Sejarah cat tembok diawali pada masa 38.000 tahun sebelum Masehi. Pada masa pra sejarah
masyarakat Mesir mewarnai dinding dengan arang, tanah, dan darah binatang. Kemudian para
ahli sejarah menemukan bahwa masyarakat Mesir kuno juga menambahkan warna biru dan
hijau. Sementara itu, masyarakat Romawi dan Yunani menggunakan campuran timah dengan
anggur dan cuka. Alat yang digunakan pun masih sangat sederhana, yakni ujung batang
tumbuhan yang telah ditumbuk menjadi lembaran serat-serat seperti sapu.
Ratusan dan ribuan tahun berikutnya, orang-orang mulai menggunakan zat pewarna pada cat.
Sekitar 3.000 tahun sebelum masehi, orang-orang Mesir mengawali pencampuran warna dengan
minyak dan lemak. Saat itu, bahan yang digunakan untuk mengecat adalah campuran kaca bumi
dengan batu permata, timbal, tanah, dan darah binatang. Pada abad ke-13 akhirnya terbentuk
serikat pekerja cat (tukang cat) yang mengesahkan standard pengecatan. Beberapa abad
berikutnya, perkebangan teknologi memengaruhi inovasi proses pembuatan cat.
Pada zaman kolonial Amerika Serikat, mengecat rumah dianggap sebagai tindakan yang
melanggar norma-norma agama. Jika seseorang mengecat rumahnya, tembok dalam maupun
luar, maka ia telah berdosa. Orang yang mengecat rumah adalah orang yang sombong dan
berlebihan dalam urusan duniawi, bahkan dianggap hedonis. Peraturan ini bukan sekadar norma
yang berlaku di masyarakat, tetapi juga disahkan dalam hukum agama yang berlaku saat itu.
Orang yang melanggarnya, pendeta gereja sekalipun, harus dihukum.
Namun demikian, larangan itulah yang justru selalu membuat orang semakin tertarik. Semakin
masyarakat dilarang mewarnai rumahnya, semakin besar keinginan mereka untuk mengecat.
Bahkan, muncul gerakan/aliansi rahasia yang menyebarkan dan mengajarkan cara mengecat.
Mereka menggunakan bahan-bahan alami seperti kuning telur, susu, cangkang kerang, kopi,
jeruk lemon, dan bahkan nasi untuk mengecat tembok.
Pada masa itu, masyarakat di Amerika Serikat menyukai corak yang memberi kesan mewah.
Untuk itu, mereka menyewa tukang cat khusus yang mampu mengecat tembok dengan corak
marmer, perunggu, atau kayu. Untuk warna langit-langit, mereka menyukai corak cat
menyerupai langit asli dengan tebaran awan-awan putih.
Proses penggilingan pigmen dengan minyak bertujuan agar pigmen bisa tercampur selarut
mungkin dengan minyak. Sampai abad ke-18, proses ini dikerjakan secara manual oleh para
pekerja. Akibatnya, banyak pekerja yang mati keracunan akibat bersinggungan langsung dengan
timah putih. Cat berbahan timah sangat populer pada saat itu karena diyakini mampu bertahan
selama ratusan tahun.
Kemudian, tempat produksi cat dilapisi dengan sistem penyaring udara untuk mengurangi jumlah
bubuk timah yang terhirup. Dengan resiko kesehatan yang tinggi, sungguh mencengangkan
bahwa pemerintah baru mengeluarkan larangan penggunaan timah sebagai bahan cat pada akhir
tahun 1970-an.
Di abad 18, Inggris menjadi pusat inovasi dan teknologi industri pembuatan cat. Seorang warga
Inggris bernama Marshall Smith menemukan alat pengaduk yang lebih efisien dan menghasilkan
banyak cat dalam waktu relatif singkat. Entah bagaimana cara kerja mesin tersebut, namun hal
ini memicu pesatnya industri cat di Inggris.
Sumber:
https://media.rooang.com/2014/12/sejarah-munculnya-cat-tembok-bagian/