Anda di halaman 1dari 40

Ensefalopati Sepsis

Definisi Penurunan Kesadaran

Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang menjadi
petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai “final common pathway” dari gagal organ
seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat
kematian. Jadi, bila terjadi penurunan kesadaran menjadi pertanda disregulasi dan disfungsi otak
dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh2. Dalam hal menilai penurunan kesadaran,
dikenal beberapa istilah yang digunakan di klinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau
sopor, soporokoma dan koma. Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan
kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan menggunakan skala koma Glasgow3.
Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga
/ tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons yang normal terhadap
stimulus. Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang
mengenal / mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya.

II.1.1 Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif3


Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca
indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan dari
luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan waspada.
Somnolen atau drowsiness atau clouding of consciousness, berarti
mengantuk, mata tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah,
masih dapat menjawab pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi
terhadap sekitarnya menurun.
Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup dengan
rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik
hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.
Semikoma atau soporokoma, mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri
secara kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya berupa gerakan primitif.
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan
rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara,
maupun reaksi motorik.
II.1.2 Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif2
Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E), Pemeriksaan
Motorik (M) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilai
tertinggi 15.
Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:
E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
E2 membuka mata dengan rangsang nyeri
E3 membuka mata dengan rangsang suara
E4 membuka mata spontan
Motorik:
M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
M6 reaksi motorik sesuai perintah
Verbal:
V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)
V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)
V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)
II.2 Klasifikasi Penurunan Kesadaran2

Gangguan kesadaran dibagi 3, yaitu gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal/
lateralisasi dan tanpa disertai kaku kuduk; gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal/
lateralisasi disertai dengan kaku kuduk; dan gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal.
II.2.1 Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk
1. Gangguan iskemik
2. Gangguan metabolik
3. Intoksikasi
4. Infeksi sistemis
5. Hipertermia
6. Epilepsi
II.2.2 Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk
1. Perdarahan subarakhnoid
2. Radang selaput otak
3. Radang otak
II.2.3 Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal
1. Tumor otak
2. Perdarahan otak
3. Infark otak
4. Abses otak

II.3 Bahaya Penurunan Kesadaran2


Adapun kondisi yang segera mengancam kehidupan terdiri atas peninggian tekanan
intrakranial, herniasi dan kompresi otak dan meningoensefalitis/ ensefalitis.
II.4 Patofisiologi Penurunan Kesadaran

Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh misalnya
pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan ARAS di batang otak,
terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon4.
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri – termasuk
ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular activating system
(ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima
serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei
dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch,
untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat mengganggu interaksi
ini, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya
kesadaran.
Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli dan sebagian lagi di bawahnya, maka
ada tiga mekanisme patofisiologi timbulnya koma : 1. Lesi supratentorial, 2. Lesi subtentorial, 3.
Proses metabolik.

Koma supratentorial

1. Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedang batang otak tetap
normal. Ini disebabkan proses metabolik.
2. Lesi struktural supratentorial (hemisfer).

Adanya massa yang mengambil tempat di dalam kranium (hemisfer serebri) beserta edema
sekitarnya misalnya tumor otak, abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan
pergeseran struktur di sekitarnya; terjadilah :

1. Hemiasi girus singuli,


2. Hemiasi transtentorial sentral,
3. Herniasi unkus.
1. Herniasi girus singuli
Hemiasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral menyebabkan tekanan
pada pembuluh darah serta jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema.
2. Herniasi transtentorial / sentral
Hemiasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari proses desak ruang rostrokaudal
dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan mereka menekan
diensefalon, mesensefalon, pons dan medula oblongata melalui celah tentorium.
3. Herniasi unkus
Hemiasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii media atau lobus
temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah
dan ke atas tepi bebas tentorium; akhirnya menekan n.III.di mesensefalon ipsilateral,
kemudian bagian lateral mesensefalon dan seluruh mesensefalon.

Koma infratentorial
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
1. Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/ serta merusak
pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis.
Misalnya pada stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya.
2. Proses di luar batang otak yang menekan ARAS.
a. Langsung menekan pons.
b. Hemiasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah tentorium dan
menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan menekan medula
oblongata.

Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan serebelum dan sebagainya.

Koma metabolik
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma
disebabkan kegagalan difus dari metabolisme sel saraf.
1. Ensefalopati metabolik primer
Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel
saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
2. Ensefalopati metabolik sekunder
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang
mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit ataupun
keracunan.
Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan sistem motorik simetris dan
tetap utuhnya refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethimide atau
atropin), juga utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien
mempergunakan barbiturat).

Gambar 1. Patofisiologi penurunan kesadaran

II.4.1 Gangguan metabolik toksik


Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada tercukupinya penyediaan
oksigen. Adanya penurunan aliran darah otak (ADO), akan menyebabkan terjadinya
kompensasi dengan menaikkan ekstraksi oksigen (O2) dari aliran darah. Apabila ADO
turun lebih rendah lagi, maka akan terjadi penurunan konsumsi oksigen secara
proporsional3.
Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan teroksidasi
menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Untuk memelihara integritas neuronal, diperlukan
penyediaan ATP yang konstan untuk menjaga keseimbangan elektrolit3.
O2 dan glukosa memegang peranan penting dalam memelihara keutuhan kesadaran.
Namun, penyediaan O2 dan glukosa tidak terganggu, kesadaran individu dapat terganggu
oleh adanya gangguan asam basa darah, elektrolit, osmolalitas, ataupun defisiensi vitamin3.
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma
disebabkan kegagalan difus dari metabolisme saraf1.
1. Ensefalopati metabolik primer
Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel saraf dan glia.
Misalnya penyakit Alzheimer.
2. Ensefalopati metabolik sekunder
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang mengakibatkan
kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit ataupun keracunan. Pada koma
metabolik ini biasanya ditandai dengan gangguan sistem motorik simetris dan tetap utuhnya
refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethmide atau atropin), juga utuhnya gerakan-
gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan barbiturat)1.

