LO1
LO1
remaja yang berulang dan menetap dimana terjadi pelanggaran norma-norma sosial
dan peraturan utama setempat. Gangguan tingkah laku tersebut mencakup perusakan
benda, pencurian, berbohong berulang-ulang, pelanggaran serius terhadap peraturan,
dan kekerasan terhadap hewan atau orang lain. Etiologi gangguan tingkah laku
meliputi psikodinamika, faktor sosial, dinamika keluarga, pengelolaan jasmaniah
yang tidak wajar dan biologis.1
Gangguan tingkah laku berciri khas dengan adanya suatu pola tingkah
laku dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan menetap.
Penilaian tentang adanya gangguan tingkah laku perlu
memperhitungkan tingkat perkembangan anak. Temper tantrums, merupakan
gejala normal pada perkembangan anak berusia 3 tahun, dan adanya gejala ini
bukan merupakan dasar diagnosis ini. Begitu pula, pelanggaran terhadap hak
orang lain (seperti tindak pidana dengan kekerasan) tidak termasuk
kemampuan anak berusia 7 tahun dan dengan demikian bukan merupakan
kriteria diagnostik bagi anak kelompok usia tersebut. Contoh-contoh perilaku
yang dapat menjadi dasar diagnosis mencakup hal-hal berikut: perkelahian
atau menggertak pada tingkat berlebihan; kejam terhadap hewan atau sesama
manusia; perusakan yang hebat atas barang milik orang; membolos dari
sekolah dan lari dari rumah; sangat sering meluapkan temper tantrum yang
hebat dan tidak biasa; perilaku provokatif yang menyimpang; dan sikap
menentang yang berat serta menetap. Masing-masing dari kategori ini, apabila
ditemukan, adalah cukup untuk menjadi alasan bagi diagnosis ini, namun
demikian perbuatan dissosial yang terisolasi bukan merupakan alasan yang
kuat.
Diagnosis ini tidak dianjurkan kecuali bila tingkah laku seperti yang
diuraikan di atas berlanjut selama 6 bulan atau lebih.
Gangguan tingkah laku dapat digolongkan secara lebih spesifik lagi ke dalam
beberapa subtipe, antara lain:
Pedoman Diagnostik
Ciri khas dari gangguan tingkah laku tak berkelompok ialah adanya
kombinasi mengenai perilaku dissosial dan agresif berkelanjutan (yang
memenuhi seluruh kriteria F91 dan tidak terbatas hanya pada perilaku
membangkang, menentang, dan merusak), dengan sifat kelainan yang pervasif
dan bermakna dalam hubungan anak yang bersangkutan dengan anak-anak
lainnya.
Tiadanya keterpaduan yang efektif dengan kelompok sebaya
merupakan perbedaan penting dengan gangguan tingkah laku yang
“berkelompok” (socialized) dan ini diutamakan di atas segala perbedaan
lainnya.
Rusaknya hubungan dengan kelompok sebaya terutama dibuktikan
oleh keterkucilan dari dan/atau penolakan oleh, atau kurang disenanginya oleh
anak-anak ebayanya, dan karena ia tidak mempunyai sahabat karib atau
hubungan empatik, hubungan timbal balik yang langgeng dengan anak
kelompok usianya. Hubungan dengan orang dewasa pun ditandai dengan oleh
perseisihan, rasa bermusuhan, dan dendam. Hubungan baik dengan orang
dewasa dapat terjalin (sekalipun biasanya kurang bersifat akrab dan percaya);
dan seandainya ada, tidak menyisihkan kemungkinan diagnosis ini.
Tindak kejahatan lazim (namun tidak mutlak) dilakukan sendirian.
Perilaku yang khas terdiri dari: tingkah lku menggertak, sangat sering
berkelahi, dan (pada anak yang lebih besar) pemerasan atau tidank kekerasan;
sikap membangkang secara berlebihan, perbuatan kasar, sikap tidak mau kerja
sama, dan melawan otoritas; mengadat berlebihan dan amarah yang tidak
terkendali; merusak barang orang lain, sengaja membakar, perlakuan kejam
terhadap hewan dan terhadap sesama anak. Namun ada pula anak yang
terisolasi, juga terlibat dalam tindak kejahatan berkelompok. Maka jenis
kejahatan yang dilakukan tidaklah penting dalam menegakkan diagnosis, yang
lebih penting adalah soal kualitas hubungan personal-nya.
