Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

“Abses Submandibula”

Di Ruang 19

Rumah Sakit dr. Syaiful Anwar Malang

Oleh :

Sayidiyah Nofita Hidayanti

NIM. 1930043

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

MALANG

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


BAB I
LATAR BELAKANG

A. Latar Belakang
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam
ruang potensial diantara fasia leher dalam akibat penjalaran berbagai
sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan
leher tergantung ruang mana yang terlibat.Secara anatomi daerah potensial
leher dalam merupakan daerah yang sangat komplek. Pengetahuan
anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher secara baik, serta penyebab
abses leher dalam secara mutlak diperlukan untuk memperkirakan
perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang ade
kuat(Fachruddin D, 2007).
Gejala dan tanda klinis abses leher dalam tergantung ruang leher
dalam yang terinfeksi dan secara umum sama dengan gejala infeksi pada
umumnya yaitu, demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi.
Nyeri tenggorokan dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan
membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh
abses leher dalam. Abses leher dalam dapat menjadi suatu komplikasi
yang serius yang mengakibatkan obstruksi jalan napas,kelumpuhan saraf
kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna
yang berakhir pada kematian (Fachruddin D,2007).
Gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus didapatkan:
bengkak pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia
29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik
yang sesuai dengan ruang potensial yang terlibat (Abshirini H et al.,2010).
Etiologi infeksi di daerah leher dapat beraneka ragam. Infeksi tonsil
(45%), infeksi gigi (43%),dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%)
adalah penyebab paling sering abses leher dalam (Parhiscar A, HarEl
G,2001).
Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran
kumanaerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. Kebanyakan kuman
Universitas Sumatera Utara 2 penyebab adalah golongan Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman
campuran(Fachruddin D,2007). Asmar dikutip Murray et al,mendapatkan
kultur dari abses retrofaring 90 % mengandung kuman aerob,dan 50 %
pasien ditemukan kuman anaerob (Baba Y et al.,2009). Abses leher dalam
dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula, dan angina Ludovici (Ludwig’s angina). Di departemen
THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir
(Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam
sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9
(26%) kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%)
kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.
Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi
sejak diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih
rendah. Disamping itu, higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam
hal ini. Sebelum era antibiotik, 70% infeksi leher dalam berasal dari
penyebaran infeksi di faring dan tonsil ke parafaring. Saat ini infeksi leher
dalam lebih banyak berasal dari tonsil pada anak, dan infeksi gigi pada
orang dewasa (Paparella: Volume III: Head and Neck, 1991). Pemberian
antibiotik diperlukan untuk terapi yang adekuat, disamping melakukan
drainase abses secara optimal walaupun tidak ada angka estimasi yang
diperoleh terhadap kejadian abses leher dalam, namun diperkirakan
kejadian abses leher dalam menurun secara bermakna sejak pemakaian
antibiotik (Murray A.D.MD, Marcincuk M.C.MD,2010). Pemeriksaan
kultur kuman dan ujikepekaan antibiotik terhadap kuman sangat
diperlukan untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap pasien.
Namun, hal ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan
pemberian antibiotik secara empiris.Berbagai kepustakaan melaporkan
pemberian terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi
yang diberikan pun bervariasi (M.Rusli,2012). Universitas Sumatera Utara
3 Meluasnya penggunaan antibiotik tidak hanya menurunkan
angkakejadian infeksi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengubah
gambaranklinis penyakit ini. Hal ini ditambah juga dengan semakin
meningkatnya jumlah pasien dengan status immunosupresi berat, menjadi
tantangan bagi para dokter untuk memahami gambaran klinis penyakit ini
yang dapat memicu terjadinya komplikasi yang mengancam jiwa (Gadre
AK,Gadre KC,2006;Fachruddin D,2007;Schreiner C et al.,2012)
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Defenisi
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat atau infeksi
bakteri. (www.,medicastore.com,2004)
Abses adalah kumpulan tertutup jaringan cair, yang dikenal sebagai nanah,
di suatu tempat di dalam tubuh. Ini adalah hasil dari reaksi pertahanan tubuh
terhadap benda asing (Mansjoer A, 2005)
Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan
proses yang disebut peradangan (Bambang, 2005)
Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong berisi
nanah. (Siregar, 2004). Sedangkan abses mandibula adalah abses yang terjadi di
mandibula. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu
komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah leher. (Smeltzer dan Bare,
2001)

