3.2 Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan salah satu cara pemurnian zat padat dimana
zat-zat tersebut tersebut dilarutkan dalam suatu pelarut kemudian
dikristalkan kembali. Cara ini bergantung pada kelarutan zat dalam pelarut
tertentu di kala suhu diperbesar. Konsentrasi total impuriti biasanya lebih
kecil dari konsentrasi zat yang dimurnikan, bila dingin, maka konsentrasi
impuriti yang rendah tetapi dalam larutan sementara produk yang
berkonsentrasi tinggi akan mengendap (Arsyad, 2001).
Rekristalisasi merupakan metode yang sangat penting untuk
pemurnian komponen larutan organik. Ada tujuh metode dalam
rekristalisasi yaitu: memilih pelarut, melarutkan zat terlarut,
menghilangkan warna larutan, memindahkan zat padat, mengkristalkan
larutan, mengumpul dan mencuci kristal, serta mengeringkan produknya
(hasil) (Williamson, 1999).
Kemudahan suatu endapan dapat disaring dan dicuci tergantung
sebagian besar pada struktur morfologi endapan, yaitu bentuk dan ukuran-
ukuran kristalnya. Semakin besar kristal-kristal yang terbentuk selama
berlangsungnya pengendapan, makin mudah mereka dapat disaring dan
mungkin sekali (meski tak harus) makin cepat kristal-kristal itu akan turun
keluar dari larutan, yang lagi-lagi akan membantu penyaringan. Bentuk
kristal juga penting. Struktur yang sederhana seperti kubus, oktahedron,
atau jarum-jarum, sangat menguntungkan, karena mudah dicuci setelah
disaring. Kristal dengan struktur yang lebih kompleks, yang mengandung
lekuk-lekuk dan lubang-lubang, akan menahan cairan induk (mother
liquid), bahkan setelah dicuci dengan seksama. Endapan yang terdiri dari
kristal-kristal, pemisahan kuantitatif lebih kecil kemungkinannya bisa
tercapai (Svehla, 1979).
Ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan, tergantung pada
dua faktor penting yaitu laju pembentukan inti (nukleasi) dan laju
pertumbuhan kristal. Jika laju pembentukan inti tinggi, banyak sekali
kristal akan terbentuk, tetapi tak satupun dari ini akan tumbuh menjadi
terlalu besar, jadi terbentuk endapan yang terdiri dari partikel-partikel
kecil. Laju pembentukan inti tergantung pada derajat lewat jenuh dari
larutan. Makin tinggi derajat lewat jenuh, makin besarlah kemungkinan
untuk membentuk inti baru, jadi makin besarlah laju pembentukan inti.
Laju pertumbuhan Kristal merupakan faktor lain yang mempengaruhi
ukuran kristal yang terbentuk selama pengendapan berlangsung. Jika laju
ini tinggi, kristal-kristal yang besar akan terbentuk yang dipengaruhi oleh
derajat lewat jenuh (Svehla, 1979).
Kristal adalah benda padat yang mempunyai permukaan-permukaan
datar. Banyak zat padat seperti garam, kuarsa, dan salju ada dalam bentuk-
bentuk yang jelas simetris, telah lama para ilmuwan menduga bahwa atom,
ion ataupun molekul zat padat ini juga tersusun secara simetris.
Penampilan luar suatu partikel kristal besar tidak menentukan penataan
partikel. Bila suatu zat dalam keadaan cair atau larutan mengkristal, kristal
dapat terbentuk dengan tumbuh lebih ke satu arah daripada ke lain arah.
Kristal-kristal itu akan turun keluar dari larutan yang berfungsi membantu
penyaringan (Syabatini, 2010).
Pengotor yang ada pada permukaan Kristal berasal dari larutan induk
yang terbawa pada permukaan kristal pada saat proses pemisahan padatan
dari larutan induknya (retentionliquid). Pengotor pada permukaan
kristalini dapat dipisahkan hanya dengan pencucian. Cairan yang
digunakan untuk mencuci harus mempunyai sifat dapat melarutkan
pengotor tetapi tidak melarutkan padatan kristal. Salah satu cairan yang
memenuhi sifat diatas adalah larutan jenuh dari bahan kristal yang akan
dicuci, namun dapat juga dipakai pelarut pada umumnya yang memenuhi
kriteria tersebut. Adapun pengotor yang berada di dalam kristal tidak dapat
dihilangkan dengan cara pencucian. Salah satu cara untuk menghilangkan
pengotor yang ada di dalam kristal adalah dengan jalan rekristalisasi, yaitu
dengan melarutkan kristal tersebut kemudian mengkristalkannya kembali.
