Anda di halaman 1dari 26

Case Report Session

SIROSIS HEPATIS

Oleh:
Amelinda
Firmansyah 1740312626
Shafrina Irza

Preseptor:
dr. Armen Ahmad, Sp.PD-KPTI, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2019
BAB I
LATAR BELAKANG
1.1. Pendahuluan
Sirosis hati merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang panjang
dari semua penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan parenkim hati.
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang ditandai
oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif. Gambaran
morfologi sirosis hati meliputi fibrosis difus, nodul regeneratif, perubahan
arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara
pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena
hepatika). Diseluruh dunia sirosis hati menempati urutan ketujuh penyebab
kematian.1
Kegagalan hati kronis dan sirosis di Amerika Serikat diperkirakan menyebab
sekitar 35.000 kematian dalam setiap tahunnya. Sirosis termasuk kedalam sembilan
penyebab utama kematian di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap
1,2% kasus kematian disana. Penderita sirosis hati lebuh banyak laki-laki dari pada
wanita dengan rasio 1,6 : 1. Umur penderitanya terbanyak golongan umur 30 – 59
tahun dengan puncaknya sekitar umur 40-49 tahun. Penyebab sirosis hati sebagian
besar adalah penyakit hati alkoholik dan non alkoholik steatohepatitis serta hepatitis
C. Angka kejadian di Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21,2 – 46,9% dan
hepatitis C berkisar 38,7 – 73,9%.1,3
Umumnya klinis sirosis hati muncul ketika seseorang sudah mengalami
sirosis hati dekompensata, yang ditandai dengan adanya hipertensi portal dan
penurunan fungsi hepatoselular atau sebagian besar pasien datang ketika sudah
muncul komplikasi dari sirosis hati. Komplikasi yang sering dijumpai antara lain
peritonitis bakterial spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa
ada bukti infeksi sekunder intraabdominaL. Biasanya pasien ini tanpa gejala,
namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen. Morbiditas dan mortalitas sirosis
tinggi akibat komplikasinya sehingga perlu memperbaiki kualitas hidup pasien
sirosis dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya. 6
1.2. Tujuan Penulisan
Case Report Session ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi,
patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis
sirosis hati
1.3 Metode Penulisan
Penulisan Case Report Session ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang
merujuk kepada berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sirosis merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronik setelah terjadinya
fibrosis hati yang berlangsung progresif dan ditandai dengan adanya kerusakan dari
1,2
struktur hati dan pembentukan nodulus regeneratif. Pembentukan nodular
regeneratif ini tidak berhubungan dengan aliran darah normal. Nodul-nodul yang
terbentuk dapat berukuran kecil (mikronodular) atau berukuran besar
(makronodular). Terjadinya sirosis dapat mengganggu aliran darah intrahepatik dan
pada keadaan lanjut secara bertahap dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati.3

2.2 Anatomi dan Fisiologi Hati


2.2.1 Anatomi Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh yang sebagian besar terletak
di regio hipokondrika dekstra, epigastrika dan sebagian kecil di regio hipokondrika
sinistra, sedangkan bentuknya menyerupai pahat yang menghadap ke kiri. Berat
hati pada pria dewasa antara 1,4-1,6 kg (1/36 berat badan) dan pada wanita dewasa
antara 1,2-1,4 kg. Ukuran hati normal pada dewasa yaitu 15 cm jika diukur
panjangnya dari kanan ke kiri, tinggi bagian yang paling kanan (ukuran superior-
inferior) yaitu 15-17 cm, dan tebalnya yaitu 12-15 cm. Permukaan hati berwarna
cokelat kemerahan dengan konsistensi padat kenyal.4
Hati memiliki dua lobus utama, yaitu lobus dekstra dan lobus sinistra. Lobus
dekstra dibagi menjadi segmen anterior dan posterior yang dipisahkan oleh fisura
segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus dektra mempunyai tambahan
dua lobus kecil, yakni lobus quadratus dan lobus kaudatus. Lobus kiri dibagi
menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis yang dapat dilihat
dari luar. 3,5
Permukaan hati hampir seluruhnya diselubungi oleh peritoneum dan
digantung oleh beberapa jaringan ikat hati, seperti ligamentum falsiforme hepatis
yang menggantungkan hati ke diafragma dan dinding perut depan; ligamentum
koronari hepatis yang menggantungkan hati ke puncak diafragma; ligamentum
triangularia hepatis yang menggantungkan hati ke diafragma kanan dan kiri, dan
omentum minus yang menghubungkan porta hepatis, fisura sagitalis sinistra bagian
belakang dengan kurvatura minor ventrikuli dan pars superior duodeni. 5
Secara mikroskopis setiap lobus hati dibagi menjadi struktur-struktur yang
merupakan unit mikroskopis dan fungsional hati yang disebut sebagai lobules.
Setiap lobulus merupakan badan heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng sel
hati berbentuk kubus, tersusun radial mengelilingi vena sentralis yang mengalirkan
darah dari lobulus. Hati manusia memiliki maksimal 100.000 lobulus. Di antara
lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang disebut sebagai sinusoid, yang
merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Tidak seperti kapiler lain
sinusoid hati dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer. 3

