ABSTRAK
Politik hukum pembentukan Perpu Pilkada adalah untuk mengembalikan mekanisme pemilihan
PEOPLE SMUGGLING:
kepala daerah secara langsung oleh rakyat, yang sebelumnya telah berubah menjadi dipilih oleh
DPRD berdasarkan UU Pilkada. Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimanakah
politik hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dan apa yang menjadi unsur
“kegentingan yang memaksa” dalam membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu Pilkada).
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif, sedangkan data
yang diperoleh dalam membantu penulisan ini menggunakan data sekunder. Teknik untuk
mengkaji dan mengumpulkan data sekunder tersebut adalah dengan cara menggunakan studi
dokumenter. Analisis data dalam penulisan ini menggunakan analisis kualitatif. Bahasan dalam
penulisan ini tidak terdapat unsur “kegentingan yang memaksa” dalam pembentukan Perpu
Pilkada, meskipun dalam konsiderannya menyebutkan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai rujukan utama pembentukannya.
Kata Kunci : Politik Hukum, Presiden, Perpu, Pilkada, Kegentingan yang memaksa
ABSTRACT
The legal politics of the establishment of the Local Election Law Law is to restore the mechanism
of direct regional head elections by the people, who have previously been changed to be elected by
the DPRD based on the Election Law. The formulation of the problem in this paper is how the
legal politics of establishing Government Regulation in lieu of Law Number 1 of 2014 concerning
the Election of Governors, Regents and Mayors, and what constitutes an element of "compulsive
urgency" in establishing Government Regulation in Lieu of Law Number 1 Year 2014 concerning
the Election of Governors, Regents, and Mayors of (The Regional Government Election). The
approach used in this writing is normative juridical research, while the data obtained in assisting
this writing uses secondary data. The technique for reviewing and collecting secondary data is by
using documentary studies. Data analysis in this paper uses qualitative analysis. In this writing,
there is no element of "compelling force" in the formation of the Regional Government Regulation
on Election, although in its consideration it states that the Decision of the Constitutional Court
Number 138 / PUU-VII / 2009 is the main reference for its formation.
Keywords: legal politics,
*Fakultas Hukum president,
Universitas Government regulations, regional election, compulsive crises
Balikpapan
79
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
80
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
81
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
82
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
83
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
Di dalam kepustakaan hukum publik Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945,
terutama dalam hukum administrasi disebutkan bahwa “Presiden Republik
negara, wewenang pemerintahan Indonesia memegang kekuasaan
berdasarkan sifatnya dapat dilakukan pemerintahan menurut Undang-Undang
pembagian sebagai berikut:14 Dasar”. Terdapat beberapa kewenangan
1) wewenang yang bersifat terikat: Presiden yang diatur dalam Undang-
wewenang yang harus sesuai Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dengan aturan dasar yang Tahun 1945, yang meliputi:
menentukan waktu dan keadaan 1) mengajukan rancangan
wewenang tersebut dapat undang-undang kepada DPR
dilaksanakan, termasuk rumusan [Pasal 5 ayat (1)];
dasar isi dan keputusan yang 2) menetapkan peraturan
harus diambil; contohnya adalah pemerintah untuk menjalankan
wewenang penyidik untuk undang-undang sebagaimana
menghentikan penyidikan. mestinya [Pasal 5 ayat (2)];
2) wewenang bersifat fakultatif: 3) menyatakan perang, membuat
wewenang yang dimiliki oleh perdamaian dan perjanjian
badan atau pejabat administrasi, dengan negara lain, dengan
namun demikian tidak ada persetujuan DPR [Pasal 11 ayat
kewajiban atau keharusan untuk (1)];
menggunakan wewenang tersebut 4) menyatakan keadaan bahaya,
dan sedikit banyak masih ada yang syarat dan akibatnya
pilihan lain walaupun pilihan ditetapkan dengan undang-
tersebut hanya dapat dilakukan undang [Pasal 12];
dalam hal dan keadaan tertentu 5) mengangkat duta dan konsul
berdasarkan aturan dasarnya; [Pasal 13 ayat (1)];
contohnya adalah diskresi Polri 6) menerima penempatan duta
dalam berlalu lintas. negara lain dengan
3) wewenang bersifat bebas: memperhatikan pertimbangan
wewenang badan atau pejabat DPR [Pasal 13 ayat (3)];
pemerintahan (administrasi) dapat 7) memberi grasi dan rehabilitasi
menggunakan wewenangnya dengan memperhatikan
secara bebas untuk menentukan pertimbangan Mahkamah
sendiri mengenai isi dan Agung [Pasal 14 ayat (1)];
keputusan yang akan dikeluarkan, 8) memberi amnesti dan abolisi
karena peraturan dasarnya dengan memperhatikan
memberi kebebasan kepada pertimbangan DPR [Pasal 14
penerima wewenang tersebut; ayat (2)];
contohnya adalah menembak atau 9) memberi gelar, tanda jasa, dan
tidak tersangka ketika ditangkap. lain-lain tanda kehormatan
yang diatur dengan undang-
Dalam konsep ketatanegaraan di undang [Pasal 15];
Indonesia, Presiden adalah sebagai 10) membentuk suatu dewan
pemimpin negara. Berdasarkan ketentuan pertimbangan yang bertugas
memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1999),
hlm.70. [Pasal 16];
14
Nomensen Sinamo, Op.Cit., hlm. 99-102
84
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
85
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
86
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
87
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
88
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
89
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
3.
