Anda di halaman 1dari 10

Ketika Mendung Sirna

karya Suci Lestari

Adegan 1

Pada suatu hari, teman-teman Febrianto sedang asyik bercanda di dalam kelas. Namun

entah mengapa, keceriaan itu menyebabkan Doni merasa tersinggung dan langsung membentak

mereka. Akibatnya terjadilah pertengkaran di dalam kelas. Melihat kejadian itu Febrianto langsung

melarai dan melarai dan memberi pengertian kepada mereka . Alhamdulillah, mereka pun segera

menyadari kesalahan dan langsung berdamai.

Beberapa saat kemudian, suasana kelas sudah menjadi tenamg, dari arah pintu kelas

terdengar sesoorang mengucapkan salam, “ Assalamualaikum! “ Mereka semua lansung menoleh

ke arah pintu dan menjawab, “ Waalaikum salam! “ Rupanya yang datang adalah Pak Sukma, wali

kelas mereka.

Pak Sukma : ( Duduk sejenak di kursi ) “Bagaimana kabar kalian sekarang?”

Mereka : “Baik-baik saja, Pak.”

Pak Sukma : ( Mendekati Febrianto ) “Bagaimana dengan engkau, Feb?”

Febrianto : “Alhamdulillah baik, Pak.”

Pak Sukma : “Mana buku absennya? Bapak ingin melihat daftar kehadiran kalian!”
Febrianto : (Mengambil buku absen, kemudian menyerahkannya kepada Pak Sukma) “Ini

buku absennya, Pak.”

Pak Sukma : ( Mulai meneliti kehadiran muridnya satu per satu ) “Wah, wah, wah, mengapa

akhir-akhir ini kehadiranmu sangat kurang, Doni?”

( Mendengar pertanyaan Pak Sukma , Doni diam saja. Demikian pula teman-temannya. Tak satu

pun yang berani, termasuk Febrianto. Melihat sikap mereka, Pak Sukma menjadi keheranan

sebelumnya sikap meraka tidak seperti itu )

Pak Sukma : “Anak-anak, jika ada masalah, silahkan sampaikan kepada bapak. Mungkin bapak

bisa membantunya. Sekarang bapak mengajak kalian semua untuk mulai membuka lembaran baru.

Saat ini kalian sudah kelas tiga, berarti dua tahun sudah kalian berjuang. Perjuangan itu jangan

sampai sia-sia. Sebentar lagi kalian akan memasuki caturwulan kedua bahkan ujian akhir.”

( Mendengar kata-kata yang disampaikan Pak Sukma, mereka semua menjadi binggung )

Hendra : ( Sambil mengangkat tangannya ) “Maaf, Pak. Benar, kami semua memang telah

berada di kelas tiga selama satu caturwulan. Tetapi menurut saya, hari ini adalah hari yang sama

dengan hari-hari kemarin.”

( Febrianto dan teman-temannya yang lain terkejut mendengar ucapan Hendra. Mereka takut kalau

Pak Sukma akan marah karena ucapannya dipotong seperti itu. Tetapi tidak dengan demikian )

Pak Sukma : ( Tersenyum ) “Bagaimana, Hendra?”


Hendra : “Ya …, hari ini tetap hari Senin, seperti Senin minggu yang lalu atau lainnya.

Begitu kan, Pak?”

Pak Sukma : ( Tersenyum lagi ) “Bagaimana pendapat kalian?”

Mereka : “Saya kira begitu, Pak?”

Mereka : “Hendra benar, Pak?”

Pak Sukma : “Baiklah! Hendra tidak salah dan kalian pun betul, tetapi tidak sepenuhnya.” (

Para siswa terdiam, mereka belum juga dapat mengerti penjelasan Pak Sukma )

Pak Sukma : “Memang benar, hari ini adalah hari Senin. Namanya tetap tetap seperti minggu

yang lalu ataupun yang akan datang. Tetapi coba kalian renungkan bahwa setiap tiba hari yang

baru, kita biasanya akan mendapat pengalaman yang baru pula.”

( Febrianto dan teman-temannya masih memikirkan apa yang dimaksud oloh Pak Sukma. Lebih-

lebih lagi saat Pak Sukma menatap mereka satu per satu )

Pak Sukma : “Apa yang telah kamu kerjakan pada hari Senin yang lalu, Didi?”

Didi : ( Terkejut, lalu berpikir sejenak ) “Waktu itu bertepatan dengan hari libur dan saya

berada di kebun paman seperti saat ini, Pak.”

Pak Sukma : “Nah, kalian dengar sendiri jawaban dari Didi, bukan? Itu saja sudah

menunjukkan bahwa tiap hari merupakan hari yang baru. Namanya memang sama, tetapi apa yang
kalian kejakan dan kalian peroleh senantiasa berlainan. Karena itu, yang terpenting bagi kalian

adalah bagaimana mengisi waktu yang terus berjalan. Karena waktu yang sudah lewat, hari yang

sudah berlalu, tidak dapat diulang kembali. Kalau kalian lewatkan tanpa mengisinya dengan hal

yang berarti dan bermanfaat, waktu akan hialang percuma. Jadi jangan pernah menyia-nyiakannya.

Tanamkan pada diri kalian bahwa besok harus merupakan hari yang lebih baik dari hari ini.”

( Anak-anak diam sambil merenungkan nasihat Pak Sukma )

Adegan 2

Begitulah, hari pertama saat penataran, Pak Sukma telah menasihati mereka. Setelah Pak

Sukma meninggalkan kelas, situasi kelas menjadi sepi. Febrianto tak tahu, apakah teman-

temannya juga merenungkan nasihat Pas Sukma atau mereka merasa takut pada Doni. Dalam

situasi sepi itu, Febrianto merasa was-was dan waspada ketika Doni mendekatinya. Ia berfikir

jangan-jangan Doni tidak senang padanya? Tetapi, apa yang terjadi kemudian?

Doni : “Feb, aku minta maaaf padamu. Dari semua teman-teman di kelas ini hanya

engkaulah yang sangat kusayangi dan kusegani. Engkau tak pernah menyinggung perasaan teman-

teman, termasuk aku. Bahkan lebih banyak mengingatkan kami bila kami berbuat salah. Karena

aku, kita semua mendapat teguran dari Pak Sukma. Sekali lagi maafkan aku ya, Feb.”

Febrianto : “Terima kasih, Don. Aku pun merasa lega karenaengkau telah sadar. Tetapi

engkau tidak sepenuhnya salah. Aku pun merasa bersalah padamu karena selama ini tak pernah

lagi mengingatkanmu. Aku juga minta maaf kepadamu.” ( Doni Cuma diam. Mendengarkan apa

yang dikatakan Febrianto )


Febrianto : “Don, aku tahu ayah dan ibumu memiliki keinginan yang sama seperti ayah dan

ibuku. Cuma kita berbeda. Kamu berasal dari keluarga yang mampu sedang aku adalah anak dari

keluarga yang tak mampu. Namun demikian, aku tetap tegar menghadapinya.” ( Doni Cuma diam

saja lagi )

Febrianto : “Memang diantara kita terdapat perbedaan yang status sosial yang sangat

mencolok. Akan tetapi, aku yakin engkau mau menerima kata-kataku. Kamu tentu tidak berniat

untuk menghancurkan masa depanmu sendiri. Apa yang engkau lakukan selama ini pasti

bertentangan dengan hati nuranimu. Doni, selama ini aku telah menganggapmu sebagai saudara

kandung, namu ternyata engkau berusaha menjauh. Aku berfikir, mungkin perbedaan derajat

keluarga kitalah penyebabnya. Atau ada yang hal-hal lain.” ( Mendengar kata-kata Febrianto, Doni

merasa menyesal )

Doni : ( Memeluk Febrianto dan dengan tulus. Ia juga menangis ) “Feb, memang kuakui

kalau aku mulai menjauhimu. Ini semua karena ada masalah yang sangat sulit kupecahkan.”

Febrianto : “Apa masalahmu?”

Doni : “Sejak ibuku meninggal dan ayahku kawin lagi, pikiranku menjadi tidak menentu.

Aku merasa kehilangan kasih sayang. Bahkan secara terang-terangan ibu tiriku menganggapku

anak nakal dan brengsek!”

Febrianto : “Bukankah ibu tirimu sangat sayang kepadamu?”


Doni : “Ya. Mulanya ia sangat sayang kepadaku, tetapi sekarang sudah berubah. Coba

engkau bayangkan, Feb. Suatu hari, ketika ayah memberi hadiah ulang tahunku, ibu tiriku

sepertinya kurang senang. Itulah awal mula yang membuatku tidak senang kepadanya.”

Febrianto : ( Prihatin ) “Apa tidak ada jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah kamu dan

ibu tirimu?”

Doni : ( Cuma diam ) “Hari berikutnya, ketika aku hendak berangkat ke sekolah dan

minta uang jajan kepada ayah, dari kejauhan ibu tiriku langsung membentak. Dengan adanya

kejadian itu, aku langsung berangkat ke sekolah tanpa membawa uang sepeser pun. Karena

pikiranku kacau, aku tidak langsung ke sekolah. Kebetulan di jalanan aku bertemu teman-teman

lama. Mereka memanggilku untuk bergabung. Dengan merekalah aku menghilangkan pikiran

kacau itu. Namun setelah itu, apa yang terjadi? Tiba-tiba muncul patrol polosi dan langsung

menangkap kami.”

Febrianto : “Setelah ditangkap, bagaimana perasaanmu?”

Doni : “Dengan perasaan yang lemas dan takut, aku meminta maaf. Aku juga berjanji

tidak akan membolos lagi. Kata-kata tersebut kuucapkan berulang-ulang dihadapan Pak Polisi.

Namun Pak Polisi mengatakan, “ Tidak! Kalian harus kami tangkap” Apapun alasanku, Pak Polisi

tetap memeriksa kami satu per satu.”

Febrianto : “Hasil pemeriksaannya bagaimana?”


Doni : “Subhanallah, ternyata dari kantong beberapa temanku didapati obat-obatan

terlarang.”

Febrianto : “Lalu?”

Doni : “Malam itu, kira-kira jam setengah sebelas, aku baru sadar. Rupanya aku jatuh

pingsan. Kuperhatikan orang-orang di sekitarku. Tampak dua orang petugas kesehatan dan seorang

polisi sedang merawatku. Aku langsung memeluk Pak Polisi sambil menangis meraung-raung.

Tolong saya, Pak! Saya tak pernah melakukan perbuatan seperti apa yang mereka lakukan.”

Febrianto : “Setelah itu?”

Doni : “Aku berhenti menangis ketikaa mendengar perkataan Pak Polisi. Tenangkan

pikiranmu, Dik. Kami telah mengetahui semuanya. Kesalahanmu hanya satu, yaitu meninggalkan

jam pelajaran di sekolah. Jadi, besok pagi kamu akan dibebaskan. Oleh karena itu, dengan

pengalaman ini, jangan coba-coba lagi membolos. Itu akan sangat merugikan bahkan dapat

mengurangi kepercayaan orang tua terhadap dirimu. Jadi kamu harus hati-hati memilih teman.”

Febrianto : “Terus?”

Doni : “Semalaman dalam tahanan, bagaikan setahun lamanya. Saat itu, aku

membayangkan kalian, Feb. Alangkah enaknya kalian tidur di rumah tanpa memikul beban berat

seperti yang aku alami. Betapa hinanya aku ini di mata kalian. Itulah sebabnya aku mulai

menyendiri, ditambah lagi dengan tekanan dari orang tua yang semakin membuatku malas sekolah.

Aku malu, Feb.” ( Sambil menyeka air matanya )


Febrianto : “Don, kuharap engkau bersabar. Besarkanlah hatimu dan jadikanlah peristiwa itu

sebagai cambuk untuk memacu diri dalam meraih sukses. Aku dapat merasakan apa yang engkau

rasakan. Aku pun kasihan kepadamu.”

Doni : “Bagaimana nanti dengan Pak Sukma?”

Febrianto : “Baiklah! Jika demikian, kubantu engkau untuk menjelaskan kepada Pak Sukma.

Sekarang tenangkanlah hatimu?” ( Membujuk )

( Mendengar kata-kata Febrianto, hati Doni menjadi tenang. Setelah itu, mereka pergi menemui

Pak Sukma )

Mereka : “Assalamu alaikum!”

Pak Sukma : “Waalaikum salam.”

( Mereka masih berdiri di depan pintu )

Pak Sukma : “Ayo, silakan duduk” ( Pak Sukma menyilakan )

( Setelah duduk, Pak Sukam mulai menatap mereka satu per satu. Sesaat kemudian, suasana

menjadi sepi )

Pak Sukma : “Mengapa akhir-akhir ini kehadiranmu sangat kurang, Don.” ( Sambil

menatapnya)
( Mendengar pertanyaan Pak Sukma, Doni ganti menatap Febrianto, lalu menundukkan kepalanya.

Febrianto paham bahwa itu adalah isyarat agar ia menjelaskan masalahnya kepada Pak Sukma.

Akhirnya, Febrianto pun mulai menjelaskannya. Mendengar penjelasan Febrianto, Pak Sukma

tampak mengangguk-angguk mengerti. Setelah berpikir sejenak, Pak Sukma memandang ke arah

Doni. Ternyata butiran-butiran air mata telah membasahi pipinya )

Pak Sukma : “Doni. Tataplah bapak!”

( Mendengar Pak Sukma memanggil, pelan-pelan Doni mengangkat mukanya )

Doni : “Maafkan saya, Pak.” ( Sambil meraih dan mencium tangan Pak Sukma )

Pak Sukma : “Ya! Bapak mengerti dan memakluminya. Bapak berharap kamu bersabar.

Jadikanlah semua itu sebagai pelajaran pahit yang tak boleh terulang lagi dan jadikan sebagai

sambuk untuk meraih sukses.”

Doni : “Ya, Pak.” ( Jawabnya pelan )

Pak Sukma : “Doni, perlu engkau ketahui, bukan hanya engkau saja yang pernah mengalami

kejadian seperti itu. Banyak orang yang mengalaminya. Bahkan ada di antara meraka yang enjadi

sia-sia hidupnya. Ada pula yang sadar dan bertekad untuk memperbaiki tingkah lakunya. Mereka

mematuhi semua tata karma, baik di rumah maupun dalam pergaulan sehari-hari. Kalau sudah

demikian mereka dapat menjadi orang yang patut diteladani dan bisa mencapai sukses dalam

segala hal. Mana ada orang yang tidak pernah berbuat masalah?”

(Doni mengangguk tanda mengerti )


Pak Sukma : “Oleh karena itu, bapak berharap agar kamu melupakan kejadian itu. Tumbuhkan

semangat pengabdian yang tulus, terutama kepada kedua orang tuamu, guru-gurumu, maupun

kepada sesama manusia. Dengan begitu, kita akan semakin dikasihi dan disayangi. Dan jangan

lupa! Setiap tiba waktu salat, salatlah! Selesai salat atau pulang dari bepergian, ciumlah tangan

kedua orang tuamu. Sebab itu merupakan salah satu tanda bakti kita kepada mereka. Ingat, engkau

belum terlambat untuk melaksanakan nasihat bapak!”

Doni : “Ya, Pak. Apa yang bapak katakana, akan saya laksanakan.”

Pak Sukma : “Baiklah. Karena sudah siang, segerahlah kalian pulang ke rumah. Dan sekalian

lagi, jangan lupa nasihat bapak, ya!”

( Febrianto dan Doni meninggalkan ruangan Pak Sukma dengan mengingat semua nasihat yang

harus dilaksanakan. Dalam perjalanan pualang, Doni sempat bertanya kepada Febrianto )

Doni : “Feb, maukah kau belajar bersama di rumahku?”

Febrianto : “Dengan senang hati, Don.”

( Mereka berpisah menuju rumah masing-masing. Sepanjang jalan menuju ke rumah, Doni tak

habis pikir, betapa tulus hati Febrianto yang mau menolongnya. Ia bertekad dalam hati, “ Mulai

saat ini, Febrianto akan kuanggap sebagai saudara kandung. Aku tak akan melupakan budi

baiknya)

Anda mungkin juga menyukai