B. Etiologi
Menurut Siregar (2004) suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui
beberapa cara antara lain:
1. Bakteri masuk kebawah kuit akibat luka yang berasal dari tusukan jarum
yang tidak steril.
2. Bakteri menyebar dari suatu infeksi dibagian tubuh yang lain
3. Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan
tidak menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya
abses.
Lebih lanjut Siregar (2004) menjelaskan peluang terbentuknya suatu abses
akan meningkat jika :
1. Terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi
2. Darah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang
3. Terdapat gangguan sisitem kekebalan.
Menurut Hardjatmo Tjokro Negoro, PHD dan Hendra Utama, (2001), abses
mandibula sering disebabkan oleh infeksi didaerah rongga mulut atau gigi.
Peradangan ini menyebabkan adanya pembengkakan didaerah submandibula yang
pada perabaan sangat keras biasanya tidak teraba adanya fluktuasi. Sering
mendorong lidah keatas dan kebelakang dapat menyebabkan trismus. Hal ini
sering menyebabkan sumbatan jalan napas. Bila ada tanda-tanda sumbatan jalan
napas maka jalan napas hasur segera dilakukan trakceostomi yang dilanjutkan
dengan insisi digaris tengah dan eksplorasi dilakukan secara tumpul untuk
mengeluarkan nanah. Bila tidak ada tanda- tanda sumbatan jalan napas dapat
segera dilakukan eksplorasi tidak ditemukan nanah, kelainan ini disebutkan
Angina ludoviva (Selulitis submandibula). Setelah dilakukan eksplorasi diberikan
antibiotika dsis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob.
Abses bisa terbentuk diseluruh bagian tubuh, termasuk paru-paru, mulut,
rektum, dan otot. Abses yang sering ditemukan didalam kulit atau tepat dibawah
kulit terutama jika timbul diwajah.

