Anda di halaman 1dari 12

JOURNAL READING

“CAUSES OF HIGHER SYMPTOMATIC AIRWAY LOAD IN PATIENTS


WITH CHRONIC RHINOSINUSITIS”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu
Kesehatan Telingan Hidung dan Tenggorokan
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan kepada:
Pembimbing: dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, Msi, Med

Disusun oleh:
Armie Ayu Haryono 161 0221 012

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA


HIDUNG DAN TENGGOROKAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
PERIODE 16 APRIL-19 MEI 2018
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN
TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKOAN

Journal Reading

CAUSES OF HIGHER SYMPTOMATIC AIRWAY LOAD IN PATIENTS


WITH CHRONIC RHINOSINUSITIS

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun oleh:
Armie Ayu Haryono 161 0221 012

Telah Disetujui oleh Pembimbing

Pembimbing : dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, Msi, Med


Tanggal : April 2018

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan journal reading dengan judul “Causes of
higher symptomatic airway load in patients with chronic rhinosinusitis.”
Penulisan journal reading ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan
klinik Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan
Tenggorokan Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa. Penulis juga ingin menyampaikan rasa
terima kasih kepada dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, M.Si, Med selaku dokter pembimbing dan
teman-teman coass yang membantu dalam pembuatan journal reading ini. Penulis menyadari
dalam penyusunan journal reading ini masih banyak kekurangan sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Semoga journal reading ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca dan
bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam ilmu kedokteran.

Ambarawa, April 2018

Penulis

3
Penyebab Gejala Saluran Napas yang Lebih Berat Pada Pasien dengan Rhinosinusitis
Kronis

Øystein Eskeland, Kjell Arild Danielsen, Fredrik Dahl, Katrin Fridrich, Vivian Cecilie
Orszagh,
Gregor Bachmann-Harildstad dan Espen Burum-Auensen

Abstrak
Latar Belakang: rinosinusitis kronis memiliki berbagai fenotipe yang berbeda. Gejala
penyakitnya ditandai dengan berbagai tanda dan gejala seperti hidung tersumbat, hidung
berair, wajah seperti tertekan dan berkurangnya atau hilangnya indra penciuman. Pada
populasi pasien yang menjalani operasi endoskopi sinonasal fungsional (FESS) untuk
rinosinusitis kronis, kami ingin meneliti gejala klinis khas dan mengeksplorasi apakah
terdapat kehadiran biofilm, polip hidung atau karakteristik penyakit lainnya yang dapat
berfungsi sebagai prediksi untuk gejala saluran napas. Kelompok pasien yang menjalani
septoplasti tanpa penyakit sinus dimasukkan sebagai kontrol.
Metode: Hasil tes Sinonasal (SNOT-20), skala analog visual EPOS (VAS) dan skor CT
Lund-Mackey (LM CT score) digunakan untuk memeriksa 23 pasien dengan rinosinusitis
kronis tanpa polip hidung (CRSsNP), 30 pasien dengan polip hidung (CRSwNP) dan 22
pasien dengan deviasi septum. Sampel jaringan dikumpulkan secara prospektif selama
operasi. Penelitian kohort sebelumnya telah diperiksa untuk adanya biofilm.
Hasil: Pasien dengan CRSsNP dan CRSwNP memiliki tingkat gejala yang secara signifikan
lebih berat dibandingkan dengan kelompok septoplasti (skor SNOT-20 39,8, 43,6 dan 29,9, p
= 0,034). Tidak ada perbedaan signifikan dalam total skor SNOT-20 atau skor gejala VAS
antara subkelompok CRSsNP dan CRSwNP. Namun pasien dengan polip hidung
menunjukkan skor yang lebih tinggi untuk gejalanya yang berhubungan dengan gangguan
pada sinonasal seperti batuk, pilek dan kebutuhan untuk membuang ingus (dengan nilai
masing-masing p = 0,011, p = 0,046, p = 0,001). Pasien dengan polip hidung menunjukkan
skor LM CT yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pasien tanpa polip
(12,06 dibandingkan 8,00, p = 0,001). Keberadaan biofilm tidak berdampak pada tingkat
gejala.
Kesimpulan: Adanya polip hidung pada pasien CRS berhubungan dengan gejala saluran
napas yang lebih berat dibandingkan dengan pasien tanpa polip. Temuan ini menunjukkan

