Oleh :
KELOMPOK 8
1. Aprilia 17111024110003
2. Auliya Fitri 17111024110021
3. Dwi Cahyo Ismidiyanto 17111024110034
4. Mochammad Arif Yudhiantoro 17111024110062
5. Nur Hasanah 17111024110084
6. Priti 17111024110092
7. Yudistira Fahry Mahardika 17111024110121
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
i
kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena hanya dengan rahmat dan
petunjuk-Nya lah kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini tentang
“Konseling pada Klien dengan HIV” dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
iii
iv
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Konseling
Konseling ialah interaksi yang (a) terjadi antara dua individu yang
masing-masing disebut konselor dan klien; (b) diadakan dalam suasana
professional; (c) diciptakan dan dikembangkan sebagai alat untuk
memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien.(Pepinsky dan
Pepinsky dalam Amti dan Marjohan, 1992 : 4)
v
Definisi konseling di atas menekankan bahwa interaksi yang terjalin
antara konselor dan klien harus dilakukan secara professional untuk
memudahkan perubahan tingkah laku klien. Demikian juga yang
dikemukakan oleh Tolbert dalam definisinya berikut ini:
Sofyan S. Willis (2004: 18) menyatakan bahwa dalam era global dan
pembangunan, konseling lebih menekankan pada pengembangan potensi
individu yang terkandung dalam dirinya, yang meliputi aspek intelektual,
afektif, sosial, emosional, dan religius. Sehingga individu akan berkembang
dengan nuansa yang lebih bermakna, harmonis, sosial, dan bermanfaat. Maka
definisi konseling yang antisipatif sesuai tantangan pembangunan adalah:
vi
diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Suasana
hubungan konseling ini meliputi penggunaan wawancara untuk memperoleh
dan memberikan berbagai informasi, melatih atau mengajar, meningkatkan
kematangan dan memberikan bantuan melalui pengambilan keputusan dan
usaha-usaha penyembuhan (terapi).
vii
sebagai konseling).
d. Mendengarkan merupakan suatu hal yang berada dalam konseling
tetapi tidak semua konseling adalah mendengarkan.
e. Konseling dilaksanakan dalam suasana hubungan pribadi antara
konselor, dan klien. Hasil pembicaraan itu bersifat rahasia.
Lebih jauh Pietrofesa (Nurihsan, 2001 : 12) menunjukkan sejumlah
ciri-ciri konseling professional sebagai berikut :
a. Konseling merupakan suatu hubungan professional yang diadakan
oleh seorang konselor yang sudah dilatih untuk pekerjaannya itu.
2. Tujuan Konseling
viii
kemauan-kemauan konselor sampai pada masalah pengambilan keputusan,
pengembangan kesadaran, pengembangan pribadi, penyembuhan, dan
penerimaan diri sendiri. (Thompson & Rudolf dalam Priyatno & Amti, 1994 :
114).
a. Perubahan perilaku
ix
c. Pemecahan masalah
d. Keefektifan personal
e. Pengambilan keputusan
x
mengestimasi konsekuensikonsekuensi yang mungkin terjadi. Ia juga
belajar memperhatikan nilai-nilai dan ikut mempertimbangkan nilai-nilai
yang dianutnya secara sadar dalam pengambilan keputusan. Adapun
Myers (Priyatno & Anti, 1994 : 114) mengemukakan bahwa
pengembangan yang mengacu pada perubahan positif pada individu
merupakan tujuan dari semua upaya bimbingan dan konseling.
a. Kondisi-kondisi Eksternal
1) Penataan fisik
2) Bahasa non-verbal
xi
berkomunikasi), kinesics (bahasa isyarat badan, muka, mata),
chronemics (persepsi tentang waktu), paralanguage (nada suara),
silence (arti diam), haptics (sentuhan fisik), cara berpakaian dan
penampilan, olfactics (komunikasi melalui indera penciuman),
oculesics (isyarat mata). Dalam konseling lintas-budaya, komunikasi
nonverbal bisa menjadi sumber kesalahan komunikasi atau justru
memperlancarnya bila dipahami dengan baik (Supriadi, 2001 :
17-18).
3) Privacy
b. Kondisi-kondisi Internal
1) Rapport
xii
adalah suatu hubungan (relationship) yang ditandai dengan
keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik-menarik.
Rapport dimulai dengan persetujuan, kesejajaran, kesukaan, dan
persamaan. Jika sudah terjadi rapport dalam hubungan konseling,
berarti hubungan tersebut kondusif sekali bagi keterbukaan klien.
Klien telah mulai membuka selubung resistensinya dan
keengganannya, serta memasuki keterbukaan (disclosure).
2) Empathy (Empati)
3) Genuineness (Keaslian/Kejujuran)
xiii
Dasar dari semua keterampilan konselor adalah attentiveness.