C. Patofisiologi
Jika bakteri menusup kedalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeks.
Sebgian sel mati dan hancur, menigglakan rongga yang berisi jaringan dan se-sel
yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalalm
melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut, dan setelah menelan
bakteri.sel darah putih kakan mati, sel darah putih yang mati inilah yang
memebentuk nanah yang mengisis rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan disekitarnya akan terdorong
jaringan pada akhirnya tumbuh di sekliling abses dan menjadi dinding pembatas.
Abses hal ini merupakan mekanisme tubuh mencefah penyebaran infeksi lebih
lanjut jka suat abses pecah di dalam tubuh maka infeksi bisa menyebar kedalam
tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi
abses.(www.medicastre.com.2004).
D. Anatomi dan fisiologi
A. Mulut (oris)
Proses pencernaan pertama kali terjadi di dalam rongga mulut.
Rongga mulut dibatasi oleh beberapa bagian, yaitu sebelah atas oleh tulang
rahang dan langit-langit (palatum), sebelah kiri dan kanan oleh otot-otot
pipi, serta sebelah bawah oleh rahang bawah.
1. Rongga Mulut(Cavum Oris)
Rongga mulut merupakan awal dari saluran pencernaan makanan. Pada
rongga mulut, dilengkapi alat pencernaan dan kelenjar pencernaan untuk
membantu pencernaan makanan, yaitu:
2. Gigi(dentis)
Memiliki fungsi memotong, mengoyak dan menggiling makanan menjadi
partikel yang kecil-kecil. Gigi tertanam pada rahang dan diperkuat oleh
gusi. Bagian-bagian gigi adalah sebagai berikut:
3. Mahkota Gigi
Bagian ini dilapisi oleh email dan di dalamnya terdapat dentin (tulang
gigi). Lapisan email mengandung zat yang sangat keras, berwarna putih
kekuningan, dan mengilap. Email mengandung banyak garam kalsium.
4. Tulang Gigi
Tulang gigi terletak di bawah lapisan email. Tulang gigi meliputi dua
bagian, yaitu leher gigi dan akar gigi. Bagian tulang gigi yang dikelilingi
gusi disebut leher gigi, sedangkan tulang gigi yang tertanam dalam tulang
rahang disebut akar gigi. Akar gigi melekat pada dinding tulang rahang
dengan perantara semen.
5. Rongga gigi
Rongga gigi berada di bagian dalam gigi. Di dalam rongga gigi terdapat
pembuluh darah, jaringan ikat, dan jaringan saraf.oleh karena itu, rongga
gigi sangat peka terhadap rangsangan panas dan dingin.
Menurut bentuknya, gigi dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1. Gigi seri (incisivus/I), berfungsi untuk memotong-motong makanan.
2. Gigi taring (caninus/ C), berfungsi untuk merobek-robek makanan.
3. Gigi geraham depan (Premolare/ P), berfungsi untuk menghaluskan
makanan.
4. Gigi geraham belakang (Molare/ M), berfungsi untuk menghaluskan
makanan.
Pada manusia, ada dua generasi gigi sehingga dinamakan bersifat diphydont.
Generasi gigi tersebut adalah gigi susu dan gigi permanen. Gigi susu adalah gigi
yang dimiliki oleh anak berusia 1-6 tahun. Jumlahnya 20 buah. Sedangkan gigi
permanen dimiliki oleh anak di atas 6 tahun, jumlahnya 32 buah.

B. Lidah (lingua)
Lidah membentuk lantai dari rongga mulut. Bagian belakang otot-otot
lidah melekat pada tulang hyoid. Lidah tersiri dari 2 jenis otot, yaiyu:
1. Otot ekstrinsik yang berorigo di luar lidah, insersi di lidah.
2. Otot instrinsik yang berorigo dan insersi di dalam lidah.
Kerja otot lidah ini dapat digerakkan atas 3 bagian, yaitu: radiks lingua (pangkal
lidah), dorsum lingua (punggung lidah), apeks lingua (ujung lidah). Lidah
berfungsi untuk membantu mengunyah makanan yakni dalam hal membolak-
balikkan makanan dalam rongga mulut, membantu dalam menelan makanan,
sebagai indera pengecap, dan membantu dalam berbicara.
Sebagai indera pengecap,pada permukaan lidah terdapat badan sel saraf perasa
(papila). ada tiga bentuk papila, yaitu:
1. Papila fungiformis, berbentuk seperti jamur, terletak di bagian sisi lidah
dan ujung lidah.
2. Papila filiformis, berbentuk benang-benang halus, terletak di 2/3 bagian
depan lidah.
3. Papila serkumvalata, berbentuk bundar, terletak menyusun seperti huruf V
terbalik di bagian belakang lidah.
Lidah memiliki 10.000 saraf perasa, tapi hanya dapat mendeteksi 4 sensasi rasa:
manis, asam, pahit, dan asin.
C. Kelenjar Ludah
Makanan dicerna secara mekanis dengan bantuan gigi, secara kimiawi
dengan bantuan enzim yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar ludah. Kelenjar
ludah mengandung menghasilkan saliva. Saliva mengandung enzim ptyalin
atu amylase yang berfungsi mengubah zat tepung atau amilum menjadi zat
gula atau maltosa.
Kelenjar ludah terdiri atas tiga pasang sebagai berikut:
1. Kelenjar parotis, terletak di bawah telinga. Kelenjar ini menghasilkan
saliva berbentuk cair yang disebut serosa. Kelenjar paotis merupakan
kelenjar terbesar bermuara di pipi sebelah dalam berhadapan dengan
geraham kedua.
2. Kelenjar submandibularis / submaksilaris, terletak di bawah rahang bawah.
3. Kelenjar sublingualis, terletak di bawah lidah.
Kelenjar submandibularis dan sublingualis menghasilkan air dan lender
yang disebut Iseromucus. Kedua kelenjar tersebut bermuara di tepi lidah.

