Anda di halaman 1dari 24

10

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Teori dan konsep terkait

1. Hemodialisa dan Gagal Ginjal Kronik

a. Pengertian

Dialisis adalah cara membersihkan darah ketika ginjal tidak bisa lagi

melakukan pungsinya.Dialisis menghilangkan limbah pada tubuh, ekstra

garam, dan air, serta membantu untuk mengontrol tekanan darah. Ada dua

jenis dialisis yaitu hemodialisis dan dialisis peritoneal. Dokter adalah orang

terbaik untuk memberitahu kapan ketika pasien harus memulai menjalani

terapi dialysis (National Kidney Foundation (NKF), 2016). Hemodialisa

adalah suatu bentuk terapi pengganti pada pasien dengan kegagalan fungsi

ginjal, baik yang bersifat akut maupun kronik (National Kidney Foundation

(NKF), 2016). Pasien yang menderita gagal ginjal juga dapat dibantu dengan

bantuan mesin hemodialisis yang mengambil alih fungsi ginjal.Pasien gagal

ginjal yang menjalani terapi hemodialisa, mem-butuhkan waktu 12-15 jam

untuk dialisa setiap minggunya, atau paling sedikit 3-4 jam per kali terapi.

Kegiatan ini akan berlangsung terus-menerus sepanjang hidupnya (Bare &

Smeltzer, 2013).

Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa

tubuh. Zat sisa yang menumpuk pada pasien PGK ditarik dengan mekanisme

difusi pasif membran semipermeabel.Perpindahan produk sisa metabolik

berlangsung mengikuti penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dalam


11

dialisat. Dengan metode tersebut diharapkan pengeluaran albumin yang terjadi

pada pasien PGK dapat diturunkan, gejala uremia berkurang, sehingga

gambaran klinis pasien juga dapat membaik.Hemodialisis dapat

mempengaruhi gambaran klinis penderita PGK, berupa gejala mual muntah,

anoreksia, anemia, pruritus, pigmentasi, kelainan psikis, insomnia, hipertensi,

maupun gejala lainnya.

b. Waktu Pelaksaanaan Hemodialisa

Di pusat dialisis, hemodialisis biasanya dilakukan 3 kali per minggu

selama sekitar 4 jam pada suatu waktu. Orang-orang yang memilih untuk

melakukan hemodialisis di rumah mungkin melakukan perawatan dialisis

lebih sering, 4-7 kali per minggu selama berjam-jam lebih pendek setiap kali.

Berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry (IRR, 2014), jumlah

tindakan hemodialisis berdasarkan Durasi Se-Indonesia dari tahun 2007 –

2014, durasi tindakan hemodialisis 3 -4 jam adalah durasi hemodialisis

terbanyak, hal ini masih di bawah standar durasi tindakan hemodialisis yang

sebaiknya 5 jam untuk frekuensi 2 kali seminggu.

c. Diet pada Pasien Hemodialisa

Kepatuhan diet merupakan satu penatalaksanaan untuk

mempertahankan fungsi ginjal secara terus menerus dengan prinsip rendah

protein, rendah garam, rendah kalium dimana pasien harus meluangkan waktu

menjalani pengobatan yang dibutuhkan (Sumigar, Rompas, & Pondaag,

2015).

Secara umum, pasien dialisis disarankan untuk meningkatkan asupan


12

protein dan membatasi jumlah kalium, fosfor, natrium, dan cairan dalam diet

mereka. Pasien dengan diabetes atau kondisi kesehatan lain mungkin

memiliki pembatasan diet tambahan. Sangat penting untuk berbicara dengan

Anda ahli gizi tentang kebutuhan diet individu. Tim asuhan dialisis akan

memantau pengobatan pasien dengan tes laboratorium bulanan untuk

memastikan pasien mendapatkan jumlah yang tepat dari dialisis dan bahwa

pasien memenuhi tujuan dietnya (National Kidney Foundation, 2016).

d. Komplikasi Penggunaan Hemodialisa

Hemodialisa terbukti efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa

metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung bertujuan untuk

memperpanjang umur pasien. Prosedur hemodialisis bukan berarti tanpa

resiko. Meskipun hemodialisis aman dan bermanfaat untuk pasien, namun

bukan berarti tanpa efek samping. Berbagai permasalahan dan kompilkasi

dapat terjadi saat pasien menjalani hemodialisis (Armiyati, 2012).

Komplikasi intradialisis yang umum dialami pasien saat menjalani

hemodialisis. Komplikasi intradialisis yang umum dialami pasien saat

menjalani hemodialisis adalah hipotensi, hipertensi, kram, mual, dan muntah,

sakit kepala, nyeri dada, nyeri punggung, demam dan menggigil (Al Nazly ,

2013). Komplikasi intradialisis dapat menimbulkan ketidaknyamanan,

meningkatkan stres dan mempengaruhi kualitas hidup pasien serta berbagai

komplikasi intradialisis dapat terjadi sejak hemodialisis dimulai sampai

diakhiri, mulai jam pertama sampai jam terakhir (Armiyati, 2009).