Perhatian membutuhkan keterampilan mengamati dan
mendengarkan yang dengan itu konselor mengetahui dan mengerti
inti, isi, dan apa yang dirasakan oleh klien. Informasi-informasi
yang terkumpul dapat digunakan dalam hubungan yang membantu,
sewaktu klien menyadari bahwa dia diterima dalam hubungan
konseling.
c. Karakteristik Konseli/Klien
d. Karakteristik Konselor
4. Fungsi Konseling
xiv
a. Fungsi Pemahaman
Yang pertama dan paling awal harus dilakukan oleh konselor adalah
mengetahui siapa dan bagaimana individu yang menjadi kliennya itu.
Pemahaman yang sangat perlu dihasilkan oleh pelayanan konseling
adalah pemahaman tentang diri klien beserta permasalahannya oleh klien
sendiri dan oleh pihak-pihak yang akan membantu klien, serta
pemahaman tentang lingkungan klien.
b. Fungsi Pencegahan
c. Fungsi Pengentasan/Perbaikan
xv
d. Fungsi Pemeliharaan dan Pengembangan
5. Prinsip Konseling
Prinsip merupakan paduan hasil kajian teoritik dan telaah lapangan yang
digunakan sebagai pedoman pelaksanaan sesuatu yang dimaksudkan. Dalam
pelayanan konseling prinsipprinsip yang digunakan bersumber dari kajian
filosofis, hasil-hasil penelitian dan pengalaman praktis tentang hakikat
manusia, perkembangan dan kehidupan manusia dalam konteks sosial
budayanya, pengertian, tujuan, fungsi, dan proses penyelenggaraan
konseling.
xvi
lainnya. Konseling melayani semua individu tanpa memandang umur,
jenis kelamin, suku, agama, dan status sosial ekonomi. Bimbingan dan
konseling berurusan dengan pribadi dan tingkah laku individu yang unik
dan dinamis. Bimbingan dan konseling memperhatikan sepenuhnya
tahap dan berbagai aspek perkembangan individu dan memberikan
perhatian utama kepada perbedaan individual yang menjadi orientasi
pokok pelayanannya.
xvii
Berkaitan dengan pelaksanaan layanan, bimbingan dan konseling
harus diarahkan untuk pengembangan individu yang akhirnya mampu
membimbing diri sendiri dalam menghadapi permasalahan. Dalam
proses bimbingan dan konseling keputusan yang diambil dan hendak
dilakukan oleh individu hendaknya atas kemauan individu itu sendiri,
bukan karena kemauan atas desakan dari pembimbing atau pihak lain.
Permasalahan individu harus ditangani oleh tenaga ahli dalam bidang
yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.
xviii
masalah, mencapai keefektivan pribadi, dan pengambilan keputusan
(Shertzer and Stone dalam Nurihsan, 2001: 14-15)
Seperti halnya orang lain, klien HIV pun banyak menghadapi masalah
yang timbul berkenaan dengan status dirinya atau yang lainnya. Pemecahan
masalah berkaitan dengan kemampuan klien untuk mengenal,
mendefinisikan, dan mencari solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang
timbul secara sehat dan efektif.
B. Konseling HIV/AIDS
1. Pengertian HIV dan AIDS
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah suatu virus yang
menyerang sel-sel limposit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem kekebalan
xix
tubuh manusia. Sedangkan AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune
Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya tidak diturunkan, tapi ditularkan dari
satu orang ke orang lainnya; “Immune” adalah sistem daya tangkal tubuh
terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan
“Syndrome” adalah kumpulan tanda atau gejala penyakit. Sehingga AIDS
dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit yang
ditandai dengan berkurangnya daya tahan tubuh atau defisiensi imun yang
berat.
AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV. Penyakit yang membuat
orang tak berdaya dan mengakibatkan kematian yang disebabkan oleh HIV.
Penurunan daya tahan tubuh akibat kerusakan sistem imun oleh HIV samapai
pada tingkat timbulnya AIDS memerlukan waktu beberapa tahun. Orang yang
terinfeksi HIV dapat tetap sehat dan tidak menunjukkan gejala apapun untuk
jangka waktu cukup panjang bahkan hingga 10 tahun sehingga banyak orang
yang tidak menyadari atau mengetahui apakah dirinya sudah terinfeksi HIV
atau tidak. Namun pada saat itu, orang ini dapat dengan mudah menularkan
infeksinya kepada orang lain. Kepastian atas status HIV positif pada diri
seseorang hanya bisa dipastikan melalui pemeriksaan laboratorium.
2. Penularan HIV/AIDS
HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang telah tertular,
walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakit.
HIV hanya bisa ditularkan bila terjadi kontak langsung dengan cairan tubuh
atau darah. Dosis virus memegang peranan penting. Makin besar jumlah
virusnya makin besar kemungkinan infeksinya. Jumlah virus yang banyak
ada dalam darah, sperma, cairan vagina, serviks dan cairan otak. Dalam saliva
(air liur/ludah), air mata, urin, keringat dan air susu hanya ditemukan sedikit
sekali. (Wibowo, 2002 : 23).
Berdasarkan sifat dari virus HIV tersebut, HIV hanya dapat ditularkan
melalui :
a. Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral maupun anal dengan
xx
seorang pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling umum terjadi,
meliputi 80 – 90 % dari total kasus sedunia.
b. Kontak langsung dengan darah, produk darah, transplantasi organ
dan jaringan atau jarum suntik:
1) Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya
sangat tinggi, sampai lebih dari 90 %. Ditemukan sekitar 3 –
5 % dari total kasus sedunia.