Gambar 2.1 Anatomi Hati Normal


(Sumber: Netter, 2014)
Sel Kupffer merupakan sistem monosit-makrofag, dan fungsi utamanya
adalah menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah. Sekitar 50% dari semua
makrofag dalam sel hati adalah sel Kupffer, sehingga hati merupakan salah satu
organ penting dalam pertahanan melawan invasi bakteri dan agen toksik. Selain
cabang-cabang vena porta dan arteria hepatika yang melingkari bagian perifer
lobulus hati, juga terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular
membentuk kapiler empedu yang sangat kecil yang disebut sebagai kanalikuli
(tidak tampak), yang berjalan di tengah lempengan sel hati. Empedu yang dibentuk
dalam hepatosit diekresikan ke dalam kanalikuli yang bersatu membentuk saluran
empedu yang makin lama makin besar hingga menjadi duktus koledokus.3

2.2.2 Fisiologi Hati


Fungsi utama hati adalah membentuk dan mengekskresikan empedu. Dalam
satu hari, hati dapat mengekskresi 500-1000 mL empedu kuning. Unsur utama
empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu, fossolipid (terutama lesitin),
kolesterol, garam anorganik, dan pigmen empedu (terutama bilirubin terkonjugasi).
Fungsi dari garam empedu adalah membantu pencernaan dan absorbs lemak dalam
usus halus.3
Selain itu, hati juga berperan penting dalam metabolism tiga makronutrien
yang dibawa oleh vena porta setelah diabsorbsi di usus, yaitu karbohidrat, protein,
dan lemak. Di hati terjadi proses glikogenesis dan glukogenolisis. Semua protein
plasma (kecuali gama globulin) disintesis di hati. Protein tersebut adalah albumin,
prothrombin, fibrinogen, dan faktor-faktor pembekuan lainnya. Fungsi hati lainnya
adalah penimbunan vitamin, besi dan tembaga, serta detoksifikasi sejumlah zat
endogen dan eksogen. Fungsi detoksifikasi dilakukan oleh enzim hati melalui
proses oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan konjugasi zat-zat berbahaya, dan
merubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. 3

2.3 Epidemiologi
Sirosis hati menempati urutan ketujuh penyebab kematian di seluruh dunia
dan merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita usia 45 – 46
tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Penderita sirosis hati lebih
banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan wanita, dengan
perbandingan 1,6:1. Golongan usia penderitanya rata-rata 30 – 59 tahun dengan
puncaknya sekitar umur 40 – 49 tahun. 6
Di Amerika Serikat, sirosis hati merupakan penyebab kematian ke-12. Pada
tahun 2007, sirosis hati menyebabkan kematian pada 29.165 individu dengan angka
mortalitas mencapai 9,7 per 100.000 individu. Sirosis hati merupakan salah satu
faktor risiko utama terjadinya keganasan hati dengan angka kejadian meningkat tiga
kali lipat dari tahun 1975 hingga 2005.7
Di Indonesia, data prevalensi sirosis belum ada, hanya terdapat laporan-
laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta
ditemukan jumlah pasien sirosis hati sekitar 4,1% dari pasien yang di rawat di
Bagian Penyakit Dalam pada tahun 2004. Sedangkan di Medan ditemukan jumlah
pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien yang dirawat di
Bagian Penyakit Dalam selama empat tahun.2 Untuk jumlah penderita sirosis hati
di RSUP Dr. M Djamil Padang ditemukan sebanyak 140 pasien dalam kurun waktu
September 2014 hingga Juni 2015.8