Pedoman Diagnostik
Ciri khas dari jenis gangguan tingkah laku ini adalah berawal dari
anak di bawah usia 9 dan 10 tahun. Ditandai oleh adanya perilaku menentang,
ketidak-patuhan, perilaku provokatif dan tidak adanya tindakan dissosial dan
agresif yang lebih berat yang melanggar hukum ataupun melanggar hak asasi
orang lain.
Pola perilaku negativistik, bermusuhan, menentang, provokatif dan
merusak tersebut berlangsung secara berkelanjutan, yang jelas sekali
melampaui rentang perilaku normal bagi anak kelompok usia yang sama
dalam lingkungan sosial-budaya yang serupa, dan tidak mencakup
pelanggaran yang lebih serius terhadap hak orang lain seperti dalam kategori
F91.0 dan F91.2. Anak dengan gangguan ini cenderung sering kali dan secara
aktif membangkang terhadap permintaan atau peraturan dari orang dewasa
serta dengan sengaja mengusik orang lain. Lazimnya mereka bersikap marah,
benci dan mudah terganggu oleh orang lain yang dipersalahkan atas
kekeliruan dan keulitan yang mereka lakukan sendiri. Mereka umumnya
mempunyai daya toleransi terhadap frustasi yang rendah dan cepat hilang
kesabarannya. Lazimnya sikap menentangnya itu bersikap provokatif,
sehingga mereka mengawali konfrontasi dan sering kali menunjukkan sifat
kasar, kurang suka kerjasama, menentang otoritas.
Hanya digunakan untuk gangguan yang memenuhi kriteria umum untuk F91, namun
tidakmemenuhi kriteria untuk salah satu subtipe lainnya.8
Unit khusus untuk mengobati anak-anak dan remaja, terdapat di rumah sakit jiwa.
Pengobatan di unit-unit ini biasanya diberikan untuk klien yang tidak sembuh dengan
metode alternatif yang kurang restriktif, atau bagi klien yang beresiko tinggi
melakukankekerasan terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain.2
Farmakoterapi
Gangguan tingkah laku dahulu dianggap resisten terhadap terapi farmakologis. Saat
ini, tiga penelitian telah selesai dilaksanakan. Satu menunjukkan efektivitas
penggunaan methylphenidate dalam menurunkan tingkat perlawanan,
pembangkangan, agresi, dan perubahan mood pada pasien dengan usia 5-8 tahun
yang didiagnosis dengan gangguan tingkah laku, dengan atau tanpa ADHD. Peneitian
lainnya menunjukkan efektivitas dari divalproat dalam menurunkan kemarahan dan
agresivitas pada usia remaja. Divalproat secara khusus efektif pada agresivitas yang
dipicu oleh stres post traumatik. Penelitian ketiga menunjukkan efektivitas dari
lithium dalam menurunkan agresivitas pada pasien usia remaja dengan gangguan
tingkah laku.
DAFTAR PUSTAKA
Sembelit kronis akibat evakuasi yang tidak teratur dan tidak lengkap mengakibatkan
distensi rektum progresif dan peregangan kedua sfingter anal internal dan sfingter
anal eksternal (EAS). Ketika anak terbiasa dengan distensi rektum kronis, ia tidak
lagi merasakan keinginan normal untuk buang air besar. Kotoran lunak atau cair
akhirnya bocor di sekitar massa tinja yang tertahan, yang mengakibatkan kotoran
tinja.
Meskipun sering terjadi encopresis masa kanak-kanak, tidak ada uji coba terapi besar,
acak, dan terkontrol yang pernah dilakukan. Akibatnya, pengobatan sebagian besar
tetap berdasarkan pengalaman daripada berdasarkan bukti. Terapi medis
konvensional biasanya merupakan terapi pertama yang dicoba, umumnya terdiri dari:
1. Demistifikasi dan pendidikan
2. Disimpaksi kolon diikuti oleh terapi laksatif rutin
3. "Toilet training" yang terdiri dari toileting terjadwal secara teratur,
pemeliharaan buku harian gejala, dan skema insentif sesuai usia
Tujuan dari pendekatan multimodal untuk terapi ini adalah untuk mengurangi tekanan
fisik dan emosional yang terkait dengan buang air besar, untuk mengembangkan atau
mengembalikan kebiasaan buang air besar normal dengan penguatan positif, dan
untuk mendorong anak dan orang tua untuk mengambil peran aktif selama perawatan.
Terapi medis konvensional terbukti berhasil pada sekitar setengah dari anak-anak
dengan konstipasi kronis, encopresis, atau keduanya. Jika seorang anak belum
mengalami perbaikan klinis yang signifikan setelah 2-4 bulan terapi, program terapi
yang berbeda dapat diindikasikan. Dengan demikian, adalah tepat untuk menilai
kemajuan setelah 2-4 bulan perawatan. Jika anak tetap bergejala, pertimbangkan
mendaftarkannya dalam program perilaku intensif yang melengkapi terapi medis
konvensional.