Tes darah biasanya abnormal, lesi otak unilateral tidak menyebabkan stupor dan
koma. Jika tidak ada kompresi ke sisi kontralateral batang otak lesi setempat pada otak
menimbulkan koma karena terputusnya ARAS. Sedangkan koma pada gangguan
metabolik terjadi karena pengaruh difus terhadap ARAS dan korteks serebri2.

Tabel 1. Penyebab Metabolik atau Toksik pada Kasus Penurunan Kesadaran 5

No Penyebab metabolik atau Keterangan


sistemik

1 Elektrolit imbalans Hipo- atau hipernatremia, hiperkalsemia, gagal ginjal


dan gagal hati.

2 Endokrin Hipoglikemia, ketoasidosis diabetik

3 Vaskular Ensefalopati hipertensif

4 Toksik Overdosis obat, gas karbonmonoksida (CO)

5 Nutrisi Defisiensi vitamin B12

6 Gangguan metabolik Asidosis laktat


7 Gagal organ Uremia, hipoksemia, ensefalopati hepatik

II.4.2 Gangguan Struktur Intrakranial

Penurunan kesadaran akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formasio


retikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran) disebut
koma diensefalik. Secara anatomik, koma diensefalik dibagi menjadi dua bagian utama,
ialah koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial3.
1. Koma supratentorial1
1) Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedangkan batang otak tetap
normal.
2) Lesi struktural supratentorial (hemisfer).
Adanya massa yang mengambil tempat di dalam kranium (hemisfer serebri) beserta edema
sekitarnya misalnya tumor otak, abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan
pergeseran struktur di sekitarnya, terjadilah herniasi girus singuli, herniasi transtentorial
sentral dan herniasi unkus.
a. Herniasi girus singuli
Herniasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral menyebabkan
tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema.
b. Herniasi transtentorial/ sentral
Herniasi transtentorial atau sentral adalah hasil akhir dari proses desak ruang
rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan menekan
disensefalon, mesensefalon, pons dan medulla oblongata melalui celah tentorium.
c. Herniasi unkus
Herniasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii media atau lobus
temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus ke arah garis
tengah dan ke atas tepi bebas tentorium yang akhirnya menekan mesensefalon.
2. Koma infratentorial1
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/ serta merusak pembuluh
darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis. Misalnya pada
stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya.
2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS
a. Langsung menekan pons
b. Herniasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah tentorium dan
menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan menekan medulla
oblongata.
Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan serebelum dan sebagainya.
Ditentukan lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesis) dan dibantu dengan
pemeriksaan penunjang2.
Tabel 2. Penyebab Struktural pada Kasus Penurunan Kesadaran5
No Penyebab struktural Keterangan

1 Vaskular Perdarahan subarakhnoid, infark batang kortikal


bilateral

2 Infeksi Abses, ensefalitis, meningitis

3 Neoplasma Primer atau metastasis

4 Trauma Hematoma, edema, kontusi hemoragik

5 Herniasi Herniasi sentral, herniasi unkus, herniasi singuli

6 Peningkatan tekanan Proses desak ruang


intrakranial

II.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding Penurunan Kesadaran Metabolik dan Struktural
II.5.1 Diagnosis penurunan kesadaran2
Diagnosis kesadaran menurun didasarkan atas:
- Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis perlu dicantumkan dari siapa anamnesis tersebut didapat, biasanya
anamnesis yang terbaik didapat dari orang yang selalu berada bersama penderita. Untuk itu
diperlukan riwayat perjalanan penyakit, riwayat trauma, riwayat penyakit, riwayat penggunaan
obat-obatan, riwayat kelainan kejiwaan. Dari anamnesis ini, seringkali menjadi kunci utama dalam
mendiagnosis penderita dengan kesadaran menurun1.
- Pemeriksaan fisik umum
Dalam melakukan pemeriksaan fisik umum harus diamati:
 Tanda vital
Pemeriksaan tanda vital: perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya dan perhatikan tentang sirkulasi
yang meliputi: tekanan darah, denyut nadi dan ada tidaknya aritmia.
 Bau nafas
Pemeriksa harus dapat mengidentifikasi foetor breath hepatic yang disebabkan penyakit hati, urino
smell yang disebabkan karena penyakit ginjal atau fruity smell yang disebabkan karena
ketoasidosis.
 Pemeriksaan kulit
Pada pemeriksaan kulit, perlu diamati tanda-tanda trauma, stigmata kelainan hati dan
stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas suntikan. Pada penderita dengan trauma,
kepala pemeriksaan leher itu, harus dilakukan dengan sangat berhati-hati atau tidak boleh
dilakukan jikalau diduga adanya fraktur servikal. Jika kemungkinan itu tidak ada, maka
lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan auskultasi karotis untuk mencari ada
tidaknya bruit.
 Kepala
Perhatikan ada tidaknya hematom, laserasi dan fraktur.
 Leher
Perhatikan kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur servikal (jejas, kelumpuhan 4
ekstremitas, trauma di daerah muka).
 Toraks/ abdomen dan ekstremitas
Perhatikan ada tidaknya fraktur.
- Pemeriksaan fisik neurologis
Pemeriksaan fisik neurologis bertujuan menentukan kedalaman koma secara kualitatif dan
kuantitatif serta mengetahui lokasi proses koma. Pemeriksaan neurologis meliputi derajat
kesadaran dan pemeriksaan motorik2.
 Umum
- Buka kelopak mata menentukan dalamnya koma
- Deviasi kepala dan lirikan menunjukkan lesi hemisfer ipsilateral
- Perhatikan mioklonus (proses metabolik), twitching otot berirama (aktivitas
seizure) atau tetani (spontan, spasmus otot lama).
 Level kesadaran
Ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif.
- Kualitatif (apatis, somnolen, delirium, spoor dan koma)
- Kuantitatif (menggunakan GCS)
 Pupil
Diperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya
- Simetris/ reaktivitas cahaya normal, petunjuk bahwa integritas mesensefalon baik.
Pupil reaksi normal, reflek kornea dan okulosefalik (-), dicurigai suatu koma
metabolik
- Mid posisi (2-5 mm), fixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal.
- Pupil reaktif pint-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiat kolinergik.
- Dilatasi unilateral dan fixed, terjadi herniasi.
- Pupil bilateral fixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik-iskemi global, keracunan
barbiturat.
 Funduskopi
 Refleks okulosefalik (dolls eye manuevre)
 Refleks okulo vestibuler
 Refleks kornea
 Refleks muntah
 Respons motorik
 Refleks fisiologik dan patologik
- Pemeriksaan penunjang2
 Pemeriksaan gas darah, berguna untuk melihat oksigenasi di dalam darah, juga untuk
melihat gangguan keseimbangan asam basa.
 Pemeriksaan darah, meliputi darah perifer lengkap (DPL), keton, faal hati, faal ginjal
dan elektrolit.
 Pemeriksaan toksikologi, dari bahan urine darah dan bilasan lambung.
 Pemeriksaan khusus meliputi pungsi lumbal, CT scan kepala, EEG, EKG, foto toraks
dan foto kepala.