2.4 Etiologi
Penyebab sirosis hati dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu
penyebab hepatoselular, kolestasis, dan obstruksi aliran vena hepatis. Penyebab
hepatoselular sirosis hati diantaranya adalah virus hepatitis (B, C, D), penyakit hati
alkoholik, autoimun, steatohepatitis non alkoholik yang berkaitan dengan DM,
malnutrisi protein, obesitas, penyakit arteri koroner, pemakaian obat kortikosteroid,
dan hepatotoksik akibat obat atau toksin. Penyebab sirosis yang termasuk dalam
kolestasis adalah obstruksi bilier, sirosis bilier primer, sirosis bilier sekunder yang
berhubungan dengan obstruksi saluran empedu ekstrahepar menahun dan kolangitis
sklerosis primer, sedangkan penyebab sirosis karena obstruksi aliran vena
diantaranya karena sindroma Budd-Chiari, penyakit venooklusif, dan sirosis
kardiak (akibat gagal jantung kongestif dan perikarditis konstriksi).9
Di negara barat penyebab tersering dari sirosis hati adalah akibat alkoholik.
Sedangkan di Indonesia penyebab sirosis hati terutama disebabkan oleh infeksi
virus hepatitis B maupun hepatitis C. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
di Indonesia, didapatkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebanyak 40-
50%, dan virus hepatitis C sebanyak 30-40%, dan untuk sisanya 10-20% kasus
penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C. Untuk
alcohol sebagai penyebab sirosis hati, di Indonesia belum didapatkan data yang
lengkap. 2

2.5 Patogenesis
Sirosis hati terjadi melaui beberapa tahap fibrogenesis yang diakibatkan
oleh respon penyembuhan setelah timbulnya penyakit hati akut atau proses lanjutan
dari penyakit hati kronik, dan sirosis hati merupakan stadium akhir dari perjalanan
fibrosis hati. Proses yang terjadi pada fibrosis hati berkaitan dengan respon
inflamasi terhadap hepatic stellate cells dan adanya akumulasi matriks
ekstraselular. 10,11
Permulaan dan perkembangan fibrosis hati sangat dipengaruhi oleh aktivasi
hepatic stellate cells yang dipicu oleh sitokin seperti TGF-bl yang mengaktivasi
enzim transglutaminase dan sintesis kolagen. Aktivasi dari hepatic stellate cells ini
akan menyebabkan peningkatan ekspresi gen matriks ekstraseluler dan otot polos
serta peningkatan proliferasi pada daerah perisinusoid yang merupakan area
nekrotik sehingga di kemudian hari menjadi area fibrosis melalui pembentukan
kolagen-kolagen. 11
Dalam keadaan normal, hepatic stellate cells merupakan sel penghasil
utama matriks ekstraselular setelah terjadi cidera pada hati. Matriks ekstraseluler
akan diproduksi lebih banyak pada kondisi hepatic stellate cells yang teraktivasi
dan akan mengalami penumpukan di space of Disse dan memacu kapilarisasi
pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah pertukaran normal
aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang seharusnya
dimetabolisme oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah sistemik dan
menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses ini akan
menimbulkan pembentukan jaringan fibrotik akibat dari ketidakseimbangan antara
sintesis dan penguraian matriks ekstraselular disertai dengan penurunan fungsi
hepatoselular sampai adanya manifestasi klinik dari sirosis hati dan menimbulkan
hipertensi portal. 6
Pada kebanyakan kasus sirosis, ditemukan tiga pola khas yang mendasari
terjadinya sirosis, yaitu : 3
2.5.1 Sirosis Laenec
Sirosis laenec dikenal juga dengan sirosis alkoholik yang berhubungan
dengan penggunaan alkohol yang lama. Perubahan pertama pada hati yang
disebabkan oleh alkohol adalah terjadinya akumulasi lemak di dalam sel-sel hati
(infiltrasi lemak). Terjadinya akumulasi lemak di dalam sel hati mencerminkan
adanya gangguan metabolism yang mencakup peningkatan produksi trigliserida
yang berlebihan, menurunnya sekresi trigliserida dari hati, dan menurunnya
oksidasi asam lemak. Apabila konsumsi alkohol tetap diteruskan, maka akn
terbentuk jaringan parut yang luas di hati. Penyebab utama kerusakan hati akibat
alkohol lebih banyak ditemui apabila pasien juga mengalami malnutrisi.6
Secara makroskopis hati akan terlihat membesar, rapuh, tampak berlemak,
dan mengalami gangguan fungsional akibat penumpukan lemak yang banyak.
Sedangkan secara mikroskopis ditandai dengan nekrosis hepatoseluler, sel-sel
balon, dan infiltrasi PMN di hati. 6
2.5.2 Sirosis Pascanekrotik
Sirosis pascanekrotik terjadi setelah nekrosis berbecak pada jaringan hati.
Hepatosit dikelilingi oleh jaringan parut dengan kehilangan banyak sel hati dan
diselingi dengan parenkim hati yang normal. Kasus sirosis pascanekrotik berjumlah
sekitar 10% dari seluruh kasus sirosis. Sekitar 25-75% kasus memiliki riwayat
hepatitis virus sebelumnya dan kebanyakan pasien memiliki hasil uji HBsAg
positif. Sirosis pascanekrotik merupakan faktor predisposisi terjadinya neoplasma
hati (karsinoma hepatoseluler).6
2.5.3 Sirosis Biliaris
Pola sirosis biliaris dimulai dengan adanya kerusakan sel hati di sekitar
ductus biliaris. Penyebab terseringnya adalah obstruksi biliaris pascahepatik.
Tertahannya empedu di dalam hati menyebabkan terjadinya penumpukan empedu
dan kerusakan sel-sel hati dan pada akhirnya akan terbentuk lembar-lembar fibrosa
di tepi lobules. Cirinya hati membesar, keras, bergranula halus, dan berwarna
kehijauan. Ikterus, pruritus, malabsorbsi, dan steatorea merupakan gambaran awal
dari sirosis biliaris. 6

