Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Blokade Israel atas Gaza yang telah berlangsung selama sekitar 11 tahun telah melumpuhkan
hampir seluruh sendi kehidupan kota Gaza. Akses menuju dan keluar Gaza ditutup rapat-rapat.
Isolasi masif tersebut sepenuhnya menutup mobilisasi warga Gaza untuk mengakses kesehatan,
pendidikan, serta berniaga. Ketika agresi militer pecah pada 2014, krisis kemanusiaan di Gaza
mencapai titik klimaksnya. Walaupun gencatan senjata telah disepakati, kondisi Gaza tak
kunjung membaik. Sistem ekonomi dan infrastruktur masih lumpuh. Setidaknya 75 ribu
pengungsi belum bisa kembali ke rumah mereka yang kini rusak parah dan terbengkalai.
Sementara itu, angka pengangguran dan kemiskinan terus menanjak. Pada Desember 2016
lalu, Jamal Alkhoudary, salah satu anggota parlemen Palestina mengungkapkan, 80% dari sekitar
2 juta penduduk Gaza hidup di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, 60% pemuda di sana
terpaksa menganggur karena minimnya lahan pekerjaan. Dengan kondisi seperti ini, harga
kebutuhan pokok kian tak terjangkau publik. Biro Pusat Statistik Palestina menyebutkan, 80%
warga Gaza pra-sejahtera tersebut tak punya pilihan lain selain bergantung pada bantuan
kemanusiaan. PBB dengan gamblang bahkan mengatakan, jika kondisi ini terus berlanjut, tidak
menutup kemungkinan Gaza akan lumpuh total pada 2020.
Bukan hanya Gaza, kawasan Tepi Barat Palestina mendapat pula diskriminasi yang tidak
jauh berbeda. Tepi Barat dan Jalur Gaza bersama-sama merupakan Teritorial Pendudukan
Palestina (OPT), yang telah berada di bawah pendudukan militer Israel sejak Juni 1967. Luas
kawasan Tepi Barat sejak tahun 1967 terus menyusut akibat adanya pengusiran terhadap warga
Palestina guna dijadikan pemukiman-pemukiman Yahudi. Pada tahun 2003, Israel mulai
membuat Dinding Pemisahan di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Sekitar 85 persen dari total
panjang rute yang diproyeksikan terletak di dalam wilayah OPT.
Sejak tahun 2009, Aksi Cepat Tanggap mewakili bangsa Indonesia sudah hadir
membersamai warga Palestina dengan berbagai aksi dan program. Berbagai program
berkelanjutan ACT hasil kolaborasi dengan berbagai mitra, hingga saat ini alhamdulillah masih
terus berjalan. Diantaranya adalah Mobile Water Tank dan Waterwell (sumur air) yang dibangun
di Jabalia Utara. Kemudian pemberian generator listrik beserta bahan bakar solar dalam beberapa
tahap untuk pemukiman, klinik kesehatan, dan sekolah. ACT juga telah mengembalikan
penghidupan masyarakat Gaza melalui pembuatan peternakan ayam dan pembuatan kapal
nelayan.
Dalam bidang kesehatan ACT setiap tahunnya secara bertahap menyalurkan amanah rakyat
Indonesia dalam bentuk pembangunan klinik kesehatan, pemberian mobil ambulans, peralatan
medis, kursi roda, hingga bantuan persalinan untuk kaum hawa di Gaza. Setiap tahunnya dalam
beberapa periode ACT juga mengimplementasikan donasi dari Indonesia guna memenuhi
kebutuhan dasar pangan masyarakat Palestina. Diantaranya merupakan pemberian paket pangan
berisi sembako, pembagian daging qurban, distribusi tepung gandum, bingkisan lebaran, dan
pembagian ifhtor siap saji pada bulan Ramadhan.
Penghujung April 2017 lalu, ACT melansir program Humanity Card. Kartu kecil seukuran
KTP yang berisi saldo layaknya ATM guna dibelanjakan penerima manfaat pada beberapa
minimarket mitra ACT. Secara berkala, para pengungsi palestina mendatangi dua minimarket di
Gaza Tengah dan Khan Younis. Umumnya, mereka membeli kebutuhan pangan seperti minyak
goreng, beras, gandum, gula, susu, sayur-mayur segar, dan sebagainya. Mereka tak lagi harus
berjibaku dengan harga barang belanjaan. Cukup serahkan kartu mungil biru yang telah terisi
saldo belanja kepada kasir minimarket, mereka dapat menebus sembako yang mereka beli.
Kasus dalam negeri yang membutuhkan bantuan kita saat ini adalah banyaknya sekolah di
Indonesia (terutama di pelosok) yang tidak layak untuk disebut sekolah. Bangunan itu lebih
pantas digunakan sebagai kandang. Namun, disanalah puluhan anak menggantungkan impian
akan masa depan yang cerah.
Bangunan sekolah hanya bisa menampung dua kelas. Gurunya pun hanya satu untuk
mengajar dua kelas. Bangunan yang disebut sekolah itu hanya beratapkan gubuk (rumbia) dan
berlantai tanah yang mengering. Sekolah mereka sangat jauh dari kata layak. Mari bersama
mewujudkan sekolah layak untuk anak-anak tepian negeri melalui Program Pendidikan Tepian
Negeri.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Hak Asasi Manusia