Meskipun tidak ada intervensi bedah yang memiliki peran terbukti dalam
pengelolaan encopresis masa kanak-kanak, melakukan appendicostomy atau
cecostomy untuk melakukan enema antegrade pada anak-anak yang telah terbukti
refrakter terhadap terapi medis dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Dalam
sebagian besar kasus encopresis, konsultasi dengan subspesialis tidak mutlak
diperlukan. Anak-anak yang terkena dampak sering dirujuk ke ahli gastroenterologi
anak, psikolog perilaku, atau keduanya.
MENINGITIS
DEFINISI
Etiologi
Otak dan sumsum otak belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur
syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan
yaitu cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:
Pia meter : yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan sumsum
tulang belakang dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan
menyediakan darah untuk struktur-struktur ini.
Arachnoid : Merupakan selaput halus yang memisahkan pia meter dan dura
meter.
Dura meter : Merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari
jaringan ikat tebal dan kuat (Israr,2008).
Klasifikasi
PATOFISIOLOGI
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti dengan
septikemia,yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.
Faktor predisposisi mencakupinfeksi jalan nafas bagian atas, otitis media,
mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatislain, prosedur bedah saraf baru,
trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yangmelalui nasofaring
posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekatsaluran
vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan
bakteri. Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di
dalammeningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan
penurunan aliran darahserebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme
akibat eksudat meningen,vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat
menyebar sampai dasar otak dan medulaspinalis. Radang juga menyebar ke dinding
membran ventrikel serebral. Meningitis bakteridihubungkan dengan perubahan
fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatanpermeabilitas pada darah, daerah
pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatanTIK. Pada infeksi akut
pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksiterbanyak
dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan
denganmeluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat
terjadinyakerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh
meningokokus (414askep,2009).
Mekanisme
Meningeal Invasion
Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subaracnoid masih belum diketahui.
Salahsatu faktor yang berperan mungkin adalah jumlah/konsentrasi bakteri dalam
darah. Virulensikuman mungkin merupakan faktor yang penting didalam invasi
bakteri kedalam CNS. Pelepasanlipopolisakarida dari N. Meningitidis merupakan
salah satu faktor yang menentukan patogenitasorganisme ini. Setelah terjadi invasi
kedalam ruang subarakhnoid, bakteriemia sekunder dapatterjadi sebagai akibat dari
proses supurative lokal dalam CNS (Japardi, 2002).
Mekanisme pertahanan didalam ruang subarachnoid
Walaupun telah terbukti bahwa bakterial kapsul sangat penting bagi bagi
organismemeningael patogen untuk dapat survive didalam ruang subarakhnoid dan
intravaskuler, kapsellipopolisakarida diketahui bersifat noninflamatory.
Lipopolisakarida menyebabkan inflamasimelalui perannya dalam pelepasan
inflamatory mediator seperti interleukin-1 dan tumor necrosisfaktor kedalam CSF
(Japardi, 2002).
Perubahan dari permeabilitas sawar darah otak merupakan akibat dari vasogenic
cerebraludem, peningkatan volume CSF, peningkatan tekanan intracranial dan
kebocoran protein plasmake dalam CSF (Japardi, 2002)
Abnormalitas dari cerebral blood flow disebabkan oleh peninggian tekanan intra
kranial,hilangnya autoregulasi, vaskulitis dan trombosis dari arteri, vena dan sinus
cerebri. vaskulitisakut dan kadang-kadang deposit fibrin intraluminal pada vena-
vena kecil meningael. Bilaterdapat encephalitis, bervariasi dari invasi perivasculer
fokal hingga infiltrasi parenchymaldiffuse; tetapi pembentukan abses jarang
didapatkan. Berdasarkan eksperimen dan kelainanpatologis yang didapat, dapat
disimpulkan bahwa paling sedikit terdapat 2 mekanisme yangterlibat didalam
pathigenesis infeksi meningococcus, yaitu efek endotoksin dan kompleksantigen
antibodi. Endotoksin (lipopolysccharide0 adalah yang bertanggung jawab terhadap
shock (udem paru, gagal jantung dan perdarahan adrenal) dan DIC yang terlihat pada
septikemia akibatinfeksi. Vasculitis dan arthritis disebabkan oleh adanya deposit
antigen antibodi kompleks(Japardi, 2002).