2.6 Manifestasi Klinik


Gejala awal dari sirosis hati sering tidak diketahui dan tidak spesifik, seperti
kelelahan, anoreksia, dyspepsia, faltulen, perubahan kebiasaan defekasi (diare atau
konstipasi), dan berat badan sedikit berkurang. Mual dan muntah juga sering terjadi
terutama pada pagi hari. Nyeri tumpul atau perasaan berat pada epigastrium atau
kuadran kanan atas terdapat pada sekitar separuh penderita. Gejala utama dan
lanjutan sirosis hati terjadi akibat dua tipe gangguan fisiologis, yaitu gagal sel hati
dan heipertensi portal. 6

Gambar 1. Manifestasi klinis sirosis hati


Gejala Gagal Hepatoselulear

Gambar 2. Manifestasi klinis kegagalan fungsi hati7


 Ikterus
Sekitar 60% pendeita sirosis mengalami icterus selama perjalanan penyakitnya,
walaupun pada keadaan minimal. Hyperbilirubinemia tanpa ikterus lebih
sering ditemukan. Penderita dapat menjadi ikterus selama fase dekompensata
yang disertai adanya gangguan fungsi hati. Ikterus intermiten merupakan
gambaran khas pada sirosis biliaris dan terjadi bila timbul peradangan aktif hati
dan saluran empedu. Pada keadaan hipoalbuminemia ditemukan perubahan
kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal yang dipisahkan dengan
warna normal kuku. Akan tetapi tanda ini juga ditemukan pada keadaan album
rendah lain seperti pada sindroma nefrotik. 2,6
 Gangguan endokrin
Gangguan endokrin sering terjadi pada keadaan sirosis akibat terganggunya
metabolism hormone korteks adrenal, testis, dan ovarium. Kelebihan hormone
estrogen di dalam darah dapat menimbulkan terjadinya angioma laba-laba,
atrofi testis dan ginekomastia (pada laki-laki), alopesia pada dada dan aksila,
serta palmar eritem. Angioma laba-laba merupakan suatu lesi vaskular yang
dikelilingi beberapa vena kecil, sering fitemukan di bahu, muka, dan lengan
atas. Palmar eritem dijumpai dalam bentuk warna merah saga pada thenar dan
hypothenar telapak tangan. 2,6
 Ganguan hematologik
Gangguan hematologi yang sering terjadi adalah kecenderungan perdarahan
,anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Penderita sering mengalami
perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar. Hal ini dapat
terjadi akibat berkurangnya pembentukan faktor-faktor pembekuan darah.
Anemia, leukopenia, dan trombositopenia terjadi akibat hipersplenisme,
dimana limpa tidak hanya membesar,tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-
sel darah dari sirkulasi.6
 Edema perifer
Edema perifer biasanya terjadi setelah munculnya gejala asites. Keadaan ini
disebabkan oleh keadaan hipoalbuminemia dan retensi garam dan air. Retensi
garam dan air terjadi akibat kegagalan sel hati mengkatifkan aldosterone dan
hormone antidiuretik.6
 Gangguan neurologis
Gangguan neurologis yang paling serius pada sirosis lanjut adalah koma
hepatikum yang terjadi akibat kelainan metabolism ammonia dan peningkatan
kepekaan otak terhadap toksin.6
Gejala lain yang ditemukan adalah kontraktur dupuytren yang terjadi akibat
fibrosis fasia palmaris yan menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari. Selain itu,
juga ditemukan gejala fetor hepatikum yang merupakan bau nafas khas pada
pasien sirosis akibat meningkatnya konsentrasi dimetil sulfid.2