Salah satu kelebihan proses kristalisasi dibandingkan dengan proses
pemisahan yang lain adalah bahwa pengotorhanya bisa terbawa dalam
kristal jika terorientasi secara bagus dalam kisi Kristal (Puguh, 2003).
Untuk merekristalisasi suatu senyawa kita harus memilih pelarut yang
cocok dengan senyawa tersebut. Setelah senyawa tersebut dilarutkan
kedalam pelarut yang sesuai kemudian dipanaskan sampai
semua senyawanya larut sempurna. Apabila pada temperatur kamar,
senyawa tersebut telah larut sempurna di dalam pelarut, maka tidak perlu
lagi dilakukan pemanasan. Pemanasan hanya dilakukan apabila
senyawa tersebut belum atau tidak larut sempurna pada keadaan suhu
kamar. Salah satu faktor penentu keberhasilan proses kristalisasi
dan rekristalisasi adalah pemilihan zat pelarut. (Williamson, 1999).
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih pelarut yang
sesuai adalah sebagai berikut:
1. Pelarut tidak hanya bereaksi dengan zat yang akan dilarutkan.
2. Pelarut hanya dapat melarutkan zat yang akan dimurnikan dan tidak
melarutkan zat pencemarnya.
3. Titik didh pelarut harus rendah, hal ini akan mempermudah
pengeringan Kristal yang terbentuk.
4. Titik didih harus lebih rendah dari titik leleh zat yang akan dimurnikan
agar zat tersebut tidak terurai.
5. Mengikuti kaidah – kaidah senyawa polar larut di dalam senyawa
polar dan senyawa non polar larut di dalam senyawa non polar.
6. Tidak meninggalkan zat pengotor pada Kristal. (Williamson, 1999).
3.3 Titik leleh
Titik leleh normal suatu senyawa ialah suhu dimana padatan dan
cairan berada pada keseimbangan pada tekanan 1 atmosfer. Jika pada
sistem tersebut tekanan diturunkan sampai mencapai dibawah titik triple,
maka zat dari keadaan uap dapat langsung terkondensasi menjadi padatan
atau sebaliknya, proses ini disebut menyublim. Pada beberapa zat, tekanan
uapnya pada titik triple berada pada suhu kamar sehingga zat tersebut dapat
mengalami sublimasi pada suhu kamar. Misalnya saja kamfer pada titik
triple suhunya 79ºC dan tekanan uapnya 370
mmHg. (Underwood,2002:169).
3.4 Titrasi
Dalam percobaan titrasi, suatu kelarutan yang konsentrasinya diketahui
secara pasti disebut sebagai larutan standar, ditambahkan secara bertahap
kelarutan lain yang konsentrasinya tidak diketahui, sampai konsentrasi
kimia kedua larutan tersebut berlansung sempurna. Titrasi asam basa juga
disebut sebagai titrasi penetralan, yaitu reaksi antara asam dan basa. Reaksi
asam basa dalam medium air yang biasanya menghasilkan air dan garam
yang merupakan senyawa ion yang terbentuk dari suatu kation selain H+ dan
suatu anion selain OH- atau D2- (Svehla,1979)
Titik akhir ditandai dengan perubahan warna indicator kenaikan atau
penuruan ph tiba tiba, walaupu ph campuran berubah secara kontinu selama
proses titrasi asam basa. Konsep kesetimbangan asam basa dapat dipakai
untuk mencari bentuk yang tepat dari kurva titrasi bila semua besaran
diketahui ( Ryan,2001)
Titrasi ekuivalen adalah titik dimana asam telah bereaksi sempurna atau
telah tenetral sempurna oleh basa. Titik ini biasanya ditandai dengan
perubahan warna indikator yang tajam yang telah ditambahkan sebelumnya
kelarutan asam. Indicator adalah zat yang memiliki perbedaan warna yang
mencolok pada medium asam dan basa. Indicator ialah biasanya suatu asam
atau basa organic lemah yang menunjukan warna yang sangat berbeda
antara bentk yang tidak terionisasi dan bentuk terionisasinya. Kedua bentuk
