PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Orang dengan gangguan jiwa adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran,
perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan
perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan
fungsi sebagai manusia (Undang Undang Kesehatan Jiwa No.36 2014). Hambatan yang dialami
oleh klien gangguan jiwa akan mempengaruhi kualitas hidupnya, sehingga menjadi perhatian
khusus karena dampak yang diakibatkan tidak hanya pada klien tetapi juga berdampak pada
keluarga dan masyarakat. Hal tersebut diatas menunjukan masalah gangguan jiwa di dunia
memang sudah menjadi masalah yang sangat serius dan menjadi masalah kesehatan global.
Prevalensi gangguan jiwa menurut WHO tahun 2013 mencapai 450 juta jiwa diseluruh
dunia, dalam satu tahunsesuai jenis kelamin sebanyak 1,1 wanita, pada pria sebanyak 0,9
sementara jumlah yang mengalami gangguan jiwa seumur hidup sebanyak 1,7 wanita dan 1,2
pria. Menurut National Institute of Mental Health (NIMH) berdasarkan hasil sensus penduduk
Amerika Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18 tahun atau lebih
mengalami gangguan jiwa NIMH, (2011) dalam Trigoboff, (2013). Prevalensi gangguan jiwa
cukup tinggi dan terjadi pada usia produktif.
Data Riskesdas tahun 2007 menunjukan Prevalensi Nasional Gangguan Jiwa Berat yaitu
Skizofrenia sebesar 0,46% atau sekitar 1,1 juta orang atau 5,2% dari jumlah penderita Skizofrenia
di seluruh dunia sedangkan data Riskesdas Tahun 2013 Prevalensi gangguan jiwa berat
(psikosis/skizofrenia) pada penduduk Indonesia1,7 permil atau 1-2 orang dari 1.000 warga di
indonesia yang mengalami gangguan jiwa berat yang berjumlah 1.728 orang.
Data statistik dari direktorat kesehatan jiwa, masalah kesehatan jiwa dengan klien gangguan jiwa
terbesar (70%) adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang
mempengaruhi fungsi individu antara lain fungsi berfikir dan berkomunikasi, menerima dan
menginterprestasikan realita, merasakan dan menunjukkan emosi serta berperilaku
(Stuart&Laraia,2013).
Skizofrenia di akibatkan karena ada gangguan pada struktur otak yang mengakibatkan
perubahan kemampuan berpikir, bahasa, emosi, perilaku sosial dan kemampuan berhadapan
dengan realita secara tepat (Varcarolis & Halter, 2010). Berdasarkan hal tersebut klien dengan
skizofrenia akan mengalami kemunduran dalam kehidupan sehari-hari, hal ini ditandai dengan
hilangnya motivasi dan tanggung jawab. Selain itu pasien cenderung apatis, menghindari kegiatan
dan mengalami gangguan dalam penampilan.
Menurut Videbeck (2008) klien dengan skizofrenia memiliki karakteristik gejala positif
yaitu meliputi adanya waham, halusinasi, disorganisasi pikiran, bicara dan perilaku yang tidak
teratur yaitu berupa perilaku kekerasan. Berdasarkan gejala positif tersebut yang menyita
perhatian cukup besar pada masalah keperawatan jiwa adalah masalah perilaku kekerasan.
Prevalensi klien perilaku kekerasan diseluruh dunia di derita kira-kira 24 juta orang. Lebih dari
50% klien perilaku kekerasan tidak mendapatkan penanganan. Di Amerika Serikat terdapat 300
ribu pasien skizofrenia akibat perilaku kekerasan yang mengalami episode akut setiap tahun.
Menurut penelitian di Finlandia di Universityof Helsinki dan University Helsinki Central Hospital
Psychiatry Centre, dari 32% penderita Skizofrenia melakukan tindakan kekerasan, dan 16% dari
perilaku kekerasan pada klien mengakibatkan kematian, dari 1.210 klien (Virkkunen,2009). Dan
menurut data Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010, jumlah penderita gangguan
jiwa diIndonesia mencapai 2,5 juta yang terdiri dari pasien perilaku kekerasan. Di perkirakan
sekitar 60% menderita perilaku kekerasan di Indonesia (Wirnata,2012).
