Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit atau gangguan tiroid adalah suatu kondisi kelainan pada seseorang akibat adanya
gangguan kelenjar tiroid, baik berupa perubahan bentuk kelenjar maupun perubahan fungsi
(berlebihan, berkurang atau normal).1 Hipertiroid adalah kondisi klinis yang disebabkan oleh
peningkatan sintesis dan sekresi hormon oleh kelenjar tiroid yang mempengaruhi seluruh
tubuh. Tirotoksikosis didefinisikan sebagai manifestasi klinis terkait peningkatan dari kadar
hormon tiroid.2

B. Epidemiologi
Penyakit gangguan tiroid menempati urutan kedua terbanyak dalam daftar penyakit
metabolik setelah diabetes mellitus (DM). Perempuan lebih banyak menderita penyakit tiroid
dibandingkan laki-laki.1 Graves’s Disease (GD) tetap bertahan sebagai etiologi yang paling
sering diderita pada hipertiroidisme sekitar 60-80% dari semua kasus tirotoksikosis di
seluruh dunia. Hipertiroidisme juga lebih sering ditemukan pada wanita dengan rasio
perempuan-laki-laki 8: 1 dan tampaknya terwujud dalam dekade ketiga dan keempat
kehidupan.2

C. Patofisiologi
Hipertiroidisme adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan dari
hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Didapatkan pula peningkatan
produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi tiroksin (T4) di jaringan
perifer.3,4,5
Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme jaringan, proses
oksidasi jaringan, proses pertumbuhan dan sintesa protein. Hormon-hormon tiroid ini
berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam tubuh melalui mekanisme transport asam amino
dan elektrolit dari cairan ekstraseluler kedalam sel, aktivasi/sintesa protein enzim dalam sel
dan peningkatan proses-proses intraseluler.3,6
Pada mamalia dewasa khasiat hormon tiroid terlihat antara lain:
1. Aktivitas lipolitik yang meningkat pada jaringan lemak
2. Modulasi sekresi gonadotropin
3. Mempertahankan pertumbuhan proliferasi sel dan maturasi rambut
4. Merangsang pompa natrium dan jalur glikolitik, yang menghasilkan kalorigenesis dan
fosforilasi oksidatif pada jaringan hati, ginjal dan otot.
Dengan meningkatnya kadar hormon ini maka metabolism jaringan, sintesa protein dan lain-
lain akan terpengaruh, keadaan ini secara klinis akan terlihat dengan adanya palpitasi,
takikardi, fibrilasi atrium, kelemahan, banyak keringat, nafsu makan yang meningkat, berat
badan yang menurun. Kadang-kadang gejala klinis yang ada hanya berupa penurunan berat
badan, payah jantung, kelemahan otot serta sering buang air besar yang tidak diketahui
sebabnya.3,5,7
Patogenesis Graves’s Disease masih belum jelas diketahui. Diduga peningkatan kadar
hormon tiroid ini disebabkan oleh suatu activator tiroid yang bukan TSH yang menyebabkan
kelenjar timid hiperaktif. Aktivator ini merupakan antibodi terhadap reseptor TSH, sehingga
disebut sebagai antibodi reseptor TSH. Anti-bodi ini sering juga disebut sebagai thyroid
stimulating immunoglobulin (TSI). Dan ternyata TSI ini ditemukan pada hamper semua
penderita Graves’s Disease.