E. Pencegahan
Menurut FKUI (1990), antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan
anaerob harus diberikan secara parentral. Evaluasi abses dapat dilakukan dalam
anasksi lokalal untuk abses yang dangkal dan teriokalisasi atau eksplorasi dalam
narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling
berfluktuasi atau setinggi 05 tiroid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat
inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
Suatu abses seringkali membaik tanpa pengobatan, abses akan pecah dengna
sendirinya dan mengeluarkan isinya.kadang abses menghilang secara perlahan
karena tubuh menghancurkan. infeksi yang terjadi dan menyerap sisa-sisa infeksi,
abses pecah dan bisa meninggalkan benjolan yang keras.
Untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan, suatu abses bisa
ditusuk dan dikeluarkan isinya. Suatu abses tidak memiliki aliran darah, sehingga
pemberian antibiotik biasanya sia-sia Antibiotik biasanya diberikan setelah abses
mengering dan hal ini dilakukan untuk mencegah kekambuhan. Antibiotik juga
diberikan jika abses menyebarkan infeksi kebagian tubuh lainnya.

F. Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada lokasi
dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejalanya bisa berupa :
1. Nyeri
2. Nyeri tekan
3. Teraba hangat
4. Pembengakakan
5. Kemerahan
6. Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagi
benjolan. Adapun lokasi abses antar lain ketiak, telinga, dan tungkai bawah. Jika
abses akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit
diatasnya menipis. Suatu abses di dalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala
seringkali terlebih tumbuh lebih besar. Abses dalam lebih mungkin menyebarkan
infeksi keseluruh tubuh.
Adapun tanda dan gejala abses mandibula adalah nyeri leher disertai
pembengkakan di bawah mandibula dan di bawah lidah, mungkin berfluktuasi.

G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Siregar (2004), abses dikulit atau dibawah kulit sangat mudah
dikenali. Sedangkan abses dalam sering kali sulit ditemukan. Pada penderita
abses, biasanya pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan jumlah sel darah
putih. Untuk menetukan ukuran dan lokasi abses dalam bisa dilkukan
pemeriksaan rontgen,USG, CT, Scan, atau MR.

H. Komplikasi
Komplikasi/dampak yang mungkin terjadi akibat dari Abses mandibula
menurut Siregar (2004) adalah:
1. Kehilangan gigi
2. Penyebaran infeksi pada jaringan lunak dapat mengakibatkan selulitis
wajah dan Ludwig’s angina
3. Penyebaran infeksi pada tulang rahang dapat mengakibatkan
osteomyelitis mandibula atau maksila
4. Penyebaran infeksi pada daerah tubuh yang lain, menghasilkan abses
serebral, endokarditis, pneumonia, atau gangguan lainnya.