SEPSIS

1. Definisi

Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang
berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas,
takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan
sirkulasi darah.

Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan:

 Hyperthermia/hypothermia (>38°C; <35,6°C)


 Tachypneu (respiratory rate >20/menit)
 Tachycardia (pulse >100/menit)
 Leukocytosis >12.000/mm3 – Leukopoenia <4.000/mm3
 10% >cell imature
 Suspected infection

Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); C reactive Protein (CrP).

Derajat Sepsis

1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan ≥2 gejala sebagai


berikut

 Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)


 Tachypneu (resp >20/menit)
 Tachycardia (pulse >100/menit)
 Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
 10% >cell imature

2. Sepsis

Infeksi disertai SIRS

3. Sepsis Berat

Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oligouri bahkan anuria.

4. Sepsis dengan hipotensi

Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan sistolik
>40 mmHg).

5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang
diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai
hipoperfusi jaringan.

 Ketidakseimbangan: DO2 (oxygen delivery) dan VO2 (oxygen consumption).


 USA → 400.000 kasus sepsis; 200.000 kasus syok septik; 100.000 kematian.
 Pasien mendapatkan obat vasoaktif → syok septik jika mengalami hipoperfusi
jaringan.

Pengertian yang lain :

 Sepsis sering didefinisakan sebagai adanya mikroorganisme patogenik atau


toksinnya berada di dlaam aliran darah. (Hudak&Gallo, 1996)
 Sindroma sepsis didefinisikan sebagai respon sistemik terhadap sepsis, diwujudkan
sebagai tachycardia, demam atau hypothermia, takipnea dan tanda – tanda perfusi
organ yang tidak mencukupi. (Hudak&Gallo, 1996).
 Syok sepsis adalah suatu bentuk syok (sindroma sepsis yang disertai hipotensi)
yang menyebar dan vasogenik dicirikan oleh adanya penurunan daya tahan vascular
sistemik serta adanya penyebaran yang tidak normal dari volume vascular.
(Hudak&Gallo, 1996)
 Sepsis adalah suatu keadaan ketika mikroorganisme menginvasi tubuh dan
menyebabkan respon inflamasi sitemik. Respon yang ditimbulkan sering
menyebabkan penurunan perfusi organ dan disfungsi organ. Jika disertai dengan
hipotensi maka dinamakan Syok sepsis. ( Linda D.U, 2006)
 Sepsis is a condition in which the body is fighting a severe infection that has spread
via the bloodstream. (emedicinehealth.com)

Terminology dalam sepsis menurut American College of Chest Physicians/society of


Critical Care Medicine consensus Conference Committee : Critical Care Medicine, 1992 :
 Infeksi

Fenomena microbial yang ditandai dengan munculnya respon inflamasi terhadap


munculnya / invasi mikroorganisme ke dalam jaringan tubuh yang steril.

 Bakteriemia

Munculnya atau terdapatnya bakteri di dalam darah.

 SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome)

Respon inflamasi secara sistemik yang dapat disebabkan oleh bermacam – macam
kondisi klinis yang berat. Respon tersebut dimanifestasikan oleh 2 atau lebih dari
gejala khas berikut ini :

o Suhu badan> 380 C atau <360 C


o Heart Rate >9O;/menit
o RR >20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
o WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature
 Sepsis sistemik

Respon terhadap infeksi yang disebabkan oleh adanya sumber infeksi yang jelas,
yang ditandai oleh dua atau lebih dari gejala di bawah ini:

o Suhu badan> 380 C atau <360 C


o Heart Rate >9O;/menit
o RR >20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
o WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature
 Severe Sepsis

Keadaan sepsis dimana disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi.
Hipoperfusi atau gangguan perfusi mungkin juga disertai dengan asidosis laktat,
oliguria, atau penurunan status mentas secara mendadak.
 Shok sepsis

Sepsis yang menyebabkan kondisi syok, dengan hipotensi walaupun telah


dilakuakn resusitasi cairan. Sehubungan terjadinya hipoperfusi juga bisa
menyebabkan asidosis laktat, oliguria atau penurunan status mental secara
mendadak. Pasien yang mendapatkan inotropik atau vasopresor mungkin tidak
tampaka hipotensi walaupun masih terjadi gangguan perfusi.

 Sepsis Induce Hipotension

Kondisi dimana tekanan darah sistolik <90mmHg atau terjadi penurunan sistolik
>40mmHg dari sebelumnya tanpa adanya penyebab hipotensi yang jelas.

