Anda di halaman 1dari 5

Question:

Apa benar monopoli pelayanan pemerintahan penyebab terjadinya korupsi?

Menurut saya benar.

Istilah monopoli sering digunakan untuk menjelaskan peran eksklusif oleh pihak tertentu
dalam sebuah akitivitas. Selalu identik dengan penguasaan pasar dan tidak ada pilihan
lain bagi publik. Praktik itu banyak terjadi, salah satunya pada pelayanan publik.

Monopoli adalah suatu sistem dalam pasar dimana hanya ada satu atau segelintir
perusahaan yang menjual produk atau komoditas tertentu yang tidak punya pengganti
yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan atau pengusaha lain untuk masuk
dalam bidang industri atau bisnis tersebut .Dengan kata lain, pasar dikuasai oleh satu
atau segelintir perusahaan, sementara pihak lain sulit masuk di dalamnya.

Sumber korupsi di negeri ini, sebetulnya tidak terjadi secara menyeluruh pada lembaga
pemerintah dan lembaga non pemerintah. Hanya terjadi pada beberapa lembaga, dan
dilakukan oleh segelintir orang saja. Namun dampaknya sangat luar biasa. Busyro
muqoddas mantan ketua KPK menyontohkan bagaimana buruknya suatu
kepemimpinan yang terjadi pada zaman Presiden Soeharto. Dimana banyak sekali
Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang isinya justru
melegalisasi tindak korupsi. KPK mencatat dari 530 Kepres atau Perpres yang ada, 78
persen merupakan produk melegalisasi korupsi. Akibatnya, Indonesia di mata dunia
internasional terus terpuruk dalam persepsi korupsi, khususnya kecenderungan resiko
politik dan ekonomi Indonesia selama 2008 hingga 2011. Pada 2008 Indonesia memiliki
skor 7,98 persen, sedangkan rata-rata negara Asia adalah 5,77 persen, pada 2009
Indonesia memiliki skor 8,32 persen, sementara rata-rata negara Asia 5,77 persen
sementara, pada 2010 9,21 persen sedangkan rata-rata negara Asia 6,34 persen.

Saat ini, kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh kepala daerah masih tergolong
tinggi. Hal ini didukung oleh pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo
menyoroti banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Berdasarkan data
Kementerian Dalam Negeri, ada 343 kepala daerah yang berperkara hukum baik di
kejaksaan, kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar
karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah. “Data terakhir sampai bulan
Desember 2015 tercatat cukup tinggi, gubernur, bupati, walikota adalah 343 orang yang
ada masalah hukum baik di kejaksaan, polisi, KPK. Data Kementerian Dalam Negeri
menyebutkan, hingga tahun 2010, ada 206 kepala daerah yang tersangkut kasus
hukum. Tahun selanjutnya, Kemendagri mencatat secara rutin yaitu 40 kepala daerah
(tahun 2011), 41 kepala daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, banyak faktor-faktor penyebab
para kepala daerah melakukan korupsi. Salah satu lantaran adanya monopoli
kekuasaan. Sri Mulyani menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara kunci dalam
Workshop Nasional Legislatif Partai Golkar 2017 di Hotel Merlynn Park, Jakarta. Dia
menjelaskan, berdasarkan laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di
2016, sebanyak 71 perkara tindak pindana korupsi terjadi di tingkat provinsi. Selain itu
juga, sebanyak 107 perkara tindak pidana korupsi terjadi di tingkat kabupaten/kota.

Atas dasar informasi tersebut tentang banyaknya kepala daerah yang melakukan
korupsi dengan berbagai modus maka perlu dilakukan penelitian tentang analis faktor-
faktor penyebab korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah.
Dari hasil penelitian, di ketahui faktor-faktor penyebab kepala daerah melakukan
korupsi antara lain:

Monopoli kekuasaan
Berdasarkan penelitian di simpulkan bahwa kepala daerah memiliki kekuasaan yang
sangat besar dalam pengelolaan anggaran APBD, perekrutan pejabat daerah,
pemberian ijin sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa dan pembuatan
peraturan kepala daerah, dan adanya dinasti kekuasaan, hal ini menyebabkan kepala
daerah melakukan tindak pidana korupsi melalui suap dan gratifikasi

