Anda di halaman 1dari 31

KEPERAWATAN HIV-AIDS

Konseling pada Klien dengan HIV

Oleh :
KELOMPOK 8
1. Aprilia 17111024110003
2. Auliya Fitri 17111024110021
3. Dwi Cahyo Ismidiyanto 17111024110034
4. Mochammad Arif Yudhiantoro 17111024110062
5. Nur Hasanah 17111024110084
6. Priti 17111024110092
7. Yudistira Fahry Mahardika 17111024110121

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR


FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN FARMASI
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2019

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.

Rasa Syukur Alhamdulillah yang sedalam-dalamnya kami panjatkan

i
kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena hanya dengan rahmat dan
petunjuk-Nya lah kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini tentang
“Konseling pada Klien dengan HIV” dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang
akan datang.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Samarinda, 20 September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................... Error! Bookmark not defined.

A.Latar belakang................................................. Error! Bookmark not defined.

B.Rumusan masalah ............................................... Error! Bookmark not defined.

C.Tujuan.............................................................. Error! Bookmark not defined.

BAB II PEMBAHASAN ...................................... Error! Bookmark not defined.

A.Pengertian ....................................................... Error! Bookmark not defined.

B.Etiologi ................................................................ Error! Bookmark not defined.

C.Klasifikasi ....................................................... Error! Bookmark not defined.

D.Manifestasi Klinis ............................................... Error! Bookmark not defined.

E.Patofisiologi .................................................... Error! Bookmark not defined.

F. Komplikasi .......................................................... Error! Bookmark not defined.

G.PEMERIKSAAN PENUNJANG .................... Error! Bookmark not defined.

H.Penatalaksanaan .............................................. Error! Bookmark not defined.

I.Asuhan Keperawatan ............................................ Error! Bookmark not defined.

BAB III PENUTUP .............................................. Error! Bookmark not defined.

A.Kesimpulan ..................................................... Error! Bookmark not defined.

B. Saran ................................................................... Error! Bookmark not defined.

Daftar Pustaka ....................................................... Error! Bookmark not defined.

iii
iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Konseling

1. Pengertian Konseling

Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa Latin, yaitu


“consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan
“menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon
istilah konseling berasal dari kata “sellan” yang berarti “menyerahkan” atau
“menyampaikan”.

Konseling merupakan bagian dari bimbingan baik sebagai pelayanan


maupun sebagai teknik. Konseling merupakan inti kegiatan bimbingan secara
keseluruhan dan lebih berkenaan dengan masalah individu secara pribadi.
Konseling dimaksudkan sebagai pemberian bantuan kepada individu dalam
memecahkan masalahnya secara perorangan dalam suatu pertalian hubungan
tatap muka.

Tidak mudah mendefinisikan istilah konseling secara menyeluruh,


karena setiap ahli memiliki batasan sendiri sesuai dengan landasan filsafiah
yang mereka anut. Selain itu, istilah konseling pun mengalami banyak
perubahan dan perkembangan.

Berikut ini akan diuraikan sejumlah pengertian konseling yang


dikemukakan oleh para ahli.

Konseling ialah interaksi yang (a) terjadi antara dua individu yang
masing-masing disebut konselor dan klien; (b) diadakan dalam suasana
professional; (c) diciptakan dan dikembangkan sebagai alat untuk
memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien.(Pepinsky dan
Pepinsky dalam Amti dan Marjohan, 1992 : 4)

v
Definisi konseling di atas menekankan bahwa interaksi yang terjalin
antara konselor dan klien harus dilakukan secara professional untuk
memudahkan perubahan tingkah laku klien. Demikian juga yang
dikemukakan oleh Tolbert dalam definisinya berikut ini:

Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka


antara dua orang, dalam mana konselor melelui hubungan itu dan
kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi
belajar dalam mana konseli dibantu untuk memahami diri sendiri,
keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaan masa depan yang dapat ia
ciptakan dengan menggunakan potensi-potensi yang dimilikinya, demi untuk
kesejahteraan pribadi maupun masyarakat, dan lebih jauh dapat belajar
bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan
kebutuhan-kebutuhan yang akan datang. (Tolbert dalam Prayitno dan Amti,
1994 : 101-102)

Sofyan S. Willis (2004: 18) menyatakan bahwa dalam era global dan
pembangunan, konseling lebih menekankan pada pengembangan potensi
individu yang terkandung dalam dirinya, yang meliputi aspek intelektual,
afektif, sosial, emosional, dan religius. Sehingga individu akan berkembang
dengan nuansa yang lebih bermakna, harmonis, sosial, dan bermanfaat. Maka
definisi konseling yang antisipatif sesuai tantangan pembangunan adalah:

Konseling adalah upaya bantuan yang diberikan seorang pembimbing


yang terlatih dan berpengalaman, terhadap individu-individu yang
membutuhkannya, agar individu tersebut berkembang potensinya secara
optimal, mampu mengatasi masalahnya, dan mampu menyesuaikan diri
terhadap lingkungan yang selalu berubah.

Sementara itu, pakar konseling yang lain, Robinson, merumuskan


definisi konseling dalam Surya (1988 : 24) berikut ini:

Istilah konseling mencakup semua bentuk hubungan antara dua orang di


mana yang seorang yaitu klien, dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan

vi
diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Suasana
hubungan konseling ini meliputi penggunaan wawancara untuk memperoleh
dan memberikan berbagai informasi, melatih atau mengajar, meningkatkan
kematangan dan memberikan bantuan melalui pengambilan keputusan dan
usaha-usaha penyembuhan (terapi).

Dalam definisi di atas diungkapkan berbagai metoda dalam melakukan


konseling, diantaranya wawancara dan pemberian informasi. Usaha
pemberian bantuan itu harus dilakukan dengan memperhatikan unsure
manusiawi dan keunikan dari tiap individu. Hal ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh Sukardi (2002 : 22) yang mendefinisikan konseling
sebagai berikut.