 MODS (Multy Organ Dysfunction Syndroma)

Munculnya penurunan fungsi organ atau gangguan fungsi organ dan homeostasis
tidak dapat dijaga tanpa adanya intervensi.

- Etiologi

Mayoritas dari kasus-kasus sepsis disebabkan oleh infeksi-infeksi bakteri gram negatif (-)
dengan persentase 60-70% kasus, beberapa disebabkan oleh infeksi-infeksi jamur, dan
sangat jarang disebabkan oleh penyebab-penyebab lain dari infeksi atau agen-agen yang
mungkin menyebabkan SIRS. Agen-agen infeksius, biasanya bakteri-bakteri, mulai
menginfeksi hampir segala lokasi organ atau alat-alat yang ditanam (contohnya, kulit, paru,
saluran pencernaan, tempat operasi, kateter intravena, dll.). Agen-agen yang menginfeksi
atau racun-racun mereka (atau kedua-duanya) kemudian menyebar secara langsung atau
tidak langsung kedalam aliran darah. Ini mengizinkan mereka untuk menyebar ke hampir
segala sistim organ lain. Kriteria SIRS berakibat ketika tubuh mencoba untuk melawan
kerusakan yang dilakukan oleh agen-agen yang dilahirkan darah ini.

Sepsis bisa disebabkan oleh mikroorganisme yang sangat bervariasi, meliputi bakteri
aerobik, anareobik, gram positif, gram negatif, jamur, dan virus (Linda D.U, 2006)
 Bakteri gram negative yang sering menyebabkan sepsis adalah E. Coli, Klebsiella Sp.
Pseudomonas Sp, Bakteriodes Sp, dan Proteus Sp.

Bakteri gram negative mengandung liposakarida pada dinding selnya yang disebut
endotoksin. Apabila dilepaskan dan masuk ke dalam aliran darah, endotoksin dapat
menyebabkan bergabagi perubahan biokimia yang merugikan dan mengaktivasi imun
dan mediator biologis lainnya yang menunjang timbulnya shock sepsis.

 Organisme gram positif yang sering menyebabkan sepsis adalah staphilococus,


streptococcus dan pneumococcus. Organime gram positif melepaskan eksotoksin yang
berkemampuan menggerakkan mediator imun dengan cara yang sama dengan
endotoksin.
 Patofisiologi Sepsis
 Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai dengan rangsangan endo
atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga terjadi aktivasi makrofag, sekresi berbagai
sitokin dan mediator, aktivasi komplemen dan netrofil, sehingga terjadi disfungsi dan kerusakan
endotel, aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai
jaringan dan disfungsi/kegagalan organ multipel.1
 Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada bakteri gram
negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam plasma, dikenal
dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan
penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor
inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian
LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan dengan CD14.1,2 Kompleks CD14-
LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin
kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya
RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel
melalui toll like receptor-2 (TLR2).1
 Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid (LTA) dan
peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan sepsis melalui
2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun.
Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen presenting cells dan Vβ-chains
dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi
sitokin proinflamasi yang berlebih.1,2
 Peran sitokin pada sepsis
 Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi dan invasi
mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang berlebih, yang
mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel
endotel, trombosit dan sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, pelepasan
proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator proinflamasi,
dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin antiinflamasi, reseptor sitokin terlarut,
protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai hormon.1
 Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang terpenting adalah TNF-α,
IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh
TNF-α dan IL-1 pada endotel menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF,
penurunan regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi molekul
adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan
PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 yang merupakan mediator primer
akan merangsang pelepasan mediator sekunder seperti prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2
(TXA2), Platelet Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin,
intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan serotonin di samping zat-zat lain yang dilepaskan
yang berasal dari sistem komplemen.3
 Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi pada sepsis berat
pergeseran ke keadaan immunosupresi antiinflamasi.4
 Peran komplemen pada sepsis
 Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi, aktivasi respons imun dan
inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk inflamasi dari sirkulasi. Pada sepsis,
aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur alternatif, selain jalur klasik. Potongan fragmen
pendek dari komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan berikatan pada reseptor di sel
menimbulkan respons inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi pembentukan
radikal oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan permeabilitas kapiler dan ekspresi faktor
jaringan.1
 Peran NO pada sepsis
 NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus vaskular. Pada sepsis,
produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan gangguan hemodinamik berupa hipotensi.
NO diketahui juga berkaitan dengan reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan produksi sitokin
proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan menghambat agregasi trombosit. Peningkatan sintesis
NO pada sepsis berkaitan dengan renjatan septik yang tidak responsif dengan vasopresor.1
 Peran netrofil pada sepsis
 Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan pengaruh mediator
kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam sirkulasi umumnya meningkat, walaupun
pada sepsis berat jumlahnya dapat menurun.1 Netrofil seperti pedang bermata dua pada sepsis.
Walaupun netrofil penting dalam mengeradikasi kuman, namun pelepasan berlebihan oksidan dan
protease oleh netrofil dipercaya bertanggungjawab terhadap kerusakan organ.4 Terdapat 2 studi
klinis yang menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk mencegah komplikasi sepsis
tidak efektif, dan terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil pada pasien dengan sepsis
juga tidak efektif.

1. Tanda dan Gejala

Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda tanda sepsis non
spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah,
atau kebingungan.