2) Pemakaian jarum suntik yang tidak steril atau pemakaian
bersama jarum suntik dan sempritnya pada para pecandu
narkotika suntik. Risikonya sekitar 0,5 – 1 % dan telah terdapat
5 – 10 % dari total kasus sedunia.
3) Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas
kesehatan. Risikonya sekitar kurang dari 0,5 % dan telah
terdapat kurang dari 0,1 % dari total kasus sedunia.
c. Secara vertikal dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, saat
melahirkan ataupun setelah melahirkan. Risiko sekitar 25 – 40 %,
terdapat < 0,1 % dari total kasus sedunia. HIV tidak ditularkan
melalui kontak sosial, seperti bersentuhan dengan pengidap HIV,
berjabat tangan, berciuman biasa, bersin dan batuk, melalui
makanan dan minuman, berenang dalam kolam yang sama,
menggunakan WC bersama pengidap HIV. Selain itu HIV juga tidak
ditularkan melalui gigitan nyamuk dan serangga lainnya.
Perilaku berisiko tinggi yang rentan terinfeksi HIV antara lain:
a. Wanita dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan dalam melakukan
hubungan seksual, beserta pasangannya.
b. Wanita dan laki-laki tuna susila, beserta pelanggan mereka
c. Wanita dan laki-laki yang mempunyai pasangan dengan riwayat
yang tidak diketahui dan melakukan hubungan seksual yang tidak
aman (hubungan seksual tanpa menggunakan kondom)
d. Orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak wajar,
seperti hubungan seksual melalui dubur (anal) dan mulut (oral)
xxi
misalnya pada homoseksual dan biseksual
e. Menggunakan narkotika atau alkohol pada situasi yang
memungkinkan terjadinya hubungan seksual
f. Penyalahguna narkotika dengan suntikan, yang menggunakan jarum
suntik secara bersama (bergantian)
xxii
4. Konseling HIV/AIDS
xxiii
Bagan 2.1 Hubungan antara konseling dan testing HIV
Tes HIV senantiasa didahului oleh konseling pra tes. Konseling pra
tes individual dilaksanakan untuk membantu seseorang dalam membuat
keputusan yang baik tentang apakah akan menjalani tes HIV atau tidak.
Konseling pra tes HIV membantu klien menyiapkan diri untuk
pemeriksaan darah HIV, memberikan pengetahuan akan implikasi
terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang
cara menyesuaikan diri dengan status HIV. Konseling juga dimaksudkan
untuk memberikan pengetahuan yang benar dan meluruskan pemahaman
yang keliru tentang HIV/AIDS dan berbagai mitosnya.
xxiv
HIV karena berbagai alasan termasuk perlakuan diskriminasi dan
stigmatisasi masyarakat dan keluarga. Karena itu layanan VCT
senantiasa melindungi klien dengan menjaga kerahasiaan. Peletakan
kepercayaan klien pada konselor merupakan dasar utama bagi terjaganya
rahasia dan terbinanya hubungan yang baik. Penggunaan keterampilan
konseling mikro sangat penting untuk membina rapport dan
menunjukkan adanya layanan yang berfokus pada klien.
Bentuk dari konseling pasca tes tergantung dari hasil tes. Jika hasil
tes positif, konselor menyampaikan hasil tes dengan cara yang dapat
diterima klien, secara halus dan manusiawi, serta memperhatikan kondisi
individu klien dan budaya setempat. Ketika hasil tes positif, konselor
harus:
xxv
mendiskusikan bagaimana mereka akan menghadapi hal itu,
termasuk mengidentifikasi dukungan apa yang tersedia di rumah.
xxvi
terinfeksi HIV. Konselor harus menganjurkan untuk mempertimbangkan
datang kembali dan tes ulang setelah 3-6 bulan. Selain itu, konselor
dapat membantu klien dalam memformulasikan strategi lain agar tetap
dalam hasil tes yang negatif.
xxvii
Gejala atau kecemasan yang membawa seseorang memutuskan untuk tes status HIV
Konseling pra tes mencakup penilaian kondisi perilaku berisiko individu dan
kondisi psikososial, penyediaan informasi faktual tertulis ataupun lisan
xxviii
5. Alasan dan Tujuan Konseling HIV/AIDS
a. Pencegahan HIV
xxix
umum. Konseling HIV/AIDS bertujuan untuk :
xxx
pasangan, kawan, atau penghasilan, rumah dan pekerjaan.
Oleh karena itu, dari sisi kesehatan masyarakat VCT sduah mendesak
untuk dipandang sebagai penghormatan atas hak asasi manusia, karena
tingginya prevalensi infeksi HIV merupakan hal serius yang mempunyai
dampak terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat demikian luasnya,
termasuk kesehatan reproduktif, kehidupan seksual dan keluarga, kehidupan
sosial dan produktivitas di masyarakat.
xxxi