Konseling merupakan suatu upaya bantuan yang dilakukan empat mata


atau tatap muka antara konselor dan klien yang berisi usaha yang laras, unik,
human (manusiawi), yang dilakukan dalam suasana keahlian dan yang
didasarkan atas norma-norma yang berlaku, agar klien memperoleh konsep
diri dan kepercayaan diri sendiri dalam memperbaiki tingkah lakunya pada
saat ini dan mungkin pada masa yang akan datang.

Hakikat konseling menurut Patterson (Nurihsan, 2001 : 10),


menampilkan ciri-ciri di bawah ini:

a. Konseling adalah usaha untuk menimbulkan perubahan tingkah laku


secara sukarela pada diri klien (klien ingin mengubah tingkah
lakunya dan meminta bantuan kepada konselor).
b. Maksud dan tujuan konseling adalah menyediakan kondisi-kondisi
yang memudahkan terjadinya perubahan secara sukarela (kondisi
yang memberi hak individu untuk membuat perilaku, untuk tidak
tergantung pada pembimbing).
c. Usaha-usaha untuk memudahkan terjadinya perubahan tingkah laku
dilakukan melalui wawancara (walaupun konseling selalu dilakukan
dalam wawancara, tetapi tidak semua wawancara dapat diartikan

vii
sebagai konseling).
d. Mendengarkan merupakan suatu hal yang berada dalam konseling
tetapi tidak semua konseling adalah mendengarkan.
e. Konseling dilaksanakan dalam suasana hubungan pribadi antara
konselor, dan klien. Hasil pembicaraan itu bersifat rahasia.
Lebih jauh Pietrofesa (Nurihsan, 2001 : 12) menunjukkan sejumlah
ciri-ciri konseling professional sebagai berikut :
a. Konseling merupakan suatu hubungan professional yang diadakan
oleh seorang konselor yang sudah dilatih untuk pekerjaannya itu.

b. Dalam hubungan yang bersifat professional itu, klien mempelajari


keterampilan pengambilan keputusan, pemecahan masalah, serta
tingkah laku atau sikap-sikap baru.

c. Hubungan professional dibentuk berdasarkan kesukarelaan antara


klien dan konselor.

Berdasarkan definisi dan pengertian konseling yang telah dikemukakan


sebelumnya, dapat dirumuskan dengan singkat bahwa konseling adalah
proses pemberian bantuan yang dilakukan dalam hubungan tatap muka antara
seorang ahli (yaitu orang yang telah mengikuti pendidikan atau pelatihan
khusus dan terlatih secara baik dalam bidang bimbingan dan
konseling-disebut konselor) dan seorang individu yang sedang mengalami
suatu permasalahan (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah
yang dialami oleh klien.

2. Tujuan Konseling

Sejalan dengan perkembangan konsepsi bimbingan dan konseling, maka


tujuan konseling pun mengalami perubahan, dari yang sederhana sampai ke
yang lebih komprehensif.

Tujuan konseling dapat terentang dari sekadar klien mengikuti

viii
kemauan-kemauan konselor sampai pada masalah pengambilan keputusan,
pengembangan kesadaran, pengembangan pribadi, penyembuhan, dan
penerimaan diri sendiri. (Thompson & Rudolf dalam Priyatno & Amti, 1994 :
114).

Moh. Surya (1988 : 119-123) mengungkapkan bahwa tujuan dari


konseling adalah: a) perubahan perilaku; b) kesehatan mental yang positif; c)
pemecahan masalah; d) keefektivan personal; dan e) pengambilan keputusan.

a. Perubahan perilaku

Hampir semua pernyataan tentang konseling menyatakan bahwa


tujuan konseling ialah menghasilkan perubahan pada perilaku yang
memungkinkan klien hidup lebih produktif. Rogers (Shertzer & Stone,
1980) menunjukkan bahwa salah satu hasil konseling adalah bahwa
pengalaman-pengalaman tidak dirasa menakutkan, kecemasan berkurang,
cita-citanya nampak lebih harmonis dengan persepsi tentang dirinya dan
nampak lebih berhasil. Ia lebih dapat menyesuaikan diri dan realistik
terhadap kehidupan.

b. Kesehatan mental yang positif

Salah satu tujuan konseling adalah pemeliharaan dan pencapaian


kesehatan mental yang positif. Jika hal itu tercapai maka individu akan
mencapai integrasi, penyesuaian, dan identifikasi positif dengan yang
lainnya. Ia belajar menerima tanggung jawab, berdiri sendiri, dan
memperoleh integrasi perilaku. Thorne (Shertzer & Stone, 1980)
mengatakan bahwa tujuan utama konseling adalah menjaga kesehatan
mental dengan mencegah atau membawa ketidakmampuan
menyesuaikan diri atau gangguan mental. Sedangkan Patterson
menyatakan bahwa karena tujuan konseling adalah pemeliharaan,
pemulihan kesehatan mental yang baik atau harga diri, maka situasi
konseling haruslah ditandai dengan tidak adanya ancaman.

ix
c. Pemecahan masalah

Tujuan konseling kadang-kadang dianggap sebagai pemecahan


masalah yang dihadapkan dalam hubungan konseling. Krumboltz
(Shertzer & Stone, 1980) menyatakan bahwa alasan utama eksistensi
konseling didasarkan pada fakta bahwa orang-orang mempunyai
masalahmasalah yang tidak sanggup mereka pecahkan sendiri. Mereka
datang pada konselor karena telah percaya bahwa konselor akan dapat
membantu mereka untuk memecahkan masalahnya.karena itu tujuan
utama konseling adalah membantu setiap klien dalam memecahkan
masalah yang dihadapinya.