Hak-hak asasi manusia ialah hak-hak nan terdapat pada diri manusia dan sifatnya
menujukkan tentang keberadaannya dan kodratnya sebagai makhluk kreasi nan Maha Kuasa.
Karena itu, berhak dilindungi dan dihormati, mulai dari negara hingga pribadi masing-masing
manusia. Artinya, seluruh nan berhubungan dengan negara dan segala apa nan berada di
bawahnya berhak buat melindungi dan menghormati, misalnya pemerintah.

Maka tidak ayal lagi, nilai-nilai persamaan serta kebebasan juga keadilan nan termaktub
dalam HAM menjadi penyebab terbentuknya masyarakat sederajat, tanpa dibedakan, dan itulah
nan menjadi karakteristik civil society. Plus, bila dikatakan penegakan HAM merupakan
prasyarat dalam menciptakan masyarakat nan madani.

Istilah HAM ialah suatu istilah nan tergolong baru dan menjadi bahasa sehari-hari sejak
Perang Global II juga pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1945. Istilah HAM
muncul menggantikan istilah natural rights (hak-hak alam) sebab konsep hukum alam nan
berkaitan dengan istilah natural rights menjadi suatu kontroversi. Frasa the rights of man nan
kemudian muncul kemudian dianggap tak mencakup hak-hak wanita.

Todung Mulya Lubis dalam bukunya, In Search of Human Rights; Sah Political Dilemmas of
Indonesia’s New Order, menyebutkan ialah empat teori HAM.

a. Hak-Hak Alami (Natural Rights)


Dalam hal ini, berpandangan bahwa HAM ialah hal nan dimiliki oleh seluruh manusia pada
segala waktu dan loka berdasarkan takdirnya sebagai manusia (Human rights are rights that
belong to all human beings at all times and in all places by virtue of being born as human
beings).

b. Teori Positivis (Positivist Theory)


Teori ini berpandangan bahwa sebab hak harus tertuang dalam hukum nan riil, maka nan
dipandang sebagai hak melalui adanya agunan konstitusi (rights, then should be created and
granted by constitution, laws and contracts).

c. Teori Relativis Kultural (Cultural Relativist Theory)


Secara kasat mata, teori ini memang sedikit bertentangan dengan teori hak-hak alami atau
nan biasa disebut dengan natural rights. Teori ini menilai bahwa hak bersifat generik tergolong
pelanggaran antara satu kultural dengan kulturan lainnya. Ini juga nan kerap disebut dengan
nama imperialisme kultural. Yang menjadi titik fokus teori ini ialah pada manusia. Teori ini
memandang bahwa manusia tidak pernah lepas dari hubungan sosial dan permasalahan budaya,
baik itu nan sama ataupu nan mengalami disparitas tradisi budaya.

d. Doktrin Marxis
Doktrin ini menolak teori hak-hak alami sebab negara atau kolektivitas ialah sumber galian
seluruh hak. Hak-hak mendapat pengakuan dari negara dan kolektivits. Dengan kata lain, “all
rights derive from the state, and are not naturally prosssed by human beings by virtue of having
been born”.

2.2 HAM di Indonesia


HAM di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila, yang artinya bahwa HAM
adalah menjadi jaminan filsafat yang kuat dari filsafat bangsa. Beberapa instrument HAM yang
ada di Indonesia antara lain yaitu Undang - Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan instrumennya yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas
HAM . HAM dapat meliputi Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak. Hak – hak asasi
ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan
menjual serta memanfaatkannya. Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut
serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk
mendirikan partai politik. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan (rights of legal equality). Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan (social and
culture rights). Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untuk mengembangkan
kebudayaan. Dan hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan
(procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan
peradilan.