Diskresi kebijakan
Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa hak diskresi melekat pada pejabat publik,
khususnya kepala daerah, artinya diskresi di lakukan karena tidak semua tercakup
dalam peraturan sehingga diperlukan kebijakan untuk memutuskan sesuatu, sehingga
apa yang ditarget itu bisa terpenuhi tanpa harus menunggu adanya aturan yang
tersedia, masalahnya kemudian diskresi ini dipahami secara sangat luas, padahal
diskresi itu sangat terbatas, dia hanya bisa diberi ruangnya ketika tidak ada aturan main
dan itu dalam situasi yang sangat mendesak, APBD merupakan dasar pengelolaan
keuangan daerah dalam satu tahun anggaran yang merupakan rencana pelaksanaan
Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan penerimaan daerah bertujuan untuk
memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD.
Demikian pula pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan
dalam APBD. Dalam pelaksanaannya kepala daerah sering dihadapkan pada
kenyataan untuk membiayai suatu kegiatan yang tidak dianggarkan dalam APBD.
Adanya situasi dimana seorang kepala daerah mengeluarkan biaya yang tidak ada
dalam APBD, oleh sebab itu kepala daerah mencari celah untuk menciptakan
pengeluaran fiktif untuk menutupi biaya tersebut sehingga kepala daerah cenderung
melakukan korupsi untuk kepentingan dinas maupun untuk kepentingan pribadi.
Lemahnya Akuntabilitas
Kolusi Eksekutif dan Legislatif dalam Pembuatan Kebijakan yang Koruptif.
Dalam wawancara dengan Informan menyatakan kondisi pada saat ini adanya kolusi
antara kepala daerah dengan DPRD terkait dengan kebijakan yang dibuat oleh kepala
daerah misalnya masalah pembuatan perda dan perijinan.termasuk dalam lemahnya
akuntabilitas adalah kurang nya transparansi dalam pengelolaan anggaran,
pengelolaan asset dan dalam pengadaan barang dan jasa, sehingga menyebabkan
kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi

Korupsi = Diskresi + Monopoli – Akuntabilitas

ATAU

“C=D+M-A”

Ketika demokrasi di suatu lembaga memenuhi unsur C=D+M-A maka


lembaga itu cenderung koruptif.
C: Corruption atau korupsi
D: Discretionary alias kewenangan penentuan kebijakan
M: Monopoly
A: Accountability atau pertanggungjawaban.

Korupsi cenderung terjadi di sebuah lembaga yang memiliki


kekuasaan untuk mengambil keputusan, bersifat monopoli dan tanpa
akuntabilitas.

Rumus ini berdasarkan kajian-kajian terhadap fenomena yang terjadi dan dilakukan
oleh tidak hanya KPK tetapi juga lembaga-lembaga lain. Karena itulah transparansi
menjadi penting. Kejujuran, keterbukaan itu menjadi penting. Modal kepemimpinan juga
menjadi penting, yang tidak monopolistik tapi yang kolektif dan ada distribusi
kewenangan yang jelas.

Oleh sebab itu, lanjut Sri Mulyani, pemerintah daerah perlu didorong untuk segera
menerapkan sistem e-planning, e-budgeting dan e-procurement. Dengan penerapan
ketiga sistem, maka masyarakat bisa ikut berpartisipasi dalam mengawasi penggunaan
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
"Oleh sebab itu, bila dibantu dengan penggunaan teknologi maka tata kelola keuangan
di daerah akan lebih baik. Maka ada e-planning, e-budgeting dan e-procurement yang
membuat ini lebih baik," ujar dia.

Question:

Apakah privatisasi pelayanan Negara dapat mencegah korupsi?

Kebijakan privatisasi—yang secara sederhana berarti pengurangan keterlibatan


pemerintah (sektor publik) dalam produksi atau penyediaan barang dan jasa—semakin
berkembang dalam konsep small government drive yang diperkenalkan oleh Presiden
Ronald Reagan di Amerika Serikat pada periode 1981-1989. Privatisasi di Amerika
Serikat juga tercermin dalam kebijakan Presiden Bill Clinton dengan gagasan
reinventing government pada 1993, yang sebagaimana dijelaskan wakilnya, Al Gore,
menekankan pada penciptaan pemerintahan yang lebih baik dengan biaya murah.

Saat ini, banyak sekali kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Banyak
penelitian menunjukkan bahwa privatisasi memberikan dampak positif terhadap
pembangunan suatu negara. Monopoli negara dalam pelayanan publik cenderung
inefisien dalam penggunaan sumber daya dan lemah dalam daya saing, karena
ketiadaan persaingan dan risiko akan bangkrut.

Namun, semua tergantung dari kepala daerah itu sendiri. Akuntabilitas lah yang
menentukan apakah privatisasi merupakan hal yang baik untuk mencegah korupsi atau
tidak.

Privatisasi memang sebuah dilema dan sulit dihindarkan, namun dalam melaksanakan
kebijakan ini, kita harus selektif dan ekstra hati-hati, sehingga nantinya akan dapat
memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Agar dalam implementasinya tidak
mengundang kontroversi dan pertentangan, untuk meminimalisasi gejolak yang timbul
akibat privatisasi, sebaiknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, perlu landasan filosofi, proses dan tujuan yang jelas.
Kedua,mendahulukan kepentingan nasional
Ketiga, transparansi danfairness. Proses yang tidak transparan akan menimbulkan
kecurigaan dan lebih jauh dapat menjadi komoditas politik para elite yang anti
pemerintah
“PENANGGULANGAN KORUPSI”

MUHAMMAD FAISAL RIZKI


27.0148
H-2

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Anda mungkin juga menyukai