4
bahwa polip hidung bisa menjadi indikator lebih penting pada penyakit sinonasal. Adanya
biofilm tidak mempengaruhi tingkat gejala, akan tetapi, menginat biofilm tampaknya
merupakan fitur umum dari rinosinusitis kronis (89% dalam kelompok ini), ada kemungkinan
berhubungan dengan perkembangan CRS, daripada menjadi penanda untuk gejala saluran
napas yang memberat.
Kata kunci: rinosinusitis kronis, polip hidung, operasi sinus endoskopi, skor SNOT-20, Vas,
skor Lund-Mackey CT, Biofilm

Latar Belakang
Rhinosinusitis kronis (CRS) adalah salah satu penyakit dengan prevalensi besar di
Eropa tengah dengan yaitu sebesar 10,9% [1]. Pasien CRS dengan atau tanpa polip hidung
adalah kelompok heterogen dengan berbagai fenotip dan karakteristik seperti rinitis alergi,
peradangan eosinofilik, Samters triad, alergi jamur, Staphylococcus aureus superantigen,
pembentukan biofilm dan beberapa pasien tanpa predisposisi yang jelas. Gejala-gejala
tersebut berkontribusi untuk berbagai gejala klinis berbeda mulai dari penyakit yang
mengancam jiwa seperti intrakranial dan infeksi intraorbital, sampai ke peradangan kronis
sedang atau ringan dengan berbagai derajat morbiditas.
Pengobatan rinosinusitis kronis dengan perawatan medis atau operasi kadang sulit,
salah satu alasannya adalah pembentukan biofilm di rongga sinonasal. Bakteri ditemukan di
dua kondisi yang berbeda. Kondisi pertama ditandai oleh bakteri mengambang bebas dengan
perkembangan bakteri yang cepat, disebut kondisi planktonik. Ini mewakili pemahaman
tentang keberadaan bakteri secara umum. Dalam kondisi lain, yang disebut kondisi biofilm,
bakteri terorganisir dalam komunitas mikroba, biasanya dikelilingi oleh matriks polimer
ekstraseluler. Di dalam biofilm itu bakteri berkomunikasi satu sama lain dalam suatu proses
yang dikenal sebagai quorum sensing. Komunikasi ini melaluii beberapa jenis molekul, di
antaranya adalah peptida. Quorum sensing dapat memengaruhi berbagai macam gerakan
bakteri dengan mengatur ekspresi genetik. Contohnya adalah bakteri dapat beralih kembali ke
keadaan planktonik. Bakteri dalam biofilm juga dapat bertukar materi genetik, terutama gen
yang mengandung resistensi antibiotik. Biofilm biasanya heterogen, terdiri dari banyak tipe
bakteri dan / atau jamur yang berbeda.
Distribusi biofilm yang tepat pada populasi CRS sering diperdebatkan, tetapi
tampaknya ada bukti yang jelas dari peningkatan pembentukan biofilm pada pasien CRS
mulai dari 15 hingga 100% [2–4]. Seperti diberitakan sebelumnya oleh kelompok ini,
CRSwNP menunjukkan prevalensi biofilm yang lebih tinggi dibandingkan dengan CRSsNP.
5
Biofilm juga ditemukan di 56% dari pasien kontrol tanpa CRS tetapi dengan deviasi septum.
Dengan demikian, peran yang pasti dari biofilm di CRS masih belum jelas.
Salah satu perbedaan paling jelas dalam kelompok CRS adalah ada atau tidak adanya
polip hidung. Penelitiain di Eropa sebelumnya menunjukkan bahwa 77% dari pasien polip
hidung dicirikan oleh peradangan eosinofilik yang dimediasi oleh T helper 2 sel [5].
Penyebab terjadinya aktivasi sel-T ini masih belum diketahui, kemungkinan kedua faktor
ekstrinsik dan intrinsik terlibat. Penelitian telah menunjukkan bahwa polip hidung dapat
berdampak pada tingkat gejala dan efek dari operasi [6]. Komponen eosinofilik pada
CRSwNP juga hadir di pasien dengan hipersensitivitas eosinofilik bronkus, dan ada laporan
yang menunjukkan korelasi antara asma dan rinitis [7]. Hubungan antara CRS dan asma telah
diteliti, tetapi masih belum diketahui apakah pasien dengan CRSwNP mempunyai
kecenderungan untuk terkena asma bila dibandingkan dengan pasien dengan CSRsNP.
Namun, pasien dengan CRS berisiko lebih tinggi untuk menderita gejala dari saluran
pernapasan seperti asma bronkial, yang menjadi dasar dari konsep penyakit saluran udara
yang menyatu.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki gejala klinis khas dan temuan
obyektif dalam kelompok CRS Norwegia yang sebelumnya sudah diperiksa untuk prevalensi
biofilm [8], dan mencari tahu apakah biofilm, polip hidung, atau karakteristik penyakit
lainnya bisa berfungsi sebagai indikator untuk gejala saluran pernapasan yang memberat pada
pasien-pasien tersebut.