d. Keefektifan personal

Erat hubungannya dengan pemeliharaan kesehatan mental yang baik


dan perubahan tingkah laku adalah tujuan meningkatkan keefektifan
personal. Blocher (Shertzer & Stone, 1980) memberikan batasan
peribadi yang efektif sebagai berikut. Pribadi yang efektif adalah yang
sanggup memperhitungkan diri, waktu dan tenaganya, dan bersedia
memikul resiko-resiko ekonomis, psikologis dan fisik. Ia nampak
memiliki kompetensi untuk mengenal, mendefinisikan dan memecahkan
masalah-masalah. Ia nampak agak konsisten terhadap dan dalam situasi
perananannya yang khas. Ia nampak sanggup berfikir secara berbeda dan
orisinil, yaitu dengan cara-cara yang kreatif. Akhirnya ia sanggup
mengontrol dorongan-dorongan dan memberikan respons-respons yang
layak terhadap frustasi, permasalahan, dan ambiguitas.

e. Pengambilan keputusan

Bukan tugas konselor untuk menentukan keputusan yang harus


diambil oleh klien atau memilihkan alternatif tindakan baginya. Justru
konseling harus memungkinkan individu mengambil
keputusan-keputusan dalam hal-hal yang sangat penting bagi dirinya dan
ia harus tahu mengapa dan bagaimana cara ia melakukannya. Ia belajar

x
mengestimasi konsekuensikonsekuensi yang mungkin terjadi. Ia juga
belajar memperhatikan nilai-nilai dan ikut mempertimbangkan nilai-nilai
yang dianutnya secara sadar dalam pengambilan keputusan. Adapun
Myers (Priyatno & Anti, 1994 : 114) mengemukakan bahwa
pengembangan yang mengacu pada perubahan positif pada individu
merupakan tujuan dari semua upaya bimbingan dan konseling.

3. Unsur-unsur Pokok yang Menunjang Konseling

Kelancaran konseling ditunjang oleh sejumlah unsur tertentu yang


dibedakan atas kondisi eksternal dan kondisi internal. Kondisi lain berkaitan
dengan karakteristik klien dan konselor. Kondisi-kondisi ini hendaknya
diperhatikan agar tercapai proses konseling yang efektif.

a. Kondisi-kondisi Eksternal

1) Penataan fisik

Proses konseling dapat berjalan secara efektif bila dilakukan


dalam suasana yang nyaman dan menyenangkan. Ruangan atau
tempat untuk konseling haruslah tertata dengan baik. Dapat
membuat klien merasa aman dan nyaman. Tidak terganggu oleh
keributan dan benda-benda yang dapat mengganggu atau
mengalihkan perhatian klien dari pokok pembicaraan dalam
konseling.

2) Bahasa non-verbal

Banyak perilaku budaya yang terlihat dalam relasi konseling


dan mempengaruhi efektivitas konseling. Termasuk
ungkapan-ungkapan non-verbal yang biasa muncul. Namun satu hal
yang belum banyak disadari ialah betapa bahasa-bahasa non-verbal
itu sangat kental bermuatan budaya. Bahasa non-verbal dinyatakan
dalam berbagai ekspresi: proxemics (batas-batas jarak untuk

xi
berkomunikasi), kinesics (bahasa isyarat badan, muka, mata),
chronemics (persepsi tentang waktu), paralanguage (nada suara),
silence (arti diam), haptics (sentuhan fisik), cara berpakaian dan
penampilan, olfactics (komunikasi melalui indera penciuman),
oculesics (isyarat mata). Dalam konseling lintas-budaya, komunikasi
nonverbal bisa menjadi sumber kesalahan komunikasi atau justru
memperlancarnya bila dipahami dengan baik (Supriadi, 2001 :
17-18).

3) Privacy

Suatu hal yang penting berkaitan dengan pengaturan fisik


adalah kelesuasaan pribadi. Bila perasaan percaya klien harus
dilindungi, persaan aman yang berhubungan dengan keleluasaan
pribadi tidak dapat diabaikan. Individu sebagai klien menginginkan
dan mempunyai hak yang bersifat pribadi seperti rahasia dirinya
untuk tidak didengar atau dilihat orang lain. American Personnel
and Guidance Association menyatakan dalam Code of Ethic mereka
bahwa “The counseling relationship and informations resulting
there from must be kept confidential consistent with the obligations
of the member as a professional person”. Dengan kode etik ini klien
mendapat jaminan kemerdekaan dirinya secara pribadi.

b. Kondisi-kondisi Internal

Kondisi-kondisi internal yang mempengaruhi proses konseling


diantaranya:

1) Rapport

Tujuan dari hubungan konseling adalah untuk dapat memenuhi


kebutuhan klien dan bukan untuk memenuhi kebutuhan konselor.
Untuk dapat mencapai tujuan konseling, maka dalam hubungan
konseling harus tercipta rapport antara klien dan konselor. Rapport

xii
adalah suatu hubungan (relationship) yang ditandai dengan
keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik-menarik.
Rapport dimulai dengan persetujuan, kesejajaran, kesukaan, dan
persamaan. Jika sudah terjadi rapport dalam hubungan konseling,
berarti hubungan tersebut kondusif sekali bagi keterbukaan klien.
Klien telah mulai membuka selubung resistensinya dan
keengganannya, serta memasuki keterbukaan (disclosure).

2) Empathy (Empati)

Empathy mempunyai makna sebagai suatu kesediaan untuk


memahami orang lain secara paripurna baik yang nampak maupun
yang terkandung khususnya dalam aspek perasaan, pikiran, dan
keinginan. Dengan berempati kita berusaha menempatkan diri kita
dalam suasana perasaan, pikiran, dan keinginan orang lain sedekat
mungkin. Dengan demikian kita tidak hanya memahami perasaan
orang lain akan tetapi mampu menghayati bagaimana perasaan kita
apabila berada dalam situasi orang lain. Secara psikologis, empati
dapat menunjang berkembangnya suasana hubungan yang didasari
atas saling pengertian, rasa diterima dan dipahami, serta kesamaan
diri.

3) Genuineness (Keaslian/Kejujuran)

Dalam komunikasi konseling konselor harus mampu


menunjukkan kejujuran dari apa yang diungkapkannya sehingga
dapat memberikan pesan secara obyektif. Dalam hal ini ia harus
mampu menyampaikan sesuatu secara terbuka tanpa harus
dimanipulasi. Berkomunikasi secara jujur dan asli merupakan
keterampilan konseling yang amat penting. Dengan keterampilan ini
konselor dapat menyatakan perasaannya mengenai perasaan klien
sedemikian rupa tanpa ada rasa ketersinggungan.

