapa wewenang terhadap
segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang
pemerintahan tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai
sesuatu onderdil tertentu saja”.24

23
Ibid., hlm. 43
24
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988),
hlm. 76
16

Kewenangan dan kekuasaan erat kaitannya dengan fungsi pemerintahan.


Pada kewenangan terdapat beberapa wewenang. Wewenang merupakan kekuasaan
untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik. Misalnya, wewenang untuk
menandatangani atau menerbitkan surat ijin dari seorang pejabat atas nama menteri,
sedangkan kewenangan tetap berada di tangan menteri (delegasi wewenang).
Ketetapan MPR No.V/MPR/2000 membedakan pengertian antara
wewenang dengan tugas. Wewenang diartikan sebagai fungsi yang tidak boleh
dilakukan. Menurut Philipus M. Hadjon kata tugas dalam Ketetapan MPR
dimaksudkan sebagai
“Kekusaan. Pembedaan kekuasaan atas wewenang dan tugas dipengaruhi
oleh konsep hukum privat, yang mana tugas dihubungkan dengan
kewajiban sedangkan wewenang dikaitkan dengan hak. Hal yang demikian
sebenarnya konsep yang belum jelas dan menyulitkan, karena kriteria
pembedaan tersebut tidak jelas”.25
Soerjono Soekanto juga memberikan pengertian mengenai “kekuasaan”
yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak pemegang
kekuasaan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa
“munculnya kekuasaan tergantung dari hubungan antara penguasa dan
yang dikuasai, atau dengan istilah lain antara pihak yang memiliki
kemampuan melancarkan pengaruh kepada pihak lain untuk menerima
pengaruh itu secara sukarela ataupun terpaksa”.26
Perbedaan antara kekuasaan dengan wewenang ialah bahwa setiap
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dinamakan kekuasaan, sementara
wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok yang
mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.
2.3.2 Sumber Wewenang
Wewenang merupakan kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan
hukum publik. Pada umumnya, wewenang yang dimiliki oleh lembaga negara
diperoleh secara atribusi, delegasi ataupun mandat.27 Pada atribusi, wewenang

25
Philipus M. Hadjon, 1987, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara
Menurut UUD 1945 SuatuAnalisis Hukum dan Kenegaraan, Gajah Mada University, Yogyakarta,
hlm. 9
26
Lukman Hakim, Filosofi Kewenangam Organ dan Lembaga Daerah: Perspektif Teori
Otonomi dan Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara Hukum dan Kesatuan,
(Malang: Setara Press, 2012), hlm. 118
27
Harjono, Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, dalam Firmansyah Arifin dkk, 2004; Cetakan I, Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional, Jakarta. Selanjutnya disebut Firmansyah Arifin dkk. 2, hlm. 27 – 29
17

atau kekuasaan dibentuk dari keadaan yang belum ada wewenang menjadi ada.
Oleh karena itu, pembentukan wewenang ini menyebabkan adanya wewenang
baru yang bersifat asli, misalnya Badan Pembentuk Undang-Undang Dasar.
Disamping itu, ada pula sumber wewenang yang tidak asli, yaitu yang dilakukan
oleh suatu institusi yang dibentuk berdasarkan konstitusi, dimana konstitusi ini
membentuk suatu wewenang baru. Adapun ciri-ciri atribusi yaitu melahirkan
wewenang baru diantaranya dilakukan oleh suatu instansi yang pembentukannya
didasarkan pada peraturan perundangan, dan tidak mengenal dasar sistem
pertanggungjawaban tetapi terdapat masalah pengawasan.
Delegasi (delegatie) berarti penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih
tinggi kepada pejabat yang lebih rendah. Semua bentuk penyerahan dapat
dibenarkan jika dilakukan berdasarkan ketentuan hukum. Pada delegasi terjadi
penyerahan wewenang antarinstitusi satu ke yang lainnya, sehingga institusi yang
sudah menyerahkan wewenangnya tidak lagi berwenang lagi atas wewenang
tersebut. Jika delegan ingin menarik kembali wewenang yang telah diserahkan
kepada delegetaris, maka harus dilakukan dengan peraturan perundangan yang
sama. Dengan demikian, ciri delegasi yaitu harus dilakukan oleh lembaga yang
berwenang, hilangnya wewenang berada pada pihak delegan, dan delegataris
bertindak atas nama dan tanggungjawab sendiri.
Mandat (mandaat) berasal dari bahasa latin mandatum atau mandare-atum
yang berarti melimpahkan, mempercayakan, memerintahkan. Mandat dapat
diartikan sebagai pemberian kekuasaan oleh alat perlengkapan yang memberikan
wewenang (mandant) kepada orang lain yang akan melaksanakannya. Berbeda
dengan delegasi, bahwa
“pemberi wewenang (mandant) pada mandat tetap berwenang melakukan
sendiri wewenangnya. Kata mandant berasal dari kata mandans,
mandataris berasal dari kata mandatarius yang berarti barang siapa yang
memiliki suatu kuasa atas pemegang kuasa”.28
Mandat dapat diartikan sebagai pemberian kuasa, sedangkan mandataris
bertindak atas nama mandant. Dalam hal ini tidak terjadi pelimpahan
tanggungjawab. Tanggungjawab pelaksanaan wewenang tetap berada pada pihak
mandant, sehingga pada mandant tidak terjadi pergeseran wewenang secara yuridis.
28
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap
Pidato Nawaksara, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 44
18

