Laporan Tutorial Skenario 2 569a053b67641
Laporan Tutorial Skenario 2 569a053b67641
SKENARIO 7
BLOK GASTROINTESTINAL
OLEH :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun
laporan tutorial scenario 7.
Kami menyadari banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini, baik dari segi
isi, bahasa, analisis, dan sebagainya. Oleh karena itu, kami ingin meminta maaf
atas segala kekurangan tersebut, hal ini disebabkan karena masih terbatasnya
pengetahuan, wawasan, dan keterampilan kami. Selain itu, kritik dan saran dari
pembaca sangat kami harapkan, guna kesempurnaan laporan ini dan perbaikan
untuk kita semua.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan berupa ilmu
pengetahuan untuk kita semua.
Tim Penulis
Skenario :
Seorang wanita hamil 7 bulan, Usia 35 tahun datang ke klinik dr. Dara dengan
keluhan BAB berdarah.
Ananesis:
- KU : BAB berdarah
- KT : mengejan saat BAB (+)
Sulit BAB (+)
Pemeriksaan fisik
- R : 20
- S : 37,8 0C
- Tekanan darah normal
- BB : 95kg
- TB : 165 cm
- Thorax dalam batas normal
- PF rectal : benjolan (+), darah (+)
- Anoskopi : Benjolan (+) jam 1 dan jam 5
STEP 2
1. – Hemoroid Interna
- Hemoroid Eksterna
- Ca Colorektal
a. Penuaan
b. Kehamilan
c. Hereditas
g. Obesitas.
1. Hemoroid Interna
Hemorrhoid Grade IV
Hemoroid eksterna
Hemoroid eksterna merupakan pelebaraan dan penonjolan pleksus hemoroidalis
inferior, terdapat di sebelah distal garis mukokutan di dalam jaringan di bawah
epitel anus.
Kanker colorectal
Kanker colorectal ditujukan pada tumor ganas yang berasal dari mukosa colon
atau rectum. Kebanyakan kanker colorectal berkembang dari polip, oleh karena
itu polypectomy colon mampu menurunkan kejadian kanker colorectal. Polip
colon dan kanker pada stadium dini terkadang tidak menunjukkan gejala. Secara
histopatologis, hampir semua kanker usus besar adalah adenokarsinoma (terdiri
atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang jumlahnya berbeda-beda.
Tumor dapat menyebar melalui infiltrasi langsung ke struktur yang berdekatan,
seperti ke dalam kandung kemih, melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe
pericolon dan mesocolon, dan melalui aliran darah, biasanya ke hati karena colon
mengalirkan darah ke sistem portal.
a. Umur
Kanker colorectal sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 90% penyakit ini
menimpa penderita di atas usia 40 tahun, dengan insidensi puncak pada usia 60-70
tahun (lansia). Kanker colorectal ditemukan di bawah usia 40 tahun yaitu pada
orang yang memiliki riwayat colitis ulseratif atau polyposis familial.
b. Faktor Genetik
c. Faktor Lingkungan
Kanker colorectal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik
dan faktor lingkungan. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lingkungan berperan
penting pada kejadian kanker colorectal. Risiko mendapat kanker colorectal
Universitas Sumatera Utarameningkat pada masyarakat yang bermigrasi dari
wilayah dengan insiden kanker colorectal yang rendah ke wilayah dengan risiko
kanker colorectal yang tinggi. Hal ini menambah bukti bahwa lingkungan sentrum
perbedaan pola makanan berpengaruh pada karsinogenesis.
Faktor Makanan
f. Polip Adenoma
Polip Adenoma sering dijumpai pada usus besar. Insiden terbanyak pada umur
sesudah dekade ketiga, namun dapat juga dijumpai pada semua umur dan lakilaki
lebih banyak dibanding dengan perempuan. Polip adenomatosum lebih banyak
pada colon sigmoid (60%), ukuran bervariasi antara 1-3 cm, namun terbanyak
berukuran 1 cm. Polip terdiri dari 3 bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Polip
dengan ukuran 1,2 cm atau lebih dapat dicurigai adanya adenokarsinoma.