13

e. Gagal Ginjal Kronik

1) Pengertian GGK

Penyakit ginjal kronik (Chronic Kidney Desease) adalah keadaan

dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang cukup berat secara perlahan

– lahan (menahun) disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal. Peyakit ini

bersifat progresif dan umumnya tidak dapat pulih kembali (irreversibel).

Gejala penyakit ini umumnya adalah tidak ada nafsu makan, mual,

muntah, pusing, sesak nafas, rasa Lelah, edema pada kaki dan tangan

serta uremia. Apabila nilai Glomerulo Filtration Rate (GFR) atau Tes

Kliren Kreatinin (TKK) < 25 ml/menit, diberikan Diet Rendah Protein

(Almatsier, 2004).

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan faal ginjal yang

menahun mengarah pada kerusakan jaringan ginjal yang tidak reversible

dan progresif. Adapun GGT (Gagal Ginjal Terminal) adalah fase terakhir

dari Gagal Ginjal Kronik (GGK) dengan faal ginjal sudah sangat buruk.

Kedua hal tersebut bisa dibedakan dengan tes klirens kreatinin (Irwan,

2016).

Berdasarkan data dari PERNEFRI (Persatuan Nefrologi

Indonesia) jumlah klien PGK di Indonesia dari tahun ketahun terus

mengalami peningkatan, pada tahun 2013 pasien baru sebanyak 15,128

orang dan tahun 2014 sebanyak 17,193 orang. Dari data tersebut

menunjukkan adanya peningkatan sebanyak 13%. Kondisi ini berisiko

membahayakan kesehatan tubuh secara keseluruhan hingga


14

menimbulkan kematian jika tidak segera untuk ditangani. Klien yang

kehilangan fungsi ginjalnya sampai saat ini belum ditemukan tehnik

pengobatan yang dapat mengembalikan fungsi ginjal. Satu-satunya

pilihan klien adalah menjalani terapi penganti ginjal (Cahyaningsih,

2011)

2) Etiologi GGK

Etiologi memegang peran penting dalam memperkirakan

perjalanan klinis Gagal Ginjal Kronik (GGK) dan penaggulangannya.

Penyebab primer Gagal Ginjal Kronik (GGK) juga akan mempengaruhi

manifestasi klinis yang akan sangat membantu diagnose, contoh: gout

akan menyebabkan nefropati gout. Penyeban terbanyak Gagal Ginjal

Kronik (GGK) dewasa ini adalah nefropati DM, hipertensi, glomerulus

nefritis, penyakit ginjal herediter, uropati obstruki, nefritis interstitial.

Sedangkan di Indonesia, penyebab Gagal Ginjal Kronik (GGK)

terbanyak adalah glomerulus nefritis, infeksi saluran kemih (ISK), batu

saluran kencing, nefropati diabetic, nefrosklerosis hipertensi, ginjal

polikistik, dan sebagainya (Irwan, 2016).

GGK merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir

yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal

(Suharyanto 2012). GGK adalah kemunduran fungsi dari ginjal

ireversibel yang terjadi beberapa bulan atau tahun. Keadaan ini

mengakibatkan ketidakmampuan dalam mempertahankan

keseimbangan substansi tubuh atau akumulasi cairan dan produk sisa


15

dengan menggunakan penanganan konservatif. Menurut Kidney

Disease Outcome Quality Initiative merekomendasikan pembagian

GGK berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi

Glomerolus) : Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan

albuminaria persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit /

1,73 m2) Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan

LFG antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2), Stadium 3 : kelainan ginjal

dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73 m2), Stadium 4 : kelainan

ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73 m2) Stadium 5 :

kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73 m2 atau gagal ginjal

terminal (Pebriyana, 2015). Pasien GGK yang mengalami gagal ginjal

kronik akan menjalani hemodialisa jangka panjang, Pasien GGK

sebelum menjalani dialisis akan sangat terganggu aktivitasnya baik

untuk bekerja maupun bergaul, juga kesulitan dalam tidur karena rasa

sakit yang dirasakan. Disamping itu berbagai keluhan fisik dikeluhkan

pasien tergantung dari tingkat keparahan penyakitnya dan komplikasi

yang menyertai yang tidak sama antara satu pasien dengan pasien

lainnya. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pasien

GGK akan merasakan adanya rasa tidak nyaman, sesak, oedema, nyeri

dada, rasa mual atau bahkan muntah, serta kram otot yang

mengakibatkan nyeri hebat (Brunner & Suddath, 2002). Untuk itu

pasien sangat tergantung pada terapi dialisis untuk meningkatkan

kualitas hidupnya.
16

3) Gejala GGK

Ginjal merupakan organ dengan daya kompensasi tinggi. Jaringan

ginjal sehat akan mengambil alih tugas dan pekerjaan jaringan ginjal

yang sakit dengan meningkatkan perfusi darah ke ginjal dan filtrasi. Bila

jaringan ginjal yang rusak mencapai 75 -85 % maka daya kompensasi tak

lagi mencukupi sehingga timbul gejala uremia oleh karena terjadi

penurunan zat – zat yang tak bisa dikeluarkan dari tubuh oleh ginjal yang

sakit. Gagal ginjal pada tahap awal akan tidak disadari oleh penderitanya,

karena gejalanya umumnya tidak Nampak. Tetapi ada pula gejala yang

akan dirasakan pada saat sakit ginjal. Berikut ini merupakan beberapa

gejala yang dapat dirasakan ketika mengalami gagal ginjal adalah sesak

nafas, urin berbau, kencing darah, pembengkakan dan mudah lelah.

Untuk gejala yang dialami oleh penderita Gagal Ginjal Kronik (GGK)

umumnya berupa sindrom uremia yaitu (Irwan, 2016; Baradero, Dayrit

dan Siswadi, 2005) :

1) Gastrointestinal

Nafsu makan menurun, anoreksia, pendarahan gastrointestinal,

mual, muntah, mulut kering, rasa pahit, pendarahan epitel, diare dan

konstipasi.

2) Kulit

Kering, atropi, warna berubah kecoklatan dan gatal


17

3) Kardiovaskuler

Hipertensi, pembesaran jantung, payah jantung, pericarditis,

dan gagal jantung kongestif.

4) Darah

Anemia, asidosis, pendarahan, kegiatan trombosit menurun,

eritropoetin menurun, dan trombositopenia.

5) Neurologi

Apatis, neuropati, perifer, depresi, precoma. Hasil tes klirens

kreatinin adalah sebagai berikut:

a) Gagal Ginjal Dini = > 30 ml / menit

b) Gagal Ginjal Kronik (GGK) = 30 – 5 ml / menit

c) Gagal Ginjal Terminal = ≤ 5 ml / menit

4) Pencegahan GGK

Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah salah satu jenis

penyakit tidak menular yang memiliki angka cukup tinggi, namun

demikian penyakit ini dapat dihindari melalui upaya pencegahan yang

meliputi (Irwan, 2016) :

1) Mengendalikan penyakit diabetes, tekanan darah tinggi, dan juga

penyakit jantung dengan lebih baik. Penyakit ginjal merupakan salah

satu penyakit sekunder akibat dari penyakit primer yang mendasarinya.

Oleh sebab itulah, perlunya mengendalikan dan mengontrol penyakit

primer agar tidak komplikasi menjadi gagal ginjal.

2) Mengurangi makanan yang mengandung garam adalah salah satu jenis


18

makanan dengan kandungan natrium yang tinggi. Natrium yang tinggi

bukan hanya bisa menyebabkan tekanan darah meningkat, namun juga

akan memicu terjadinya proses pembentukan batu ginjal.

3) Minumlah banyak air setiap harinya. Air adalah salah satu komponen

makanan yang diperlukan tubuh agar bisa terhindar dari dehidrasi.

Selain itu, air juga bisa berguna dalam membantu untuk mengeluarkan

racun dari dalam tubuh dana kan membantu mempertahankan volume

serta konsentrasi darh. Selain itu air juga bisa berguna dalam

memelihara sistem pencernaan dan membantu mengendalikan suhu

tubuh.

4) Jangan menahan buang air kecil. Penyaringan darah merupakan salah

satu fungsi yang paling utama yang dimiliki ginjal. Disaat proses

penyaringan berlangsung, maka jumlah dari kelebihan cairan akan

tersimpan di dalam kandung kemih dan setelah itu harus segera

dibuang. Walupun kandung kemih mampu menampung lebih banyak

urin, tetapi rasa ingin buang air kecil akan dirasakan di saat kandung

kemih sudah mulai penuh sekitar 120 – 250 ml urin. Sebaiknya jangan

pernah menahan buang air kecil. Hal ini akan berdampak besar dari

terjadinya proses penyaringan ginjal.

5) Makan makanan yang baik. Makanan yang baik adalah makanan

dengan kandungan nutrisi serta gizi yang baik. Sebaiknya hindari

makanan junk food.