Metode
Delapan puluh tujuh pasien yang menjalani operasi hidung primer diinklusi dari tahun
2010 hingga 2012 di Rumah Sakit Universitas Akershus. Enam puluh dua pasien dengan
diagnosis dengan CRS menurut EPOS (2007) dan menjalani FESS. Dua puluh tujuh dari
pasien-pasien tersebut tidak memiliki polip, tiga puluh lima pasien sisanya memiliki polip.
Dua puluh lima pasien dengan stenosis hidung karena deviasi septum diinklusi sebagai
kontrol, pasien-pasien ini sudah menjalani septoplasty. Dari delapan puluh tujuh pasien yang
termasuk dalam penilitian, 12 pasien (4 CRSsNP, 5 CRSwNP dan 3 pasien septoplasti) belum
sepenuhnya menyelesaikan kuesioner dan dengan demikian dihapus dari statistik analisis.
Demografi pasien dari penilitian kohort ini dijelaskan secara rinci dalam penelitian
sebelumnya oleh grup ini [2]. Penelitian ini disetujui oleh dewan rumah sakit dan Komite
Etik Daerah (nomor referensi 2009/1720b). Persetujuan tertulis diperoleh dari semua pasien,
penelitian dilakukan sesuai dengan deklarasi Helsinki.
6
Pengumpulan Data
Riwayat medis termasuk diantaranya lamanya CRS, perawatan medis sebelumnya
(steroid nasal dan/atau sistemik), riwayat merokok, asma dan alergi semua dikumpulkan.
Semua pasien menjalani Tomografi Komputer (CT) preoperative, dan kemudian dinilai
menurut Lund Mackay CT skor sistem. Pasien CRS diminta untuk menilai kualitas hidup
mereka dan tingkat keparahan penyakit mereka dengan menggunakan skor analog visual
EPOS 2007 (VAS) dan kuesioner SNOT-20.
Data dianalisis menggunakan SPSS 23 IBM. Hasil dilaporkan sebagai nilai rata-rata.
Analisis satu arah varians, ANOVA, digunakan untuk membandingkan pembentukan biofilm,
LM CT score, SNOT-20 dan subscore-nya antara CRSsNP, CRSwNP dan pasien septoplasty.
T-test digunakan untuk menilai signifikansi dari perbedaan rata-rata waktu untuk rujukan,
VAS, skor CT LM, SNOT-20 dan subscore antara CRSsNP dan CRSwNP. Korelasi Pearson
digunakan untuk mengevaluasi korelasi antara skor CT Lund Mackey dan SNOT- 20 / VAS,
dan korelasi antara SNOT-20 dan VAS.

Hasil
Pasien dengan CRSsNP dan CRSwNP memiliki tingkat gejala yang lebih berat secara
signifikan dibandingkan dengan kelompok septoplasti (SNOT-20: 39.8, 43.6 dan 29.9,
ANOVA p = 0,03). Tidak ada perbedaan total Skor SNOT-20 atau VAS antara kelompok
CRSsNP dan CRSwNP (39,8 vs 43,6, t-test p = 0,455, dan 63 vs. 68,6, t-test p = 0,265).
Mengenai pertanyaan-pertanyaan SNOT yang berhubungan dengan gangguan pada hidung,
pasien dengan polip hidung menunjukkan skor yang lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan pasien tanpa polip hidung seperti batuk, pilek dan perlu membuang
ingus (t-test p = 0,011, p = 0,046 dan p = 0,001).Hubungan antara polip hidung dan batuk (p
= 0,011) dan perlu membuang ingus (p = 0,001), tetap signifikan secara statistik juga saat
mengontrol kehadiran alergi sebagai pembaur potensial. Signifikansi statistic untuk parameter
ketiga, hidung berair (p = 0,046), menjadi tidak signifikan ketika mengendalikan alergi di
kohort (p = 0,248). Tidak ada hubungan statistik yang ditemukan antara alergi dan parameter
simtomatik ini (p = 0,053). Hasilnya dirangkum dalam Tabel 1 dan Gambar. 1.