4) Attentiveness (penuh perhatian)

xiii
Dasar dari semua keterampilan konselor adalah attentiveness.
Perhatian membutuhkan keterampilan mengamati dan
mendengarkan yang dengan itu konselor mengetahui dan mengerti
inti, isi, dan apa yang dirasakan oleh klien. Informasi-informasi
yang terkumpul dapat digunakan dalam hubungan yang membantu,
sewaktu klien menyadari bahwa dia diterima dalam hubungan
konseling.

c. Karakteristik Konseli/Klien

Banyak faktor lain di luar proses konseling itu sendiri yang


berpengaruh pada proses konseling. Faktor-faktor itu antara lain:
pengalaman klien, latar belakang kebudayaannya, kondisi sosial
ekonomi dan lingkungan di mana klien itu tinggal, dan ekspektasinya
terhadap konselor.

d. Karakteristik Konselor

Karakteristik atau kualitas pribadi seorang konselor sangat


mempengaruhi proses konseling dan keefektivan konseling yang terjadi.
Sikap dan cara pendekatan konselor terhadap klien dan semua apa yang
dikerjakan dalam konseling berpengaruh kepada hubungan konseling
karena konselor adalah kunci pemrakarsa dan pengembang hubungan
konseling. Beberapa karakteristik kualitas kepribadian konseling yang
terkait dengan keefektivan konseling antara lain : 1) pengetahuan
mengenai diri sendiri (self knowledge), 2) kompetensi (competence), 3)
kesehatan psikologis yang baik, 4) dapat dipercaya, 5) kepercayaan atau
keyakinan (belief), dan 6) nilai-nilai (values).

4. Fungsi Konseling

Banyak ahli yang mengemukakan fungsi konseling dengan cara yang


berbeda. Fungsifungsi konseling tersebut dapat dikelompokkan menjadi
empat fungsi pokok, yaitu:

xiv
a. Fungsi Pemahaman

Yang pertama dan paling awal harus dilakukan oleh konselor adalah
mengetahui siapa dan bagaimana individu yang menjadi kliennya itu.
Pemahaman yang sangat perlu dihasilkan oleh pelayanan konseling
adalah pemahaman tentang diri klien beserta permasalahannya oleh klien
sendiri dan oleh pihak-pihak yang akan membantu klien, serta
pemahaman tentang lingkungan klien.

b. Fungsi Pencegahan

Dalam dunia kesehatan mental, pencegahan didefinisikan sebagai


upaya mempengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana atas
lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan dan kerugian sebelum
kesulitan atau kerugian itu benar-benar terjadi. (Horner & McElhaney
dalam Amti & Prayitno, 1999 : 203). Bagi seorang konselor professional
yang misi tugasnya dipenuhi dengan perjuangan untuk menyingkirkan
berbagai hambatan yang dapat menghalagi perkembangan individu,
upaya pencegahan merupakan bagian dari tugas kewajibannya yang
penting.

c. Fungsi Pengentasan/Perbaikan

Walaupun fungsi pencegahan dan pemahaman telah dilakukan,


namun masalah terkadang masih juga timbul. Di sinilah fungsi perbaikan
itu berperan, yaitu fungsi konseling yang akan menghasilkan
terpecahkannya atau teratasinya perbagai permasalahan yang dialami
klien. Proses pengentasan masalah dalam layanan konseling tidak
menggunakan unsure-unsur fisik di luar diri klien, tetapi menggunakan
kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri klien sendiri. Kekuatan yang
pada dasarnya sudah ada itu dibangkitkan, dikembangkan, dan
digabungkan untuk sebesarbesarnya dipakai menanggulangi masalah
yang ada.

xv
d. Fungsi Pemeliharaan dan Pengembangan

Fungsi pemeliharaan berarti memelihara segala sesuatu yang baik


yang ada pada diri individu, baik yang merupakan pembawaan maupun
hasil-hasil perkembangan yang telah dicapai. Pemeliharaan yang baik
tidak hanya sekadar mempertahakan agar hal-hal yang dimaksudkan
tetap utuh dan tidak rusak, melainkan juga mengusahakan agar hal-hal
tersebut bertambah baik, lebih menyenangkan, dan memiliki nilai
tambah daripada sebelumnya. Pemeliharaan yang demikian adalah
pemeliharaan yang yang membangun dan memperkembangkan. Oleh
karena itu fungsi pemeliharaan dan pengembangan tidak dapat
dipisahkan.

5. Prinsip Konseling

Prinsip merupakan paduan hasil kajian teoritik dan telaah lapangan yang
digunakan sebagai pedoman pelaksanaan sesuatu yang dimaksudkan. Dalam
pelayanan konseling prinsipprinsip yang digunakan bersumber dari kajian
filosofis, hasil-hasil penelitian dan pengalaman praktis tentang hakikat
manusia, perkembangan dan kehidupan manusia dalam konteks sosial
budayanya, pengertian, tujuan, fungsi, dan proses penyelenggaraan
konseling.