Resiko Perilaku kekerasan adalah salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi oleh
seseorang yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan baik pada diri sendiri atau orang lain
dan lingkungan baik secara verbal maupun non verbal (Stuart &Laraia, 2009). Menurut
Varcarolis (2006) Resiko Perilaku Kekerasan adalah sikap atau perilaku kekerasan yang
menggambarkan perilaku amuk, bermusuhan berpotensi untuk merusak secara fisika tau dengan
kata-kata. Jadi kesimpulannya perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku amuk yang
melukai fisik baik diri sendiri, orang lain dan lingkungan maupun secara verbal atau non verbal.
Resiko Perilaku kekerasan dilakukan karena ketidakmampuan dalam melakukan koping
terhadap stres, ketidakpahaman terhadap situasi sosial, tidak mampu untuk mengidentifikasi
stimulus yang dihadapi, dan tidak mampu mengontrol dorongan untuk melakukan perilaku
kekerasan (Volavka & Citrome, 2011). Perilaku kekerasan yang muncul pada klien Skizofrenia di
karenakan ketidakmampuan dalam menghadapi stresor, dan melakukan tindakan perilaku
kekerasan sebagai koping dalam menghadapai stresor.
Respons Resiko perilaku kekerasan berupa respons kognitif, respons afektif, respons
fisiologis, respons perilaku, responssosial. Respons kognitif merupakan respons yang pertama kali
muncul yang mendasari perilaku kekerasan (status mental tiba tiba berubah / labil), respons afektif
merupakan respons yang muncul didasari oleh keyakinan emosi yang tidak rasional (marah,
bermusuhan), respons pada fisiologis merupakan respons yang dapat dilakukan observasi terkait
dengan perubahan (pernafasan meningkat di >20x/m, nadi meningkat >80x/m, produksi keringat
meningkat, pandangan mata tajam, pandangan tertuju pada satu objek, muka merah) (Stuart,
2013).
Respons Resiko perilaku kekerasan merupakan respons yang dapat diamati melalui
observasi secara verbal maupun non verbal (klien adalah mondar mandir, tidak mampu duduk
dengan tenang, mengepalkan tangan atau posisi meninju, rahang mengatup,tiba tiba berhenti dari
aktifitas motorik), respons sosial merupakan respon yang dialami oleh klien perilaku kekerasan
karena kurangnya dukungan sosial sehingga tidak memiliki sumber koping yang adekuat (verbal
mengancam pada objek nyata, berbicara keras dengan penekanan, didasari dengan waham atau isi
pikiran paranoid) (Stuart,2013).
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, makan rumusan masalah pada
laporan ini adalah “Asuhan Keperawatan Pada Nn. “M” dengan Resiko Perilaku
Kekerasan di Ruang Cempaka RS Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2019”
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan Resiko Perilaku Kekerasan di
ruanag Cempaka Rumah Sakit Ernaldi Bahar 2019 melalui asuhan keperawatan yang
komperhensif.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian, tanda dan gejala skizofrenia dan Perilaku
Kekerasan.
b. Untuk mengetahui intervensi dan implementasi yang telah diberikan pada pasin
yang mengalami resiko perilaku kekerasan di Ruang Cempaka rumah sakit Ernaldi
Bahar
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Institusi Pendidikan STIKes Muhammadiyah Palembang
Dengan hasil makalah ini dapat memberikan informasi yang baru dan masukan kepada
institusi maupun mahasiswa dimasa yang akan datang tentang asuhan keperawatan pada
Nn. M dengan kasus Resiko Perilaku Kekerasan khususnya mahasiswa keperawatan.
2. Bagi Instansi Lahan Praktik RS Ernaldi Bahar Provinsi Sumsel
Hasil makalah ini dapat dijadikan masukan dan saran untuk tetap melakukan serta
mempertahankan mutu pelayanan yang baik dan optimal pada klien dengan gangguan jiwa
resiko perilaku kekerasan.
3. Bagi Penulis
Hasil makalah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan kajian untuk menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan serta menambah kompetensi penulis dalam asuhan
keperawatan jiwa dengan pasien gangguan jiwa Resiko prilaku kekerasan.
D. Ruang Lingkup
1. Waktu
Dimulai pada tanggal 14 – 31 Oktober 2019 diruang Cempaka Rumah Sakit Ernaldi
Bahar Provinsi Sumatera Selatan.
2. Tempat Pelaksanaan
Tempat Pelaksanaan dilakukan diruang Cempaka Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi
Sumatera Selatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Resiko Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan tindakan
yang dapat membahayaka secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang laindan
lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Sari, 2015). Resiko Perilaku kekerasan
adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilang kontrol dimana individu
dapat merusak diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. (Pendidikan dan Pelatihan Jarak
Jauh Keperawatan Departemen Kesehatan RI Pusat, Pendidikan dan Latihan Pegawai,
2012).
Resiko Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang
tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen, 2015). Dari beberapa pengertian diatas, dapat
disimpulkan bahwa perilaku kekerasan adalah manifestasi dari perasaan marah yang
bersifat maladapatif dimana seorang individu dapat membahayakan secara fisik baik bagi
diri sendiri, orang lain dan lingkungannya.
B. Etiologi
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi klien dengan perilaku kekerasan adalah:
1. Teori Biologis
a). Faktor Neurologis
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter, dendrit,
akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan
dan pesan - pesan yang mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif. Lobus
frontalis memegang peranan penting sebagai penengah antara perilaku yang berarti
dan pemikiran rasional, yang merupakan bagian otak dimana terdapat interaksi
antara rasional dan emosi. Kerusakan pada lobus frontal dapat menyebabkan
tindakan agresif yang berlebihan (Nuraenah, 2012 ).
b. Faktor genetik
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi perilaku
agresif.
c. Faktor Biokimia
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak contohnya epineprin,
norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan dalam penyampaian
informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh. Apabila ada stimulus dari luar
tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantarkan melalui
impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent.
Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta penurunan serotonin dan
GABA (Gamma Aminobutyric Acid) pada cerebrospinal vertebra dapat menjadi
faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif (Damayanti, 2012).
d. Brain Area Disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak, tumor otak,
trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan (Damayanti, 2012).
2. Teori Psikogis
a) Teori Psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang
seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara
usia 0- 2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan
kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan
bermusuhan setelah dewasa sebagai komponen adanya ketidakpercayaan pada
lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah.
Perilaku agresif dan tindakan kekerasan merupakan pengungkapan secara
terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri perilaku tindak
kekerasan ( Damaiyanti, 2012).
b). Imitation, modelling and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang
mentolelir kekerasan.Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media
atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut.
Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menonton tayangan
pemukulan pada boneka dengan reward positif ( semakin keras pukulannya akan
diberi coklat). Anak lain diberikan tontonan yang sama dengan tayangan
mengasihi dan mencium boneka tersebut dengan reward yang sama (yang baik
mendapat hadiah). Setelah anak – anak keluar dan diberi boneka ternyata masing
- masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah dilihatnya
(Damaiyanti, 2012).
c). Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan
terdekatnya.Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima kekecewaan
dan mengamati bagaimana respon ibu saat marah (Damayanti, 2012).
c. Faktor Presipitasi
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau symbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, dsb.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4. Adanya riwayat perilaku antisocial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkhoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa prustasi.
C. Tanda dan gejala
Tanda dan Gejala dari Resiko Perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
a. Fisik
Muka merah dan tegang
Mata melotot Pandangan tajam
Tangan mengepal
Rahang mengatup
Postur tubuh kaku
Jalan mondar mandir
b. Verbal
Bicara kasar
Suara tinggi
Membentak atau berteriak
Mengancam verbal maupun fisik,
Megumpat dengan kata – kata kotor.
c. Perilaku
Melempar atau memukul benda atau orang lain
Menyerang orang lain
Melukai diri sendiri atau orang lain
Merusak lingkungan
Amuk atau agresif
d. Spiritual
Merasa diri berkuasa
Merasa diri benar
Mengkritik pendapat orang lain
Tidak peduli dan kasar
e. Emosi
Tidak adekuat
Tidak aman dan nyaman
Rasa terganggu
Marah (dendam) dan jengkel
Tidak berdaya
Bermusuhan
Ingin berkelahi
Menyalahkan dan menuntut
f. Intelektual
Mondominasi
Cerewet
Kasar
Berdebat
Meremahkan orang lain
Sarkasme
g. Sosial
Menarik diri
Pengasingan
Penolakan
Kekerasan
Ejekan
Sindiran
h. Perhatian
Bolos
Mencuri
Melarikan diri dan penyimpangan sosial.
A. Akibat
Klien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan-tindakan berbahaya bagi
dirinya, orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang orang lain, memecahkan
perabot, membakar rumah dll.
B. Rentang Respon
(SP2) 1.
4. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
2.
5. Memberikan
harian. pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara
teratur
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.