2.4 Teori Pengawasan


2.4.1 Konsep Pengawasan
Istilah pengawasan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “awas” yang
berarti kegiatan mengawasi. Ahmad Subagyo memberikan definisi pengawasan
sebagai berikut :
“suatu proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilalihan
tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan
sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut. Pengawasan
digunakan untuk memastikan bahwa segala aktivitas yang terlaksana
sesuai dengan apa yang telah direncanakan”. 29
Pentingnya pengawasan ialah untuk menjamin bahwa tujuan suatu organisasi
dan manajemen dapat tercapai. Hal ini berkaitan dengan cara-cara membuat kegiatan
sesuai dengan instruksi yang diberikan.30 Secara umum, unsur esensial dalam proses
pengawasan ialah usaha sistematika guna menetapkan pelaksanaan dan tujuan
perencanaan. Selain itu, menyusun sistem informasi, umpan balik, dan
membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya
juga diperlukan dalam proses pengawasan.
Pengawasan merupakan suatu bentuk pola pikir dan pola tindakan untuk
memberikan pemahaman dan kesadaran kepada seseorang atau beberapa orang.
Dalam hal melaksanakan fungsi pengawasan, seseorang dapat menggunakan
sumber daya yang tersedia secara baik dan benar. Hal ini bertujuan agar tidak
menimbulkan kerugikan terhadap lembaga atau organisasi yang bersangkutan.
Jika dilihat dari tipenya, pengawasan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :31
1) Pengawasan pendahuluan (steering controls). Pengawasan ini
direncanakan guna mengatasi masalah atau penyalahgunaan
wewenang dari standar atau tujuan dan memungkinkan koreksi
dibuat sebelum suatu kegiatan terselesaikan.
2) Pengawasan yang dilakukan bersama dengan pelaksanaan kegiatan
(concurrent controls). Pengawasan yang dilakukan selama suatu
kegiatan sedang berlangsung guna memastikan bahwa sasaran-sasaran
telah dicapai. Pengawasan ini merupakan proses dimana aspek tertentu
harus dipenuhi dahulu sebelum suatu kegiatan dapat dilanjutkan agar
lebih menjamin ketepatan pelaksanaan dari suatu kegiatan.

29
Ahmad Subagyo, Pengawasan Koperasi di Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana Media,
2017), hlm. 1
30
Hani Handoko, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: PT.
Rafika Aditam, 1999), hlm. 360
31
Makmur, Efektivitas Kebijakan Pengawasan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011),
hlm. 176
19