ini berkaitan dengan ph larutan yang melarutkan indicator tersebut. Titik
akhir terjadi bila indicator berubah warna (Svehla,1979)
3.5 Aspirin
Aspirin adalah asam organic lemah yang unik diantara obat obat AINS
dalam asetilasi (dan juga inaktifasi) siklo-oksigenase irreversible. Aspirin
cepat didestilasi oleh esterase dalam tubuh, menghasilkan salisilat yang
mempunyai efek antiinflamasi, antipiretik atau analgetik. Efek antipiretik
dan anti inflamasi salisilat terjadi karena penghambatan sintesis
prostanglandin dipusat pengaturan panas dalam hipotalamus dan berifer
didaerah target. Asam asetil salisilat diabsorbsi lebih cepat dan mencapai
suatu persentase yang tinggi setelah pemberian oral. Bagian asetil sebagian
sudah diuraikan dalam jalur mukosa dalam hati, setelah dihidrolisis ester
lebih lanjut, terbentuk ester glukurunida serta glisinat (asam salisilat) dari
asam salisilat. Hanya sebagaian kecil yang dioksidasi menjadi asam
gentisinat (Achmad,1986).
V. Prosedur
5.1 Pembuatan Aspirin
Pertama-tama air dipanaskan dalam wadah penangas air, kemudian
sebanyak 1.4 gr asam salisilat ditimbang didalam labu Erlenmeyer. Setelah
itu, anhidrida asetat ditambahkan sebanyak 4 ml dengan cara
meneteskannya pada dinding tabung dengan pipet tetes sehingga dapat
membilas serbuk asam salisilat yang menempel didinding Erlenmeyer.
Secara hati-hati (dikerjakan di ruang asam), 5 tetes larutan 85% H2SO4
ditambahkan kedalamnya, lalu diaduk dengan batang pengaduk. Labu
erlenmeyer berisi campuran reaksi tersebut dipanaskan dalam penangas air
yang airnya telah dipanaskan terlebih dahulu selama 5 menit (labu
erlenmeyer dipegang dengan klem). Setelah 5 menit, labu erlenmeyer
diangkat dari penangas air dan segera ditambahkan 2 ml aqua dm. Setelah 2
atau 3 menit, 20 ml aqua dm. Kemudian pada gelas kimia dimasukkan 50 ml
aqua dm dingin ditambahkan es kedalamnya, lalu didinginkan erlenmeyer
yang tadi dipanaskan sehingga pembentukan kritstal jadi lebih sempurna.
Jika sudah, kristal yang diperoleh dikumpulkan menggunakan corong
buchner yang telah dilapisi kertas saring. Kristal dicuci dengan sedikit air
dingin. Rekristalisasi dilakukan untuk mendapatkan kristal yang lebih murni
dengan cara kristal yang telah terbentuk dilarutkan dalam 5 ml etanol.
(pengerjaan harus hati-hati, karena alkohol mudah terbakar). Ditambahkan
20 ml air hangat, lalu larutan dipanaskan sampai semua kristal dapat larut
dan kemudian dibiarkan dingin sampai kembali membentuk kristal. Kristal
disaring kembali dengan corong buncher dan kristal yang sudah terbentuk
ditimbang. Terakhir rendemen hasil kristal asetil salisilat (aspirin) yang
diperoleh dihitung dengan membandingkannya dengan berat hasil
percobaan dan hasil teoritis (berdasarkan hasil stokiometrik).
5.2 Uji Reaksi Pengkompleksan dengan Besi II klorida (FeCl3)
Pertama-tama, sebanyak 3 buah tabung reaksi disiapkan dan diberi label
masing-masing asam salisilat, “my aspirin” yaitu hasil sintesis yang
dilakukan dan komersial aspirin. Kemudian sejumlah sampel ditempatkan
dalam tiap tabung reaksi sesuai labelnya. Sebanyak 20 tetes aqua dm
ditambahkan kedalam tabung reaksi tersebut dan tabung digoyangkan untuk
melarutkan sampel dalam tabung. Lalu sebanyak 10 tetes larutan 10% FeCl3
dimasukan kedalam tabung. Perubahan warna yang terjadi pada larutan
dicatat. Warna ungu menunjukan adanya asam salisilat dalam sampel.