menetapkan Perpu untuk Pembangunan hukum yang hendak
mencabut keberlakuan RUU dibangun oleh Pemerintah mengenai
Pilkada tahun 2014 yang pemilihan kepala daerah adalah dimulai
telah disetujui. dengan harmonisasi perundang-undangan,
Ambisi Presiden Susilo Bambang dimana sebelumnya pengaturan pemilihan
Yudhoyono begitu mudah dipahami secara kepala daerah masih satu bagian dalam
sederhana, dapat dilihat dari aksinya yang undang-undang mengenai pemerintahan
mempengaruhi sikap Partai Demokrat, dan daerah sebagaimana terakhir diatur dalam
pilihannya untuk menduduki jabatan Ketua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pusat Partai Demokrat di saat masih tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
menjabat sebagai Presiden Republik telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Indonesia. Jika Presiden Susilo Bambang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Yudhoyono fokus pada jabatannya sebagai tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Presiden Republik Indonesia, skenario Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
bahwa fraksi Partai Demokrat yang walk Pemerintahan Daerah. undang-undang
out dalam voting adalah sikap independen mengenai pemilihan kepala daerah hendak
partai tentunya masih dapat diterima di dibuat menjadi lex speciali.
masyarakat, sehingga muncul tampilan Dalam konteks pembangunan hukum
seorang Presiden yang sedang dalam mengenai pemilihan kepala daerah,
tekanan kekuatan politik di parlemen. Pemerintah terlihat jelas tidak memiliki
Langkah itu akan semakin elegan kepastian sikap. Disebut demikian karena
manakala dilanjut dengan pernyataan sikap beberapa hal sebagai berikut:
Pemerintah yang tidak menyetujui RUU 1. Pemerintah berpendirian bahwa
Pilkada tahun 2014. pemilihan kepala daerah secara
Sebagaimana yang telah disampaikan langsung oleh rakyat sejak awal
oleh Moh. Mahfud MD dalam pembahasan RUU Pilkada;
penelitiannya mengenai politik hukum25, 2. Pemerintah menyetujui RUU
dimana disebutkan bahwa politik hukum Pilkada sehingga kemudian sah
merupakan legal policy yang akan atau menjadi Undang-Undang Nomor
telah dilaksanakan secara nasional oleh 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Pemerintah Indonesia yang meliputi Gubernur, Bupati, dan Walikota
pembangunan hukum yang berintikan dengan ditandatangani oleh
pembuatan dan pembaruan terhadap Presiden Susilo Bambang
materi-materi hukum agar dapat sesuai Yudhoyono pada tanggal 30
dengan kebutuhan, dan pelaksanaan September 2014 dan diundangkan
ketentuan hukum yang telah ada termasuk oleh Menteri Hukum dan Hak
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan Asasi Manusia pada tanggal 2
para penegak hukum. Pendapat tersebut Oktober 2014; dan
diperkuat Otong Rosadi dan Andi Desmon, 3. Presiden Susilo Bambang
bahwa politik hukum adalah proses Yudhoyono menetapkan dan
pembentukan dan pelaksanaan sistem atau mengundangkan Peraturan
tatanan hukum yang mengatur kehidupan Pemerintah Pengganti Undang-
masyarakat dalam negara secara Undang Nomor 1 Tahun 2014
26
nasional. tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota pada tanggal
25 2 Oktober 2014.