2.7 Diagnosis
Pada stadium kompensata sempurna kadang-kadang sangat sulit
menegakkan diagnosis sirosis hati. Pada proses lebih lanjut stadium kompensata
bisa ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium
biokimia/ serologi dan pemeriksaan pencitraan lainnya. Pada stadium
dekompensata diagnosis tidak terlalu sulit karena gejala dan tanda klinis biasanya
sudah tampak dengan adanya komplikasi.1
Baku emas untuk diagnosis sirosis hati adalah biopsi hati melalui perkutan,
transjugular, laparoskopi, atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi tidak diperlukan
bila secara klinis, pemeriksaan laboratorium, dan radiologi menunjukkan
kecenderungan sirosis hati. Walaupun biopsi hati risikonya kecil tapi dapat
berakibat fatal misalna perdarahan dan kematian.1

Laboratorium
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada
waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi
keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi amino transferase, alkali fosfatase,
gamma glutamil peptidase, bilirubin, albumin dan waktu protrombin.6
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glumatil
oksaloasetattransaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum
glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak terlalu tinggi. AST
lebih meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak
mengeyampingkan adanya sirosis.6
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal
atas.Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer
dan sirosis billier primer. Gama-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya
seperti halnya alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada
penyakit hati alkohol kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal
hepatic, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.6
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa
meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati,
konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis.6
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi immunoglobulin. Prothrombin time mencerminkan derajat/
tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis memanjang. Natrium serum
menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan
eksresi air bebas.6
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia
normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia
dengan trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia akibat splenomegali
kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.6

Pemeriksaan Pencitraan
Untuk mendeteksi sirosis hati penggunaan ultrasonografi kurang begitu
sensitif namun cukup spesifik bila penyebabnya jelas. Gambarannya
memperlihatkan ekodensitas hati meningkat dengan ekostruktur kasar homogen
atau heterogen pada sisi superficial, sedangkan pada sisi profunda ekodensitas
menurun. Dapat dijumpai pula pembesaran lobus caudatus, splenomegali, dan vena
hepatika gambaran terputus-putus. Hati mengecil dan splenomegali, asites tampak
sebagai area bebas gema (ekolusen) antara organ intra abdominal dengan dinding
abdomen.1
Pemeriksaan MRI dan CT kovensional bisa digunakan untuk menentukan
derajat beratnya sirosis hati, misal dengan menilai ukuran lien, asites, dan kolateral
vaskular. Ketiga alat ini juga dapat untuk mendeteksi adanya
karsinomahepatoselular.1
Endoskopi dapat dilakukan untuk memeriksa adanya varises di esofagus dan
gaster pada penderita sirosis hati. Selain digunakan untuk diagnosis juga dapat
digunakan untuk pencegahan dan terapi perdarahan varises.1

2.7 Penatalaksanaan
Sekali diagnosis sirosis hati ditegakkan, prosesnya akan berjalan terus tanpa
dapat dibendung. Usaha-usaha yang dapat dilakukan hanya bertujuan untuk
mencegah timbulnya penyulit-penyulit. Membatasi kerja fisik, tidak minum
alkohol, dan menghindari obat-obat dan bahan-bahan hepatotoksik merupakan
suatu keharusan. Bilamana tidak ada koma hepatic diberikan diet yang mengandung
protein 1g/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.2
2.7.1 Penatalaksanaan sirosis kompensata
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk
mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan
etiologi, diantaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat
mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin dan
obat herbal bisa menghambat kolagenik. Hepatitis autoimun; bisa diberikan steroid
atau imunosupresif. Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan
mencegah terjadinya sirosis.6
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida)
merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg
secara oral setiap hari selama satu bulan. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12
bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa
diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan,
namun ternyata juga banyak yang kambuh.6
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan
terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU
tiga kali seminggu dan dikombinasikan ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6
bulan.6
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik
akanmerupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi sel stellata
bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek
antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti dalam
penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga
dicobakan sebagai antifibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam
penlitian.6
2.7.2 Penatalaksanaan sirosis dekompensata
Asites, Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-
obatan diuretic. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200
mg sehari. Respon diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan edema kaki. Bilamana
pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasikan dengan furosemid
dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila
tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites
sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6liter dan dilindungi dengan
pemberian albumin.6
Ensefalopati hepatik, Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan
ammonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama
diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.6
Varises esophagus, sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan
obat β-blocker. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi. Peritonitis
bakterial spontan, diberikan antibiotika seperti sefotaksim intravena, amoksilin,
atau aminoglikosida.6
Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sirkulasi darah hati, mengatur
keseimbangan garam dan air. Transplantasi hati, terapi definitive pada pasien
sirosis dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa
kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.6
2.8 Komplikasi
Komplikasi sirosis hati yang utama adalah hipertensi portal, asites, peritonitis
bakterial spontan, perdarahan varises esofagus, sindroma hepatorena, enselopati
hepatikum, dan kanker hati.1
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa
oligouri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada
penurunan filtrasi glomerulus.6
Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esophagus, 20 sampai
40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini
dengan berbagai cara.6
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi
hati.Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat
timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Pada sindrom
hepatopulmonal terdapat hydrothorax dan hipertensi portopulmonal.6
BAB 3
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Umur/tanggal lahir : 28-02-1972 / 47 tahun