2.3 Sejarah terbentuknya organisasi-organisasi kemanusiaan di dunia dan di Indonesia


a. ICRC (International Committee of the Red Cross)
ICRC terbentuk pada tahun 1863 di Jenewa, Swiss, atas prakarsa dari Henry Dunant, seorang
warga negara Swiss. Prakarsa tersebut merupakan sebuah kelanjutan dari pengalaman Henry
Dunant di Sulferino, Italia, pada tanggal 24 Juni 1859, saat terjadi perang antara tentara Italia dan
Perancis melawan tentara Austria. Henry Dunant, yang menyaksikan secara langsung kengerian
yang terjadi akibat adanya perang tersebut, beserta penduduk setempat melakukan tindakan
pertolongan terhadap puluhan ribu tentara yang menjadi korban perang tersebut.
Sepulang dari Solferino, beberapa saat kemudian Henry Dunant menulis sebuah buku yang
berjudul “Un Souvenir de Solferino” (Kenangan dari Solferino) yang pada intinya berisi dua
gagasan Henry Dunant, yaitu membentuk suatu organisasi kemanusiaan internasional yang akan
efektif bekerja pada saat damai untuk memberikan bantuan pertolongan kepada tentara yang
terluka di medan perang serta mengadakan perjanjian internasional guna melindungi tentara yang
terluka dan relawan yang bekerja untuk memberikan pertolongan (calling for improved care for
wounded soldiers in wartime). Empat orang warga negara Swiss, yaitu Dufour, Theodore
Maunoir, Louis Appia dan Gustave Moynier, kemudian tertarik dengan dua gagasan dalam buku
tersebut, sehingga bersama Henry Dunant mereka, membentuk Komite Lima yang kemudian
menjadi dasar berdirinya ICRC.
Kemudian berdasarkan gagasan mengenai pembentukan perjanjian internasional, diadakan
Konvensi Jenewa pertama oleh Pemerintah Federal Swiss atas prakarsa ICRC, pada tanggal 22
Agustus 1864, yang dihadiri oleh 12 kepala negara yang menandatangani perjanjian
internasional. Isi perjanjian internasional tersebut adalah lebih kurang mengenai perbaikan
keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka dan sakit di darat. Konvensi tersebut
dilanjutkan pada tahun 1906 (mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang
terluka dan sakit di laut, 1929 (mengenai perlakuan terhadap tawanan perang) dan 1949
(mengenai perlindungan orang sipil di medan perang). Pada perkembangannya, ketentuan dalam
Konvensi Jenewa dimodifikasi berdasarkan tiga buah protokol, yakni protokol pertama mengenai
perlindungan korban konflik bersenjata internasional (1977), protokol kedua mengenai
perlindungan konflik bersenjata non-internasional (1977) dan protokol ketiga mengenai adopsi
lambang pembeda tambahan (2005).
b. Federasi (The International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societies)
Federasi didirikan pasca Perang Dunia I, tepatnya pada tanggal 5 Mei 1919 berdasarkan
Konferensi Kesehatan Internasional di Cannes, Perancis, atas prakarsa Henry Davidson, Ketua
Komite Bantuan Perang dan Palang Merah Amerika Serikat pada waktu itu. Setelah
disampaikannya prakarsa tersebut kepada Palang Merah Perancis, Italia, Jepang dan Inggris,
terbentuklah suatu keinginan bersama untuk membuat Federasi, sebagai bentuk tindakan nyata
kesadaran beberapa Palang Merah tersebut bahwa perlu adanya ketersediaan sumber daya yang
terkoordinasi untuk memberikan bantuan kemanusiaan di bidang kesehatan masyarakat serta
kepada korban bencana di masa damai. Sebelum memiliki nama seperti sekarang, Federasi
dikenal dengan nama Liga Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah.
Saat pertama kali dibentuk, Federasi bermarkas di Paris, akan tetapi sejak tahun 1935
dipindah ke Jenewa hingga sekarang. Struktur kepemimpinan Federasi dipimpin oleh seorang
Sekretaris Jenderal yang memiliki sejumlah staf dari berbagai negara untuk membantu tugasnya.
c. Perhimpunan Nasional (National Securities)
Perhimpunan Nasional merupakan organisasi kemanusiaan yang didirikan oleh sebuah
negara, terkait keikutsertaannya dalam Konvensi Jenewa 1949 maupun mendapat pengakuan dari
negara-negara yang menandatangani perjanjian internasional tersebut. Hingga saat ini, terdapat
187 Perhimpunan Nasional di seluruh dunia.
Hal yang melatarbelakangi terbentuknya Perhimpunan Nasional di setiap negara tentunya
berbeda-beda, akan tetapi terbentuknya Perhimpunan Nasional di suatu negara lebih kurangnya
karena adanya kesadaran pemerintah di suatu negara akan isu kemanusiaan yang esensinya
terkait dengan kelangsungan hidup warga negara pada umumnya. Selain itu, dengan adanya
konvensi jenewa, bagi pemerintah suatu negara adalah sesuatu yang penting untuk membentuk
organisasi yang mewadahi berbagai jenis kegiatan kemanusiaan.
Di Indonesia, Perhimpunan Nasional dikenal dengan nama Palang Merah Indonesia (PMI).
PMI terbentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 1999. PMI kemudian menjadi
anggota Federasi yang ke-68 pada tahun 1950, setelah sebelumnya mendapat pengakuan dari
ICRC.