7
Gambar 1. Perbedaan klinis antara CRSsNP dan CRSwNP

Durasi rata-rata gejala CRS sebelum evaluasi di klinik kami adalah 79 bulan.
CRSsNP memiliki rerata durasi gejala CRS dari 99 bulan sebelum evaluasi, sedangkan
CRSwNP memiliki durasi rata-rata 59 bulan. Perbedaan ini tidak signifikan secara statistik (t-
test p = 0,325). Rata-rata skor Lund Mackay CT untuk kelompok CRS adalah 10,29.
CRSwNP pasien memiliki skor CT LM yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
CRSsNP (12,06 vs 8,00, t-test p = 001).

8
Pembentukan biofilm ditemukan pada 81% pasien dengan rinosinusitis kronis tanpa
polip, 97% pada pasien dengan polip, dan pada 56% pasien yang menjalani septoplasty
seperti yang dilaporkan sebelumnya [2]. Ada korelasi yang signifikan antara VAS dan
SNOT-20 skor dengan koefisien korelasi Pearson adalah 0,525 (p = 0,001).

Diskusi
Dalam penelitian ini kami mencari perbedaan dalam populasi pasien yang menjalani
operasi hidung primer di Rumah Sakit Universitas Akershus (Ahus). Ahus adalah pusat
regional untuk otorhinolaryngology dengan pasien yang dirujuk dari praktik dokter umum
dan konsultan. Kami memeriksa perbedaan klinis antara pasien yang menjalani operasi CRS
dengan atau tanpa polip hidung dan pasien yang menjalani operasi septum deviasi.
Polip hidung meningkatkan massa dan mukopurulen karena stagnansi di hidung,
demikian seperti yang diperkiran, CRSwNP secara signifikan memiliki skor LM CT lebih
tinggi dibandingkan dengan CRSsNP (12,06 vs. 8,00, t-test p = 0,001). Seperti yang
diidentifikasi oleh kelompok lainnya [9] ditemukan korelasi rendah antara skor LM CT
pasien CRS dan skor SNOT-20 (Korelasi Pearson r = −0.115). Hal yang sama terlihat pada
skor VAS dan Lund Mackay CT (korelasi Pearson r = −0,005). Lebih lanjut menganalisis
bagian dari daftar gejala di SNOT-20 pada Tabel 1 hanya bagian "perlu membuang ingus"
yang menunjukkan korelasi yang signifikan dengan skor Lund Mackay CT (r = 0,325, p =
0,018). Pembagian ulang kelompok CRS ke CRSwNP dan CRSsNP tidak menunjukkan
korelasi statistik yang signifikan antara skor LM CT dan SNOT atau nilai VAS.
Salah satu alasan untuk korelasi rendah antara skor LM CT dan skor SNOT-20
mungkin disebabkan oleh perkembangan penyakit yang lambat dan bertahap, yang membuat
gejala yang mendasar sulit untuk dirasakan oleh pasien.
Korelasi rendah antara skor SNOT-20 dan Lund Mackay CT terlihat dari salah satu
pasien inklusi dengan skor CT Lund Mackay tinggi yaitu 20 dan skor SNOT-20 yang relatif
rendah 16 dan VAS 52 (Gbr. 2).

9
Gambar 2. Gambar CT-Scan dari pasien yang memperlihatkan variabilitas antara skor CT dan SNOR-20 secara
individual

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pembentukan biofilm menimbulkan


hasil pasca operasi yang lebih buruk [10]. Hanya ada sedikit penelitian mengenai perbedaan
klinis sebelum operasi antara pasien CRS dengan maupun tanpa pembentukan biofilm. Li et
al. [11] menemukan peningkatan kor gejala SNOT-20 dan peningkatan gejala pada hidung
dan sinus termasuk perlu membuang ingus, batuk dan hidung berair dalam kelompok biofilm
dibandingkan dengan pasien tanpa biofilm. Karena prevalensi biofilm yang besar di antara
pasien penelitian (CRSsNP 81,5%, CRSwNP 97,15% dan pasien kontrol 56%) kami tidak
dapat menyelidiki lebih lanjut setiap perbedaan dalam gejala klinis antara kelompok dengan
dan tanpa biofilm.
Kami sebelumnya telah menunjukkan [8], bahwa CRSwNP dan pembentukan biofilm
tampaknya berkaitan erat. Dalam populasi dengan pembentukan biofilm, dapat diperkirakan
tingkat pembentukan polip dan gejala saluran napas akan meningkat dibandingkan dengan
pasien tanpa polip dan biofilm.
Meskipun peneliti menemukan peningkatan skor SNOT-20 dan VAS pada pasien
dengan CRSwNP dibandingkan dengan pasien CRSsNP, perbedaannya tidak signifikan.
Namun, saat melihat pertanyaan terkait hidung dari SNOT-20, kami menemukan peningkatan
skor yang signifikan pada pasien polip seperti kebutuhan untuk membuang ingus (2,35 vs 3,5
t-test p = 0,001), hidung berair (2,17 vs 2,93 t-test p = 0,046) dan batuk (1,09 vs 2,1 t-test p =
0,011). Karena rhinitis alergik juga menyebabkan gejala pada hidung peniliti menganalisis