Pada pasien sepsis kemungkinan ditemukan:

 Perubahan sirkulasi
 Penurunan perfusi perifer
 Tachycardia
 Tachypnea
 Pyresia atau temperature <36oc
 Hypotensi

Pasien harus mempunyai sumber infeksi yang terbukti atau yang dicurigai (biasanya bakteri) dan
mempunyai paling sedikit dua dari persoalan-persoalan berikut: denyut jantung yang meningkat
(tachycardia), temperatur yang tinggi (demam) atau temperatur yang rendah (hypothermia),
pernapasan yang cepat (>20 napas per menit atau tingkat PaCO2 yang berkurang), atau jumlah sel
darah putih yang tinggi, rendah, atau terdiri dari >10% sel-sel band. Pada kebanyakan kasus-kasus,
adalah agak mudah untuk memastikan denyut jantung (menghitung nadi per menit), demam atau
hypothermia dengan thermometer, dan untuk menghitung napa-napas per menit bahkan di rumah.
Adalah mungkin lebih sulit untuk membuktikan sumber infeksi, namun jika orangnya mempunyai
gejala-gejala infeksi seperti batuk yang produktif, atau dysuria, atau demam-demam, atau luka
dengan nanah, adalah agak mudah untuk mencurigai bahwa seseorang dengan infeksi mungkin
mempunyai sepsis. Bagaimanapun, penentuan dari jumlah sel darah putih dan PaCO2 biasanya
dilakukan oleh laboratorium. Pada kebanyakan kasus-kasus, diagnosis yang definitif dari sepsis
dibuat oleh dokter dalam hubungan dengan tes-tes laboratorium.

Beberapa pengarang-pengarang mempertimbangkan garis-garis merah atau alur-alur merah


pada kulit sebagai tanda-tanda dari sepsis. Bagaimanapun, alur-alur ini disebabkan oleh
perubahan-perubahan peradangan lokal pada pembuluh-pembuluh darah lokal atau pembuluh-
pembuluh limfa (lymphangitis). Alur-alur atau garis-garis merah adalah mengkhawatirkan
karena mereka biasanya mengindikasikan penyebaran infeksi yang dapat berakibat pada
sepsis.

Gejala khas sepsis à Dikatakan sepsis jika mengalami dua atau lebih gejala di bawah ini:

 Suhu badan> 380 C atau <360 C


 Heart Rate >9O;/menit
 RR >20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
 WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature

Kriteria Diagnostik sepsis menurut ACCP/SCCM th 2001 dan International Sepsis Definitions
Conference, Critical Care Medicine, th 2003 :

 Variabel Umum
o Suhu badan inti > 380 C atau <360 C
o Heart Rate >9O;/menit
o Tachipnea
o Penurunan status mental
o Edema atau balance cairan yang positif > 20ml/kg/24 jam
o Hiperglikemia > 120 mg/dl pada pasien yang tidak diabetes.
 Variable Inflamasi
o WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature
o Peningkatan plasma C-reactive protein
o Peningkatan plasma procalcitonin
 Variabel Hemodinamik
o Sistolik < 90mmHg atau penurunan sistolik . 40>mmHg dari sebelumnya.
o MAP <70mmHg
o SvO2 >70%
o Cardiak Indeks >3,5 L/m/m3
 Variable Perfusi Jaringan
o Serum laktat > 1mmol/L
o Penurunan kapiler refil
 Variable Disfungsi Organ
o PaO2 / Fi O2 <300
o Urine output < 0,5 ml/kg/jam
o Peningkatan creatinin > 0,5 mg/dl
o INR >1,5 atau APTT > 60 detik
o Ileus
o Trombosit < 100.000mm3
o Hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4mg/dl)

Tanda Klinis Syok Septik

 Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan kering.
 Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi keras
dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi, dan ekstremitas
hangat.
 Disertai tanda-tanda sepsis.
 Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan status
mental.
 Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik, takikardia,
takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis (tersangka sepsis).
 Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan tersangka sepsis disertai
hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau lekopenia, trombositopenis, granulosit toksik,
hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+), LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+)
atau (-).
 Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda syok (nadi cepat
dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan penurunan tekanan darah).
 Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok hipovolemia
(takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam, tekanan darah sistolik turun
dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau
hampir normal, mempunyai gejala takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan
tekanan nadi yang melebar. (anonim, 2008)
 Perubahan hemodinamik
 Tanda karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada awal adalah hipovolemia, baik relatif (oleh
karena venus pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi cairan). Kejadian ini mengakibatkan
status hipodinamik, yaitu curah jantung rendah, sehingga apabila volume intravaskule adekuat,
curah jantung akan meningkat. Pada sepsis berat kemampuan kontraksi otot jantung melemah,
mengakibatkan fungsi jantung intrinsik (sistolik dan diastolik) terganggu.
 Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada peningkatan volume
sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status hemodinamika pada sepsis berat dan
syok septik yang dulu dikira hiperdinamik (vasodilatasi dan meningkatnya aliran darah), pada
stadium lanjut kenyataannya lebih mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah
berkurang).
 Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan ekstraksi oksigen perifer.
Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah perifer, sehingga kemampuan untuk
meningkatkan ekstraksi oksigen perifer terganggu, akibatnya VO2 (pengambilan oksigen dari
mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok septic dipercaya sebagai penyebab utama
terjadinya gangguan oksigenasi jaringan.
 Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik adalah terjadinya hiperlaktataemia, mungkin hal ini
karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan karena dys-oxia jaringan (produksi energi dalam
keterbatasan oksigen) (Guntur, 2008).

A. Sepsis
Definisi
Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih dari
kriteria berikut:
1. Suhu > 38°C atau < 36°C
2. Denyut jantung >90 denyut/menit
3. Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS, sepsis dan
syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia.

Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi,
atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:

1. Asidosis laktat
2. Oliguria
3. Atau perubahan akut pada status mental

Beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, bagian yang terpenting adalah dengan
memasukkan petanda biomelekuler yaitu procalcition (PCT) dan C-reactive protein (CRP),
sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari
suatu sistem tingkatan Predisposition, insult Infection, Response, and Organ disfunction (PIRO)
untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan
stratifikasi gejala dan risiko yang individual.