2.4 Sejarah Aksi Cepat Tanggap (ACT)


Tanggal 21 April 2005, Aksi Cepat Tanggap (ACT) secara resmi diluncurkan secara hukum
sebagai yayasan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Untuk memperluas karya,
ACT mengembangkan aktivitasnya, mulai dari kegiatan tanggap darurat, kemudian
mengembangkan kegiatannya ke program pemulihan pascabencana, pemberdayaan dan
pengembangan masyarakat, serta program berbasis spiritual seperti Qurban, Zakat dan Wakaf.
ACT didukung oleh donatur publik dari masyarakat yang memiliki kepedulian tinggi
terhadap permasalahan kemanusiaan dan juga partisipasi perusahaan melalui program kemitraan
dan Corporate Social Responsibility (CSR). Sebagai bagian dari akuntabilitas keuangannya ACT
secara rutin memberikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan
Publik kepada donatur dan pemangku kepentingan lainnya, serta mempublikasikannya melalui
media massa.
Sejak tahun 2012 ACT mentransformasi dirinya menjadi sebuah lembaga kemanusiaan
global, dengan jangkauan aktivitas yang lebih luas. Pada skala lokal, ACT mengembangkan
jejaring ke semua provinsi baik dalam bentuk jaringan relawan dalam wadah MRI (Masyarakat
Relawan Indonesia) maupun dalam bentuk jaringan kantor cabang ACT. Jangkauan aktivitas
program sekarang sudah sampai ke 30 provinsi dan 100 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Pada skala global, ACT mengembangkan jejaring dalam bentuk representative
person sampai menyiapkan kantor ACT di luar negeri. Jangkauan aktivitas program global sudah
sampai ke 22 Negara di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, Indocina, Timur Tengah, Afrika,
Indocina dan Eropa Timur. Wilayah kerja ACT di skala global diawali dengan kiprah dalam
setiap tragedi kemanusiaan di berbagai belahan dunia seperti bencana alam, kelaparan dan
kekeringan, konflik dan peperangan, termasuk penindasan terhadap kelompok minoritas berbagai
negara.
Dengan spirit kolaborasi kemanusiaan, ACT mengajak semua elemen masyarakat dan
lembaga kemanusiaan untuk terlibat bersama. Berbekal pengalaman selama puluhan tahun di
dunia kemanusiaan, kami melakukan edukasi bersama, membuka jaringan kemitraan global yang
menjadi sarana kebersamaan. Semua program global ACT menjadi sarana merajut kemitraan
berbagai lembaga amil zakat, komunitas peduli, artis dan publik figur yang memiliki visi yang
sama untuk kemanusiaan.
Tahun 2014 menjadi awal bagi ACT untuk menjalin kolaborasi kemanusiaan dunia,
bersamaan dengan visi baru: menjadi lembaga kemanusiaan global profesional, berbasis
kedermawanan dan kerelawanan masyarakat global, kami inginmewujudkan peradaban dunia
yang lebih baik.Menghadirkan sebuah dunia yang nyaman bagi umat manusia, dunia beradab dan
memiliki peradaban mulia di bawah naungan cahaya ilahi. Cita-cita ini akan menjadi nyata
dengan keterlibatan semua pihak. Kami memiliki keyakinan penuh, bantu kami untuk bersama
mewujudkannya.

2.5 Visi dan misi Aksi Cepat Tanggap (ACT)


a. Visi
Menjadi organisasi kemanusiaan global profesional berbasis kedermawanan dan kerelawanan
masyarakat global untuk mewujudkan peradaban dunia yang lebih baik.
b. Misi

1) Mengorganisir dan mengelola berbagai persoalan kemanusiaan secara terencana,


terkonsep, terintegrasi, dan berkesinambungan sehingga menjadi formula ideal dalam
mengatasi berbagai problem kemanusiaan baik dalam skala lokal, nasional, regional,
maupun global.
2) Mengorganisir dan mengelola segala potensi kedermawanan masyarakat global sebagai
modal sosial untuk mengatasi berbagai problem kemanusiaan baik dalam skala lokal,
nasional, regional, maupun global.
3) Mengorganisir dan mengelola segala potensi kerelawanan global sebagai modal sosial
untuk mengatasi berbagai problem kemanusiaan baik dalam skala lokal, nasional,
regional, maupun global.

Anda mungkin juga menyukai