5.3 Penentuan Titik Leleh Asam Salisilat dan Aspirin
Tabung kapiler disiapkan, kemudian tabung kapiler diisi dengan sampel
aspirin hasil sintesis. Tabung kapiler dipasang di lubang melting block,
kemudian dipanaskan secara perlahan. Kemudian, termometer dipasang
pada alat melting block. Lalu diamati dan dicatat perubahan suhu awal
ketika padatan kristal dalam tabung kapiler mulai meleleh. Dicatat pula suhu
pada saat semua padatan telah berubah seluruhnya menjadi cair. Suhu ini
merupakan trayek titik leleh zat padat yang diukur. Selanjutnya diulangi
pengerjaan pada tabung kapiler yang lain, tetapi alat melting block harus
dibiarkan dingin dahulu (suhu kamar). Titik leleh aspirin menurut literatur
adalah 136ºC. Titik leleh aspirin ini dilakukan dua kali, yang pertama pada
saat rekristalisasi yang pertama kemudian diulang pada reksristalisasi yang
kedua. Kemudian hasil pengukuran titik leleh sampel aspirin dibandingkan
dengan data ini. Semakin kecil trayek titik leleh, maka semakin murni
sampel yang didapat. Semakin dekat hasil pengukuran titik leleh sampel
dengan literatur, maka menunjukkan semakin baik dan teliti pengerjaannya.
5.4 Analisis Kandungan Aspirin dalam Tablet Aspirin Komersial
Pertama-tama dua tablet aspirin dihancurkan dengan menggunakan
mortir dan stamper, kemudian dimasukan ke dalam labu erlenmeyer. Lalu
serbuk tablet dilarutkan dalam 10 mL etanol. Setelah larut seluruhnya,
ditambahkaan 3 tetes fenoftalein dan aqua dm secukupnya sehingga volume
total larutan menjadi 50 mL. Kemudian dilakukan titrasi menggunakan
larutan baku NaOH 0,1 M sampai tercapai titik akhir titrasi, yaitu ketika
terjadi perubahan warna indikator dalam larutan. Lalu dicatat volume NaOH
yang didapat, dan dihitung massa asam asetilsalisilat (aspirin) per tablet.
Menurut Peraturan FDA, kekuatan tablet aspirin ditentukan oleh minimal 5
grains asam asetilsalisilat (1 grains = 0,0648 gram). Aspirin (asam
asetilsalisilat, C9H7O4 bereaksi dengan NaOH dengan perbandingan mol
1:1, sehingga jumlah mol NaOH yang digunakan dalam titrasi sama dengan
jumlah mol aspirin dalam tablet.