Etiologi Sepsis

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60-70 % kasus,
yang menyebabkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu
untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah
lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama
membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan
syok pada penderita infeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam
tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Sterptococcus dan bakteri gram negatif lainnya
menyebabkam sepsis. Selain itu jamur opoortunistik, virus ( dengue dan herpes ) atau protozoa (
Falciparum malariae ) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.

Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infus
substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin. Peptidogliksn
diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit.
Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman , misalnya α-hemolisin ( S.
Aurens ), E. coli hemolisin ( E. coli ) dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung.

Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin gram negatif
dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan sistem
imun selular dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septicemia. LPS sendiri
tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut faktor
nekrosis tumor (tumor necrosis factor/ TNF) dan interleukin 1(IL-1), IL-6, dan IL-8 yang
merupakan mediator kunci dan sering mengikat sangat tinggi pada penderita immunocompromise
(IC) yang mengalami sepsis.

Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin proinflamasi
adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-γ) yang membantu sel menghancurkan mikroorganisme yang
menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-
4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang
berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi,
maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.
` Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab
(Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara reseptor
CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan
imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi adalah bakteri gram negatif
yang mempunyai LPS pada dindingnya.

Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh monosit
atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian ditampilkan
dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major
Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida MHC kelas II akan
berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T cell receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
immunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating factor).
Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ merangsang makrofag
mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-α merupakan sitokin proinflamasi, pada
sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1β dan TNF-α dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF-
α selain merupakan reaksi sepsis, dapat merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya
sampai saat ini belum jelas. IL-1β sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel
endotel, termasuk pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresiintercellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah
tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah
mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah, yaitu:
1. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-selektin
neutrofil dala mengikat ligan respektif
2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel
dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel
3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang melisiskan
dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal bebas yang
mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga akibatnya endotel
menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan vascular leak, sehingga
menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang memperkuat pendapat tersebut bahwa
kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil
sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian.

Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-10


sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-γ, TNF-α dan fungsi APC. IL-
10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10 meningkat lebih
tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah.
Patofisiologi Syok Septik
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang
melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai
mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana terjadi
keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi kemampuan
homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses
inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai
organ.

Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan


maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh mediator
juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.

Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal
sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan pada
tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan, iskemia reperfusi, dan
mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor
humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi kalori protein, translokasi
toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan.

Gejala Klinis Sepsis


Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti lemah,
malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru, tractus digestivus,
tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi lebih berat pada
penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan
granulositopenia.

Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:

1. Sindrom distress pernapasan pada dewasa


2. Koagulasi intravaskular
3. Gagal ginjal akut
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Disfungsi sistem saraf pusat
7. Gagal jantung
8. Kematian

Diagnosis
Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang
cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status hemodinamik.

Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah pasien
immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:

1. Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
2. Hipotensi, oliguria, atau anuria
3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
4. Perdarahan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan inflamasi
yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis, dan
genital. Pemeriksan tersebut akan mengungkap abses rektal, perirektal, dan/atau perineal, penyakit
dan/atau abses inflamasi pelvis, atau prostatitis.

Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea
darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,
elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi
harus dilakukan.

Tergantung pada status klinis pasien dan risiko-risiko terkait, penelitian dapat juga
menggunakan foto rontgen abdomen, CT Scanning, MRI, ekokardiografi, dan/atau lumbar
puncture.
Temuan laboratorium lain :

Sepsis awal. Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan


proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik.
Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.

Selanjutnya. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin,


penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan
hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi
akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis respiratorik. Hiperglikemia
diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.

Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah gejala SIRS dan berat proses
penyakit.

Komplikasi

1. Sindroma distres pernapasan dewasa (ARDS, adult respiratory disease syndrome)


2. Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC, disseminated intravascular coagulation)
3. Gagal ginjal akut (ARF, acute renal failure)
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Disfungsi sistem saraf pusat
7. Gagal jantung
8. Kematian

Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis dalam penelitian
berbeda adalah 19% untuk disfungsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk gagal hati, 9-23% untuk
ARF, dan 8-18% untuk DIC.

Pada syok septik, ARDS dijumpai pada sekitar 18%, DIC pada 38%, dan gagal ginjal 50%.

Penatalaksanaan
Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:

1. Stabilisasi pasien langsung


Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda
vital pasien harus dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang
memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi
ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat
vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan norepinefrin.

2. Pemberian antibiotik yang adekuat


Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien.
Diyakini bahwa antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih
banyak LPS sehingga menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien.
Antimikrobial yang tidak menyebabkan psien memburuk adalah :
karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida, dan
quinolon.

Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika


diberikan secara dini dapat menurunkan perkembangan syok dan angka
mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari pasien, diperlukan regimen
antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah ditemukan
penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan agen penyebab
sepsis tersebut.

Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang


kuat, misalnya antara golongan penisilin/penicillinase—resistant penicillin
dengan gentamisin.

a. Golongan penicillin
- Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis
- Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari
b. Golongan penicillinase—resistant penicillin
- Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 4×1 gram/hari iv selama 7-10 hari
sering dikombinasikan dengan ampisilin), dalam hal ini masing-
masing dosis obat diturunkan setengahnya, atau menggunakan
preparat kombinasi yang sudah ada (Ampiclox 4 x 1 gram/hari iv).
- Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.
c. Gentamycin
Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari, hati-
hati terhadap efek nefrotoksiknya.

Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan. Beberapa bakteri
gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang dianjurkan:

Bakteri Antibiotik Dosis

Escherichia coli Ampisilin/sefalotin - Sefalotin: 1-2 gram tiap 4-6 jam, biasanya
dilarutkan dalam 50-100 ml cairan, diberikan
Klebsiella, Gentamisin
per drip dalam 20-30 menit untuk
Enterobacter
menghindari flebitis.
Proteus mirabilis Ampisilin/sefalotin
- Kloramfenikol: 6 x 0,5 g/hari iv
Pr. rettgeri, Pr. Gentamisin - Klindamisin: 4 x 0,5 g/hari iv
morgagni, Pr.
Vulgaris

Mima-Herellea Gentamisin

Pseudomonas Gentamisin

Bacteroides Kloramfenikol/klindamisin

3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi


Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk
infeksi anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong
jaringan yang gangren.