10
kembali hubungan gejala hidung dan polip sambil mengendalikan adanya alergi. Hubungan
polip hidung dan batuk (p = 0,011) dan perlunya membuang ingus (p = 0,001), tetap
signifikan secara statistik juga saat mengendalikan keberadaan alergi sebagai faktor perancu
potensial. Paramater ketiga yang juga signifikan secara statistik yaitu hidung berair (p =
0,046), menjadi tidak signifikan ketika faktor alergi di kendalikan pada penelitian kohor (p =
0,248). Untuk lebih memahami jika alergi saja dikaitkan dengan peningkatan hidung berair,
kami memeriksa hubungan antara alergi dan hidung berair secara langsung dan tidak
menemukan hubungan statistik antara alergi dan parameter simtomatik ini (p = 0,053).
Interpretasi peneliti pada analisis tambahan ini adalah polip hidung berkaitan dengan
peningkatan gejala hidung, namun hanya untuk hidung berair, hubungan antara hidung polip,
hidung berair dan alergi tidak sepenuhnya dapat dijelaskan karena alergi tidak berdampak
secara signifikan secara statistic pada polip hidung hingga dapat menimbulkan gejala
tersebut. Alergi saja tidak terkait dengan hidung berair, itu memperkuat dampak polip hidung
pada temuan gejala spesifik ini.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk lebih memahami presentasi klinis pasien dan
fenomena biologis yang mendasarinya. Hidung berair dan batuk juga merupakan gejala yang
sering terlihat pada pasien dengan asma. Ada bukti hubungan antara asma dan CRS yang
meningkatkan hipotesis gejala pada seluruh saluran napas. Jalur molekuler yang tepat masih
belum jelas [12] tetapi khususnya peradangan eosinofilik polip hidung memiliki kesamaan
dengan eosinofilik asma dengan respons inflamasi Th-2. Dalam populasi penelitian ini,
peniliti menemukan angka yang lebih tinggi pasien dengan asma pada kelompok CRS
(33,3%) dibandingkan pasien dengan deviasi septum (8,7%).
Peneliti tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam prevalensi asma antara
CRSwNP dan CRSsNP seperti pada laporan peneliti lain [13, 14]. Håkansson et al. 2014 [15]
menemukan 25% asma yang belum terdiagnosis pada kelompok CRS. Ini mungkin
menjelaskan alasan rendahnya jumlah pasien asma dalam kelompok penlitian ini karena
peneliti tidak memeriksa penyakit asma pada pasien tetapi hanya berdasarkan diagnosis
riwayat medis dan penggunaan obat asma. Penelitian lebih lanjut untuk hal ini diperlukan.
Skor VAS dari dokumen EPOS adalah alat yang cepat dan mudah yang mudah untuk
menilai tingkat keparahan gejala sinus. Dalam penelitian ini peneliti menemukan koefisien
korelasi Pearson 0,525 (p = 0,001) antara skor VAS dan SNOT-20 untuk pasien CRS(Gbr. 3).
Dalam praktik yang sibuk dengan waktu yang sedikit, skor VAS dapat memberikan informasi
yang berharga mengenai penyakit sinus pasien.

11
Gambar 3. Gambaran korelasi antara skor VAS dan SNOT-20

Kesimpulan
Rinosinusitis kronis dengan polip hidung menyebabkan peningkatan gejala saluran
napas lebih berat dibandingkan dengan rinosinusitis kronis tanpa polip hidung. Hal ini terlihat
terutama di Gbr. 3 hubungan dengan gejala saluran napas gabungan seperti batuk, perlu
membuang ingus dan hidung berair. Temuan polip nasal seharusnya membuat dokter
menduga akan adanya peningkatan gejala sinonasal dan dengan demikian dapat membantu
dalam memprioritaskan perawatan medis dan bedah. Dengan tingginya prevalensi
pembentukan biofilm, peniliti tidak mampu menemukan gejala klinis spesifik yang
berhubungan dengan pembentukan biofilm.

12

Anda mungkin juga menyukai