Op.Cit. Moh. Mahfud MD, hlm. 43
26
Op.Cit. Otong Rosadi dan Andi Desmon,
hlm. 13
90
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
Sikap Pemerintah yang selama secara langsung oleh rakyat dengan syarat
pembahasan RUU Pilkada tahun 2014 10 hal perbaikan di tubuh RUU Pilkada.
menginginkan pemilihan kepala daerah Opsi tersebut diusulkan melalui fraksi
secara langsung oleh rakyat tidak diperkuat Partai Demokrat, bukan melalui
dengan pernyataan menolak RUU Pilkada kelembagaan dalam ketatanegaraan29,
tahun 2014, padahal Pemerintah memiliki dimana posisi ini lah yang memiliki
landasan konstitusional sebagaimana diatur kekuatan lebih. Saat pembahasan RUU
dalam Pasal 20 ayat (3) UUD NRI 1945 Pilkada, Pemerintah mendukung opsi
dimana jika tidak mendapatkan persetujuan pemilihan kepala daerah langsung oleh
bersama (DPR dan Presiden), maka RUU rakyat, yang saat itu diwakili oleh Menteri
tersebut tidak dapat dibahas lagi dalam Dalam Negeri serta Menteri Hukum dan
persidangan DPR masa itu. Berdasarkan Hak Asasi Manusia.
hal tersebut, seharusnya Pemerintah Presiden Susilo Bambang
menyatakan tidak setuju terhadap RUU Yudhoyono kemudian menetapkan dan
Pilkada yang dibahas dalam Rapat mengundangkan Peraturan Pemerintah
Paripurna DPR, sehingga sistem pemilihan Pengganti Undang-Undang Nomor 1
kepala daerah oleh DPRD tidak perlu Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
terjadi. Bupati, dan Walikota, dengan
Sebelum kondisi voting mengenai memunculkan diri secara kelembagaan,
27
opsi mana yang akan digunakan untuk yakni pemegang kekuasaan eksekutif.
RUU Pilkada tahun 2014, posisi parlemen Tindakan yang tampak sengaja dibuat
lebih kuat ke opsi pemilihan kepala daerah secara terlambat untuk meraih simpati
secara langsung oleh rakyat, yakni 287 masyarakat Indonesia saat itu. Disebut
berbanding 273. Sebanyak 287 anggota sengaja dibuat secara terlambat karena
DPR yang mendukung opsi pemilihan Presiden Susilo tidak mengambil hak
kepala daerah secara langsung oleh rakyat konstitusional berdasarkan Pasal 20 ayat
(terdiri atas fraksi Partai Demokrat yang (3) UUD NRI 1945 dan malah
berjumlah 148 orang, fraksi PDIP yang mengusulkan opsi baru melalui fraksi
berjumlah 94 orang, fraksi PKB yang Partai Demokrat.
berjumlah 28 orang, dan Partai Hanura Berdasarkan analisis tersebut di atas,
yang berjumlah 17 orang), sebanyak 273 penulis berpendapat bahwa Pemerintah
orang anggota DPR yang mendukung opsi saat itu tidak memiliki perencanaan
pemilihan kepala daerah oleh DPRD pembangunan hukum di Indonesia,
(terdiri atas fraksi Partai Golkar yang khususnya mengenai pemilihan kepala
berjumlah 106 orang, fraksi PKS yang daerah. Pemerintah tidak memiliki
berjumlah 57 orang, fraksi PPP yang keseriusan dalam pembaharuan hukum,
berjumlah 38 orang, fraksi PAN yang hanya lebih memfokuskan diri dalam
berjumlah 46 orang, dan fraksi Partai mendesain pencitraan di akhir masa
Gerindra yang berjumlah 26 orang). jabatannya.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono kemudian mengusulkan opsi 2. Unsur “Kegentingan yang
baru28, yakni pemilihan kepala daerah Memaksa” dalam Pembentukan
Peraturan Pemerintah Pengganti
27
Opsi yang dimaksud adalah: 1) kepala Undang-Undang Nomor 1 Tahun
daerah dipilih langsung oleh rakyat; 2) kepala
daerah dipilih oleh DPRD
28 29
Opsi baru yang diusulkan tersebut Kelembagaan dalam ketatanegaraan yang
dipublikasikan secara luas melalui media cetak dimaksud adalah sebagai lembaga eksekutif/
maupun media elektronik. pemerintah.