Abnormalitas dari cerebral blood flow disebabkan oleh peninggian tekanan intra
kranial,hilangnya autoregulasi, vaskulitis dan trombosis dari arteri, vena dan sinus
cerebri. vaskulitisakut dan kadang-kadang deposit fibrin intraluminal pada vena-
vena kecil meningael. Bilaterdapat encephalitis, bervariasi dari invasi perivasculer
fokal hingga infiltrasi parenchymaldiffuse; tetapi pembentukan abses jarang
didapatkan. Berdasarkan eksperimen dan kelainanpatologis yang didapat, dapat
disimpulkan bahwa paling sedikit terdapat 2 mekanisme yangterlibat didalam
pathigenesis infeksi meningococcus, yaitu efek endotoksin dan kompleksantigen
antibodi. Endotoksin (lipopolysccharide0 adalah yang bertanggung jawab terhadap
shock (udem paru, gagal jantung dan perdarahan adrenal) dan DIC yang terlihat pada
septikemia akibatinfeksi. Vasculitis dan arthritis disebabkan oleh adanya deposit
antigen antibodi kompleks(Japardi, 2002).
Gambaran Klinis
Gejala dari meningococcal meningitis tidak berbeda dengan meningitis yang
disebabkanoleh bakteri pyogenik lainnya. Gejala dapat berupa febris, nyeri kepala,
kaku kuduk, mual,muntah, penurunan kesadaran sampai koma. Komplikasi dari
CNS berupa transient palsy dariN.IV, VI, VII dan VIII. Biasanya didapatkan riwayat
infeksi saluran nafas bagian atas dalam duaatau tiga hari sebelum onset penyakit,
gejala dapat didahului oleh muntah dan diare. Exanthema,walaupun tidak selalu
didapatkan, merupakan cardinal sign didalam membedakan etiologi antara
meningococcus dengan yang lainnya. Lesi yang paling sering berupa
petechial atau purpura,masimg-masing lesi berukuran antara 1 sampai 15
mm. Hal ini biasanya didahului oleh suatu makular rash, adpat pula timbul lesi
makulopapular. Pada infeksi yang berat dapat berkembangmenjadi suatu lesi
ekimosis dan bila lesi sangat besar dan ulseratif, mungkin memerlukan suatuskin
graft setelah infeksi teratasi. Pasien meningitis dengan DIC dan shock labih sering
disertaidengan skin rashberupa purpura/ekimosis. Lesi kulit ini timbul 5 -9
hari setelah onset infeksiberupa lingkaran berwarna gelap dengan bagian
tepi yang lepuh/lecet sebesar 1-2 cm,dalam 24jam terbentuk bulla yang steril
yang akan menjadi ulcerasi dan akan sembuh dengan cepat. Padapasien
didapatkan satu atau lebij lesi yang sering terjadi pada daerah dors um
dari tangan, ataupada kaki dandaerah deltoid. Secara histologis lesi setril ini
adalah suatu alergic vasculitis, yangmenurut whittle dkk (1973) merupakan
deposit kompleks antigen antibodi. Adanya suatu DICharus
dipertimbangkan bila terdapat ekimosis atau hemorrhagic bullae yang
besar (Japardi,2002).
Diagnosa
Diagnosa pasti dari meningitis meningococcus hanya dengan isolasi organisme dari
CSF.Diagnosa relatif dapat ditegakkan sebelum terdapat hasil isolasi pada pasien
dengan nyeri kepala,muntah, febris, kaku kuduk dan rush kulit petechial, terlebih
bila terdapat epidemik darimeningitis meningococcus atau adanya kontak dengan
kasus meningococcus yang jelas. Untuk menegakkan diagnose meningitis
meningococcus, perlu dilakukan kultur dari lesi kulit, sekretnafosaring, darah dan
CSF. Pada beberapa kasus diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaanapus dari
sedimen CSF/gram stain (Japardi, 2002).
Pemeriksaan Laboratorium
Terapi
Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah didapatkan hasil kultur. Pada orang
dewasa,Benzyl penicillin G dengan dosis 1-2 juta unit diberikan secara intravena
setiap 2 jam. Padaanak dengan berat badan 10-20 kg. Diberikan 8 juta unit/hari,anak
dengan berat badan kurangdari 10 kg diberikan 4 juta unit/hari. Ampicillin dapat
ditambahkan dengan dosis 300-400mg/KgBB/hari untuk dewasa dan 100-200
mg/KgBB/ untuk anak-anak. Untuk pasien yang alergiterhadap penicillin, dapat
dibrikan sampai 5 hari bebas panas (Japardi, 2002).