3) Pengawasan umpan balik (feed back control). Pengawasan yang


dilakukan dengan mengukur hasil dari kegiatan yang telah
diselesaikan guna mengetahui penyimpangan yang mungkin terjadi
atau tidak sesuai dengan standar. Sederhananya, pengawasan ini
menginginkan informasi apakah pelaksanaan dari pekerjaan yang
telah dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah,
tujuan atau kebijaksanaan yang telah ditentukan.
Seiring dengan perkembangan jaman, suatu organisasi akan terus berjalan
dan berkembang semakin kompleks. Fungsi pengawasan menjadi penting guna
mengevaluasi hasil kegiatan yang telah dilakukan. Tanpa adanya pengawasan
yang baik, maka akan menghasilkan tujuan yang kurang memuaskan, baik bagi
orang yang terlibat di dalamnya maupun organisasinya.
2.4.2 Kewenangan Pengawasan
Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan hukum, yaitu tindakan-
tindakan untuk mengambil kebijaksanaan sesuai dengan hak-hak yang
digunakan untuk melakukan penegakan hukum. Dalam menegakkan hukum
terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi, diantaranya keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum. Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari
keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya. Dengan kepastian hukum, masyarakat akan mengetahui
kejelasan akan hak dan kewajibannya, apakah perbuatannya dilarang atau tidak
dilarang menurut hukum yang berlaku.
Secara normatif, kepastian hukum ialah ketika suatu peraturan
perundang-undangan yang telah diundangkan mengatur secara jelas dan logis.
Jelas dalam hal tidak menimbulkan multitafsir dan tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Artinya, kepastian hukum menunjuk pada
pemberlakuan hukum yang jelas, konsisten, dan konsekuen yang penegakannya
tidak dapat dipengaruhi oleh berbagai keadaan yang bersifat subjektif. Jika
dikaitkan dengan teori kepastian hukum, maka fungsi pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah ialah untuk memastikan apakah setiap kebijakan
yang diterbitkan oleh instansi pemerintah tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berkaitan dengan itu, pengawasan merupakan proses pengamatan dari
pelaksanaan kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang
20

sedang dilaksanakan berjalan sesuai rencana yang telah ditentukan


sebelumnya.32 Pada hakikatnya, fungsi pengawasan ialah untuk menjaga agar
kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu instansi sesuai dengan keputusan
bersama. Apabila terdapat kesalahan, pengawas perlu mendiskusikanya bersama
untuk kemudian diambil tindakan. Melalui fungsi pengawasan, diharapkan dapat
membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan guna mencapai tujuan
yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. 33
Keberhasilan penegakan hukum oleh pemerintah perlu didukung dengan
menjalankan fungsi pengendalian dan pemeriksaan. Pengendalian (control)
merupakan mekanisme yang dilakukan oleh pihak eksekutif (pemerintah daerah)
untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen sehingga
tujuan organisasi dapat tercapai. Sementara itu, fungsi pemeriksaan (audit)
merupakan kegiatan dari pihak yang memiliki independensi atau memiliki
kompetensi profesional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah telah
sesuai dengan standar atau kriteria yang ada.

32
Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung, 1970), hlm. 107
33
Ahmad Subagyo, Op. Cit., hlm. 2
BAB 3 METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian merupakan cara kerja bagaimana menemukan atau


memperoleh hasil yang konkrit dan juga metode tersebut merupakan cara utama
mencapai tujuan.34 Menempuh suatu jalan tertentu guna mencapai suatu tujuan,
artinya penelitian tidak bekerja secara acak-acakan. Suatu karya ilmiah harus
mengandung kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sehingga
hasil karya ilmiah tersebut dapat mendekati suatu kebenaran sesungguhnya. Terkait
dengan metode penelitian yang dimaksud tersebut meliputi tipe penelitian,
pendekatan masalah, bahan hukum dan juga analisis hukum.

3.1. Tipe Penelitian


Penelitian hukum dilakukan dengan membutuhkan kemampuan guna
mengidentifikasi masalah hukum. Pada proposal ini tipe penelitian yang
digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan-penerapan kaidah atau norma-norma dalam hukum positif
yang berlaku. Tipe penelitian yuridis normatif
“dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang bersifat
formil seperti Undang-Undang, Peraturan-Peraturan serta literatur yang
berisi konsep-konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini”.35
Penelitian yuridis normatif juga biasa disebut dengan istilah kepustakaan.
Dinamakan penelitian hukum kepustakaan karena dalam penelitian hukum ini
dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder saja.