Selain itu pada Graves’s Disease sering pula ditemukan antibodi terhadap tiroglobulin dan
anti mikrosom. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa kedua antibodi ini mempunyai
peranan dalam terjadinya kerusakan kelenjar tiroid. Antibodi mikrosom ini bisa ditemukan
hampir pada 60 -70% penderita Graves’s Disease, bahkan dengan pemeriksaan radioassay
bisa ditemukan pada hampir semua penderita, sedangkan antibodi tiroglobulin bisa
ditemukan pada 50% penderita. Terbentuknya autoantibodi tersebut diduga karena adanya
efek dari kontrol immunologik (immunoregulation), defek ini dipengaruhi oleh faktor genetik
seperti HLA dan faktor lingkungan seperti infeksi atau stress.3,5,8,9,10
Pada toxic nodular goiter peningkatan kadar hormon tiroid disebabkan oleh autonomisasi
dari nodul yang bersangkutan dengan fungsi yang berlebihan sedangkan bagian kelenjar
selebihnya fungsinya normal atau menurun.3,11,12

D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala hipertiroidisme beragam dan sebagian besar ditentukan oleh usia pasien dan
adanya gangguan organ sebelumnya. Pasien muda biasanya mengeluh gejala saraf simpatis
yang berlebihan, seperti kecemasan, hiperaktif dan tremor, sedangkan lansia umumnya
mengeluh kardiovaskular gejala (kardiomiopati, aritmia) dan penurunan berat badan yang
tidak bisa dijelaskan.2
Gejala yang paling sering ditemui di tirotoksikosis adalah sebagai berikut: gugup dan gelisah;
keringat berlebih, kulit hangat dan intoleransi panas; sifat lekas marah; jantung berdebar;
defekasi berlebih; mudah lelah; penurunan berat badan dengan nafsu makan yang meningkat
(paradox Von Muller) dan gangguan menstruasi.2
Sedangkan tanda-tanda klinis yang paling sering diamati adalah sebagai berikut: hipertrofi
atau struma kelenjar tiroid; hiperaktif; takikardia atau fibrilasi atrium; sistolik hipertensi;
hangat dan peningkatan keringat kulit; getaran; kelelahan otot; gangguan mata seperti
Mobius’s Sign (gangguan konvergensi okular), Von Graefe’s Sign (kegagalan kelopak mata
atas untuk mengikuti segera dan dengan lancar gerakan bola mata ke bawah),2
Joffroy’s Sign (otot-otot wajah tetap tidak bergerak ketika bola matanya digulung ke atas),
Stellwag’s Sign (Berkedip mata yang jarang dan tidak lengkap), kelopak mata tertutup
(kelopak mata atas tertinggal di belakang tepi atas iris sebagai mata bergerak ke bawah),
exophthalmos dan konsekuensi berikut mis., konjungtivitis, ulkus kornea, edema palpebral,
neuritis optik dan atrofi optik.2

E. Diagnosis
Dalam rangka membedakan antara hipertiroidisme dan penyebab tirotoksikosis lainnya,
Radioactive Iodine Uptake (RAIU) harus dilakukan. Hipertiroidisme memiliki RAIU tinggi
sementara etiologi lain memiliki RAIU rendah atau bahkan hamper tidak ada. Penilaian
terhadap manifestasi hipertiroidisme, dan utamanya risiko komplikasi kardiovaskular dan
neuromuskuler, sangat penting untuk merumuskan rencana perawatan yang tepat.2
1. Evaluasi Klinis
Evaluasi biokimia TSH dan hormon tiroid adalah tes diagnostik awal yang paling penting
untuk individu diduga hipertiroidisme / krisis tirotoksik berdasarkan manifestasi klinis.
Ketika ada inkonsistensi antara tanda-tanda klinis dan gejala, atau ketika manifestasi
klinisnya kurang jelas atau pengujian biokimia konfirmasi tidak mudah diakses, ada
indeks diagnostik yang mungkin bermanfaat untuk digunakan yakni Indeks Wayne.
Indeksi ini merupakan sistem penilaian yang telah dikembangkan sejak 1972 untuk
membantu meningkatkan akurasi diagnosis penilaian klinis.2
Gambar 2. Indeks Wayne
2. Evaluasi Biokimia
Hipertiroidisme ditandai oleh menurunnya TSH (<0,01 mU / L) dan kelebihan hormon
tiroid dalam serum.2
a. Serum TSH
Pengukuran serum TSH memiliki sensitivitas dan spesifisitas tertinggi dari setiap tes
darah dan digunakan sebagai skrining awal untuk hipertiroidisme. Pada
hipertiroidisme, serum TSH akan kurang dari 0,01 mU/L atau bahkan tidak terdeteksi.
b. Serum Hormon Tiroid
Untuk menilai tingkat keparahan kondisi dan untuk meningkatkan akurasi diagnostik,
dilakukan pemeriksaan TSH dan fT4 saat evaluasi awal. Pada hipertiroidisme serum
fT4 dan serum T3 meningkat, dan serum TSH <0,01 mU / L atau tidak terdeteksi.