4. Pemberian nutrisi yang adekuat

Pemberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat penting


berupa makro dan mikronutrient. Makronutrient terdiri dari omega-3 dan
golongan nukluetida yaitu glutamin sedangkan mikronutrient berupa
vitamin dan trace element.
5. Terapi suportif

Eli Lily and Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis Phase
III menunjukkan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan,
Zovant) menurunkan risiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi
organ akut terkait (dikenal sebagai sepsis berat) sebesar 19,4 %. Zovant
merupakan antikoagulan.

Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial, ada yang menggunakan pada


awal terjadinya sepsis, ada yang menggunakan terapi steroid sesuai dengan kebutuhan dan
kekurangan yang ada didalam darah dengan memeriksa kadar steroid pada saat itu (pengobatan
suplementasi). Peggunaan steroid ada yang menganjurkan setelah terjadi septic shock.
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan adalah dengan low doses corticosteroid >300
mg hydrocortisone / hari dalam keadaan septic shock. Penggunaan high dose corticosteroid
tidak efektif sama sekali pada keadaan sepsis dan septic shock.

Glukosa kontrol

Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak mengalami dan
yang mengalami diabetes melitus. Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai dengan
<150 mg/ dL. Dengan melakukan monitoring pada gula darah setiap 1-2 jam dan dipertahankan
minimal sampai dengan 4 hari.

Mencegah terjadinya stress ulcer dapat diberikan profilaksis dengan menggunakan H2


broker protonpan inhibitor.

Apabila terjadi kesulitan pernafasan penderita memerlukan ventilator dimana tersedia


di ICU.
Pencegahan

 Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri Gram-negatif
 Gunakan trimetoprim-sulfametoksazol secara profilaktik pada anak penderita leukimia
 Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau sulfamilon secara profilaktik pada pasien
luka bakar
 Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk mencegah pneumonia Gram-
negatif nosokomial
 Strerilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan vankomisin dan
nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram-negatif pada pasien neutropenia
 Lingkungan yang protektif bagi pasien beresiko kurang berhasil karena sebagian besar infeksi
berasal dari dalam (endogen)
 Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab) vagina/rektum pada
kehamilan 35-37 minggu. Biakkan untuk Streptococcus agalactiae (penyebab utama sepsis
pada neonatus). Jika positif untuk Strep Grup B, berikan penisilin intrapartum pada ibu hamil.
Hal ini akan menurunkan infeksi Grup B sebesar 78%.

Penatalaksanaan Syok Septik


Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu
dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai
sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b) circulation; c)
oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan
kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg,
tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam.

1. Oksigenasi

Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat


disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun
perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan
hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah jantung.
Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut
oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh
gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan
penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.

Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan


saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki
utilisasi oksigen di jaringan.

2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan
baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor
kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon
terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan darah,
penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan
ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular,
ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.

Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau
bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-
10 g/dl.

3. Vasopresor dan inotropik


Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi
dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami
hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk
mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor
dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-
1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5
mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28
mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau
inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
4. Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum
bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan
hemodinamik.

5. Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis
maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis
digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan
pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi
dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat
dilakukan hemodialisis.
6. Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak,
cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan
pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan secara
parenteral.

7. Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi
adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut.
Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien
renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol.

Penurunan kesadaran ec Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar glukosa
darah < 80 mg/dl dengan gejala klinis. Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari DM tipe 2.
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipirkan kemungkinan
terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonylurea
dan insulin. Hipoglikemia yang disebabkan oleh sulfoniurea dapat berlangsung lama,sehingga
harus diawasi sampai seluruh obat dieksresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang
dibutuhkan waktu yang lama untuk pengawasannya (24-72 jam atu lebih) terutama pada pasien
dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi OHO jangka panjang). Hipoglikemia
pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari,mengingat damapkanya yang fatal atau
akan terjadinya kemunduran mental yang bermakna pada pasien. Perbaikan DM pada pasien lanjut
usia memerlukan waktu yang lebih lama dan pengawasan yang lebih lama.

Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:


- Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)
- Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau ahli gizi
- Berolah raga terlalu berat
- Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada seharusnya
- Minum alkohol
- Stress
- Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia
Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila penderita mengalami
hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:
a) Dosis insulin yang berlebihan
b) Saat pemberian yang tidak tepat
c) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik
berlebihan

Sesuai dengan teori dimana keluhan dan gejala hipoglikemia didapatkan berdasarkan
ketergantungan saraf terhadap asupan glukosa. Gangguan asupan glukosa yang berlangsung
beberapa menit menyebabkan gangguan fungsi sistem saraf pusat,dengan gejala kognisi
,bingung dan koma.

Tabel 1. Keluhan dan Gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai pada pasien diabetes