19

f. Terapi Gizi Pada Pasien GGK

Pemberian nutrisi yang tepat untuk penderita Gagal Ginjal Kronik

(GGK) sangat perlu diperhatian untuk menghambat progresifitas kerusakan

organ tubuh. Diet yang diberikan untuk penderita Gagal Ginjal Kronik

(GGK) umumnya berupa (Irwan, 2016; Baradero, Dayrit dan Siswadi, 2005)

a. Mencukupi kebutuhan kalori sesuai dengan kegiatan penderita yaitu 35

kalori/ kg BB / hari. Untuk menghindari katabolisme masukan bahan

esensial berupa asam amino esensial dan lemak esensial.

b. Membatasi metabolit yang harus di ekskresikan oleh ginjal dan

memberikan protein yang cukup untuk kebutuhan pertumbuhan (anak)

dan perbaikan jaringan tanopa memberi beban ekskretori pada ginjal

c. Membatasi protein. Protein diberikan sebanyak 1 -1,5 gram / kg BB ideal.

d. Membatasi garam. Garam diberikan sesuai keadaan pasien meliputi ada

tidaknya edema. Garam dapat diberikan sebanyak 1 – 4 gram / hari.

Kelebihan NaCl akan mempercepat terjadinya edema, bila kekurangan

NaCl akan menyebabkan hipotensi dan rasa lemah.

e. Membatasi Air. Cairan diberikan sebanyak 500 cc ditambahn urine dan

cairan yang hilang dengan sEcara lain selama 24 jam sebelumnya.

Kelebihan air akan tertimbun dan menyebabkan edema tungkai.

Kelebihan air yang mendadak akan menyebankan edema paru (sesak).

f. Menghindari gangguan elektrolit (K+). Membatasi pemberian buah –

buahan yang mengandung Kalium. Karena bila terjadi hiperkalemi akan


20

menyebabkan aritmia dan fibrilasi jantung.

2. Status Gizi

a. Pengertian status gizi

Menurut Depkes (2002) status gizi merupakan tanda – tanda

penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan

pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu

saat berdasarkan pada kategoridan indikator yang digunakan. Status gizi dapat

juga diartikan sebagai suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh

keseimbangan antasan asupan zat gizi dengan kebuthan. Kesimbangan

tersebut dapat dilihat dari variable pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi

badan atau panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan dan panjang tungkai

(Gibson, 1990).

Penilaian status gizi digunakan dua metode penilaian status gizi, yaitu

secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara tidak

langsung, dapat dibagi tiga yaitu survey konsumsi makanan, statstik vital, dan

faktor ekologi. Sedangkan penilaian ststus gizi secara langsung dapat dibagi

menjadi empat penilaian yaitu, penilaian antropometri, klinis, biokimia, dan

biofisik (Supariasa, 2012).

b. Faktor yang mempengaruhi status gizi

Menurut Call dan Levinson dalam Supariasa (2012), bahwa status gizi

dipengaruhi oleh dua faktor yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan,

terutama adanya penyakit infeksi, kedua faktor ini adalah penyebab langsung,

sedangkan penyebab tidak langsung kandungan zat gizi dalam bahan


21

makanan, kebiasaan makan, ada tidaknya program pemberian makanan

tambahan, pemeliharaan kesehatan, serta lingkungan fisik dan sosial.

Menurut UNICEF (1998) dalam Supariasa (2012) menggambarkan

faktor yang berhubungan dengan status gizi, pertama penyebab langsung

adalah asupan gizi dan penyakit infeksi, kedua, penyebab tidak langsung yaitu

keterdediaan pangan tingkat rumah tangga, perilaku / asuhan ibu dan anak,

pelayanan kesehatan dan lingkungan, ketiga masalah utama yaitu kemiskinan,

pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Keempat,

masalah dasar, yaitu krisis politik dan ekonomi.

Menurut Laura Jane Harper dalam Supariasa (2012), faktor yang

mempengaruhi status gizi ditinjau dari sosial budaya dan ekonomi adalah

ketersediaan pangan, tingkat pendapatan, pendidikan dan penggunaan pangan.

Ketersediaan pangan meliputi pemilihan tanaman yang ditanam. Pola

penanaman, pola penguasaan lahan, mutu luas lahan, cara pertanian, cara

penyimpanan, faktor lingkungan, rangsangan bereproduksi dan peranan

sosial. Penggunaan pangan meliputi status sosial, kepercayaan keagamaan,

kepercayaan kebudayaan, keadaan kesehatan, pola makan, kehilangan

tersebab oleh proses memasak, distribusi makanan dalam keluarga, besar

keluarga, dan pangan yang tercecer.

Adapun faktor yang mempengaruhi status gizi pada pasien GGK

adalah (Nunuk Mardiana, 2018) :

1. Asupan nutrisi kurang yang disebabkan karena retriksi diit berlebihan,

pengosongan lambung lambat dan diare, komorbid medis lainya, kejadian sakit
22

dan rawat inap yang berulang, asupan makanan lebih menurun di hari-hari

dialisis, obat – obatan yang menyebabkan dispepsia (pengikat fosfat, preparat

besi), dialisis tidak adekuat, depresi, dan perubahan sensasi rasa.

2. Kehilangan nutrient meningkat karena kehilangan darah melalui saluran

cerna dan kehilangan nitrogen intradialisis.

3. Katabolisme protein meningkat, yaitu kejadian sakit dan rawat inap yang

berulang, komorbid medis lain, asidosis metabolik, katabolisme yang

berkaitan dengan hemodialisis, disfungsi dari the growth hormone-insulin

growth factor endocrine axis, efek katabolic beberapa hormone

(paratiroid, kortisol, glukagon).

3. Hemoglobin

Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya

gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di

dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari

paruparu ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009). Rekomendasi KDOQI

menyebutkan bahwa target hemoglobin pada pasien GGK adalah11 hingga

12 g/dL. Menurut beberapa, penelitian klinik hemoglobin pada level tersebut

terbukti meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan morbiditas.

4. Kualitas Hidup

a. Pengertian kualitas hidup

Ferrans dan Powers (1994) mendefinisikan kualitas hidup sebagai

suatu kesejahteraan yang dirasakan oleh seseorang dan berasal dari

kepuasan/ketidakpuasan dengan bidang kehidupan yang penting bagi


23

mereka. Persepsi subyektif tentang kepuasan terhadap berbagai aspek

kehidupan dianggap sebagai penentu utama dalam penilaian kualitas hidup,

karena kepuasan merupakan pengalaman kognitif yang menggambarkan

penilaian terhadap kondisi kehidupan yang stabil dalam jangka waktu lama.

Nurchayati (2011 dalam Mahayundhari, 2018) menyebutkan bahwa

kualitas hidup seseorang tidak dapat didefinisikan dengan pasti, hanya orang

tersebut yang dapat mendefinisikannya, karena kualitas hidup merupakan

suatu yang bersifat subyektif. WHOQoL menyatakan kualitas hidup adalah

persepsi individu terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks

budaya dan sistem nilai dimana individu tersebut hidup, dan hubungan

terhadap tujuan, harapan, standar dan keinginan. Hal ini merupakan suatu

konsep yang dipadukan dengan berbagai cara seseorang untuk mendapat

kesehatan fisik, keadaan psikologis, tingkat independen, hubungan sosial,

dan hubungan dengan lingkungan sekitarnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup antara lain usia,

pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, status gizi (Desita, 2010 & Yuwono,

2010 dalam Wulandari, 2015) dan faktor dukungan keluarga serta lama

menjalani hemodialisis (Notoatmodjo, 2012 & Avis, 2005). Pada pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisis menunjukkan tanda gizi kurang

(Kopple, 2007 dalam Wulandari, 2015). Tanda gizi kurang dapat dipengaruhi

oleh penyakitnya atau tindakan dialisisnya sendiri, seperti anoreksia, uremia

dan penyakit yang timbul (Rahardjo, 2006). Spiegel et al., (2008 dalam

Wulandari, 2015) melaporkan bahwa penanda status gizi dapat


24

mempengaruhi domain fisik kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisis.

Menurut United State Renal Data System (USRDS) di Amerika Serikat

prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat sebesar 20 – 25% setiap

tahunnya (Nadhiroh, 2013). Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara global

mengatakan lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal

kronik, sedangkan menurut WHO di Indonesia terjadi peningkatan pasien

dengan penyakit ginjal sebesar 41,4% antara tahun 1995-2025 (Depkes RI,

2010).

b. Instrumen untuk pengukuran kualitas hidup

Penilaian atau pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan dapat

menggunakan kuesioner. Menurut (Harmaini, 2006 dalam Mahayundhari,

2018), terdapat 3 macam alat ukur kualitas hidup, yaitu:

1) Alat ukur generik

Alat ukur generik adalah alat ukur yang dalat digunakan untuk berbagai macam

penyakit maupun usia. Kelebihan dari alat ukur ini adalah penggunaannya dapat

lebih luas, namun kekurangan dari alat ukur ini adalah tidak mencakup hal-hal

khusus pada penyakit tertentu. Contohnya adalah Short Form-36 (SF-36).

2) Alat ukur spesifik

Alat ukur spesifik merupakan alatpengukur kualitas hidup yang spesifik untuk

penyakit tertentu. Alat ukur ini berisikan pertanyaan-pertanyaan khusus yang

sering terjadi pada penyakit yang dimaksud. Kelebihan dari alat ukur ini adalah

dapat mendeteksi lebih tepat keluhan atau hal khusus yang berperan pada

penyakit tertentu. Kekurangan dari alat ukur ini adalah tidak dapat digunakan
25

pada penyakit lain dan biasanya pertanyaannya lebih sulit dimengerti. Contoh

dari alat ukur ini adalah Kidney Disease Quality of Life – Short Form (KDQOL-

SF).

3) ukur utility

Alat ukur utility merupakan pengembangan dari suatu alat ukur, biasanya dari

alat ukur generic. Pengembangannya dari penilaian kualitas hidup menjadi

parameter lainnya, sehingga mempunyai manfaat yang berbeda. Contohnya

adalah European Quality of life – 5 Dimensions (EQ-5) yang dikonversi menjadi

Time Trade-Off (TTO) yang berguna untuk bidang ekonomi, yaitu dapat

digunakan untuk menganalisis biaya kesehatan dan perencanaan keuangan

kesehatan negara.

Dalam mengukur kualitas hidup pasein gagal ginjal kronik kuisoner

yang digunkana adalah kuesioner KDQOL SF yang merupakan kuesioner

spesifik yang digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (Lina,

2008). Merujuk penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eka

Dwipajayanti tahun 2010, komponen yang terdapat dalam kusioner KDQOL

SF adalah:

1) Kondisi kesehatan, terdiri dari 11 pertanyaan yang menilai kesehatan

secara umum kesehatan, kesehatan sekarang dibandingkan setahun yang

lalu, kemampuan aktivitas fisik seperti olahraga, memindahkan meja,

mengangkat belanjaan, naik tangga, dan berjalan serta masalah dengan

kesehatan fisik yang dapat mengganggu aktifitas sehari – hari.

2) Penyakit ginjal, yang terdiri dari 3 pertanyaan yang menilai seberapa

besar ganguan penyakit ginjal dalam kehidupan sehari – hari baik dari
26

psikologis, sosial, dan mental, serta sejauh mana terganggu dengan

masalah asuransi kesehatan, dan juga masalah penyakit ginjal yang

dialami seperti nyeri, kram, kulit kering dan sebagainya.

3) Efek penyakit ginjal pada kehidupan sehari – hari, terdiri dari 10

pertanyaan yang menilai seberapa sering penyakit ginjal mengganggu

kehidupan sehari – hari, aktivitas seksual, kualitas tidur, kepuasan

terhadap waktu yang dapat dinikmati bersama keluarga atau teman,

dukungan keluarga dan teman, nilai kesehatan secara umum, perawatan

yang diterima selama dialisis, dan petugas hemodialisis.

c. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik tahap akhir dipengaruhi

banyak faktor antara lain terapi pengganti yang dijalankan, faktor

lingkungan atau dukungan keluarga terdekat, faktor kesehatan pasien

termasuk masalah kesiapan mental pasien, asupan makanan dan status gizi.

Terapi hemodialisis ini sendiri erat hubungannya dengan masalah malnutrisi

dan rendahnya kualitas hidup (Syaifulet al., 2013). Beberapa penelitian

melaporkan bahwa kualitas hidup pasien hemodialisis lebih buruk

dibandingkan dengan populasi secara umum, dimana hal tersebut

berhubungan dengan perubahan fisik, psikologis, dan sosial yang terjadi

pada pasien dan dipengaruhi oleh faktor- faktor sebagai berikut (Septiwi,

2011) :

1) Karakteristik pasien

Karakteristik pasien dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien


27

hemodialisis, seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, lama

menjalani terapi, status pernikahan. Penelitian lain menyebutkan bahwa

tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan, lama menjalani hemodialisis, dan status

pernikahan dengan kualitas hidup pasien hemodialisis.

2) Terapi hemodialisis yang dijalani

Hemodialisis merupakan terapi pengganti fungsi ginjal, akan

tetapi hemodialisis bukan terapi untuk menyembuhkan. Pada pasien

GGK HD kondisi tubuh harus terus baik dan stabil agar pasien dapat

terus menjalankan terapi hemodialisis dengan baik, hal ini dapat dicapai

melalui perawatan kesehatan diri pasien itu sendiri dan pemberi layanan

kesehatan.

Jumlah pasien baru terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan

dengan peningkatan jumlah unit HD, pasien baru adalah pasien yang

pertama kali menjalani dialisis pada tahun 2017 sedangkan pasien aktif

adalah seluruh pasien baik pasien baru tahun 2017 maupun pasien lama

dari tahun sebelumnya yang masih menjalani hd rutin dan masih hidup

sampai dengan tanggal 31 Desember 2017. Pada tahun 2017 pasien aktif

meningkat tajam hal ini menunjukkan lebih banyak pasien yang dapat

menjalani hemodialisis lebih lama, tampaknya faktor JKN berperan

dalam menjaga kelangsungan terapi ini . Jumlah pasien ini belum

menunjukkan data seluruh Indonesia tetapi dapat dijadikan representasi

dari kondisi saat ini (IRR, 2017).


28

Proporsi pasien terbanyak masih pada kategori 45 sd 64 tahun.

Pasien yang berusia kurang dari 25 tahun memberi kontribusi sebesar

2,64 % pada pasien aktif, hal ini menunjukkan sudah saatnya memberi

perhatian pada kelompok usia muda untuk mulai memperhatikan

kesehatan ginjal (IRR, 2017)

3) Status kesehatan (anemia)

Penurunan kadar Hb pada pasien hemodialisis menyebabkan

penurunan level oksigen dan sediaan energi dalam tubuh, yang

mengakibatkan terjadinya kelemahan dalam melakukan aktivitas

sehingga pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Hasil

penelitian menyebutkan bahwa penurunan kualitas hidup pasien

hemodialisis disebabkan oleh anemia dengan kadar Hb < 11 gr/dL.

Kondisi anemia masih merupakan permasalahan pada pasien HD kronik

karena pembiayaan program JKN belum mengakomodasi pemberian

eritropoetin di semua level unit HD. Maka jumlah tranfusi darah masih

banyak dan meningkat pada tahun 2017. Pemberian besi intravena pun

masih menjadi pilihan menjadi terapi pendukung (IRR, 2017).

Menurut Suryanto dan Ulya (2007), hemodialisis digunakan

sebagai salah satu terapi untuk menggantikan fungsi ginjal yang

memburuk, akan tetapi penderita yang menjalani hemodialisis selalu

mengalami anemia (80-95%). Bahkan di tahun 2005 berdasarkan

penelitian di tiga rumah sakit di Bandung dari 40 responden, 100%

responden menderita anemia dengan rentang kadar Hemoglobin 7,1-9,7


29

g/dl (Roesli et al., 2005).

4) Depresi

Ketergantungan pasien terhadap mesin hemodialisis seumur

hidup, perubahan peran, kehilangan pekerjaan dan pendapatan

merupakan stressor yang dapat menimbulkan depresi pada pasien

hemodialisis. Depresi pada pasien hemodialisis dapat mempengaruhi

kualitas hidup pasien hemodialisis.

5) Dukungan keluarga

Dukungan keluarga akan mempengaruhi kesehatan secara fisik

dan psikologis, dimana dukungan keluarga tersebut dapat diberikan

melalui dukungan emosional, informasi ataupun memberikan nasihat.

Dukungan keluarga pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

hemodialisa terdiri dari dukungan instrumental, dukungan informasional,

dukungan emosional, dukungan pengharapan dan dukungan harga diri

yang diberikan sepanjang hidup pasien. Dukungan keluarga yang didapat

oleh pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa

menyangkut dukungan dalam masalah finansial, mengurangi tingkat

depresi dan ketakutan terhadap kematian serta pembatasan asupan

cairan.

6) Adekuasi hemodialisis

Secara klinis hemodialisis dikatakan adekuat bila keadaan umum

pasien dalam keadaan baik, merasa lebih nyaman, tidak ada manifestasi

uremia dan usia hidup pasien semakin panjang. Akan tetapi


30

ketergantungan pasien pada mesin dialisis seumur hidupnya

mengakibatkan terjadinya perubahan pada kemampuan untuk menjalani

fungsi kehidupan sehari-hari yang dapat mempengaruhi kualitas

hidupnya. Black, Ignatavicius, dan Hamilton, meneliti hubungan antara

adekuasi hemodialisis dengan kualitas hidup 69 pasien hemodialisis di

London, dan hasilnya terdapat hubungan yang signifikan antara adekuasi

hemodialisis dan kualitas hidup pasien dengan nilai p < 0,05. Cleary dan

Drennan juga melakukan penelitian yang membandingkan kualitas hidup

pasien dengan hemodialisis yang adekuat dan pasien dengan hemodialisis

yang inadekuat di Irlandia, dan hasilnya menyatakan bahwa pasien

dengan hemodialisis yang inadekuat kualitas hidupnya lebih rendah

daripada pasien dengan hemodialisis yang adekuat (Nurchayati, 2011

dalam Mahyundhari, 2018)

7) Status gizi

Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa status gizi kurang

dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien hemodialisis, diantaranya

adalah studi yang dilakukan oleh Afshar dkk., (2011) dalam Wulandari

(2015) yaitu status gizi kurang dapat menyebabkan penderita mengalami

gejala seperti lelah dan malaise, sakit kepala, kehilangan berat badan,

kelemahan otot, infeksi berulang, penyembuhan luka yang lambat, serta

gangguan tulang, hal ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan

kualitas hidup pada pasien hemodialysis.

8) Katagori kualitas hidup pasien GGK dengan hemodialisis


31

Adapun cara pemberian penilaian (skoring) setiap pilihan jawaban

untuk masing – masing pertanyaan dari skala 1 – 100, dimana nilai yang

tinggi menunjukan kondisi yang lebih baik. Nilai akhir dari kualitas

hidup merupakan perbandingan nilai rata – rata masing – masing subjek

dibandingkan dengan nilai median sampel. Hasil akhir dari penilaian

tersebut kemudian dikategorikan sebagai berikut (RAND Health, 1997):

• Kualitas Hidup Baik: bila total skor kualitas hidup ≥nilai median

• Kulaitas Hidup Buruk: <nilai median

B. Penelitian terkait

Penelitian yang dilakukan oleh A.A. Ayu Putri Oktiadewi (2012) yang

meneliti mengenai hubungan kadar Hb dan status gizi dengan kualitas hidup pasien

penyakit ginjal kronik stadium 5 yang menjalani hemodialisa, diketahui bahwa

Terdapat hubungan bermakna antara status gizi dengan kualitas hidup pada

indikator kadar albumin dengan dimensi kesehatan fisik (p = 0,02), kategori skor

PG-SGA dengan dimensi kesehatan fisik (p = 0,037) dan kategori skor PG-SGA

dengan dimensi masalah akibat penyakit ginjal (p = 0,031).

Penelitian yang dilakukan oleh Sumarni (2014) yang meneliti analisis faktor-

faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup klien penyakit ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa du RSUD Gunung Jati Cirebon diketahui bahwa hasil

penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki kualitas hidup baik

(53,2%). Tidak ditemukan hubungan antara kualitas hidup dengan variabel usia,

jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Kualitas hidup memiliki hubungan dengan

variabel anemia (ρ=0,011), dukungan keluarga (ρ=0,000), adekuasi hemodialisa


32

((ρ=0,020). Kesimpulan bahwa anemia, dukungan keluarga dan adekuasi

hemodialisa merupakan variabel independent yang memiliki hubunga dengan

kualitas hidup yang menjalani hemodialisa di RSUD Gunung Jati Cirebon.

Diharapkan perlu meningkatkan jumlah dosis HD dengan menambah frekuensi atau

menambah durasi untuk meningkatkan adekuasi hemodialisa.

Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2015) dengan judul hubungan

status gizi dengan kualitas hidup pada pasien hemodialisa di RS PKU

Muhammadiyah Unit II Yogyakarta didapatkan hasil penelitian menunjukkan bahwa

status gizi dalam kategori baik sebanyak 24 orang (52,2%) dan kualitas hidup dalam

kategori baik sebanyak 28 orang (60,9%). Hasil uji statistik Pearson Product

Moment didapatkan nilai p= 0,028 dengan nilai signifikan p<0,05.

Penelitian yang dilakukan oleh Winaryanti (2017) dengan judul hubungan

status gizi dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di RSUD Wates, didapatkan hasil Karakteristik pasien gagal ginjal

kronik di RSUD Wates adalah berada pada pada rentang usia 56-65 tahun (44,6%),

bekerja sebagai petani (41,1%), berpendidikan SD (50%), berjenis kelamin laki-laki

(51,8%), dan ratarata telah menjalani hemodialysis selama 28,04 bulan. Status gizi

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis kategori berisiko malnutrisi

(66,1%). Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis

kategori buruk (53,6%). Hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0,003 dengan

koefisien kontingensi sebesar 0,365 ada hubungan antara status gizi dengan kualitas

hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Wates

dengan keeratan hubungan kategori lemah.


33

C. Kerangka Teori

Kualitas hidup pasien dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu karakteristik

pasien, terapi hemodialisa yang dijalani, anemia (kadar Hb), depresi, dukungan

keluarga, adekuasi hemodilisis dan status gizi. Faktor-faktor yang berkaitan

tersebut dijelaskan pada kerangka teori sebagai berikut :

Skema 2.1.

Kerangka Teori Penelitian

Kualitas hidup pasien Hemodialisa


1.usia
2.Jenis kelamin
3.Pekerjaan
4.Status gizi

Gagal ginjal Konik yang menjalani hemodialisa


Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan
albuminaria persisten dan LFG yang
masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73
m2)
Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria
persisten dan LFG antara 60 -89
mL/menit/1,73 m2),
Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59
mL/menit/1,73 m2),
Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29
mL/menit/1,73 m2)
Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15
mL/menit/1,73 m2 atau gagal ginjal terminal
(Sumber : Irwan (2016), Afshar (2007), Baradero, Dayrit dan Siswadi (2005), IRR, 2017, RAND
Health, (1997))

Anda mungkin juga menyukai