Kelamin : Laki-laki

No.RM : 01.04.54.83

Tanggal Pemeriksaan : 07 April 2019

Status Perkawinan : Menikah

Agama : Islam

Nama Ibu kandung :

Alamat :

II. Anamnesis

a. Keluhan Utama:

Sesak napas yang semakin meningkat sejak satu hari sebelum masuk rumah

sakit

b. Riwayat penyakit sekarang:

 Sesak napas yang semakin meningkat sejak satu hari sebelum masuk

rumah sakit. Sesak sudah dirasakan sejak satu minggu sebelum masuk

rumah sakit. Sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas, terasa terus

menerus, dan tidak dipengaruhi oleh cuaca, suhu, maupun makanan.


 Batuk dirasakan sejak kurang lebih dua bulan sebelum masuk rumah

sakit. Batuk disertai dengan dahak, berwarna kuning kehijauan, dengan

riwayat bercampur dengan darah

 Demam telah dirasakan sejak kurang lebih satu minggu sebelum masuk

rumah sakit. Demam tidak tinggi, tidak menggigil, dan tidak disertai

dengan keringat banyak.

 Pasien mengalami penurunan berat badan sebanyak kurang lebih 10 kg

dalam dua bulan terakhir

 Riwayat mual ada, muntah tidak ada. Riwayat muntah darah pada satu

minggu sebelum masuk rumah sakit kurang lebih sebanyak 3-4 gelas air

mineral.

 Pasien pucat sejak kurang lebih satu minggu yang lalu

 Pasien juga mengeluhkan mudah letih

 Perut membuncit sejak dua bulan sebelum masuk rumah sakit dan telah

dilakukan tapping cairan di perut dan diperoleh cairan sebanyak 5 liter.

 Pasien dengan riwayat penyakit pada hati pada kurang lebih 1 tahun

yang lalu

 Riwayat BAB hitam pada lima hari sebelum masuk RS. BAB seperti

aspal, konsistensi lunak.

 BAK pekat seperti teh pada saat masuk rumah sakit (+)

c. Riwayat Penyakit dahulu:

 Riwayat hipertensi tidak ada

 Riwayat DM tidak ada

 Riwayat sakit kuning disangkal


d. Riwayat penyakit keluarga:

 Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang serupa seperti

pasien.

e. Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan

 Pasien seorang buruh kerja

III. Pemeriksaan Fisik

a. Umum

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Komposmentis kooperatif

Keadaan Gizi : Sedang

Tekanan darah : 90/70 mmHg

Nadi : 85 kali/menit,kuat

Nafas : 26 kali/menit

Suhu : 37,8 0C

Kulit dan kuku : Ikterik (+/+), palmar eritem (+/+)

Kelenjer getah bening : Tidak ada pembesaran

Kepala : Normochepal

Mata : Konjungtiva anemis (+/+)

sklera ikterik (+/+)

Telinga : tidak ada kelainan

Hidung : tidak ada kelainan

Tenggorokan : tidak ada kelainan

Gigi dan Mulut : caries (-)


Leher : JVP 5-2 cm H2O

Torak

Paru

Inspeksi : Normochest, pergerakan simetris,

Spider Nevi (+/-), Venektasi (-)

Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama, tetapi agak melemah pada

bagian basal paru

Perkusi : Kanan : sonor

Kiri : sonor

Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler, ronki+/+ setinggi RIC VI,

wheezing-/-

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial linea midclavikula sinistra

RIC V

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, bising (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Membuncit, venektasi (+), distensi (+)

Palpasi : nyeri tekan (+), Hepar teraba 5 jari bac dan 6 jari bpx, tepi

tumpul, bernodul, konsistensi keras, Undulasi (+), lien

tidak teraba.

