Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH RADIOLOGI

PERITONITIS

Disusun oleh:
Reinaldo Supanji
12/336220/KU/15302

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
DEPARTEMEN RADIOLOGI RSUP DR SARDJITO
YOGYAKARTA
2018
A. PENDAHULUAN
 Peritonitis adalah inflamasi pada dinding membrane serosa yang
membatasi kavitas abdomen dan organ-organ yang terkandung di
dalamnya.
 Peritonotis paling seing disebabkan oleh masuknya infeksi melalui perforsi
organ, atau juga dapat disebabkan oleh iritan lain seperti corpal, cairan
empedu dari perforasi vesical velea, atau hati, ataupun bahkan cairan
lambung.
 Peritonitis berdasarkan etiologinya dapat diklasifikasikan menjadi primer
(hematogenous route), sekunder (proses patologis organ visceral), dan
tersier (infeksi persisten atau rekuren setelah terapi adekuat).
 Tipe primer paling sering dikarenakan infeksi spontan karena bakteri,
sedangkan tipe yang paling seirng dijumpai dalam praktek klinis adalah
peritonitis sekunder. SBP paling sering terjadi pada neonates dan anak usia
5 tahun.
 Orang dengan sirosis hepati memiliki peluang yang lebih besar untuk
mengalami peritonitis.
 Pembagian lain yaitu berdasarkan wilayah infeksi yang terkena yang dapat
dibagi menjadi peritonitis lokal dan umum.
 Diagnosis peritonitis biasanya didaptkan secara klinis, peritoneal lavage
mungkin dapat membantu. Selain itu paracentesis juga harus dilakukan
pada setiap pasien dengan kecurigaan spontaneous bacterial peritonitis
untuk membantu proses pengenalan etiologi dan penentuan terapi
 Pendekatan manajemen pada peritonitis mencakup perbaikan proses yang
mendasari, administrasi antibiotic sistemik, dan terapi suportif untuk
menghambat atau membatasi komplikasi.
 Bagian terpenting dari manajemennya adalah control awal sumber infeksi
baik secara bedah atau non bedah

B. ETIOLOGI
 Penyebab dari penyakit ini tergantung pada tipe, dan juga lokasi dari
peritonitis, dimana dapat terbagi menjadi
o Peritonitis primer
Salah satu tipe yang dapat disebut primer adalah infeksi akut
bacterial (spontaneous bacterial peritonitis) melalui translokasi
bakteri melalui dinding abdomen atau limfonodi, dan yang jarang
terjadi yaitu melalui hematogen. SBP dapat terjadi sebagai bentuk
komplikasi dari penyakit yang menghasilkan ascites.
o Peritonitis sekunder
Penyebab umum yang terjadi pada tipe ini adalah perforasi organ-
organ berongga pada intraabdomen. Athogen yang terjadi akan
berbeda tergantung dari lokasi perforasi organ yang terjadi (upper
atau lower GIT). Upper GIT akan menunjukan predominan bakteri
gram +, sedangkan infeksi dari area colon akan menunjukan
tampakan polimikrobial (gram – dominant)
o Peritonitis tersier
Berkembang terutama pada orang dengan imunodefisiensi, salah
satunya pada pasien HIV atau pada negara berkembang adalah
tuberculosis peritonitis. Tanda yang ditunjukan biasanya kurang
spesifik dan bervariasi tergantung penyebab awalnya.
o Peritonitis kimiawi
Dapat disebut sebagai peritonitis spteril. Penyebabnya beragam
(cairan empedu, darah, barium, atau substansi lain termasuk
inflamasi transmural organ berongga, tanpa inokulasi bakteri di
dalam rongga abdomen
o Abses peritoneal
Merupakan terbentuknya cairan terinfeksi yang diselimuti oleh
eksudat fibrinous, omentum, dan/atau organ visceral di sekitarnya.
Biasanya terjadi setelah peritonistis sekunder, namun dapat pula
dikarenakan pembedahan.