3.2. Pendekatan Masalah


Pada penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, metode
pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) yaitu menelaah
semua Undang-Undang yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani. Dalam penelitian skripsi ini pendekatan perundang-
undangan (statute approach) digunakan sebagai pisau analisis sekaligus
untuk menjawab rumusan masalah.

34
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2016), hlm. 27
35
Ibid

21
22

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual approach) yang dilakukan dengan


beranjak dari perundang-undangan dan doktrin-doktrin yang berkembang
dalam ilmu hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang
relevan dengan isu hukum.36 Dalam penelitian skripsi ini pendekatan
konseptual (Conceptual approach) digunakan sebagai pisau analisis dan
menjawab rumusan masalah tentang bagaimakah kepastian hukum
lembaga koperasi yang menjalankan kegiatan usaha pergadaian.

3.3. Bahan Hukum


Bahan hukum merupakan sarana dari satu penelitian yang digunakan
untuk memecahkan permasalahan yang ada. Keberadaan bahan hukum adalah
bagian terpenting dalam penelitian hukum. Tanpa bahan hukum tidak akan
mungkin dapat ditemukan jawaban atas isu hukum yang dipermasalahkan. Bahan
hukum yang dipergunakan dalam penulisan proposal penelitian ini adalah:

3.3.1 Bahan Hukum Primer


Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai sifat
autoritatif, dimana autoritatif ini maksudnya adalah bahan-bahan hukum rujukan
tersebut otoritas. Bahan-bahan hukum yang dimaksud terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam proses pembuatan
perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.
Bahan hukum primer yang hendak digunakan dalam penulisan proposal
penelitian terdiri dari:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Koperasi;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi;
5. Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik
Indonesia Nomor 10/Per/M.Kukm/Ix/2015 tentang Kelembagaan
Koperasi;
36
Ibid
23

6. Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik


Indonesia Nomor 17/Per/M.Kukm/Ix/2015 Tentang Pengawasan Koperasi;
7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31 /Pojk.05/2016 tentang Usaha
Pergadaian;
8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/Pojk.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan;
9. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/Pojk.07/2014 tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan;
10. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/SEOJK.05/2017 tentang
Pendaftaran, Perizinan Usaha, dan Kelembagaan Perusahaan Pergadaian;
11. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 52/SEOJK.05/2017 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pergadaian Konvensional yang
Menyelenggarakan Kegiatan Usaha Secara Konvensional.

3.3.2. Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang diperoleh dari semua
publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.37 Adapun bahan hukum
sekunder yang digunakan penulis dalam penulisan proposal berupa jurnal hukum,
surat kabar, majalah serta data yang diambil dari internet mengenai kepastian
hukum kegiatan usaha koperasi gadai sepanjang relevan dengan topik penelitian.

3.3.3. Bahan Non Hukum


Penulis selain menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, dalam proposal penelitian ini juga menggunakan bahan non hukum
primer. Sebagai penunjang dari sumber hukum primer dan sekunder, sumber
bahan non hukum dapat berupa buku-buku mengenai kegiatan usaha
perkoperasian, buku pedoman penulisan karya ilmiah dan bahan-bahan lainnya
yang diperoleh dari internet dan sumber non hukum lain ataupun laporan-laporan
penelitian non hukum dan jurnal-jurnal non hukum sepanjang mempunyai
relevansi dalam topik penelitian.

37
Ibid., hlm. 164
24

3.4. Analisa Bahan Hukum


Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah terkumpul dilakukan
dengan menggunakan metode deduktif, yaitu suatu metode penelitian yang
menyimpulkan pembahasan dari konsep atau teori yang bersifat umum menuju
hal-hal yang bersifat khusus, yang kemudian diaplikasikan untuk menjelaskan
seperangkat sumber bahan hukum maupun membandingkan atau mencari
hubungan antara seperangkat sumber hukum dengan seperangkat sumber hukum
lain, ditambah dengan pendapat dari sarjana-sarjana yang berhubungan dengan
bahan kajian sebagai bahan pembanding.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penelitian hukum, antara
lain :38
1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminasi hal-hal yang tidak
relavan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;
2. Pengumpulan bahan-bahan hukum yang mempunyai relevansi juga bahan-
bahan non hukum;
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan
yang telah dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu
hukum;
5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di
dalam kesimpulan.
Langkah-langkah tersebut dapat digunakan sesuai dengan karakter ilmu
hukum sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan.