Perkusi : Pekak, Shifting Dulnes (+)

Auskultasi : BU (+) normal


Alat Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan

Anus : tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas

Edema -/- , Refleks fisiologis +/+. Refleks Patologis -/-

IV. Pemeriksaan Laboratorium (10 Maret 2018)

Hb : 7,1 gr%

Leukosit : 17.320 /mm3

Trombosit : 391.000 /mm3

Hematokrit : 21 %

GDS : 72 mg/dl

Ureum : 47 mg/dl

Kreatinin : 0,6 mg/dl

Natrium : 123 mmol/L

Kalium : 3,7 mmol/L

Klorida Serum : 92 mmol/L

Kalsium : 101 mmol/L

SGOT/SGPT : 124 / 18

Albumin/globulin : 1,9 / 3,7

HbSAg : reaktif

Kesan : anemia sedang, leukositosis, hipoalubuminemia.

V. Pemeriksaan Radiologi

 Rongent Thoraks
Inspirasi kurang dalam. Tampak infiltrate minimal di perihilar

kedua lapangan paru.

Kesan : Bronkopneumonia

VI. Diagnosis Kerja

 Sirosis hepatis postnecrotic stadium dekompensata child pugh ? dengan

ensefalopati hepatikum grade I

 Hepatitis B kronik

 Hipoalbuminemia ec SH

 Hiponatremia ec hemolisis DD/ SIADH

 Anemia sedang ec perdarahan akut

 Hospital Acquired Pneumonia

VII. Terapi

 O2 3 L/menit via nasal kanul

 IVFD comafusin : triofusin 1:1 12 jam / kolf

 Levodopa 3x1 tab (PO)

 Lactulac syr 3 x 1o cc (PO)

 Spironolakton 1x100mg (PO)

 PCT 3x1000 mg (PO)

 Ciprofloxacin 2x500 mg (PO)

 N-asetil sistein 3x200 mg

 Nebu farbivent / 8 jam

 Inj cefepime 3 x 1 g (IV)

 Inj levofloxacin 1x500 mg (IV)