VI. Data pengamatan dan Perhitungan
6.1 Sintesis aspirin
Bobot asam salisilat yang digunakan : 1,4 gram
Volume anhidral asetat yang digunakan : 4 mL
Hasil sintesis aspirin:
Bobot kertas saring kosong : 0,54 gram
Bobot kertas saring + kristal : 1,81 gram
Bobot kristal : 1,27 gram
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑘𝑟𝑖𝑠𝑡𝑎𝑙
% Rendemen sintesis aspirin = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%
1,27 𝑔𝑟𝑎𝑚
= 𝑥 100% = 90,7%
1,4 𝑔𝑟𝑎𝑚
V2→ 𝑉1 . 𝑀1 = 𝑉2 . 𝑀2
50 mL . M1 = 11 mL . 0,1 M
11 𝑚𝐿 𝑥 0,1 𝑀
M12 = = 0,022 𝑀
50𝑚𝐿
V3→ 𝑉1 . 𝑀1 = 𝑉2 . 𝑀2
50 mL . M1 = 11,6 mL . 0,1 M
11,6 𝑚𝐿 𝑥 0,1 𝑀
M13 = = 0,0232 𝑀
50𝑚𝐿
0,018+0,022+0,0232
M rata-rata → M11, M12, M13 = = 0,0210 𝑀
3
𝑔 1000
𝑁= 𝑥
𝐵𝐸 𝑣
𝑔 1000
0,0210 = 𝑥
180 50
VII. Pembahasan
Pada praktikum esterifikasi fenol yang pertama dilakukan praktikan
adalah melakukan sintesis aspirin dengan cara esterifikasi. Esterifikasi
adalah reaksi antara asam karboksilat dengan alkohol yang pada percobaan
ini asam salisilat berperan sebagai alkohol. Asam salisilat yang telah
ditimbang ditambahkan dengan asam asetat anhidrida lalu ditambahkan
katalis asam yaitu H2SO4, dimana katalis asam dalam reaksi esterifikasi
bertugas sebagai pendonor proton pada pelarut organik. Kemudian
erlemeyer dipanaskan, sehingga kelarutan dari senyawa yang bereaksi akan
semakin cepat karena pemanasan akan mempercepat laju reaksi yang
disebabkan oleh energi kinetika yang terbentuk. Kemudian ditambahkan
aquadest secara bertahap yang bertujuan untuk menurunkan suhu dari
larutan tersebut sehingga mempercepat pembentukkan dari kristal.
Selanjutnya disimpan diwadah berisi es, sambil digoreskan menggunakan
batang pengaduk. Penggoresan menggunakan batang pengaduk akan
mengakibatkan kristal yang terbentuk semakin banyak karena gesekan
antara kedua kaca akan menimbulkan gaya elektristatik dimana energi
tersebut akan diserap oleh senyawa dalam larutan sehingga saling mengikat
satu sama lain dan membentuk kisi dari kristal. Hasil dari kristal yang
didapatkan dikumpulkan dengan cara di saring menggunakan saring vakum
untuk mempercepat proses pemisahan antara padatan yaitu kristal dengan
pelarutnya sehingga didapatkan kristal murni. Kemudian ditimbang dan
dihitung rendemen, berdasarkan perhitungan rendemen yang didapatkan
sebanyak 90,7% seharunya kristal yang didapatkan mendekati 100%
kemungkinan yang terjadi adalah pada saat pembentukkan kristal pertama
erlemeyer diletakkan di wadah es terlalu sebentar serta tidak dilakukan
penggoresan menggunakan batang pengaduk sehingga kristal yang
didapatkan hanya sedikit serta kristal yang terbentuk belum sempurna
karena dapat dilihat dari organoleptis kristal berbeda dengan organoleptis
semestinya, dimana yang praktikan dapatkan berupa serbuk hablur putih.
Selanjutnya hasil kristal yang didapatkan dilakukan pengujian dengan
cara uji pengkompleksan menggunakan FeCl3. Disediakan 3 tabung yang
telah diberi label sesuai dengan isi tabung yaitu asam salisilat, “My Aspirin”
dan aspirin komersial, lalu ketiga tabung ditambahkan aquadest dan
pereaksi FeCl3. Hasil yang didapatkan semua tabung berubah menjadi
berwarna ungu, seharunya pada “My Aspirin” warna yang ditimbulkan
bukan warna ungu. Berdasarkan hasil yang didapatkan dapat diketahui
bahwa “My Aspirin” yang dibuat oleh praktikan bereaksi dengan sempurna.
Hal lain yang kemungkinan dapat mempengaruhi hasil adalah bobot saat
menimbang asam salisilat yang digunakan kurang teliti sehingga hasil akhir
yang didapatkannya pun berbeda.
Sebagian kristal yang didapatkan diuji menggunakan uji titik leleh yang
dibandingkan dengan asam salisilat dan tablet aspirin komersial.
Berdasarkan hasil yang didapatkan kristal hasil praktikan memiliki titik
leleh 1290C – 1390C dimana titik leleh ini mendekati titik leleh aspirin
komersial. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya titik didih
hasil sintesis adalah ukuran dari kristal yang didapatkan praktikan lebih
halus dibandingkan dengan kelompok lain maupun literatur sehingga
kemungkinan lebih mudah meleleh dan berubah fase dibandingkan dengan
praktikan lainnya, kemudian jumlah kristal yang dimasukkan kedalam pipa
kapiler terlalu sedikit dan kurang padat sehingga perubahan fase dari padat
ke cair lebih cepat sehingga titik leleh yang terukur lebih rendah dari yang
semestinya, atau kemungkinan lain melting block yang digunakan masih
agak panas sehingga kristal telah menyerap panas lebih dulu sebelum
dilakukan pemanasan menggunakan api.