C. KLASIFIKASI
Penyakit hirschprung diklasifikasikan berdasarkan luas area yang tercakup
menjadi dua, yaitu:
 Peritonitis lokal
Peritonitis yang meliputi sebagain porsi suatu organ atau bagian dari
abdomen
 Peritonitis umum
Peritonitis meliputi lebih dari satu bagian atau organ

D. PATOFISIOLOGI
Pada kejadian perforasi organ berongga diakibatkan keluarnya cairan
intralumen yang keluar ke intraperitoneal. Bakteri anaerob dan gram negative
akan dikeluarkan, dan tekhususnya gram negative akan mengeluarkan
endotoxin yang mrangsang dikeluarkannya sitokin yang menginduksi
kaskade imun humoral dan seluler; menghasilkan kerusakan seluler, syok
septic, dan kerusakan multiorgan.
Mekanisme inokulasi bakteri pada ascites menarik untuk
diperdebatkan dimana penemuan bakteri GIT dan endotoxin pada cairan
ascetic mendukung terjadinya translokasi bakteri. Saat ini lebih banyak orang
yang meyakini teori hematogen sebagai mekanisme utama inokulasi bakteri.
Faktor host juga berkontribusi dalam peritonitis, dimana pertumbuhan
berlebih bakteri pada orang-orang dengan sirosis (karena menurunnya waktu
transit makanan di usus). Menurunnya fungsi antibody dan
reticuloendothelial system juga memperburuk keadaan ini. Terkhususnya
SBP pada anak-anak, berbeda dengan orang dewasa, jarang didahului
dengan adanya ascites.

E. MANIFESTASI KLINIS
Asimtomatis terjadi kurang lebih 30% dari total kejadian dimana tanda
dan gejala yang dapat muncul meliputi, demam, rasa tidak nyaman atau nyeri
abdomen, ensepalopati yang progresif atau tidak dapat dijelaskan, diare,
ascites, gagal ginjal, dan ileus.
Nyeri abdomen adalah salah satu keluhan utama pada peritonitis,
dimana dimulai dengan nyeri tumpul dan sukar dilokalisasi dan berubah
menjadi nyeri tajam dan mudah dilokalisasi, serta memburuk dengan
pergerakan dan peningkatan tekanan intraabdominal. Selain itu distensi
abdomen, mual, dan anorexia juga dapat muncul.
Tanda klinis yang muncul dimulai dari tampakan kesan umum yang
buruk dan demam pada pasien. Pada pemeriksaan abdomen mayoritas akan
memberikan tanda nyeri tekan atau rebound tenderness. Pada palpasi juga
dapat ditemukan rigiditas dinding abdomen yang meningkat dan massa yang
teraba. Penemuan klinis yang muncul dapat berubah pada kasus dengan
immunosupresi

F. DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit peretonitis harus ditegakkan secara dini,
keterlambatan diagnosis menyebabkan timbulnya komplikasi seperti sepsis
yang merupakan penyebab kematian tersering. Penegakan diagnosis harus
dimulai dari anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran klinis
nyeri dan distensi abdomen. Idealnya, dilakukan parasentesis diagnostic
pada semua pasien yang tidak terpasang kateter abdomen dengan
kecurigaan SBP. Hasil dari kultur bakteri bersamaan dengan darah lengkap
dapat menunjang diagnosa. Berikut ini adalah ilustrasi penanganan klinis
berdasarkan beberapa parameter:
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG RADIOLOGIS
 Foto polos abdomen
Dalam pelaksanaan foto polos sebaiknya dilakukan foto dalam 3
posisi:
o Posisi supine (AP)
Dinding abdomen (lemak peritoneal baik menghilang), garis
psoas kanan dan kiri (baik, menghilang atau menggembung),
benda asing (radioopak – luscen), kontur ginjal kiri dan kanan,
gambaran udara usus (normal, pelebaran lambung, usus
halus, kolom, keadaan dinding usus, jarak antara 2 dinding
yang berhimpitan)
o Posisi setengah duduk dengan proyeksi AP
Gambaran air fluid level di dalam maupun di luar usus,
gambaran udara bebas di bawah diafragma, gambaran cairan
di rongga pelvis atau abdomen

o Left lateral decubitus dengan sinar horizontal dan proyeksi AP


Udara bebas yang mungin terletak antara hati dan dinding
abdomen atau pelvis dengan dinding abdomen
*Meconium peritonitis
 USG
o Dapat dipikirkan untuk evaluasi patologi pada kuadran kanan
atas dan bawah, serta pelvis. Pemeriksaan USG sangat
dibatasi oleh ketidaknyamanan pasien, distensi perut,
terkumpulnya udara di dalam kavitas abdomen atau pelvis, dan
subjektivitasan hasil pemeriksaan
o Peningkatan ascites di dalam abdomen <100cc sulit untuk
divisualisasikan
o USG lebih diuatamakan dalam mengarahkan aspirasi dan
penempatan drain