Rumusan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling pada umumnya


berkenaan dengan sasaran pelayanan, masalah klien, tujuan dan proses
penanganan masalah, program pelayanan, dan penyelenggaraan layanan.

a. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan sasaran pelayanan

Sasaran pelayanan konseling adalah individu-individu, baik


perorangan maupun kelompok. Individu-individu itu sangat bervariasi,
baik dalam hal umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, kedudukan,
pangkat dan jabatan, keterikatan terhadap lembaga, dan variasivariasi

xvi
lainnya. Konseling melayani semua individu tanpa memandang umur,
jenis kelamin, suku, agama, dan status sosial ekonomi. Bimbingan dan
konseling berurusan dengan pribadi dan tingkah laku individu yang unik
dan dinamis. Bimbingan dan konseling memperhatikan sepenuhnya
tahap dan berbagai aspek perkembangan individu dan memberikan
perhatian utama kepada perbedaan individual yang menjadi orientasi
pokok pelayanannya.

b. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan masalah individu

Secara ideal pelayanan konseling ingin membantu semua individu


dengan berbagai permasalahannya. Namun, karena keterbatasan yang
ada, pelayanan konseling hanya mampu menangani masalah klien secara
terbatas. Bidang konseling pada umumnya dibatasi hanya pada hal-hal
yang menyangkut pengaruh kondisi mental/fisik individu terhadap
penyesuaian dirinya, dan sebaliknya pengaruh lingkungan terhadap
kondisi mental dan fisik individu.

c. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan program pelayanan

Layanan konseling dapat dilaksanakan secara “insidental” maupun


terprogram. Pelayanan insidental diberikan kepada klien-klien yang
secara langsung datang kepada konselor untuk meminta bantuan.
Sedangkan untuk lembaga tempat konselor bertugas, perlu disusun suatu
program pelayanan. Program bimbingan dan konseling harus fleksibel
disesuaikan dengan kebutuhan individu, masyarakat dan kondisi
lembaga. Terhadap isi dan pelaksanaan program bimbingan dan
konseling perlu adanya penilaian yang teratur dan terarah.
Pengembangan program pelayanan bimbingan dan konseling ditempuh
melalui pemanfaatan yang maksimal dari hasil pengukuran dan penilaian
terhadap individu yang terlihat dalam proses pelayanan dan program
bimbingan dan konseling itu sendiri.

d. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan pelaksanaan layanan

xvii
Berkaitan dengan pelaksanaan layanan, bimbingan dan konseling
harus diarahkan untuk pengembangan individu yang akhirnya mampu
membimbing diri sendiri dalam menghadapi permasalahan. Dalam
proses bimbingan dan konseling keputusan yang diambil dan hendak
dilakukan oleh individu hendaknya atas kemauan individu itu sendiri,
bukan karena kemauan atas desakan dari pembimbing atau pihak lain.
Permasalahan individu harus ditangani oleh tenaga ahli dalam bidang
yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.

6. Efektivitas Layanan Konseling

Proses konseling yang intensional (mendalam) dan efektif akan


membantu klien untuk berkembang secara optimal. Sebaliknya jika proses
konseling berjalan tidak efektif dan kurang mendalam, maka sudah dapat
dipastikan akan gagal mencapai tujuan dan bahkan dapat merusak klien.

Keefektivan banyak dipengaruhi oleh berbagai variabel yang saling


berkaitan satu sama lain. Beberapa variabel tersebut diantaranya adalah :

a. Durasi (rentang waktu), hakekat, dan kualitas gangguan psikologis.

b. Motivasi orang dan kualitas dukungan lingkungan.

c. Derajat kesehatan yang dimiliki seseorang sebelum menyampaikan


masalah.

d. Derajat kesehatan mental seseorang pada saat dimulainya konseling.

e. Keterampilan umum konselor dan keterampilan khusus konselor


berkenaan dengan masalah tertentu.

f. Motivasi konselor dan suasana yang mampu dikreasikan oleh


konselor.

Indikator yang dapat digunakan dalam mengukur efektivitas konseling


adalah adanya perubahan perilaku, kesehatan mental yang positif, pemecahan

xviii
masalah, mencapai keefektivan pribadi, dan pengambilan keputusan
(Shertzer and Stone dalam Nurihsan, 2001: 14-15)

Dalam kaitannya dengan klien HIV/AIDS, perubahan perilaku lebih


diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup klien yang salah satunya
terlihat dalam perilaku atau pola-hidupnya sehari-hari yang beresiko untuk
menularkan virus HIV kepada orang lain. Kesehatan mental yang positif
dapat dicapai bila individu/klien mencapai integrasi, penyesuaian, dan
identifikasi positif atas status ke-HIV-annya. Ia belajar bertanggungjawab,
berdiri sendiri, dan memperoleh integrasi perilaku.

Seperti halnya orang lain, klien HIV pun banyak menghadapi masalah
yang timbul berkenaan dengan status dirinya atau yang lainnya. Pemecahan
masalah berkaitan dengan kemampuan klien untuk mengenal,
mendefinisikan, dan mencari solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang
timbul secara sehat dan efektif.

Pribadi yang efektif adalah pribadi yang sanggup memperhitungkan diri,


waktu dan tenaganya dan bersedia memikul resiko atau tindakan yang
dilakukannya. Dalam hal ini klien memiliki kemampuan untuk mengontrol
doronfgan-dorongan dan memberikan respons-respons yang wajar terhadap
frustasi, depresi, dan penolakan.

Dalam hal pengambilan keputusan, klien mampu mengambil


keputusan yang penting bagi dirinya atau memilih alternatif dari tindakannya
serta mengestimasi konsekuensikonsekuensi yang mungkin terjadi atas
keputusan yang diambilnya dengan memperhatikan nilainilai dan
norma-norma yang dianut.

B. Konseling HIV/AIDS
1. Pengertian HIV dan AIDS
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah suatu virus yang
menyerang sel-sel limposit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem kekebalan

xix
tubuh manusia. Sedangkan AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune
Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya tidak diturunkan, tapi ditularkan dari
satu orang ke orang lainnya; “Immune” adalah sistem daya tangkal tubuh
terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan
“Syndrome” adalah kumpulan tanda atau gejala penyakit. Sehingga AIDS
dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit yang
ditandai dengan berkurangnya daya tahan tubuh atau defisiensi imun yang
berat.
AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV. Penyakit yang membuat
orang tak berdaya dan mengakibatkan kematian yang disebabkan oleh HIV.
Penurunan daya tahan tubuh akibat kerusakan sistem imun oleh HIV samapai
pada tingkat timbulnya AIDS memerlukan waktu beberapa tahun. Orang yang
terinfeksi HIV dapat tetap sehat dan tidak menunjukkan gejala apapun untuk
jangka waktu cukup panjang bahkan hingga 10 tahun sehingga banyak orang
yang tidak menyadari atau mengetahui apakah dirinya sudah terinfeksi HIV
atau tidak. Namun pada saat itu, orang ini dapat dengan mudah menularkan
infeksinya kepada orang lain. Kepastian atas status HIV positif pada diri
seseorang hanya bisa dipastikan melalui pemeriksaan laboratorium.