38
Ibid., hlm. 171
BAB 4 SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dalam menyusun kerangka proposal atau skripsi ini
terdiri dari 4 (empat) bab dan masing-masing bab terdiri dari uraian-uraian yang
saling berkaitan satu sama lainnya dan merupakan rangkaian yang tidak
terpisahkan. Sistematika penulisan ini bertujuan untuk menjaga konsistensi dan
sebagai pedoman agar penulis tidak keluar dari substansinya. Adapun sistematika
yang digunakan penulis dalam menyusun kerangka proposal atau skripsi ini
sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan, yang menguraikan tentang latar belakang, rumusan
masalah,tujuan, dan manfaat penulisan. Bagian latar belakang menguraikan secara
singkat mengenai permasalahan Lembaga Koperasi dalam menjalankan kegiatan
usahanya di Indonesia, serta alasan penulis mengambil judul skripsi tersebut.
Rumusan masalah yang dimuat dalam penulisan skripsi ini ada 2 (dua) rumusan
yaitu : Pertama, Permasalahan hukum apa saja yang terjadi pada lembaga
koperasi yang menjalankan kegiatan usaha pergadaian dan Kedua, Bagaimana
kepastian hukum bagi koperasi yang menjalankan kegiatan usaha pergadaian.
Selain kedua hal tersebut, terdapat juga tujuan umum dan tujuan khusus yang
menyangkut kepentingan akademisi serta tujuan dan manfaat disusunnya skripsi
tersebut. Metode Penelitian, merupakan bagian yang berisi mengenai metode yang
digunakan dalam penulisan skripsi, metode ini digunakan sebagai langkah awal
penulis dalam menganalisa permaalahan hukum yang akan dibahas. Pada
umumnya bagian ini berisi mengenai Metode Penelitian yang terdiri dari Tipe
Penelitian Yuridis Normatif, Pendekatan Masalah yang digunakan terdiri dari
Pendekatan Perundang-undangan dan Pendekatan Konseptual, Bahan Hukum
yang terdiri dari Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder dan Bahan Non
Hukum, serta Analisis terhadap bahan hukum tersebut dengan cara mengidentifikasi
fakta hukum, mengeliminasi hal-hal yang tidak relavan guna menetapkan isu
hukum yang hendak dipecahkan, serta menyimpulkan pembahasan dari yang
bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus (Deduktif).
Bab 2 Tinjauan Pustaka, dalam hal ini tinjauan pustaka menguraikan
tentang pengertian-pengertian, istilah-istilah, dasar-dasar hukum yang digunakan
sebagai penyusunan pembahasan dalam skripsi. Secara garis besar pada

25
26

bagianTinjauan Pustaka dalam penulisan ini menguraikan tentang Lembaga


Koperasi, Pergadaian, serta Teori Kewenangan dan Pengawasan.
Bab 3 Pembahasan, bagian ini berisi mengenai pembahasan dari suatu
penelitian yang juga merupakan jawaban dari rumusan masalah yaitu: Pertama,
Permasalahan hukum yang terjadi pada lembaga koperasi yang menjalankan
kegiatan usaha pergadaian Kedua, Kepastian hukum bagi lembaga koperasi yang
menjalankan kegiatan usaha pergadaian.
Bab 4 Penutup, bagian ini berisi mengenai kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan pernyataan akhir dari intisari jawaban atas permasalahan
yang telah diuraikan dalam pembahasan, sedangkan saran merupakan hal-hal yang
ingin utarakan atau disampaikan penulis dalam penelitian yang telah dilakukan
dengan harapan dapat menjadi solusi dalam rangka memecahkan dan mengatasi
suatu permasalahan yang diangkat serta dapat memberikan suatu kontribusi yang
lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