Praktikan melakukan analisis terhadap kandungan/ kadar dari aspirin
yang terkandung didalam tablet komersial yang kemudian dibandingkan
dengan FDA (Food and Drugs Administration). Dua tablet aspirin yang
digunakan dihancurkan lalu dilarutkan dengan etanol, karena tablet aspirin
memiliki kelarutan yang lebih banyak pada pelarut non polar dibandingkan
dengan pelarut polar seperti air, serta etanol merupakan salah satu pelarut
universal yang sering digunakan. Lalu ditambahkan reagen fenolftalein dan
ditambahkan aquadest, lalu dititrasi dengan NaOH. Titrasi ini menggunakan
prinsip penetralan asam dengan basa yang dimana ketika larutan kelebihan
setetes pentiter maka akan mengalami perubahan warna menjadi ungu
muda. Penggunaan fenolftalein sebagai reagen bertujuan untuk memberikan
tanda jika sampel telah berubah menjadi suasana basa, karena reagen
fenolftalein peka terhadap perubahan pH dari suatu larutan dimana jika
larutan tersebut bersifat basa maka larutan akan berwrna ungu. Pada proses
titrasi yang dicari adalah volume dari pentiter saat titrasi menyentuh titik
akhir titrasi, namun seharunya lebih baik jika mencapai titik ekuivalen.
Namun jika yang diamati ketika mencapai titik ekuivalen maka praktikan
tidak dapat membedakan dimana saat titik ekuivalen tersebut telah terjadi,
sehingga diambil titik akhir titrasi yang ditandai dengan perubahan warna
larutan. Volume dari pentiter yang digunakan akan diketahui normalitasnya
sehingga dapat diketahui gram aspirin yang terkandung dalam tablet
tersebut. Berdasarkan hasil yang didapatkan kadar aspirin yang didapatkan
praktikan adalah 0,0945 gram sedangkan jika dibandingkan dengan FDA
kadar aspirin yang seharusnya terdapat dalam tiap tablet adalah 5 grain (1
grain= 0,0648 gram), kemungkinan tablet yang digunakan memiliki bobot
yang tidak seragam, kemudian pada proses penghancuran tablet yang
dilakukan tidak menyeluruh sehingga bentuk dari serbuk tidak sama yang
mengakibatkan saat pelarutan dengan etanol tidak larut sepenuhnya.
Kemudian dari analisis kandungan aspirin diperoleh tidak diperoleh hasil
persen rendemen karena ketika direkristalisasi tidak terbentuk kristal yang
seharusnya karena sudah tercampurnya larutan atau kurangnya es yang
digunaka atau ini bisa diakibatkan karena kurang akuratnya dalam
penimbangan tablet aspirin komersial.
VIII. Kesimpulan
8.1 Dari hasil percobaan sintesis aspirin dari asam salisilat dan anhidrida asetat
dengan cara esterifikasi fenol didapatkan nilai Rf sebesar 0,6 cm dengan
persen rendemen 90,7%
8.2 Hasil sinstesis asam salisilat tidak dapat direkristalisasi.
8.3 Hasil analisis uji pengkompleksan dari my aspirin adalah bewarna ungu, ini
menandakan my aspirin sudah tidak murni dan masih mengandung asam
salisilat.
8.4 Uji kemurnian aspirin menunjukkan titik leleh pada rentang 129ºC-139ºC.
8.5 Hasil analisis aspirin dalam tablet aftor menunjukkan kandungan aspirin yang
diperoleh sebesar 0,0945 gram.
IX. Daftar Pustaka
Jakarta.
Gramedia.
Kotz John, dkk. 2009. Chemistry and Chemical Reactivity Volume 2. USA:
Mary Finch
Svehla. 1979. Buku Ajar Vogel : Analisi Anorganik Kuntitatif Makro dan