2. Penularan HIV/AIDS
HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang telah tertular,
walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakit.
HIV hanya bisa ditularkan bila terjadi kontak langsung dengan cairan tubuh
atau darah. Dosis virus memegang peranan penting. Makin besar jumlah
virusnya makin besar kemungkinan infeksinya. Jumlah virus yang banyak
ada dalam darah, sperma, cairan vagina, serviks dan cairan otak. Dalam saliva
(air liur/ludah), air mata, urin, keringat dan air susu hanya ditemukan sedikit
sekali. (Wibowo, 2002 : 23).
Berdasarkan sifat dari virus HIV tersebut, HIV hanya dapat ditularkan
melalui :
a. Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral maupun anal dengan

xx
seorang pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling umum terjadi,
meliputi 80 – 90 % dari total kasus sedunia.
b. Kontak langsung dengan darah, produk darah, transplantasi organ
dan jaringan atau jarum suntik:
1) Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya
sangat tinggi, sampai lebih dari 90 %. Ditemukan sekitar 3 –
5 % dari total kasus sedunia.
2) Pemakaian jarum suntik yang tidak steril atau pemakaian
bersama jarum suntik dan sempritnya pada para pecandu
narkotika suntik. Risikonya sekitar 0,5 – 1 % dan telah terdapat
5 – 10 % dari total kasus sedunia.
3) Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas
kesehatan. Risikonya sekitar kurang dari 0,5 % dan telah
terdapat kurang dari 0,1 % dari total kasus sedunia.
c. Secara vertikal dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, saat
melahirkan ataupun setelah melahirkan. Risiko sekitar 25 – 40 %,
terdapat < 0,1 % dari total kasus sedunia. HIV tidak ditularkan
melalui kontak sosial, seperti bersentuhan dengan pengidap HIV,
berjabat tangan, berciuman biasa, bersin dan batuk, melalui
makanan dan minuman, berenang dalam kolam yang sama,
menggunakan WC bersama pengidap HIV. Selain itu HIV juga tidak
ditularkan melalui gigitan nyamuk dan serangga lainnya.
Perilaku berisiko tinggi yang rentan terinfeksi HIV antara lain:
a. Wanita dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan dalam melakukan
hubungan seksual, beserta pasangannya.
b. Wanita dan laki-laki tuna susila, beserta pelanggan mereka
c. Wanita dan laki-laki yang mempunyai pasangan dengan riwayat
yang tidak diketahui dan melakukan hubungan seksual yang tidak
aman (hubungan seksual tanpa menggunakan kondom)
d. Orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak wajar,
seperti hubungan seksual melalui dubur (anal) dan mulut (oral)

xxi
misalnya pada homoseksual dan biseksual
e. Menggunakan narkotika atau alkohol pada situasi yang
memungkinkan terjadinya hubungan seksual
f. Penyalahguna narkotika dengan suntikan, yang menggunakan jarum
suntik secara bersama (bergantian)

3. Pencegahan Penularan HIV/AIDS


Pencegahan untuk melindungi diri dari infeksi HIV/AIDS meliputi tiga
hal, yaitu :
a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual
b. Pencegahan penularan melalui darah
c. Pencegahan penularan dari ibu ke anak
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan HIV/AIDS dan
berkembangnya HIV/AIDS lebih lanjut terangkum dalam istilah A B C D E
berikut ini.
A : Anda jauhi seks bebas atau tidak melakukan hubungan
seksual sebelum menikah (Abstinence). Hubungan seksual
hanya dilakukan melalui pernikahan yang sah.
B : Bersikap saling setia (Be faithful), yaitu hanya mengadakan
hubungan seksual dengan pasangan sendiri, yaitu suami atau
istri sendiri.
C : Bila salah satu pasangan sudah terinfeksi HIV, maka dalam
melakukan hubungan seksual harus menggunakan kondom secara
benar dan konsisten (Condom).
D: Tidak menggunakan narkotika dan narkoba suntik (Do not use drugs)
E: Penyuluhan dan pendidikan mengenai HIV/AIDS secara
benar kepada masyarakat (Education)

Serta dengan mempertebal iman dan takwa agar tidak terjerumus


melakukan perilaku- perilaku yang dilarang oleh Allah dan merugikan diri
kita.

xxii
4. Konseling HIV/AIDS

Konseling HIV/AIDS merupakan komunikasi bersifat konfidensial antara


klien dan konselor yang bertujuan meningkatkan kemampuan menghadapi
stress dan mengambil keputusan berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses
konseling termasuk evaluasi risiko personal penularan HIV, fasilitasi
pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien menghadapi
hasil tes positif. (World Health Organization/WHO).

UNAIDS (2000) mendefinisikan konseling HIV/AIDS dialog rahasia


antara seseorang dan pemberi layanan yang bertujuan membuat orang
tersebut mampu menyesuaikan diri dengan stres dan membuat keputusan yang
sesuai berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling termasuk evaluasi
risiko personal tranmisi HIV dan memfasilitasi perilaku pencegahan.

Konseling HIV/AIDS perlu dilakukan karena diagnosis HIV atas diri


seseorang mempunyai banyak implikasi, baik secara psikologis, fisik, sosial
maupun spiritual. Selain itu HIV merupakan penyakit yang mengancam
kehidupan dan terapi terhadap penderitanya harus dilakukan seumur hidup.

Di lapangan, konseling HIV/AIDS disebut juga dengan Voluntary


Counseling and Testing (VCT) atau Tes dan Konseling Sukarela. Kata
‘sukarela’ di sini menekankan bahwa konseling harus berjalan tanpa paksaan
serta berdasarkan atas keinginan dan kesadaran dari klien itu sendiri. Selain itu
testing dan konseling HIV merupakan komponen utama dalam program
HIV/AIDS. Hubungan antara konseling dan tes HIV dapat digambarkan
sebagai berikut:

xxiii
Bagan 2.1 Hubungan antara konseling dan testing HIV

VCT digunakan untuk melakukan setiap intervensi. Konseling ini


minimum terdiri atas konseling pre tes dan pasca tes HIV, juga menyediakan
konseling berkelanjutan jangka panjang, konseling dukungan, konseling
keluarga dan pasangan hingga konseling kematian.

a. Konseling Pra Tes HIV

Tes HIV senantiasa didahului oleh konseling pra tes. Konseling pra
tes individual dilaksanakan untuk membantu seseorang dalam membuat
keputusan yang baik tentang apakah akan menjalani tes HIV atau tidak.
Konseling pra tes HIV membantu klien menyiapkan diri untuk
pemeriksaan darah HIV, memberikan pengetahuan akan implikasi
terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang
cara menyesuaikan diri dengan status HIV. Konseling juga dimaksudkan
untuk memberikan pengetahuan yang benar dan meluruskan pemahaman
yang keliru tentang HIV/AIDS dan berbagai mitosnya.

Konseling pra tes menantang konselor untuk dapat membuat


keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian risiko dan
merespon kebutuhan emosi klien. Banyak orang takut melakukan tes

xxiv
HIV karena berbagai alasan termasuk perlakuan diskriminasi dan
stigmatisasi masyarakat dan keluarga. Karena itu layanan VCT
senantiasa melindungi klien dengan menjaga kerahasiaan. Peletakan
kepercayaan klien pada konselor merupakan dasar utama bagi terjaganya
rahasia dan terbinanya hubungan yang baik. Penggunaan keterampilan
konseling mikro sangat penting untuk membina rapport dan
menunjukkan adanya layanan yang berfokus pada klien.

b. Konseling Pasca Tes HIV

Konseling pasca tes HIV membantu klien memahami dan


menyesuaikan diri dengan hasil tes, baik itu hasilnya positif atau negatif.
Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil tes,
memberitahukan hasil tesnya, dan menyediakan informasi selanjutnya,
atau bila perlu merujuk klien ke fasilitas layanan lainnya. Selanjutnya
konselor mengajak klien mendiskusikan strategi untuk menurunkan
transmisi HIV dan pengurangan risiko.

Bentuk dari konseling pasca tes tergantung dari hasil tes. Jika hasil
tes positif, konselor menyampaikan hasil tes dengan cara yang dapat
diterima klien, secara halus dan manusiawi, serta memperhatikan kondisi
individu klien dan budaya setempat. Ketika hasil tes positif, konselor
harus:

1) Memberitahu klien sejelas dan sehati-hati mungkin, dan dapat


mengatasi reaksi awal yang timbul.

2) Memberi mereka cukup waktu untuk memahami dan


mendiskusikan hasil tes tersebut.

3) Memberikan informasi dengan cara yang mudah dimengerti,


memberikan dukungan emosional, dan membantu mereka untuk

xxv
mendiskusikan bagaimana mereka akan menghadapi hal itu,
termasuk mengidentifikasi dukungan apa yang tersedia di rumah.

4) Merujuk klien ke layanan yang diperlukan, misalnya kelompok


dukungan masyarakat atau fasillitas kesehatan.

5) Menjelaskan bahwa hasil tes akan tetap dirahasiakan, sehingga


tidak akan ada orang lain yang tahu kecuali atas persetujuan
klien.

6) Mendiskusikan siapa orang yang mungkin ingin diberitahu


tentang hasil tes itu dan bagaimana cara untuk melakukannya.

7) Menjelaskan bagaimana klien dapat menjaga kesehatannya


termasuk informasi tentang pola hidup, makanan, olah raga,
istirahat, dan menghindari infeksi.

8) Memberi tahu klien tentang layanan kesehatan dan terapi jika


dibutuhkan.

9) Bila klien adalah wanita hamil, mendiskusikan cara menghindari


penularan terhadap bayinya, membantu mereka untuk membuat
keputusan yang mereka rasa paling baik dan merujuk untuk
knseling lebih lanjut.

10) Mendiskusikan pencegahan cara penularan HIV kepada


pasangan-pasangan yang munngkin tidak terinfeksi dan
memberikan informasi tentang hubungan seks yang lebih aman.

Konseling tetap diperlukan walaupun hasil tes negatif. Di sini


konselor dan klien mendiskusikan perasaan yang timbul dari hasil
tersebut dan mendiskusikan pencegahan dari infeksi HIV. Meskipun
orang akan merasa lega mendapatkan hasil negatif, konselor harus
menjelaskan bahwa karena adanya masa jendela (window period), hasil
negatif ini tidaklah sepenuhnya menjamin bahwa orang ini tidak

xxvi
terinfeksi HIV. Konselor harus menganjurkan untuk mempertimbangkan
datang kembali dan tes ulang setelah 3-6 bulan. Selain itu, konselor
dapat membantu klien dalam memformulasikan strategi lain agar tetap
dalam hasil tes yang negatif.

Dasar keberhasilan konseling pasca tes ditentukan oleh baiknya


konseling pra tes. Bila konseling pra tes berjalan baik, maka dapat
terbina rapport antara konselor dan klien. Dengan dasar ini, maka akan
memudahkan terjadinya perubahan perilaku di masa datang dan
memungkinkan pendalaman akan masalah klien. Mereka yang
menunggu hasil tes HIV berada dalam kecemasan, dan mereka yang
menerima hasil tes HIV positif kemungkinan akan mengalami distress.
Karena itu disarankan agar konselor yang melakukan konseling pasca tes
adalah konselor yang sama dengan konselor yang menjalankan konseling
pra tes.

Kerangka model dari prosedur kunci layanan konseling HIV/AIDS


atau VCT dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.

xxvii
Gejala atau kecemasan yang membawa seseorang memutuskan untuk tes status HIV

Konseling pra tes mencakup penilaian kondisi perilaku berisiko individu dan
kondisi psikososial, penyediaan informasi faktual tertulis ataupun lisan

Beri waktu untuk berpikir

Penundaan pengambilan Pengambilan darah/testing


darah/testing HIV HIV

HIV Negatif HIV Positif

Mendorong mengubah perilaku ke Sampaikan berita dengan hati-hati,


arah yang positif, hilangkan yang menilai kemampuan mengelola berita
negatif hasil tes, sediakan waktu untuk diskusi,
bantu agar bisa beradaptasi dengan
Mengatakan meski situasinya masih situasi dan buat rencana yang tepat dan
berisiko rendah, tetap harus rasional
merawat diri untuk menghindari
infeksi dan kemungkinan penularan
Berikan konseling berkelanjutan yang
melibatkan keluarga dan teman;
menggerakkan dukungan keluarga dan
masyarakat; cara dukungan lainnya
(support group);tumbuhkan perilaku
bertanggung jawab
Sarankan untuk melakukan periksa
ulang 12 minggu atau 3-6 bulan
sesudah tes
Berikan konseling berkelanjutan,

xxviii
5. Alasan dan Tujuan Konseling HIV/AIDS

Masalah HIV/AIDS merupakan masalah sosial yang berdampak besar


pada masyarakat. Untuk itu diselenggarakan suatu layanan VCT yang
dimaksudkan sebagai usaha pencegahan dan perawatan HIV. Adapun alasan
diadakannya VCT adalah:

a. Pencegahan HIV

Konseling dan tes sukarela HIV berkualitas tinggi merupakan


komponen efektif (juga efektif dari sudut biaya) pendekatan prevensi,
yang mempromosikan perubahan perilaku seksual dan perilaku berisiko
lainnya dalam menurunkan penularan HIV. Dalam laporan mengenai
efektivitas VCT di Kenya, Tanzania, dan Trinidad pada tahun 2000,
mereka yang menggunakan jasa layanan VCT, di dalam dirinya ada
perasaan yang kuat tentang tata nilai, akivitas seksual, dan diagnosis
(apakah positif atau negatif) dan seringkali mereka betul-betul
menurunkan perilaku berisikonya. VCT menawarkan kepada para
pasangan untuk mencari tahu status HIV mereka dan perencanaan hidup
mereka yang berkenaan dengan hal tersebut.

b. Pintu masuk menuju terapi dan perawatan

VCT telah terbukti sangatlah berperan sebagai pintu gerbang menuju


pelayanan medik dan dukungan sesuai yang dibutuhkan. VCT sudah
mendesak untuk dipandang sebagai penghormatan atas hak asasi mereka
dari sisi kesehatan masyarakat, karena infeksi HIV merupakan hal serius
yang mempunyai dampak begitu besar bagi kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat, termasuk kesehatan reproduktif, kehidupan seksual dan
keluarga, kehidupan sosial dan produktivitas masyarakat dalam jangka
panjang.

Konseling HIV/AIDS merupakan suatu proses dengan tiga tujuan

xxix
umum. Konseling HIV/AIDS bertujuan untuk :

1) Menyediakan dukungan psikologis, sosial dan spiritual


seseorang yang mengidap virus HIV.

2) Pencegahan penularan HIV/AIDS dengan menyediakan


informasi tentang perilaku berisiko dan membantu orang dalam
mengembangkan keterampilan pribadi yang diperlukan untuk
perubahan perilaku dan negosiasi praktek yang lebih aman.

3) Memastikan efektivitas rujukan kesehatan, terapi, dan perawatan


melalui pemecahan masalah kepatuhan berobat.

Konselor HIV/AIDS mencapai tujuan di atas melalui :

1) Memungkinkan orang untuk mengenali dan mengekspresikan


perasaannya.

2) Menggali opsi dan membantu klien membangun rencana


tindakan tentang isu atau permasalahan yang dihadapi.

3) Membangkitkan perubahan perilaku yang sesuai

4) Menyediakan informasi terkini tentang prevensi, terapi dan


perawatan HIV/AIDS

5) Memberikan informasi tentang sumber dan institusi (baik


pemerintah maupun non pemerintah) yang dapat membantu
kesulitan sosial, ekonomi, dan budaya yang timbul berkaitan
dengan HIV.

6) Membantu klien memperoleh dukungan dari jejaring sosial,


keluarga dan lingkungan mereka.

7) Membantu klien menyesuaikan diri dengan keadaan yang terjadi


saat ia mengalami sakit, berduka dan kehilangan suami, isteri,

xxx
pasangan, kawan, atau penghasilan, rumah dan pekerjaan.

8) Mengambil peran advokasi, misalnya membantu klien mengatasi


diskriminasi dan mengingatkannya atas hak-haknya.

9) Membantu klien mengendalikan hidupnya dan menemukan arti


kehidupannya.

Konseling HIV/AIDS lebih terarah kepada kebutuhan fisik, sosial,


psikologis dan spiritual seseorang. Oleh karena itu seorang konselor
HIV/AIDS harus mempertimbangkan masalah infeksi dan penyakit,
kematian dan kesedihan, stigma dan diskriminasi sosial, seksualitas, gaya
hidup, serta pencegahan penularan. VCT merupakan komponen kunci dalam
program HIV di negara maju, tetapi sampai kini belum menjadi strategi besar
di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Oleh karena itu, dari sisi kesehatan masyarakat VCT sduah mendesak
untuk dipandang sebagai penghormatan atas hak asasi manusia, karena
tingginya prevalensi infeksi HIV merupakan hal serius yang mempunyai
dampak terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat demikian luasnya,
termasuk kesehatan reproduktif, kehidupan seksual dan keluarga, kehidupan
sosial dan produktivitas di masyarakat.

xxxi

Anda mungkin juga menyukai