I. Penatalaksanaan Medis
Menurut FKUI (1990), antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan
anaerob harus diberikan secara parentral. Evaluasi abses dapat dilakukan
dalam anastesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau
eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada
tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi 0,5 tiroid, tergantung letak dan
luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
Suatu abses seringkali membaik tanpa pengobatan, abses akan pecah
dengan sendirinya dan mengeluarkan isinya,.kadang abses menghilang secara
perlahan karena tubuh menghancurkan infeksi yang terjadi dan menyerap
sisa-sisa infeksi, abses pecah dan bisa meninggalkan benjolan yang keras.
Untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan, suatu abses
bisa ditusuk dan dikeluarkan isinya. Suatu abses tidak memiliki aliran darah,
sehingga pemberian antibiotik biasanya sia-sia antibiotik biasanya diberikan
setelah abses mengering dan hal ini dilakukan untuk mencegah kekambuhan.
Antibiotik juga diberikan jika abses menyebarkan infeksi kebagian tubuh
lainnya.
J. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Data yang harus dikumpulkan dalam pengkajian yang dilakukan pada
kasus abses mandibula menurut Doenges, (2001) adalah sebagai berikut :
a. Aktifitas/istirahat
Data Subyektif : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas.
Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan
cedera (trauma).
b. Sirkulasi
Data Obyektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas
(hipoventilasi, hiperventilasi, dll).
c. Integritas ego
Data Subyektif: Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenang atau
dramatis)
Data Obyektif : cemas, bingung, depresi.
d. Makanan dan cairan
Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
makan.
Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen.
e. Nyeri dan kenyamanan
Data Subyektif : nyeri pada rahang dan bengkak
Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih.
f. Pernafasan
Data Subyektif : Perubahan pola nafas.
Data Objektif: Pernapasan menggunakan otot bantu pernapasan/ otot
aksesoris.
2. Dignosa keperawatan
Pre Operatif
a. Nyeri Akut
b. Hipertermi
c. Ansietas
d. Gangguan Integritas Kulit
Intra Operatif
a. Resiko Infeksi
Post Operatif
a. Nyeri Akut
b. Hipotermi
3. Intervensi Keperawatan
Pre operatif
Daftar NOC NIC
Diagnosa
Nyeri akut Kontrol nyeri Manajemen Nyeri
Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian
keperawatan selama lebih nyeri komprehensif
dari 1x24 jam klien dapat yang meliputi lokasi,
mengatasi nyerinya ditandai karakteristik,
dengan : onset/durasi, frekuensi,
1. Dapat mengenali kapan kualitas, intensitas atau
nyeri terjadi beratnya nyeri dan
2. Klien dapat faktor pencetus
menggunakan tindakan 2. Berikan informasi
pengurangan nyeri tanpa mengenai nyeri
analgesic 3. Ajarkan prinsip-prinsip
3. Klien melaporkan manajemen nyeri
perubahan terhadap 4. Kurangi atau eliminasi
gejala nyeri pada faktor-faktor yang
professional kesehatan dapat mencetuskan
4. Klien mengenali apa nyeri dan meningkatkan
yang terkait dengan nyeri
gejala nyeri 5. Gali bersama pasien
Klien melaporkan nyeri faktor-faktor yang
yang terkontrol dapat menurunkan dan
memperberat nyeri
6. Kolaborasi dengan
pasien, orang terdekat
dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih
dan
mengimplementasikan
tindakan penurun nyeri
non farmakologi,
sesuai kebutuhan
Cemas Anxiety control Anxiety Reduction
berhubungan 1. Gunakan pendekatan
dengan krisis 1. Klien mampu yang menenangkan dan
situasi mengidentifikasi dan meyakinkan
ditandai mengungkapkan gejala 2. Jelaskan semua prosedur
dengan cemas. termasuk sensasi yang
peningkatan 2. Mengidentifikasi, dirasakan yang mungkin
ketegangan, mengungkapkan, dan akan dialami
gemetar dan menunjukkan teknik 3. Berikan informasi
gelisah mengontrol cemas. factual terkait diagnosis,
3. Vital sign dalam batas perawatan dan prognosi
normal. 4. Berada disisi klien untuk
4. Postur tubuh, ekspresi meningkatkan rasa aman
wajah, bahasa tubuh dan mengurangi ketakutan
dan tingkat aktivitas 5. Dengarkan klien
menunjukkan 6. Kontrol stimulus untuk
berkurangnya kebutuhan klien yang tepat
kecemasan
Hipertermi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu sesering
keperawatan selama 1x24 mungkin
jam diharapkan suhu tubuh 2. Monitor warna dan
kembali normal dengan suhu kulit
Kriteria Hasil : 3. Monitor tekanan darah,
1. Suhu tubuh dalam nadi dan RR
rentang normal 4. Monitor penurunan
2. Nadi dan RR dalam tingkat kesadaran
rentang normal 5. Monitor WBC, Hb, dan
3. Tidak ada perubahan Hct
warna kulit dan 6. Monitor intake dan
tidak ada pusing output
7. Berikan anti piretik
8. Berikan pengobatan
untuk mengatasi
penyebab demam
9. Selimuti pasien
10. Berikan cairan
intravena
11. Kompres pasien pada
lipat paha dan aksila
12. Tingkatkan sirkulasi
udara
13. Berikan pengobatan
untuk mencegah
terjadinya menggigil
Intra Operatif
Daftar diagnosa NOC NIC
Resiko infeksi - Immune Status Infection Control
- Knowledge : Infection (Kontrol infeksi)
control 1. Bersihkan lingkungan
- Risk control setelah dipakai pasien
lain
Setelah dilakukan 2. Pertahankan teknik
tindakan keperawatan isolasi
dalam 1x24 jam 3. Gunakan sabun
diharapkan klien antimikrobia untuk
terhindar dari resiko cuci tangan
infeksi dengan Kriteria 4. Cuci tangan setiap
Hasil : sebelum dan sesudah
1.Klien bebas dari tindakan kperawtan
tanda dan gejala 5. Gunakan baju, sarung
infeksi tangan sebagai alat
2.Jumlah leukosit pelindung
dalam batas normal 6. Pertahankan
lingkungan aseptik
selama pemasangan
alat
7. Ganti letak IV perifer
dan line central dan
dressing sesuai dengan
petunjuk umum
8. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan infeksi
kandung kencing
9. Tingktkan intake
nutrisi
10. Berikan terapi
antibiotik bila perlu

Post Operatif
Daftar Diagnosa NOC NIC
Nyeri akut Kontrol nyeri Manajemen Nyeri
Setelah dilakukan 7. Lakukan pengkajian
tindakan keperawatan nyeri komprehensif yang
selama lebih dari 1x24 meliputi lokasi,
jam klien dapat karakteristik,
mengatasi nyerinya onset/durasi, frekuensi,
ditandai dengan : kualitas, intensitas atau
5. Dapat mengenali beratnya nyeri dan faktor
kapan nyeri terjadi pencetus
6. Klien dapat 8. Berikan informasi
menggunakan mengenai nyeri
tindakan 9. Ajarkan prinsip-prinsip
pengurangan nyeri manajemen nyeri
tanpa analgesic 10. Kurangi atau eliminasi
7. Klien melaporkan faktor-faktor yang dapat
perubahan terhadap mencetuskan nyeri dan
gejala nyeri pada meningkatkan nyeri
professional 11. Gali bersama pasien
kesehatan faktor-faktor yang dapat
8. Klien mengenali apa menurunkan dan
yang terkait dengan memperberat nyeri
gejala nyeri 12. Kolaborasi dengan
Klien melaporkan nyeri pasien, orang terdekat
yang terkontrol dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih
dan
mengimplementasikan
tindakan penurun nyeri
non farmakologi, sesuai
kebutuhan
Hipotermi Termoregulasi Temperature regulation
Setelah dilakukan 1. Monitor suhu minimal
tindakan keperawatan tiap 2 jam
selama 1x24 jam 2. Rencanakan monitoring
diharapkan suhu tubuh suhu secara kontinyu
klien dalam batas 3. Monitor TD, nadi, dan
normal dengan kriteria RR
hasil : Kriteria Hasil : 4. Monitor warna dan suhu
Nadi dan RR dalam kulit
rentang normal 5. Monitor tanda-tanda
hipotermi
6. Tingkatkan intake cairan
dan nutrisi
7. Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya
kehangatan tubuh
Vital sign Monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu,
dan RR
2. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
3. Monitor sianosis perifer
4. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
5. Identifikasi penyebab
dari perubahan vital
sign

DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth’s. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8
volume 2. Jakarta : EGC.
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: diagnosis
NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai