Anda di halaman 1dari 41

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT THT


RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA

SMF PENYAKIT THT

Nama : Tanda Tangan


…………………………

NIM : …………………………

………………………………

Dr. Pembimbing / Penguji : …………………………

………………………………

IDENTITAS PASIEN

Nama : Jenis Kelamin :L/P

Umur : Agama :

Pekerjaan : Pendidikan :

Alamat : Status Menikah :

I. ANAMNESIS

Diambil Secara : Auto / Allo / Auto-allo Anamnesa

Pada Tanggal : Jam :

Keluhan Utama :

Keluhan Tambahan :

Riwayat Perjalanan Penyakit (RPS) :

1. Riwayat Penyakit :

2. Etiologi / Predisposisi :

Kepaniteraan RSAU Dr. Esnawan Antariksa 1 Status THT


3. Komplikasi :

4. Terapi :

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) :

II. KEADAAN UMUM


1. Kesadaran : 5. Berat Badan :

2. Tekanan Darah : 6. Tinggi Badan :

3. Nadi : 7. Sakit : Ringan / Sedang / Berat

4. Suhu :

III. PEMERIKSAAN FISIK

TELINGA

KANAN KIRI

Bentuk Daun Telinga

Kelainan Kongenital

Radang, Tumor

Nyeri Tekan Tragus

Kepaniteraan RSAU Dr. Esnawan Antariksa 2 Status THT


Penarikan Daun Telinga

Kelainan pre, infra-, retroaurikuler

Regio Mastoid

Liang Telinga

Membran Tympani

TES PENALA

KANAN KIRI

Rhinne
Weber

Swabach
Penala yang dipakai

Kepaniteraan RSAU Dr. Esnawan Antariksa 3 Status THT


Kesan :

HIDUNG (RHINOSCOPY ANTERIOR)

Bentuk :

Tanda Peradangan :

S. Frontalis & Maxilaris :

Vestibulum :

Cavum Nasi :

Konka Inferioir Ka/Ki :

Meatus Nasi Inferior Ka/Ki :

Konka Medius Ka/Ki :

Meatus Nasi Medius Ka/Ki :

Septum Nasi :

RHINOPHARYNX (RHINOSCOPY POSTERIOR)

Koana :

Septum Nasi Posterios :

Muara Tuba Wustachius :

Tuba Eustachius :

Torus Tubarius :

Post Nasal Drip :

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI

Sinus Frontalis Kanan, Grade :

Sinus Frontalis Kiri, Grade :

Sinus Maxilaris Kanan, Grade :

Sinus Maxilaris Kiri, Grade :

Kepaniteraan RSAU Dr. Esnawan Antariksa 4 Status THT


TENGGOROKAN

PHARYNX

Dinding Pharinx :

Arcus :

Tonsil : Ukuran : T....../T......

Warna :

Detritus :

Kripta :

Perlengketan :

Uvula :

Gigi :

Lain-lain :

LARYNX / LARINGOSCOPY INDIRECT

Epiglotis :

Plica Aryepiglotis :

Arytenoids :

Ventricular Band :

Pita Suara :

Rima Glotis :

Cincin Trachea :

Sinus Piriformis :

Kepaniteraan RSAU Dr. Esnawan Antariksa 5 Status THT


MAKSILOFACIAL

NERVUS KRANIAL

DEFORMITAS

LEHER

Kelenjar limfe

Submandibula :

Cervical :

KELENJAR GETAH BENING

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

V. RESUME

Dari anamnesa didapatkan keluhan :

Dari pemeriksaan fisik didapatkan :

Dari pemeriksaan penunjang didapatkan :

Kepaniteraan RSAU Dr. Esnawan Antariksa 6 Status THT


VI. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (DD/)

VII. WORKING DIAGNOSIS (WD/)

VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN

Kepaniteraan RSAU Dr. Esnawan Antariksa 7 Status THT


IX. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa :

Operatif :

Edukasi :

X. PROGNOSIS
Ad Vitam :

Ad Fungsionam :

Kepaniteraan RSAU Dr. Esnawan Antariksa 8 Status THT


Laporan Kasus
RHINOFARINGITIS DAN
EPISTAKSIS BERULANG

Dokter Pembimbing :
dr. Swasono, Sp.THT-KL, M.Kes

Disusun Oleh :
Berlie Kleinfelter Neonufa
112016368

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


FAKULTAS KEDOKERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RSAU dr. ESNAWAN ANTARIKSA JAKARTA
PERIODE 10 DESEMBER 2018 – 12 JANUARI 2019
1
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA
SMF PENYAKIT THT

Nama : Berlie Neonufa Tanda Tangan


NIM : 112016368
........... ..........

Pembimbing/Penguji : dr. Swasono, Sp.THT-KL, M.Kes


......................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Almira Libie Widiasputri Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 13 tahun Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar Pendidikan : SMP
Alamat : Jakarta Pusat Status Menikah : Belum menikah

I. ANAMNESA

Diambil secara : Autoanamnesis


Pada Tanggal : 27 Desember 2018 Pukul : 12.15 WIB
Keluhan Utama : Hidung terasa seperti tersumbat
Keluhan Tambahan : Sering mimisan berulang
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien datang dengan keluhan hidung terasa seperti tersumbat sejak ±1 minggu yang
lalu. Pada awalnya pasien mengalami batuk pilek sejak 2 minggu yang lalu kemudian diikuti
dengan demam. Demam dialami selama ±3 hari pertama. Saat batuk pilek pasien merasakan
hidung tersumbat secara bergantian kiri dan kanan, hidung keluar sekret berwarna bening
dan encer. Pasien juga mengaku bahwa penciumannya berkurang selama mengalami gejala
ini. Badan lemas dan pusing juga dirasakan pasien. Pasien mengatakan punya alergi terhadap
debu dan bulu binatang. Pasien sudah berobat ke klinik dan mengalami perubahan membaik,
hanya masih mengeluh hidungnya yang sering tersumbat.
Selain itu pasien juga mengeluh sering mengalami mimisan belakangan ini khususnya
dalam 1 bulan terakhir. Pasien mengatakan saat mimisan perdarahan yang keluar sedikit dan
2
dapat berhenti sendiri. Pasien juga merasakan darah yang keluar hanya dari depan hidung
saja, pasien tidak merasa ada darah yang mengalir dibelakang hidung atau tenggorokan. Saat
mimisan pasien biasanya memencet hidung dan menyumpal dengan tisu untuk menghentikan
perdarahan. Pasien mengatakan mimisan terjadi terutama saat berusaha mengeluarkan sekret
dari hidung.
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) :
Asma (+)
II. Keadaan Umum
1. Kesadaran : Composmentis
2. Tekanan Darah: 110/70
3. Nadi : 76 x/menit
4. Suhu : 36 °C
5. Berat Badan : 48 kg
6. Tinggi Badan : 150 cm
7. Sakit : Tampak sakit ringan

III. Pemeriksaan Fisik


- - Kanan - Kiri

- Bentuk Daun Telinga - Normal - Normal

- Kelainan Kongenital - Tidak ada - Tidak ada

- Radang, Tumor - Tidak ada - Tidak ada

- Nyeri Tekan Tragus - Tidak ada - Tidak ada

- Penarikan Daun Telinga - Tidak ada - Tidak ada

- Kelainan pre-, infra, - Tidak ada - Tidak ada


retroaurikuler

- Regio Mastoid - Normal - Normal

- Liang Telinga - Lapang, tidak hiperemis - Lapang, tidak hiperemis

- Membran Tympani - Normal, refleks cahaya - Normal, refleks cahaya


(+) (+)

3
Tes Penala
- - Kanan - Kiri
- Rinne - positif - Positif
- Weber - Tidak ada lateralisasi - Tidak ada lateralisasi
- Swabach - Tidak ada lateralisasi - Tidak ada lateralisasi
- Kesan - Tidak ada kelainan - Tidak ada kelainan

HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


Bentuk : Normal,tidak tampak deviasi atau depresi tulang hidung
Tanda peradangan : Hiperemis(-), panas(-), nyeri(-), bengkak(-)
Vestibulum : Hiperemis -/- secret +/+
Cavum nasi : Lapang +/+,oedem -/-,hiperemi -/-
Konka inferior kanan/kiri : oedem +/+ hiperemis +/+
Konka medius kanan/kiri : oedem -/- hiperemis -/-
Meatus nasi medius kanan/kiri : secret +/+
Septum nasi : Tidak ada deviasi
Pasase udara : sumbatan -/-
Daerah sinus frontalis : Nyeri tekan(-),nyeri ketuk (-)
Daerah sinus maxilaris : Nyeri tekan (-),nyeri ketuk(-)

NASOFARING (RHINOSKOPI POSTERIOR) : tidak dilakukan


Koana :-
Septum nasi superior :-
Muara tuba Eustachius :-
Torus rubarius :-
Konka inferior & media :-
Dinding posterior :-

PEMERIKSAAN TRANSMULASI
Kanan Kiri
Sinus frontalis,grade : - -
Sinus Maxilaris,grade : - -

4
TENGGOROK
Faring
Dinding faring : hiperemis (+)
Arkus faring : simetris, edema (-)
Tonsil : Ukuran : T1/T1
Hiperemis : +/+
Permukaan mukosa granular dan tidak rata : -/-
Kripta melebar : +/+
Detritus : -/-
Perlengketan : -/-
Uvula : letak ditengah, hiperemis(-), oedem(-)
Gigi geligi : Lengkap, karies (-)

LARING (LARINGOSKOPI) : tidak dilakukan


Epiglotis :-
Plica aryepligotis :-
Arytenoid :-
Plika Ventrikularis :-
Pita suara asli :-
Rima Glotis :-
Cincin Trakea :-
Sinus piriformis :-
Leher
Kelenjar submandibular : tidak teraba membesar
Kelenjar servikal : tidak teraba membesar
Maksilo-Fasial
Deformitas/hematom : tidak ada
Parese saraf otak : tidak ada

1. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Belum ada pemeriksaan penunjang yang dilakukan

5
2. RESUME
Pasien seorang perempuan usia 13 tahun dengan keluhan hidung terasa seperti
tersumbat sejak ±1 minggu yang lalu. Saat batuk pilek pasien merasakan hidung
tersumbat secara bergantian kiri dan kanan, hidung keluar sekret berwarna bening dan
encer. Selain itu pasien juga mengeluh sering mengalami mimisan belakangan ini
khususnya dalam 1 bulan terakhir. Pasien mengatakan saat mimisan perdarahan yang
keluar sedikit dan dapat berhenti sendiri. Pasien mengatakan mimisan terjadi terutama
saat berusaha mengeluarkan sekret dari hidung.
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan :
Hidung : mukosa tidak hiperemis, sekret +/+
Faring : hiperemis (+),granular(+), mukosa berbenjol-benjol
Tonsil : Ukuran : T1/T1
Hiperemis : +/+
Permukaan mukosa granular dan tidak rata : -/-
Kripta melebar : -/-
Detritus : -/-
3. DIAGNOSIS KERJA
Rhinofaringitis Akut
Riwayat Epistaksis Berulang
4. DIAGNOSIS BANDING
Rhinitis Vasomotor
Rhinitis Infeksi
5. USULAN PEMERIKSAAN PENJUNJANG
Pemeriksaan laboraturium berupa kultur tenggorokan dan rontgen (CT-scan)

6. PENATALAKSANAAN
Medika mentosa :
1. Rhinos capsul dosis 3 x 1 No. X
2. Asam traneksamat tablet 500 mg 2 x 1 (bila epistaksis)
7. ANJURAN
1. Istirahat yang cukup
2. Menghindari faktor pencetus (debu, bulu binatang)
8. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungsionam : Ad bonam
6
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Hidung 1,2

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah; pangkal
hidung (bridge), batang hidung (dorsum), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, lubang
hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila dan
prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar
mayor dan tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulangnya adalah 1.lamina prependikularis, 2.vomer, 3.krista nasalis os
maksila dan 4.krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawannya adalah 1.kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan 2.kolumela.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior sendangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter.

Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus

7
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara dari
sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus superior terletak diantara
konka superior dan konka media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid.

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Pada bagian posterior,
atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.

Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humudifikasi, penyeimbangan dalam
penukaran tekanan dan mekanisme imunologik local; 2) fungsi penghidu, karena terdapatnya
mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu;
3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonasi suara, membantu proses berbicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; 4) fungsi statistic dan mekanik
untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) reflex
nasal.

Gambar 1. Anatomi Hidung.1

8
Vaskularisasi Hidung1,2

Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis anterior,
arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri sfenopalatina. Arteri
etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung.
Arteri etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri
sfenopalatina terbagi menjadi arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral
hidung dan arteri septi posterior yang menyebar pada septum nasi.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar
dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor,
yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya superfisial dan mudah cedera
oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior
yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Gambar 2. Vaskularisasi Hidung.1

9
Innervasi Hidung

Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat persarafan sensoris
dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.1

Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan


persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus
superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus petrosus profundus. Gangglion
sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit di atas ujung posterior konka media.1

Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1

B. Anatomis dan Fisiologi Faring1,2

Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seprti corong, yang besar
dibagian atas dan sempit dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring dan ke bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke
bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinidng posterior faring pada orang dewasa
kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.

Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam
rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam system retikuloendotelial. Oleh karena itu
faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.

Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara
dan untuk artikulasi.

10
Palut lendir (Mucous Blancket)

Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernafasan yang diisap melalui hidung. Dibagian
atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan bergerak sesuai
dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel
kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim lysozyme
yang penting untuk proteksi.1,2

Otot-otot Faring

Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang


(longitudianal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.kostriktor faring superior, m.konstrikor
faring media, m.konstriktor faring inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini
berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari
belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu pada jaringan ikat yang disebut “rafe
faring” (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot
ini dipersarafi oleh n.vagus (n.X).1,2

Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. letak otot-otot ini
disebalah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring,
sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah
faring dan laring. Jadi kedua otot ini berkerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting
pada waktu menelan. M.stilofaring dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring
dipersarafi oleh n.X.1,2

Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung
fasia dari mukosa yaitu, m.levator veli palatine, m.tensor veli palatine, m.palatoglosus
m.palatofaring, m.azigos uvula. M.levator veli palatine membentuk sebagian besar palatum
mole dan kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba
Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X. 3 M.tensor veli palatine membentuk tenda palatum
mole dan kerjanya untuk mengencangkan bagian anterior palatume mole dan membuka tuba
Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X. M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring
dan kerjanya menyempitkan ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X. M.palatofaring
membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X. M.azigos uvula merupakan

11
otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan uvula kebelakang atas. Otot ini
dipersarafi oleh n.X.1,2

gambar 3. Otot-otot Faring

Vaskularisasi Faring

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fasial)
serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatine superior.1,2

Innervasi Faring

Persarafan motoric dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dan n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan
serabut simpais. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motoric. Dari pleksus faring yang
ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang
dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).1,2

C. Rhinitis
Rhinitis Alergik3

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on

12
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak
6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL
1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.(5)
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan
IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine
juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien
D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan
berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1
(ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
13
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-
CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.
Penatalaksanaan Rhinitis Alergi :3,4
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik
paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara per oral.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi
berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sub-lingual.

Rhinitis Vasomotor3
Definisi : terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh
bertambahnya aktivitas parasimpatis.

14
Etiologi : belum diketahui pasti, tapi diduga adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor antara lain:
a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti: obat
anti hipertensi, kontrasepsi oral, dll.
b. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, udara lembab, bau
yang merangsang, makanan yang pedas dan panas.
c. Faktor endokrin, seperti keadaan kehamilan, pubertas, hipotiroidisme.
d. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang.
Manifestasi klinis :
a. Hidung tersumbat, bergantian kiri kanan.
b. Rinore mucus/serus
c. Konka warna merah gelap/pucat
d. Konka dapat licin/berbenjol
Patogenesis & Patofisiologis :

Gangguan keseimbangan vasomotor yang dipengaruhi oleh beberapa factor (obat-


obatan, fisik, endokrin, psikis). Gangguan keseimbangan tersebut dapat merangsang saraf
otonom yang ada di mukosa hidung (n. Vidianus), sehingga terjadi penurunan aktivitas saraf
simpatis dan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Sistem saraf otonom mengontrol suplai
darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf
simpatis sedangkan saraf parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat
kekentalannya, serta menekan efek dari pembuluh darah kapasitan (kapiler). Efek dari
hipoaktivitas saraf simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada
pembuluh darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan
akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi dari
saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea
yang eksesif.

Penatalaksanaan :

1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )


2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung
tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung ).
15
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin
dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif.
Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang
memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau
Beclomethasone
- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya.
Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal )
Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat pekat
( chemical cautery ) maupun secara elektrik (electrical cautery ).
- Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior turbinate )
- Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
- Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection)
- Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
- Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan pemotongan
pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya
dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan,
dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai
komplikasi.

Rhinitis akut simplex 3,4


Rhinitis akut simpleks adalah iritasi pada hidung dimana terjadi inflamasi
selama beberapa hari yang secara umum disebabkan oleh virus. Rhinitis akut
simpleks dapat pula disebut sebagai common cold, selesma, pilek, maupun flu.
Etiologi yang umum pada rhinitis simpleks adalah Rhinovirus, namun dapat pula
disebabkan oleh virus lain seperti Myxovirus, Adenovirus, virus Influenza, virus
Parainfluenza, Coxsackie virus, ECHO virus dan lainnya. Penyakit ini sangat
menular dan gejala timbul akibat tidak adanya kekebalan, atau menurunnya daya
tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit menahun dan lain-lain). Gejala
yang terjadi antara lain : panas, gatal dan kering pada hidung, bersin berulang, pilek
batuk, hidung merah dan bengkak serta nyeri kepala. Mukosa hidung dampak merah

16
dan membengkak. Bila terjadi infeksi sekunder bakteri, ingus menjadi
mukopurulen.

Tidak ada terapi spesifik untuk rhinitis simpleks, selain istirahat dan pemberian
obat-obat simtomatis, seperti alergika, antipiterika dan obat dekongestan.

D. Faringitis akut

Faringitis viral3,4

Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian menimbulkan


faringitis.

Gejala dan tanda

Demam disertai rinore, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan.

Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxsachievirus
dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan
lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa mucolopapular rash.

Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan gejala


konjungtivitis terutama pada anak.

Epstein barr virus (EBV) meyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada
faring yang banyak. Terdapat pemebesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama
retroservikal dan hepatosplenomegal.

Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimblkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri


menelan, mual, dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat
eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.

Terapi Istirahat yang cukup minum yang banyak. Kumur dengan air hangat.
Analgetika jika perlu tablet isap.

Antivirus metisoprinol (Isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan


dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemeberian/hari pada orang dewasa dan
pada anak <5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.

17
Faringitis Bakterial 3,4

Infeksi grup A sterptokokus β hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada


orang dewasa (15%) dan pada anak-anak (30%)

Gejala dan Tanda

Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang
tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan
tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian
tombul bercak petekie pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior
membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.

Terapi

a. Antibiotik

Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A streptokokus β
hemolitikus. Penicillin G Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau
amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa
3x500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari.

b. Kortikosteroid: deksametason 8-16 mg, IM, 1 kali. Pada anak 00.8-0,3 mg/kgBB,
IM, 1 kali.

c. Analgetika

d. Kumur dengan air hangat atau antiseptik.

E. Epistaksis

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach
(area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang
persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis
dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.5

18
1) Etiologi Lokal

a) Trauma5,6

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih
hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek
hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain
itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.

Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan
dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka
itu sedang mengalami pembengkakan.Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi
atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi
hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan
trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum
dan kemudian perdarahan.

Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma local, misalnya pada
pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa hidung.

Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan


disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi sedikit
tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.

Gambar 4. Epistaksis.5

b) Infeksi lokal5

Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau
sinusitis.
19
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan di hidung.

c) Neoplasma5,6

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,


kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma
dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang
abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh
sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.

d) Kelainan kongenital5,6

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan


telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Juga sering
terjadi pada Von Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah
kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh
sehingga memudah kan terjadinya perdarahan. Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan
pembuluh darah dan akan menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding
pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat
rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam.

e) Pengaruh lingkungan5

Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering
terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi
mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat
menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah.

f) Deviasi septum5

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi
dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat menyebabkan turbulensi
udara yang dapat menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur
bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti mengosok-gosok hidung.

20
2) Etiologi Sistemik

a) Kelainan darah5,6

Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah trombositopenia,


hemofilia dan leukemia.

Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan dibentuk di
sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi trauma.
Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ µl.
Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya
perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis
pada keadaan trombositopenia.

Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-


linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana
terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B).
Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal.
Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
epistaksis.

Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang
diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Pada Leukemia terjadi peningkatan
pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan
sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit. Sehingga terjadi keadaan
trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.

Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula


mempredisposisi epistaksis berulang.

b) Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis hepatis,
diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat,
sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.

1. Hipertensi6
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG dan
tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan

21
darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit
hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang
mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
2. Arteriosklerosis6
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan tekanan
darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan vasodilatasi,
menyebabkan rupture dari pembuluh darah.
3. Sirosis hepatis6
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X
dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang
dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya
perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.
4. Diabetes mellitus6
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati dan
makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada
pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih
banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal
membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal
tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada
pasien diabetes mellitus.

c) Infeksi akut
Demam berdarah5,6
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem
koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation
product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada
kasus demam berdarah.

d) Alkoholisme5,6
22
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga menyebabkan
terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan
kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang dapat
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis.

Patogenesis Epistaksis5

Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar


ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan
posterior.

1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan
paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan
dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.

Gambar 5. Epistaksis anterior


2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan
anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.

23
Gambar 6. Epistaksis posterior

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Epistaksis5,7

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang
hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada
bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.

Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek
hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa
hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau
penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur
untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat
menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung
beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak
produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi
pembekuan secara bermakna.

Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung
dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.

Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi
atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.
24
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran
dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan
semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab
perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan
anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan
adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat
vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk .Sesudah 10 sampai
15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang
diperlukan berupa.

a) Rinoskopi anterior7
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,
mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa
dengan cermat.

Gambar 7. Rhinoskopi Anterior

b) Rinoskopi posterior7
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma

c) Pengukuran tekanan darah7


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.

25
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI7
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.

e) Endoskopi hidung7
untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.

Gambar 8. Tampilan endoskopi epistaksis posterior

f) Skrining terhadap koagulopati7


Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,
jumlah platelet dan waktu perdarahan.

g) Riwayat penyakit7
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang
mendasari epistaksis.

PENATALAKSANAAN5,7

Penanganan pertama pada pasien epistaksis adalah kompresi hidung dan menutup
lubang hidung yang bermasalah dengan kasa atau kapas yang telah di rendam pada topical
dekongestan terlebih dahulu. Penekanan langsung sebaiknya dilakukan terus-menerus
setidaknya 5 menit atau sampai 20 menit. Miringkan kepala kedepan agar mencegah darah
mengalir ke bagian posterior faring, hal ini untuk mencegah rasa mual dan obstruksi jalan
nafas. Penelitian lain mengatakan bahwa pemakaian topikal oxymetazoline spray dapat
menghentikan perdarahan pada 65% pasien epistaksis di ruang emergensi.

26
Gambar 9. Diagram penanganan epistaksis

Epistaksis yang tidak hilang dengan penekanan dan pemberian topical vasokonstriktor
membutuhkan tindakan kauterisasi. Setelah mempersiapkan hidung untuk di anastesi dan
pemberian dekongestan, kauterisasi kimia (chemical cautery) dengan mengunakan silver
nitrate dapat dikerjakan. Hanya satu sisi septum yang di kauterisasi pada satu waktu agar
menurunkan resiko perforasi septum iatrogenic. Kauterisasi kimia dapat dilakukan pada
epistaksis dengan perdarahan ringan aktif atau setelah perdarahan aktif yang telah berhenti
dan sumber perdarahan telah teridentifikasi. Apabila harus dilakukan kauterisasi bilateral,
penanganannya harus di lakukan terpisah 4-6 minggu agar terjadi penyembuhan mukosa
terlebih dahulu. Epistaksis berat yang tidak berespon dengan kauterisasi kimia memerluka
kauterisasi elektrikal.

27
Apabila perdarahan masih berlanjut walaupun setelah dilakukan tindakan diatas,
diperlukan pemasangan anterior nasal pack / tampon hidung anterior. Produk packing
tradisional mengandung materi yang non-degradasi
seperti kasa yang dilapisi jeli petroleum, spons yang
terbuat dari hydroxylated polyvinyl acetate yang akan
mengembang apabila basah (Merocel, Medtronic),
dan inflatable pack dilapisi hydrocolloid yang masih
kontak dengan mukosa setelah bagian tengah pack
yang telah mengempis dan dibuang (Rapid Rhino,
ArthroCare). Tampon-tampon ini dipakai selama 1-3
hari sebelum dilepas.

Pemasangan anteriornasal packing / tampon


hidung anterior harus dilakukan dengan hati-hati dan
dengan teknik khusus. Forceps bayonet dan speculum
nasal digunakan untuk melipat lembaran kasa sedalam
mungkin pada kavum nasi. Setiap lipatan harus di
tekan sebelum lembaran baru tambahkan diatasnya.
Setalah cavun nasi tersisi dengan kasa, ujung kasa
dapat ditempelkan diatas lubang hidung dan di ganti
berkala.

Selain mengunakan kasa untuk anteriornasal


packing, dapat juga di gunakan spons (Merocel atau
Doyle Sponge). Tampon dimasukan dengan hati-hati

Gambar 10. Anterior Nasal Packing / pada dasar cavum nasi karena akan mengembang
Tampon Hidung Anterior apabila terkena darah atau cairan lain. Pemberian jel
lubrikan pada ujung tampon mempermudah
pemasangan. Setelah tampon terpasang, tetesi tampon
dengan sedikit cairan vasokonstriktor untuk mempercepat perhentian perdarahan. Tetesi
saline kedalam lubang hidung agar tampon dapat mengembang sempurna. Tampon dapat
dilepas setelah 3-5 hari terpasang dengan memastikan telah terjadi formasi pembekuan darah
yang adekuat.

28
Komplikasi dari pemasangan nasal packing ini adalah hematoma septum dan abses
dari trauma packing, sinusitis, singkop neurogenic selama pemasangan, dan nekrosis jaringan
karena penekanan dari tampon itu sendiri. Karena adanya kemungkinan terjadi sindrom syok
toksik pada pemasangan tampon yang lama, pemberian salep antibiotik topikal pada tampon
diperlukan.

Epistaksis posterior jarang terjadi dibandingkan epistaksis anterior dan biasanya


ditangani oleh dokter spesialis. Posterior nasal packing atau tampon posterior dilakukan
dengan memasukkan kateter melalui salah satu lubang hidungatau keduanya ke nasofaring
dan keluar melalui mulut. Tampon kasa di kaitkan diujung kateter lalu ditempatkan di
nasofaring posterior, lalu kateter ditarik dari hidung sehingga tampon kasa dapat berada di
belakang koana dan menutupi aliran rogga hidung posterior serta memberikan efek
penekanan pada sumber perdarahan. Prosedur ini memerlukan keterampilan khusus dan
biasanya dilakukan oleh dokter spesialis. Semua pasien dengan tampon posterior ini harus
dilakukan monitoring di rumah sakit.

Gambar 11. Posterior nasal packing/Tampon hidung posterior

Beragam sistem balon efektif dalam menangani perdarah posterior dan menimbulkan
komplikasi yang lebih sedikit di bandingkan dengan prosedur packing. Konsepnya tetap

29
sama, dengan memasukkan udara atau cairan kedalam balon, balon akan mengembang dan
memberikan penekanan pada dinding lateral hidung dan septum. Tipe terbaru dari balon nasal
adalah double balloon, gabungan dari balon dan Merocel yang mempunyai kemampuan
untuk tetap berada di tempatnya setelah balon mengempis dan dilepas. Beberapa balon nasal
dapat memberikan jalur pernafasan melalui lubang yang ada di tengahnya.

Sama seperti anterior nasal packing, nekrosis jaringan dapat terjadi pada
pemasanganposterior nasal packingyang salah maupun pada pemasangan balon yang
dikembangkan berlebihan.

Gambar 12 Double Balloon terpasang Gambar 13. Perbandingan Double Balloon


sebelum dan sesudah di kembangkan

Ketika tindakan konservatif gagal untuk menghentikan perdarahan, embolisasi atau


ligasi pembuluh darah diperlukan. Ahli radiologi intervensi dapat melakukan embolisasi pada
cabang distal dari arteri maxillaris interna dan arteri sphenopalatina untuk epistaksis
posterior. Resiko terjadinya komplikasi mayor seperti stroke, paralisis wajah, kebutaan, atau
neuropati berhubungan dengan administrasi material kontras adalah sebesar 4%. Komplikasi
minor seperti hematoma terjadi 10% dari kasus. Sedangkan angka kesuksesan dari
kebanyakkan kasus adalah 80-90%.

Berdasarkan beberapa laporan kasus dan ulasan literatur, tingkat kesuksesan ligasi
arteri sphenopalatina adalah sama atau lebih tinggi dibandingkan tindakan embolisasi. Ligasi
dapat dilakukan 30-60 menit dengan mengunakan teknik endoskopik modern. Ligasi
endoskopik arteri sphenopalatina dapat mencegah terjadiya resiko-resiko diatas tetapi
membutuhkan anastesi umum.
30
Epistaksis anterior yang gagal pada kausterisasi ataupun packing jarang terjadi, tetapi
intervensi bedah terkadang dibutuhkan. Embolisasi pada arteri etmoidalis anterior dan
posterior jarang dilakukan karena adanya resiko kanulasi dari arteri karotis interna yangmana
meningkatkan resiko terjadinya stroke, atau pada arteri ophtalmika yangmana meningkatkan
resiko terjadinya kebutaan. Kebanyakan otolaringologis melakukan ligasi eksternal dari arteri
ethmoidalis anterior dan posterior melalui insisi kecil di medial alis mata dan melakukan
kauter bipolar atau mengklem pembuluh darah sebelum pembuluh darah tersebut keluar dari
foramen etmoidalis anterior dan posterior. Dengan begitu resiko stroke dan kebutaan dapat di
minimalisir.

Ketika epistaksis telah terkontrol, perawatan rutin mukosa hidung penting untuk
diperhatikan agar menghindari rekurensi. Pemberian gel topical, lotion, dan salep dapat
melembabkan mukosa dan mempercepat penyembuhan.

KOMPLIKASI

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat),
air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis
media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang
dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.

Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard
dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.

DIAGNOSIS BANDING

Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar
dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii
yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.

PENCEGAHAN7

31
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara
lain:

a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada
kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat
mencampur 1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu
biarkan sampai hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan
cotton bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin
atau ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan
iritasi.

PROGNOSIS7

Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk.

32
Daftar Pustaka

1. Herawati S, Rukmini S. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok untuk
mahasiswa fakultas kedokteran gigi. Jakata: EGC; 2010.

2. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keenam, Jakarta: BP FKUI; 2009. h. 127-31.
3. Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam
Soepardi, Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher. ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-225.

4. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam,
Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit
EGC, 2009.
5. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2007 Nov 28
[cited Mar 2] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-
treatment
6. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online] cited 2009 Mar 4 Available
from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm
7. Kucik CJ dan Timothy Clenney. 2005. Management of Epistaksis. American Family
Physician Vol 71 No 2.

33

Anda mungkin juga menyukai