H. TATALAKSANA
Tatalaksana mengacu terutama pada proses yng yang mendasari
peritonitis. Kesuksesan terapi didefinisikan sebagai control sumber yang
tepat disertai dengan resolusi sepsis dan pembersihan semua residu infeksi
intraabdomen. Manajemen yang dilakukan dapat berupa operasi maupun
dengan non operasi, yang meliputi resusitasi, koreksi elektrolit dan koagulasi,
serta pemberian antibiotic broad spectrum atau spesifik sesuai dengan
tingkatan terapi, rekurensi harus dipikirkan pada infeksi tertentu seperti
candida dan staphylococcus aureus, dimana terapi dapat diberikan selama
2-3 minggu berturut-turut.
Pada dasarnya perawatan pada peritonitis merupakan perawatan
multidisiplin yang meliputi:
o Pembedahan
Pembedahan yang dilakukan dapat disesuaikan dengan kecurigaan
patologi yang mendasari peritonitis. Prosedur ini memiliki tujuan
untuk mengurangi atau menghilangkan fokus infeksi dan normalisasi
fungsional organ, namun pada keadaan tidak terlalu jelas untuk
penyebabnya dapat dilaksanakan laparotomi eksplorasi dengan
didahului antibiotic profilaksis.
o Antibiotic sistemik dan profilaksis
Pengobatan profilaksis diberikan pada pasien dengan risiko tinggi,
pada pasien ascites dengan GI bleeding, protein cairan ascetic <1
g/dl, dan SBP sebelumnya. Dapat diberikan norfloxacin –
400mg/hari, ciprofloxacin 750 mg/minggu, atau 5 dosis TMP-SMZ
dalam 5 hari
o Perawatan intensif dengan dukungan hemodinamik, pernafasan,
dan renal
Perawatan ini akan diberikan berdasarkan keadaan dan kondisi
klinis pasien. Terkhusus diberikan kepada pasien dengan perforasi
ulser duodenal, pankreatitis kronis, atau chron disease, pengawasan
seumur hidup mungkin diperlukan
o Nutrisi
o Terapi modulasi inflamasi

Perhatian khusus harus dberikan khususnya pada kasus sepsis


dikarenakan kasus ini merupakan kegawatan dan merupakan salah satu
komplikasi yang sering terjadi.

I. KOMPLIKASI
Komplikasi dari peritonitis meliputi peritonitis tersier, dengan
komplikasi pasca bedah meliputi infeksi atau dehisensi, fistula enterokutan,
abdominal compartment syndrome, dan insufisiensi enteric. Fistula
enterokutan dapat berujung pada kehilangan volume cairan dan elektrolit,
kegagalan fungsi pasase usus, serta gangguan vaskuler. Abdominal
compartment syndrome dapat mengarah pada meningkatnya tekanan
intraabdomen dan berakhir pada kegagalan fungsi organ intraabdomen.

J. PROGNOSIS
Kelangsungan hidup pasien dengan peritonitis bergantung pada
diagnosis awal, pendekatan terapi, dan perawatan intensif yang agresif.
Pada SBP mortalitas dapat meningkat dari 10% menjadi 30% bila dilakukan
penanganan yang tertunda. Dengan pemberian profilaksis antiobiotik dapat
menekan angka rekurensi SBP dari 70% menjadi 20%. Pada infeksi yang
parah tingkat mortalitas SP meningkat dari 5% menjadi 30%, maka sangat
diperlukan intervensi terhadap infeksi yang terjadi, sehingga dapat menekan
pula kejadi peritonitis tersier yang memiliki rata-rata waktu ICU dan mondok,
disfungsi organ, dan tingkat kematian yang lebih tinggi (50-70%)

REFERENSI

https://radiopaedia.org/cases/hirschsprung-disease

https://emedicine.medscape.com/article/180234-overview

http://www.imagingpathways.health.wa.gov.au/index.php/imaging-
pathways/gastrointestinal/acute-abdomen/overview-of-acute-abdomen

Anda mungkin juga menyukai