91
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
2014 tentang Pemilihan Gubernur, unsur31, yaitu adanya keadaan yang krisis
Bupati, dan Walikota dan mendesak. Keadaan krisis yang
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa dimaksud adalah suatu keadaan yang
Indonesia (KBBI), kata “kegentingan” terdapat suatu gangguan yang
berasal dari kata “genting” yang memiliki menimbulkan kegentingannya. Mengenai
arti kecil (tipis, sempit) pada bagian unsur mendesak, artinya adalah suatu
tengah; hampir putus (tentang tali dan keadaan yang memaksa suatu tindakan
sebagainya); tegang, berbahaya (tentang atau pengaturan dengan segera tanpa
keadaan yang mungkin segera menunggu permusyawaratan terlebih
menimbulkan bencana perang dan dahulu.
sebagainya). “Kegentingan”, memiliki arti Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa
keadaan yang genting, krisis, atau kemelut. pengertian "kegentingan yang memaksa"
Kata “memaksa” berasal dari kata “paksa” itu terkandung sifat darurat atau emergency
yang berarti mengerjakan sesuatu yang yang memberikan alas kewenangan kepada
diharuskan walaupun tidak mau. Presiden untuk menetapkan Perpu atau
“Memaksa” memiliki arti memperlakukan, disebut undang-undang darurat menurut
menyuruh, meminta dengan paksa; berbuat Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, atau
dengan kekerasan (mendesak, menekan).30 emergency legislation menurut ketentuan
Menurut penulis, berdasarkan definisi konstitusi di berbagai Negara.32 Lebih
tersebut di atas, “kegentingan yang rinci, Jimly kemudian memaparkan tentang
memaksa” dapat diartikan sebagai suatu pengertian keadaan bahaya yang
keadaan kritis yang mengharuskan segera menimbulkan kegentingan yang memaksa
melakukan suatu tindakan tertentu untuk dalam 3 unsur yaitu unsur ancaman yang
mengantisipasi. membahayakan (dangerous threat), unsur
Frasa “kegentingan yang memaksa” kebutuhan yang mengharuskan
terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI (reasonable necessity), dan unsur
1945 yakni, “Dalam hal ihwal kegentingan keterbatasan waktu (limited time) yang
yang memaksa, Presiden berhak tersedia.33
menetapkan peraturan pemerintah sebagai Wiwin Sri Rahyani menyebutkan jika
pengganti undang-undang”. Pasal 1 angka “kegentingan yang memaksa” yang
4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dimaksud adalah suatu keadaan yang
tentang Pembentukan Peraturan abnormal, bahwa:34
Perundang-undangan juga menyebutkan “Kegentingan yang memaksa
bahwa, “Peraturan Pemerintah Pengganti dapat digambarkan sebagai suatu
Undang-Undang adalah Peraturan kondisi yang abnormal yang
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh membutuhkan upaya-upaya di
Presiden dalam hal ihwal kegentingan luar kebiasaan untuk segera
yang memaksa”. Tidak ada definisi secara
yuridis mengenai unsur “kegentingan yang 31
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (FH UII
memaksa” dalam peraturan perundang- Press, 2006), hlm.157.
32
undangan. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-
Undang, Jakarta: PT (jakarta: RajaGrafindo
Bagir Manan mengemukakan Persada, 2010), hlm.82.
pendapatnya mengenai “kegentingan yang 33
Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat,
memaksa” yang harus menunjukkan 2 Edisi Ke-1, Jakarta: PT (jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007), hlm.207.
34
Wiwin Sri Rahyani, diakses dari laman
<http://www.gresnews.com/berita/opini/50910-
tolok-ukur-kegentingan-yang-memaksa-dalam-
30
Kamus Besar Bahasa Indonesia penetapan-perppu/0/> pada tanggal 29 April 2017
92
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
93
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
94
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
95
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
96
Jurnal de Jure
Volume 11 Nomor I April 2019
Artikel
97