Pada hipertiroidisme yang lebih ringan, serum T4 dan fT4 bisa normal, hanya serum
T3 mungkin meningkat, dan serum TSH akan kurang dari 0,01 mU / L (atau tidak
terdeteksi), keadaan ini disebut juga sebagai disebut tirotoksikosis T3. Tes untuk
menilai fT3 kurang tervalidasi secara luas daripada tes untuk menilai fT4 dan
karenanya pengukuran total serum T3 sering dilakukan lebih disukai dalam praktik
klinis. Hipertiroidisme subklinis didefinisikan sebagai serum fT4 dan serum T3 atau
serum fT3 normal dengan konsentrasi TSH serum yang tidak normal.2
c. TRAb (Thyrotropin Receptor Antibody)
Pemeriksaan ini dilakukan ketika tidak tersedia thyroid scanning atau RAUI dan
apabila terdapat kontraindikasi (misalnya selama kehamilan dan laktasi).2
3. Evaluasi Lanjutan
Radioactive Iodine Uptake (RAIU) dan thyroid scanning harus dilakukan saat presentasi
klinis tirotoksikosis bukan merupakan Grave’s Disease. Thyroid scanning harus
dilakukan apabila terdapat nodul pada tiroid. USG dilakukan dengan pasien dalam posisi
supinasi dan leher hiperekstensi. USG dapat mendeteksi lobus tiroid atau lesi sekecil 2
mm, sehingga bisa membedakan nodul solid ataukah kista sederhana hingga kompleks.
Modalitas ini juga dapat memperkirakan ukuran tiroid, menunjukkan perkiraan kasar
kepadatan jaringan, menunjukkan aliran dan kecepatan vaskular dan bantuan dalam
menempatkan jarum tujuan diagnostik. Studi Doppler dapat ditambahkan sementara
menjalankan ultrasonografi. Dalam Grave’s Disease, Fine Needle Aspiration Biopsy
(FNAB) diperlukan jika nodul ditemukan di dalam tiroid, gunanya untuk membedakan
benjolan jinak dan ganas yang mungkin terjadi. FNAB dengan USG-guidance sangat
direkomendasikan.2
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertiroidisme melibatkan 3 aspek saling terkait antara lain: penghambatan
dan sintesis hormon tiroid sekresi dengan Anti Thyroid Drugs (ATD); penghancuran atau
pengurangan massa jaringan tiroid melalui pembedahan atau terapi yodium radioaktif dan;
meminimalkan efek hormon tiroid pada jaringan perifer menggunakan obat beta-blocker.
Pengambilan keputusan yang bijaksana dalam memilih terapi yang paling cocok tergantung
pada beberapa faktor, seperti keparahan hipertiroidisme, usia, ukuran struma dan adanya
komorbiditas.2
1. Anti Thyroid Drugs
Saat ini terdapat 2 jenis ATD yang tersedia yaitu golongan thiouracil (propiltiourasil
(PTU)) dan golongan imidazol (methimazole (MMI), karbimazol, dan tiamazol).
Kombinasi ATD dengan L-tiroksin dosis rendah sebagai terapi penggantian hormon
umumnya tidak direkomendasikan. Sebelum memulai terapi obat antitiroid, minta tes
darah putih, terutama sel darah putih dengan diferensial jumlah, bilirubin dan
transaminase sebaiknya dilakukan. PTU disarankan sebagai obat pilihan pada kondisi
berikut ini: selama trimester pertama kehamilan; thyroid storm atau krisis tiroid; dan di
antara mereka yang memiliki sejarah alergi atau intoleransi terhadap obat anti-tiroid dan
pada pasien yang menolak untuk menjalani yodium radioaktif atau terapi bedah. Dosis
awal PTU tinggi, dimulai dengan 100-200 mg tiga kali sehari, tergantung pada tingkat
keparahan hipertiroidisme. Seperti temuan klinis dan tiroid tes fungsi kembali normal,
dilakukan pengurangan dosis PTU menjadi 50 mg dua atau tiga kali sehari, atau bahkan
sekali sehari. Seperti halnya PTU, pada awal terapi MMI, dosis yang lebih tinggi adalah
disarankan (10-20 mg setiap hari) untuk mengembalikan eutiroid, dosis kemudian dapat
diturunkan pada dosis pemeliharaan (umumnya 5-10 mg setiap hari). MMI memiliki
keuntungan karena hanya diminum sekali sehari dan memiliki risiko efek samping yang
lebih sedikit dibandingkan dengan PTU. Penilaian fT4 harus dilakukan 4 minggu setelah
mulai terapi, hingga kadar eutiroid dicapai dengan dosis obat minimal. Apabila pasien
telah mencapai kondisi eutiroid, uji biokimiawi dan klinis evaluasi dapat dilakukan
dengan interval 2-3 bulan.2
2. Terapi Yodium Radioaktif
Pasien dengan GD yang berisiko tinggi untuk mengalami komplikasi karena
memburuknya hipertiroidisme (yaitu, pasien yang sangat simptomatik atau memiliki
perkiraan fT4 2–3 kali batas atas normal) harus dirawat dengan obat beta-blocker
dan/atau ATD sebelum dilakukan terapi yodium radioaktif. Jika diberikan sebagai terapi
awal, MMI harus dihentikan 3-5 hari sebelum pemberian yodium radioaktif, pengobatan
dapat dilanjutkan 3-7 hari kemudian, dan umumnya diturunkan bertahap 4-6 minggu
ketika fungsi tiroid menjadi normal.
Tes kehamilan harus dilakukan dalam waktu 48 jam sebelum perawatan pada setiap
pasien wanita subur yang akan menjalani perawatan dengan yodium radioaktif. Dokter
harus melakukan tes ini dan hasil harus terverifikasi negatif sebelum pemberian yodium
radioaktif. Sekitar 2 minggu setelah dan sebelum radioaktif terapi yodium, makanan yang
mengandung yodium tinggi seperti makanan laut dan obat yang mengandung yodium
menjadi pantangan keras. Selama 3 hari mengikuti yodium radioaktif terapi, pasien harus
disarankan untuk menjauh (radius jarak 5 meter) dengan anak-anak berusia kurang lebih
dari 13 tahun dan wanita hamil. Pasien tidak diperbolehkan hamil dalam 6 bulan setelah
terapi yodium radioaktif dan penggunaan kontrasepsi disarankan selama periode itu.
Pemantauan lanjutan dilakukan dalam 1-3 bulan pertama setelah terapi yodium radioaktif
meliputi pemeriksaan serum fT4 dan serum total T3. Jika setelah 3 bulan pemeriksaan
pasien tetap tirotoksik, dosis kedua radioaktif terapi yodium harus dipertimbangkan.
Hipotiroidisme setelah terapi yodium radioaktif dapat terjadi selama 6 bulan setelah
terapi yodium meskipun jarang, biasanya akan pulih setelah fungsi tiroid kembali normal.
Oleh karena itu, hipotiroidisme terjadi pada mereka yang dalam 6 bulan pertama tidak
membutuhkan terapi penggantian hormon tiroid.2
3. Terapi Pembedahan
Apabila memungkinkan, pasien GD yang akan menjalani tiroidektomi harus dalam
keadaan eutiroid. Dalam keadaan ketika tidak memungkinkan membuat pasien dengan
GD euthyroid sebelum tiroidektomi, kebutuhan untuk tiroidektomi sangat mendesak, atau
ketika pasien alergi terhadap obat antitiroid, pasien harus mendapatkan pengobatan
dengan beta-bloker yang adekuat dan kalium iodida dalam periode pra-operasi.
Komplikasi bedah setelah tiroidektomi pada GD pasien relatif jarang, yaitu,
hipoparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara.2
4. Terapi Beta Blocker
Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidisme diakibatkan oleh adanya hipersensitivitas
pada sistim simpatis. Meningkatnya rangsangan sistem simpatis ini diduga akibat
meningkatnya kepekaan reseptor terhadap katekolamin. Penggunaan obat-obatan
golongan simpatolitik diperkirakan akan menghambat pengaruh hati. Reserpin,
guanetidin dan penyekat beta (propranolol) merupakan obat yang masih digunakan.
Berbeda dengan reserpin/guanetidin, propranolol lebih efektif terutama dalam kasus-
kasus yang berat. Biasanya dalam 24 - 36 jam setelah pemberian akan tampak penurunan
gejala. Khasiat propranolol antara lain:
a. Penurunan denyut jantung permenit
b. Penurunan cardiac output
c. Perpanjangan waktu refleks Achilles
d. Pengurangan nervositas
e. Pengurangan produksi keringat
f. Pengurangan tremor
Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat menghambat konversi T4 ke
T3 di perifer. Bila obat tersebut dihentikan, maka dalam waktu ± 4 - 6 jam hipertiroid
dapat kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan, karena penggunaan dosis tunggal
propranolol sebagai persiapan operasi dapat menimbulkan krisis tiroid sewaktu
operasi.3,13,14,15,16
G. Prognosis
Prognosis GD tercermin dari tingkat remisi dan relaps. Tingkat remisi di antara orang dewasa
lebih tinggi daripada anak-anak. ATD dapat menginduksi remisi permanen pada 30-50%
kasus. Jika kambuh terjadi pada pasien GD yang diobati dengan ATD, maka terapi destruktif
lebih cenderung menjadi lebih opsi yang sesuai. Setelah 12-18 bulan pengobatan ATD,
sekitar lebih dari 50% pasien akan mengalami kekambuhan. Beberapa penelitian melaporkan
hal itu tingginya kadar TSH-RAb sebelum penghentian terapi diduga terkait dengan risiko
relaps yang tinggi. Rasio T3 / T4 lebih dari 20 terkait dengan risiko kekambuhan lebih dari
80%. Kadar TSH rendah 4 minggu setelah penghentian ATD berhubungan dengan
kekambuhan terjadi pada 70% kasus. Ada korelasi antara volume tiroid dan aliran darah, di
mana temuan ini memperkuat korelasi yang diketahui sebelumnya antara besar struma dan
risiko tinggi kambuh. Aliran darah arteri tiroid superior juga sudah dikenal sebagai salah satu
prediktor risiko kekambuhan. Semua pasien harus dipantau secara ketat untuk terkait risiko
kekambuhan yang terjadi setelah penghentian ATD. Sekitar 75% peristiwa kambuh terjadi
dalam 3 bulan pertama setelah penghentian. Jika kekambuhan terjadi, harus dilakukan
pemberian ATD dalam jangka waktu yang lebih lama atau alternative lainnya seperti terapi
destruktif kemungkinan akan dipertimbangkan.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Pusdatin Kemenkes RI. Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid. Kemenkes RI. 2015.
2. The Indonesian Society of Endocrinology Task Force on Thyroid Diseases. Indonesian
Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism. Journal of the ASEAN Federation of
Endocrine Societies. 2012; 27(1).
3. Hermawan AG. Pengelolaan dan Pengobatan Hipertiroidisme. Cermin Dunia Kedokteran 63.
1990.
4. Sumanggar Ps. Thyrotoxicosis di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Palembang. Dalam :
Naskah Lengkap KOPAPDI V, Jilid I. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP — RS
Kariadi, Semarang 1981, hal. 53.
5. Ingbar SH Woeber KA. Disease of the Thyroid. In : Harrison's Principles of Internal
Medicine. Isselbacher KJ et.al. (eds) 9th ed. Tokyo : McGraw-Hill Hogakusha Ltd. 1980. p.
1694
6. Shambaugh GE. Chemistry and actions of thyroid hormone : Biologic and cellular effects.
In : The Thyroid, a fundamental and clinical text. Werner SC, Ingbar SH (Eds) 4 th ed.
Maryland. Harper and Row,1978; p. 115.
7. Kaplan MM, Utiger PD. Diagnosis of Hyperthyroidism. In : Clinics in Endocrinology and
Metabolism; Thyrotoxicosis. Volpe R (ed) Vol. 7/No. 1 London, Philadelphia, Toronto. WB
Saunders Co Ltd. March 1978; p. 197.
8. Wall JR, Kuraki T. Immunologic Factors in Thyroid Disease. Med Clin N Am 1985; 69 : 913.
9. Yeo PPB. Hyperthyroidism Treatment and Prediction of Relapse. Med. Progr 1984; 11 : 16.
10. Gossage AAR, Munro DS. The Pathogenesis of Graves Disease. Clinics In Endocrinology
And Metabolism 1985; 14 : 299.
11. Permono, Sri Walijoeni.Pola hipertiroidi di Poliklinik Tiroid. Karya Akhir. Penelitian
Retrospektif di Polildinik Tiroid Bagian Penyakit Dalam Fak. Kedokteran Universitas
Airlangga R.S. Dr. Soetomo Surabaya, 1980; hal. 31.
12. Cooper DS, Ridgway EC. Clinical Management of Patients with Hyperthyroidism. Med Clin
N Am 1986; 69 : 953.
13. Riddle MC, Schwartz TB. New tactics for hyperthyroidism : Sympatheticblockade. Ann Inter
Med 1970; 72 : 749.
14. Braverman LE. Therapeutic Considerations. In : Clinics in Endocrinology and Metabolism;
Thyrotoxicosis. Volpe R. (Ed) Vol. 7/No. 1 London, Philadelphia, Toronto. WB Saunders Co
Ltd. March 1978, p. 221.
15. Langer A, Hung CT, McA'Nulty JA, Harringan JT, Washington E. Adrenergic blockade. A
new approach to hyperthyroidism during pregnancy. Obstet Gynecol 1974; 44 : 181.
16. Mc Devitt DG, Shanks RG. Beta adrenoceptor blocking drugs in Hyperthyroidism In : Avery
GS (ed.) : Cardiovascular drugs. Vol 2. Adis Press. Sydney, 1977. p. 161

Anda mungkin juga menyukai