 IVFD NaCl 0,9% / 12 jam


BAB IV
DISKUSI

Sirosis merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronik setelah terjadinya
fibrosis hati yang berlangsung progresif dan ditandai dengan adanya kerusakan dari
struktur hati dan pembentukan nodulus regeneratif. Terjadinya sirosis dapat
mengganggu aliran darah intrahepatik dan pada keadaan lanjut secara bertahap
dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati. Perut yang membesar dapat disebabkan
oleh adanya cairan di dalam ronnga abdomen (asites), adanya massa di abdomen,
ataupun adanya pembesaran pada organ-organ yang ada dalam rongga abdomen.
Sekitar 81% asites disebabkan oleh sirosis. Sekitar 10-30% pasien sirosis dengan
asites dapat mengalami peritonitis bakterialis spontan, akibat migrasi bakteri lumen
usus ke nodus limfe mesentrika serta pengaruh penurunan sistem imun lokal yang
menimbulkan gejala, nyeri perut, demam, dan penurunan kesadaran.
Berdasarkan anamnesis pasien mengeluhkan BAB hitam sejak 2 hari
sebelum masuk RS. Hal ini terjadi karena adanya perdarahan yang terjadi di saluran
cerna bagian atas. Pada sirosis hepatis terjadi obstruksi aliran darah lewat hati yang
terjadi akibat adanya fibrotik yang mengakibatkan pembuluh darah kolateral dalam
sistem gastrointerstinal mengalirkan darah dari pembuluh portal ke dalam
pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Distensi pembuluh darah akan
membentuk varises atau hemoroid tergantung pada lokasinya. Karena fungsinya
bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan tinggi akibat sirosis, maka
pembuluh darah ini akan mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan.
Penderita dapat mengalami hemoragi massif dan ruptur varises pada esofagus
(muntah darah) dan pada lambung (BAB hitam). Pasien juga sudah dikenal dengan
sirosis hepatis yang memperkuat dugaan BAB hitam akibat pecahnya varises
esophagus.
Pasien juga mengeluhkan perut yang membesar sejak 6 bulan yang lalu.
Asites dapat terjadi karena hipertensi porta, hipoalbuminemia dan retensi air dan
garam. Asites pada kasus sirosis merupakan asites yang disebabkan oleh hipertensi
portal. Sesak nafas yang dirasakan pasien ini dapat berupa akibat dari penekanan
diafragma karena membesarnya abdomen.
Diagnosis sirosis hepatis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penumjang. Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien
mengalami BAB hitam 2 jari sebelum masuk rumah sakit, perut semakin
membuncit sejak 15 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat buang air kecil
berwarna seperti teh pekat ada. Pasien juga mengeluhkan adanya sesak yang
dirasakan sejak 2 minggu yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan asites serta udem tungkai. Hasil
labaratorium menunjukkan anemia, leukopenia, trombositopenia, dan peningkatan
ureum, sedangkan pemeriksaan faal hati belum dilakukan karena alat rusak.
Asites sebagai akibat dari kegagalan fungsi hepar dan juga sebagai
manifestasi dari hipertensi porta yang mengakibatkan terjadi perembesan carian ke
ektraseluler dan penumpukan cairan sehingga timbul asites. Hal ini dibuktikan
dengan pemeriksaan sifting dulness dan undulasi. Hasilnya menunjukkan positif
asites. Asites terjadi pada pasien sirosis terjadi akibat hipertensi porta dan
vasodilatasi splanknikus yang akan berdampak pada: 1) ekstravasasi cairan ke
rongga peritonium secara langsung, 2) aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
sehingga terjadi vasokonstriksi arteri renalis dan retensi natrium.
Penatalaksanaan yang terpenting adalah mencegah terjadinya komplikasi
lebih lanjut karena penyakit ini bersifat irreversible. Injeksi vit K diberikan untuk
membantu mengatasi perdarahan yang terjadi sehingga dapat menghindari
terjadinya penurunan Hb yang berat. Infus aminofusin hepar diberikan sebagai
nutrisi essensial secara parenteral pada pasien dengan gangguan fungsi hati kronik
yang berat.
Pada pasien juga diberikan lactulac. Lactulac dapat bermanfaat untuk
menjadikan feses pasien menjadi lunak sehingga pencernaannya oleh bakteri usus
lebih cepat. Proses pencernaan makanan oleh bakteri di usus akan menghasilkan
kadar ureum yang tinggi sehinngameninggkatkan resiko terjadinya enchepalopahty
hepatikum. N Acetyl Systein diberikan untuk mencegah pasien tidak batuk terlalu
kuat sehingga menurunkan resiko rupturnya varises pada pembuluh darah
gastrointestunal bagian bawah sehingga mengakibatkan perdarahan pada pasien.
Sedangkan spironolakton diberikan sebagai diuretik untuk mengurangi asites pada
pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tsao GG, Lim J, 2009. Management and treatment of patients with


cirrhosis and portal hypertension: recommendations from the department
of veterans affairs hepatitis C resource center program and the national
hepatitis C program. American Journal of Gastroenterology; 104: 1802-
92.
2. Nurdjanah, S. 2009. Sirosis hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Vol I Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing, 668-73.
3. Lindseth, G.N. 2013. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas.
Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 6,
Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 472-515.
4. Sofwanhadi, Rio. 2012. Anatomi Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Hati. Jakarta: CV Sagung Seto, hal 1-4.
5. Sloane, Ethel. 2004. Anatom dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 281-298.
6. Nurdjanah, S. 2014. Sirosis Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
edisi 6, jilid 2. Siti Setiati (Eds.). Jakarta: Internal publishing, hal 1978-
1983.
7. Starr SP dan Raines D. Cirrhosis: diagnosis, management, and prevention.
2011. American Family Physician; 84(12): 1353-9.
8. Al-Hijjah F. 2015. Gambaran jumlah trombosit pada pasien sirosis hati
dengan perdarahan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Skripsi. Fakultas
Kedokteran, Universitas Andalas, Padang.
9. Shackel, N.A., Patel, K., dan McHutchison, J. Cirrhosis. In Genomic and
Personalized Medicine. Geoffrey S. Ginsburg USA: Academic Press,
935954.
10. Pinzani, M, Roselli, M, Zuckermann, M. 2011. Liver Cirrhosis. Best
Practise & Research Clinical Gastroenterology, 25: 281-90.
11. Amirudin, Rifai. 2012. Fibrosis Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Hati. Jakarta: CV Sagung Seto, 341-45.
12. Klarisa C, Liwang F, Hasan I. Sirosis hepatis. In: Tanto C, Liwang F,
Hanifati S, Pradipta EA, editors. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. 4th
edition. Jakarta: Media Aesculapius; 693-9.

Anda mungkin juga menyukai