Otonomik Neuroglikopenik Malaise

Berkeringat Bingung Mual

Jantung berdebar Mengantuk Muntah


Tremor Sulit berbicara

Lapar Inkordinasi

Perilaku yang berbeda

Gangguan visual

Parestesi

Pertahanan fisiologis yang pertama terhadap hipoglikemia adalah penurunan sekresi


insulin oleh sel beta pancreas. Pertahanan fisiologis yang kedua terhadap hipoglikemia adalah
peningkatan sekresi glukagon. Sekresi glukagon meningkatkan produksi glukosa di hepar dengan
memacu glikogenolisis. Pertahanan fisiologis yang ketiga terhadap hipoglikemia adalah
peningkatan sekresi epinefrin adrenomedullar. Sekresi ini terjadi apabila sekresi glukagon tidak
cukup untuk meningkatkan kadar gula darah. Sekresi epinefrin adrenomedullar meningkatkan
kadar gula darah dengan cara stimulasi hepar dan ginjal untuk memproduksi glukosa, membatasi
penyerapan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin, perpindahan substrat
glukoneogenik (laktat dan asam amino dari otot, dan gliserol dari jaringan lemak). Sekresi insulin
dan glukagon dikendalikan oleh perubahan kadar gula darah dalam pulau Langerhans di pankreas.
Sedangkan pelepasan epinefrin (aktivitas simpatoadrenal) dikendalikan secara langsung oleh
sistem saraf pusat. Bila pertahanan fisiologis ini gagal mencegah terjadinya hipoglikemia, kadar
glukosa plasma yang rendah menyebabkan respon simpatoadrenal yang lebih hebat yang
menyebabkan gejala neurogenik sehingga penderita hipoglikemia menyadari keadaan
hipoglikemia dan bertujuan agar penderita segera mengkonsumsi karbohidrat.
Pada awalnya tubuh akan memberikan respon terhadap rendahnya kadar gul darah dengan
melepaskan epinefrin ( adrenalin ) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin
merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi juga menyebabkan gejala berkeringat,
kegelisahan, gemetaran,pingsan, jantung berdebar-debar dan sering merasa lapar. Hipoglikemia
yang berat dapat menyebabkan berkurangnya glukosa ke otak yang menyebabkan pusing,
bingung,lelah, lemas, sakit kepala, gangguan penglihatan, kejang dan koma. Hipoglikemia yang
berlangsung lama akan mengakibatkan kerusakan otak yang permanen. Gejala-gejala ini paling
sering terjadi pada pasien yang memakai insulin atau obat hipoglikemia.
Dari anamnsesis terhadap keluarga pasien didapatkan bahwa pasien memiliki sakit gula
sejak 2 tahun terakhir dan minum obat metformin 2x500 mg, dan glimepirid 2 mg 2x1. Sesuai
dengan teori, diketahui bahwa obat glimepirid yang dikonsumsi pasien merupakan obat yang
hiperglikemik oral golongan sulfonylurea yang mempunyai efek samping hipoglikemia.
Golongan Sulfonilurea merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan.
Sampai beberapa tahun yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat hipoglikemik oral
merupakan golongan sulfonilurea. Senyawa-senyawa sulfonylurea sebaiknya tidak diberikan pada
penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid. Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi
insulin di kelenjar pancreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pancreas
masih dapat berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-
senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pancreas. Sifat
perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat glukosa
(atau kondisi hiperglikemia) gagal merangsang sekresi insulin, senyawa-senyawa obat ini masih
mampu meningkatkan sekresi insulin. Oleh sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea sangat
bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih mampu memproduksi
insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan sel-sel β
Langerhans kelenjar pancreas, pemberian obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea tidak
bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonylurea menghambat degradasi insulin oleh hati. Absorpsi
senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus cukup baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah
diabsorpsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat pada
protein plasma terutama albumin (70-90%). Efek Samping (Handoko dan Suharto, 1995; IONI,
2000) Efek samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea umumnya ringan dan
frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat.
Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit
kepala. Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya.

Gejala
hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan
anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida dapat
meningkatkan ADH (Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat terjadi apabila
dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau
ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat
hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang.
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO atau OHO dengan
insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan biguanida.
Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan
untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki
efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling
menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat efektif pada
banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri. hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi obat hipoglikemia oaral adalah :
1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan
secara bertahap.
2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut.
3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi
obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan
untuk beralih pada insulin.

Pada pasien diterapi dengan O2 2-4 liter/menit, IVFD D10%: Guyur Bolus D40% 1 flakon
Maintenance D5%:NaCl (1:1)=20gtt/menit, Ranitidin injeksi /12 jam/IV,GDS per jam. Sesuai
dengan teori pada Stadium permulaan (sadar) terapi yang diberika adalah :

- Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan
pemanis pengganti gula atau gule diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung
karbohidrat
- Hentikan obat hipoglikemik sementara
- Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
- Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
- Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia) :

1. Diberikan larutan Dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa GD sewaktu (GDS), kalau memungkinkan dengan glukometer :
- Bila GDs <50 mg/dl maka +bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
- Bila GDs <100 mg/dl maka +bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40% :
- Bila GDs <50 mg/dL maka + bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
- Bila GDs <100 mg/dL maka + bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
- Bila GDs 100 – 200 mg/dL maka tanpa bolus Dekstrosa 40%
- Bila GDs > 200 mg/dL maka pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam,
dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs >200 mg/dL maka pertimbangkan mengganti infus
dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0.9%
6. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam,
dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs >200 mg/dL maka pertimbangkan mengganti infus
dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0.9%
7. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut turut, sliding scale setiap 6 jam :
GD RI
(mg/dl) (unit, subkutan)
<200 0
200-500 5
250-300 10
300-350 15
>350 20

8. bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti :


adrenalin,kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila penyebabnya insulin)

9. bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl : hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12
jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg setiap 6 jam dan dimonitor 1,5 – 2
g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab penurunan kesadaran menurun.
Prognosis pada pasien tergantung dari penyebab utama suatu penyakit dibanding dari
dalamnya suatu koma (penurunan kesadaran). Koma pada pasien gangguan metabolik dapat
segera dipulihkan dengan menghilangkan gangguan tersebut. Untuk pasien ini dapat
dilaksanakan dengan pemberian glukosa cair kedalam tubuh untuk meningkatkan kadar
glukosa pasien, semakin cepat penanganan koma pada pasien ini maka kemungkinan
kerusakan otak dapat dihindari. Dengan penanganan kadar gloksa darah dan tekanan darah
yang baik,komplikasi diabetes dapat dicegah.

Anda mungkin juga menyukai