a. Buku
Ahmad Subagyo. 2014. “Manajemen Koperasi Simpan Pinjam”. Jakarta: Mitra
Wacana Media.
------------------. 2017. “Pengawasan Koperasi di Indonesia”. Jakarta: Mitra
Wacana Media.
Budi Untung. 2005. “Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia”. Yogyakarta:
ANDI Yogyakarta.
Cita Yustitia Serfiyani, dkk. 2017. “Restrukturisasi Perusahaan Dalam Perspektif
Hukum Bisnis pada Berbagai Jenis Badan Usaha”. Yogyakarta: ANDI
Yogyakarta.
G. Kartasaputra. 2001. “Koperasi Indonesia yang Berasaskan Pancasila dan
UUD 1945”. Jakarta: Rineka Cipta.
H. Salim H.S. 2011. “Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia”. Jakarta:
Rajawali Pers.
Hani Handoko. 1999. “Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia”.
Jakarta: PT. Rafika Aditam.
Lukman Hakim. 2012. “Filosofi Kewenangam Organ dan Lembaga Daerah:
Perspektif Teori Otonomi dan Desentralisasi dalam Penyelenggaraan
Pemerintah Negara Hukum dan Kesatuan”. Malang: Setara Press.
Makmur. 2011. “Efektivitas Kebijakan Pengawasan”. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Pandji Anoraga dan H. Djoko Sudantoko. 2002. “Koperasi, Kewirausahaan dan
Usaha Kecil”. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Peter Mahmud Marzuki. 2014. “Penelitian Hukum (Edisi Revisi)”. Jakarta:
Prenamedia Group.
Prajudi Atmosudirjo. 1988. “Hukum Administrasi Negara”. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. “Kitab Undang-undang Hukum Perdata”.
Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma. 2002. ”Hukum Koperasi Indonesia”.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sentosa Sembiring. 2015. “Hukum Dagang”. Jakarta: PT. Citra Aditya Abadi.
Soerjono Soekanto. 1988. “Pokok-Pokok Sosiologi Hukum”. Jakarta: Rajawali
Pers.
Sondang P. Siagian. 1970. “Filsafat Administrasi”. Jakarta: Gunung Agung.
Suwoto Mulyosudarmo. 1997. “Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan
Yuridis terhadap Pidato Nawaksara”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

b. Peraturan Perundang-Undangan

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).


2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116), Jakarta.
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12), Jakarta.
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337), Jakarta.
6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.31/POJK.05/2016 tentang Usaha
Pergadaian. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
152), Jakarta.

c. Jurnal
1. Hadjon, Philipus M. 1987. “Lembaga Tertinggi dan Lembaga-lembaga
Tinggi Negara Menurut UUD 1945 Suatu Analisis Hukum dan
Kenegaraan”. Gajah Mada University.
2. Harjono. 2004. “Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Firmansyah Arifin dkk,
2004; Hukum dan Kuasa Konstitusi: Catatan-catatan untuk Pembahasan
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi”. Cetakan I,
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta.
3. Kooswanto, Tarita. 2014. “Eksistensi Gadai Sebagai Lembaga Jaminan di
Tengah Menjamurnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Koperasi
Simpan Pinjam (KSP) Dewasa Ini”. Jurnal Repertorium Universitas
Sebelas Maret Volume 1 Nomor 2.
4. Susanti. 2016. ”Konsep Harga Lelang Barang Jaminan Gadai dalam
Ekonomi Islam di Pergadaian Syariah Cabang Simpang Patal
Palembang”. Jurnal Intelektua Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang Volume 5 Nomor 1.
d. Internet
1. Citraniaga. 2019. “Koperasi Simpan Pinjam”. http://www.citraniaga.com
/index.php/faq/31-general/90-koperasi-simpan-pinjam. Diakses pada 28
Januari 2019, Pukul 20.00 WIB.
2. Kamus Hukum Online Indonesia–Arti Istilah Hukum,
https://kamushukum.web.id/arti-kata/asaskekeluargaan/. Diakses pada 28
Maret 2019, Pukul 19.00 WIB.
3. Pengertian Koperasi Menurut Ahli, https://pengertianahli.com/2013/09
/pengertian-koperasi-menurut-ahli.html?m=1, Diakses pada 26 April 2019,
Pukul 13.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai