Anda di halaman 1dari 15

PENGENALAN PARASITOID

(Laporan Praktikum Pengendalian Hama Terpadu Tebu)

Oleh

Zuhroniah
1404122070

PROGRAM STUDI D3 PERKEBUNAN


JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Musuh alami hama dan patogen adalah organisme yang mengganggu patogen,
sedangkan musuh alami hama adalah organisme yang mengganggu hama. Bentuk
gangguannya dapat berupa hiperparasitik, antagonistik, predatorik, parasitoid, dan
patogenik. Secara alami, patogen merupakan musuh tanaman tetapi patogen juga
mempunyai musuh yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan
patogen. Mekanisme pertumbuhannya dapat secara antagonistik atau
hiperparasitik. Musuh alami yang antagonistik biasanya menghasilkan antibiotik
yang berfungsi untuk menghambat atau membunuh patogen (organisme lain).
Musuh alami yang hiperparasit hidupnya dengan cara memarasit patogen.

Parasitoid dapat diartikan sebagai hewan yang hidupnya menumpang pada hewan
lain dan mengisap cairan tubuh inang sehingga dapat menyebabkan kematian
inangnya. Biasanya parasitoid berukuran lebih kecil dari pada inangnya (hama)
dan satu individu parasitoid hanya memerlukan satu individu inang untuk
berkembang menjadi dewasa. Bahkan dalam satu inang dapat hidup beberapa
larva atau kepompong parasitoid. Parasitoid mematikan inangnya secara
perlahan-lahan. Kebanyakan serangga parasitoid adalah anggota ordo
Hymenoptera dan Diptera. Parasitoid dapat menyerang dan berkembang dalam
berbagai fase hidup hama (inangnya). Misalnya ada parasitoid telur, larva nimfa,
kepompong, dan serangga dewasa. Trichogramma (anggota ordo Hymenoptera)
adalah salah satu contoh parasitoid telur hama penggerek batang padi. Hama
dapat terinfeksi oleh patogen (kuman) yang disebabkan oleh nematoda, jamur,
bakteri, rickettsia, dan virus. Patogen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh hama
dengan jalan: merusak integumen, melalui spiraculum, anus atau lubang masuk
yang lain. Umumnya patogen masuk lewat mulut atau alat pencernaan. Contoh
patogen serangga adalah Bacillus thuringiensis sebagai bakteri patogen larva
Lepidoptera dan Metarrhizium anisoliae penyebab penyakit muscadine hijau pada
kumbang kelapa (Oryctes fhinoceros).

1.2. Tujuan Praktikum

Tujuuan pada praktikum ini adalah:


1. Untuk mengetahui beberapa jenis musuh alami pada hama yang
menyerang berbagai jenis tanaman
2. Untuk membedakan parasitoid telur dan larva
II. METODOLOGI PRAKTIKUM

2.1. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah lup, mokroskop, gambar
spesimen, cawan petri dan kamera.

Sedangkan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah spesimen


Sturmiopsis inferens, Apanteles flavipes, Terastichus schoenobii,

2.2. Prosedur Kerja

Prosedur kerja pada praktikum ini adalah


1. disiapkan alat dan bahan
2. diamati spesies yang berada di meja praktikum yaitu Sturmiopsis inferens
didalam cawan petri
3. diamati gambar Trichogramma chilonis dan Telenomus rowanii yang telah
tersedia di meja praktikum
4. Kemudian digambar dan ditulis sesuai dengan instruksi asisten
5. Selanjutnya diamati parasitoid Apanteles flavipes dan Tetrastichus schoenobii
pada mikroskop.
6. difoto parasitoid tersebut.
7. Kemudian ditulis penjelasan dari asisten tentang parasitoid.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan yang didapat adalah sebagai berikut:


No. Gambar Keterangan
1. Sturmiopsis inferens
Parasitoid ini merupakan parasitoid
larva

2. Apanteles flavipes
Parasitoid ini merupakan parasitoid
larva

3. Terastichus schoenobii
Parasitoid ini merupakan parasitoid
telur

4. Trichogramma chilonis
Parasitoid ini merupakan parasitoid
telur

5. Telenomus rowanii
Parasitoid ini merupakan parasitoid
telur
3.2. Pembahasan

3.2.1. Sturmiopsis inferens

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Tachinidae
Genus : Sturmiopsis
Spesies : inferens

Telur lalat S. Inferens berukuran kecil dan terdapat di dalam tubuh betina,
bentuknya hampir bulat dengan ukuran diameter sekitar 0,15 – 0,17 mm dan
berwarna putih. Larva instar pertama dan kedua berwarna putih, transparan,
tertutup oleh lapisan tipis seperti membran telur, mempunyai 13 segmen,
termasuk di bagian kepala. Larva pada instar pertama mempunyai panjang tubuh
sekitar 0,46 mm dan lebar 0,11 mm. Larva instar kedua dan ketiga tidak jauh
berbeda kecuali pada warna larva dan ukurannya. Larva instar kedua mempunyai
panjang tubuh 4 – 4,5 mm sedangkan pada instar ketiga panjangnya sekitar 7 – 8,3
mm. Larva instar ketiga berwarna krem cerah dan segmen – segmen pada
tubuhnya terlihat dengan jelas.

Pupa berwarna coklat cerah pada saat pertama kali terbentuk. Sehari setelah
pembentukan pupa berubah warna menjadi coklat gelap. Panjangnya sekitar
6,2 – 8,1 mm dengan ukuran diameter sekitar 2,9 – 3,4 mm. Pupa berbentuk
silindris dan memiliki permukaan yang halus. Pada awal pembentukkan pupa
segmen masih terlihat jelas, tetapi setelah satu atau dua hari kemudian perubahan
warna menyebabkan segmen – segmen pada pupa menjadi tidak terlihat dengan
jelas. Di India, daur hidup S. inferens di laboratorium pada suhu 29,50 0C
berkisar antara 30 – 42 hari, tetapi di Lampung (PT. Gunung Madu Plantations)
daur hidup lalat S. inferens adalah sekitar 22 – 32 hari.
Salah satu syarat penting penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama
adalah kemudahannya untuk diperbanyak (rearing) di laboratorium, terutama
untuk tujuan pelepasan (augmentasi). Salah satu syarat ini dipenuhi oleh lalat S.
Inferens yang terbukti dapat diperbanyak di laboratorium dengan menggunakan
inang C. auricilius. Lalat S. Inferens betina yang digunakan sebagai starter dalam
perbanyakan di laboratorium adalah yang telah kawin dan berumur 12 hari. Lalat
tersebut dimatikan dan agar tidak berubah posisi saat pengambilan larva lalat
maka punggungnya ditusuk dengan menggunkan alat seperti jarum yang
bertangkai. Lalat diletakkan pada kaca cekung yang telah diberi sedikit aquadest.
Perut bagian belakang lalat starter ditarik secara hati – hati dengan menggunakan
pinset agar larva lalat keluar. Larva lalat S. Inferens yang digunakan untuk
inokulasi pada tubuh larva inang adalah yang bergerak. Gerakan tempayak (larva
lalat) ini dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar. Punggung larva inang
dibasahi dengan cara mengoles punggungnya dengan kuas basah, kemudian larva
lalat diinokulasikan ke punggung inang dengan menggunakan kuas. Jumlah larva
lalat yang diinokulasikan adalah sebanyak 2 larva lalat.

Dari hasil penelitian, infestasi dengan 2 larva S. Inferens per inang tingkat
parasititasinya tinggi, pada infestasi lebih dari 2 larva S. inferens akan mulai
tampak pengaruh superparasitisme. Pada infestasi dengan 1 larva S. Inferens akan
lebih banyak inang yang tidak terparasit, sedangkan jika inang diinokulasi lebih
dari 2 larva S. inferens maka parasitasinya akan berkurang dan meningkatkan
kematian inang sebelum larva S. inferens menyelesaikan perkembangannya.
S. inferens biasanya hanya membentuk satu pupa pada satu ekor inang, walaupun
mungkin lebih dari 1 larva lalat S. inferens yang memasuki tubuh inang.
Setelah diinokulasi, larva inang ditempatkan pada wadah gelap, masing – masing
1 wadah 1 inang, kemudian didiamkan selama 1 jam untuk memberi kesempatan
pada larva lalat untuk masuk ke dalam tubuh inang. Setelah satu jam, inang
kemudian dipindahkan ke potongan batang tebu dalam stoples dan dipelihara
selama 12 hari.
Setelah 12 hari, batang tebu dibongkar dan pupa lalat dari inang yang terinfeksi
diambil. Pupa lalat tersebut kemudian disimpan dalam kontainer plastik yang
dibawahnya dilapisi kapas lembab dan diberi sekat jaring dan plastik.
Setelah 5 hari pupa akan menetas. Lalat betina yang baru menetas langsung
dikawinkan. Keberhasilan perkawinan pada betina yang baru menetas berkisar
80%. Lalat betina yang baru menetas akan segera kawin dengan lalat jantan yang
berumur 1 - 5 hari. Tidak ada perbedaan dalam ketahanan hidup tetapi penurunan
fertilitas dan fekunditas terjadi secara signifikan pada lalat betina yang kawin
sehari setelah menetas. Lalat – lalat tersebut kemudian dipelihara di dalam
sangkar dan dijaga agar spon yang berfungsi untuk menjaga kelembaban, yang
diletakkan di dasar dan di atas sangkar tetap basah. Selama pemeliharaan,
sangkar ditutup dengan kain hijau tua untuk mencegah lalat – lalat tersebut
bergerak aktif yang mungkin akan menyebabkan kerusakan fisik (cacat). Pakan
untuk lalat betina adalah madu yang dicampur dengan aquadest dengan
konsentrasi 20% atau 50%, sedangkan pakan untuk lalat jantan adalah madu
murni atau madu 50%. Pakan diganti setiap harinya.

Lalat betina yang telah kawin dilepas ke lapangan setelah berumur 6 hari.
Pelepasan dilakukan dengan ketentuan 15 ekor/ blok (2 – 7 hektar) (Fitri, 2013).

3.2.2. Apanteles flavipes

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hymenoptera
Famili : Braconidae
Genus : Apanteles

Apanteles sp. memiliki antena lebih panjang dari tubuh, tubuh berwarna hitam dan
berwarna kuning pada bagian abdomen dan kakinya, sedangkan pada sayap
terdapat RV (Reccurent vein). Apanteles sp. merupakan musuh alami yang
berupa parasitoid larva. Parasitoid ini mempunyai kisaran inang yang luas, antara
lain Plusia chalcites, Crocidolomia binatalis, Attacuc atlas, danSpodoptera litura.
Apanteles dewasa berukuran sangat kecil, panjangnya sekitar 2-3 mm. Apanteles
betina meletakkan telur ke dalam tubuh inang dengan ovipositornya, biasanya
dalam satu inang akan diletakkan telur sebanyak 16-65 butir. Telur-telur tersebut
akan menetas dalam 2-3 hari, dan larva yang muncul akan segera memakan tubuh
inangnya dari dalam (endoparasitoid). Menjelang berpupa, larva akan keluar dari
tubuh inang dan berpupa di luar tubuh inang. Pupa Apanteles berwarna putih.
Dewasa yang muncul hanya hidup beberapa hari saja. Apanteles yang ditemukan
pada saat penelitian menyerang ulat dari anggota Famili Lymantriidae (Eggleton ,
1995).

Kemampuan parasitoid untuk memarasit ditentukan oleh ukuran (instar) larva.


Larva dengan ukuran kecil maupun sedang, tidak berhasil diparasiti oleh A.
flavipes. Ukuran larva inang merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap
jumlah kokon parasitoid, karena parasitoid A. flavipes merupakan parasit
gregarious, yang artinya lebih dari satu individu dapat hidup bersama-sama dalam
satu inang. Persentase keberhasilan kokon menjadi imago lebih tinggi pada inang
berukuran besar. Ini menunjukkan bahwa daya dukung larva besar atau tua lebih
baik dibandingkan larva muda.

3.2.3. Terastichus schoenobii

Klasifikasi parasitoid
Kelas : Insecta
Ordo : Hymenoptera
Famili : Eulophidae
Genus : Tetrastichus
Spesies : schoenobii

Tetrastichus schoenobii Ferriere termasuk famili Eulopidae dari ordo


Hymenoptera. Ukuran tubuh T. schoenobii lebih besar dibanding Telenomus dan
Trichogramma, yaitu 1,0-1,6 mm. Perkembangan T. schoenobii dari telur sampai
dewasa membutuhkan waktu 10-14 hari. T. schoenobii adalah parasitoid telur
penggerek batang padi yang lebih efektif dibanding T. rowani dan T. japonicum.
Hal ini terkait dengan sifat parasitoid T. schoenobii yang juga berperan sebagai
predator. Dilaporkan bahwa setiap larva T. schoenobii mampu memangsa 2-3
butir telur penggerek batang padi dan daya kompetisinya lebih kuat daripada
parasitoid lainnya. Jumlah telur yang terparasit oleh T. schoenobii tidak
dipengaruhi oleh ukuran kelompok telur. T. schoenobii biasa dijumpai di lahan
basah maupun sawah lahan kering.

T. schoenobii biasanya memarasiti telur dan pupa. Sebelum oviposisi betina


menyeleksi telur penggerek dalam masa telur. Parasitoid betina meletakkan satu
telur untuk setiap telur penggerek. T. schoenobii membutuhkan waktu menetas
pada 1-2 hari. Perkembangan larva T. Schoenobii terjadi dalam telur inang. Jika
protein sebutir telur telah habis, larva parasitoid akan berpindah ke telur
penggerek lainnya tiap larva parasitoid akan membutuhkan 3 butir telur inang
dalam berkembang. Parasitoid dewasa akan muncul setelah ovipasi yaitu 1-2 hari.

Tetrastichus schoenobii memiliki kelimpahan yang tinggi , karena kemampuan


hidup dan daya reproduksinya tinggi. Parasitoid yang muncul dari tubuh pupa
inang dapat langsung berkopulasi. Tetrastichus schoenobii termasuk parasitoid
gregarius yaitu pada satu inang dapat muncul beberapa individu parasitoid. Di
dalam tubuh inang larva T. Schoenobii tidak menyerang sesama bahwa parasitoid
ini tidak kanibal, namun larva parasitoid ini tetap memarasit inang sehingga inang
kehilangan turgor, menjadi gelap, dan busuk. Keanekaragaman atau kelimpahan
serangga parasitoid parasitoid yang ditemukan sangan terpengaruh terhadap faktor
abiotik jika pengambilan data dilakukan saat musim hujan. Memakai serangga
parasitoid sangat tergantung dari kondisi lingkungan fisik yaitu suhu, radiasi
matahari, kecepatan angin, dan curah hujan.

3.2.4. Trichogramma chilonis

Klasifikasi parasitoid
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hymenoptera
Subordo : Apocrita
Superfamili : Chalcidoidea
Famili : Trichogrammatidae
Genus : Trichogramma

Parasit Trichogramma ini berwarna hitam, lebih kecil dari semut. Hama ini sering
muncul dari kelompok telur pengerek batang. Parasit ini meletakkan telur dengan
menyuntikkan ovipositornya diantara bulu-bulu halus yang menutup telur. Telur
parasit diletakkan satu per satu pada tiap telur pengerek batang. Tingkat parsitasi
dilapangan berkisar antara 40%.

Parasitoid telur Trichogramma memiliki panjang tubuh 0,75 mm dengan tubuh


berwarna hitam dan mata merah yang khas (Darmadi, 2008). Tarsus dengan tiga
ruas. Sayap depan sangat lebar dengan rambut-rambut yang membentuk garis,
vena marginal dan stignal membentuk kurva tunggal. Sayap belakang sempit dan
berambut apabila dipelihara pada suhu 30oC dan kelembapan 80% tubuh berwarna
cokelat kehitaman, rambut-rambut pada sayap depan panjang, ovipositor keluar di
ujung abdomen. Imago jantan mempunyai antenna berbentuk clavus dengan 30-
40 rambut, tiap rambut panjangnya 3 kali lebar antenna. Ovipositor pada betina
hampir satu setengah kali lebih panjang daripada tibia belakang yang
memungkinkan betina untuk meletakkan telur ke dalam telur yang tertutup bulu.
Ukuran telur sekitar 0,31mm. rasio jenis kelamin dewasa jantan dan betina adalah
1:2,3. Parasitoid ini merupakan parasitoid yang hidup berkelompok (Pracaya ,
2008).

Larva Trichogramma terdiri dari tiga instar. Setelah mencapai instar 3 (3-4 hari
setelah telur terparasit), telur penggerek batang berubah warnanya menjadi gelap
atau hitam. Larva kemudian berkembang menjadi pupa. Setelah 4-5 hari, pupa
berubah menjadi imago, dan keluar dari telur inang dengan membuat lubang bulat
pada kulit telur. Daur hidup sejak telur diletakkan hingga imago muncul sekitar
8 hari. Setiap betina biasa menghasilkan telur sebanyak 50 butir.
Perkembangbiakan dengan perkawinan atau parthenogenesis. Parasitoid betina
yang kawin menghasilkan keturunan betina dan jantan, sedangkan yg tidak kawin
akan menghasilkan jantan saja (Gullan, 1999). Pada saat pemarasitan, parasitoid
Trichogramma betina akan menguji telur dengan memukulnya menggunakan
antenna, menggerek masuk ke dalam telur inang dengan ovipositornya dan
meletakkan satu atau lebih telur tergantung ukuran telur inang. Pada saat
Trichogramma betina menemukan inangnya, biasanya akan tinggal dekat atau
menetap pada inangnya untuk periode yang panjang selama terjadinya
pemarasitan. Populasi parasitoid dipengaruhi oleh keberadaan inang dan kondisi
lingkungan. Populasi inang yang rendah menyebabkan parasitoid tidak
berkembang, parasitoid dewasa aktif pada siang hari dan terbang menuju ke arah
sumber cahaya. Tingkat pemarasitan di lapangan berkisar antara 40% (Pracaya ,
2008).

Hasil evaluasi yang dilakukan pada tahun 1977 menunjukkan bahwa


Trichogramma mampu hidup dan berkembang biak dengan baik di pertanaman,
meskipun pelepasan sebanyak 50.000 ekor Trichogramma per hektar per musim
tanam belum cukup mampu menaikkan daya parasitisasinya. Menurut Boedijono
(1990 dalam Untung 1993), untuk dapat mengendalikan penggerek batang tebu
diperlukan pelepasan Trichogramma sebanyak 250.000 telur per hektar.
Penelitian mendalam mengenai pengembangan dan pelepasan parasitoid dari
genus Trichogramma telah banyak dilakukan di beberapa negara dan dilaporkan
berhasil dalam menekan populasi hama terutama dari ordo Lepidoptera (Pratiw,
2012).

3.2.5. Telenomus rowanii

Klasifikasi parasitoid
Kingdom : Animalia
Filum : Arthrophoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hymenoptera
Subordo : Aprocita
Superfamili : Scelionoidea
Famili : Scelionidea
Genus : Telenomus

Parasit telur Telenomus merupakan parasit kecil berwarna hitam yang


memparasiti telur-telur penggerek batang padi. Tabuhan telenomus mencari
ngegat betina pengerek batang yang telah siap bertelur dan kemudian hinggap
di ujung perut ngegat dewasa, dekat dengan ovipositor. Ketika ngegat mulai
bertelur, tabuhan ini segera menitipkan telurnya dengan menyuntikkan kedalam
telur-telur yang abru keluar dari ngegat-ngengat dewasa. Setelah 10-14 hari, yang
keluar dari kelompok telur tersebut bukan ulat pengerek batang padi namun yang
keluar tersebut adalah tabuhan telenomus baru yang siap mengamankan sawah
dari serangan pengerek batang padi. Tingkat parasitasi tabuhan telenomus
dilapangan adalah antara 36%-90% (Kurnia, 2011).
IV. KESIMPULAN

Dari praktikum ini di dapat kesimpulan sebagi berikut :


1. Parasitoid yaitu hewan yang hidupnya menumpang pada hewan lain dan
mengisap cairan tubuh inang sehingga dapat menyebabkan kematian
inangnya
2. Musuh alami yang yang dipelajari adalah Sturmiopsis inferens, Apanteles
flavipes, Tetrastichus schoenobii, Telenomus rowanii, dan Trichogramma
chilonis
3. Parasitoid telur yaitu Tetrastichus schoenobii, Telenomus rowanii, dan
Trichogramma chilonis. Sedangkan untuk parasitoid larva yaitu Sturmiopsis
inferens, Apanteles flavipes
DAFTAR PUSTAKA

Kurnia, Puja. 2011.


http://makalah4all.wap.sh/Data/Kumpulan+makalah+pertanian/__xtblog_en
try/9601699-pemanfaatan-hama-dan-musuh-alami-dan-musuh-alami-hama-
penggerek-batang-padi?__xtblog_block_id=1

Pratiw, S.Wulan. 2012. http://myrealact.blogspot.co.id/2012/06/penggunaan-


parasitoid-telur-dan-larva.html

Fitri, Y.Azmia. 2013. http://ditjenbun.pertanian.go.id/perlindungan/berita-191-


lalat-sturmiopsis-sahabat-petani-tebu.html

Gullan, P.J; Cranston PS. 1999. The Insect An Outline of Entomology. Edisi
Ke-2. Oxford: Blackwell Sci.

Pracaya. 2008. Hama dan penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.

Eggleton P, Bignell DE. 1995. Monitoring the response of tropical insects to


changes in the environment: troubles with termites. Di dalam: Harrington R,
Stroks NE. Insects in a Changing Environment. London: Academic Pr. hal:
473-497

Anda mungkin juga menyukai