Semakin besar diameter polip semakin besar kecurigaan keganasan. Perubahan
dimulai dibagian puncak polip, baik pada epitel pelapis mukosa maupun pada
epitel kelenjar, meluas ke bagian badan dan tangkai serta basis polip. Risiko
terjadinya kanker meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan jumlah
polip.
g. Adenoma Vilosa
Adenoma vilosa jarang terjadi, berjumlah kurang dari 10% adenoma colon.
Terbanyak dijumpai di daerah rectosigmoid dan biasanya berupa massa papiler,
soliter, tidak bertangkai dan diameter puncak tidak jauh berbeda dengan ukuran
basis polip. Adenoma vilosa mempunyai insiden kanker sebesar 30-70%.
Adenoma dengan diameter lebih dari 2 cm, risiko menjadi kanker adalah 45%.
Semakin besar diameter semakin tinggi pula insiden kanker.
h. Colitis Ulserosa
Gambaran Klinis
seperti kekurangan zat besi (anemia). Kejadian anemia ini biasanya meningkatkan
Jika karsinoma terletak pada bagian distal, maka kemungkinan besar akan ada
gangguan pada kebiasaan buang air besar, serta adanya darah di feses. Beberapa
karsinoma pada transversa colon dan colon sigmoid dapat teraba melalui dinding
perut.Karsinoma sebelah kiri lebih cepat menimbulkan obstruksi, sehingga terjadi
obstipasi. Tidak jarang timbul diare paradoksikal, karena tinja yang masih encer
dipaksa melewati daerah obstruksi partial.
Karsinoma Rectum
Sering terjadi gangguan defekasi, misalnya konstipasi atau diare. Sering terjadi
perdarahan yang segar dan sering bercampur lendir, berat badan menurun. Perlu
diketahui bahwa rasa nyeri tidak biasa timbul pada kanker rectum. Kadangkadang
menimbulkan tenesmus dan sering merupakan gejala utama.
Patologi
Pencegahan Primer
Pencegahan Sekunder
a. Diagnosis
Anamnesis yang teliti Meliputi perubahan pola kebiasaan defekasi, baik berupa
diare ataupun konstipasi (change of bowel habit), perdarahan per anum (darah
segar), penurunan berat badan, faktor predisposisi (risk factor), riwayat kanker
dalam keluarga, riwayat polip usus, riwayat colitis ulserosa, riwayat kanker
payudara/ovarium, ureterosigmoidostomi, serta kebiasaan makan (rendah serat,
banyak lemak).
b. Pemeriksaan Fisik
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah adanya perubahan pola buang
airbesar (change of bowel habits), bisa diare bisa juga obstipasi. Semakin distal
letak tumor semakin jelas gejala yang ditimbulkan karena semakin ke distal feses
semakin keras dan sulit dikeluarkan akibat lumen yang menyempit, bahkan bisa
disertai nyeri dan perdarahan, bisa jelas atau samar. Warna perdarahan sangat
bervariasi, merah terang, purple, mahogany, dan kadang kala merah kehitaman.
Makin ke distal letak tumor warna merah makin pudar. Perdarahan sering disertai
dengan lendir, kombinasi keduanya harus dicurigai adanya proses patologis pada
colorectal. Selain itu, pemeriksaan fisik lainnya yaitu adanya massa yang teraba
pada fossa iliaca dextra dan secara perlahan makin lama makin membesar.
Penurunan berat badan sering terjadi pada fase lanjut, dan 5% kasus sudah
metastasis jauh ke hepar.
c. Pemeriksaan laboratorium
Meliputi pemeriksaan tinja apakah ada darah secara makroskopis/mikroskopis
atau ada darah samar (occult blood) serta pemeriksaan CEA (carcino embryonic
antigen). Kadar yang dianggap normal adalah 2,5-5 ngr/ml. Kadar CEA dapat
meninggi pada tumor epitelial dan mesenkimal, emfisema paru, sirhosis hepatis,
hepatitis, perlemakan hati, pankreatitis, colitis ulserosa, penyakit crohn, tukak
peptik, serta pada orang sehat yang merokok. Peranan penting dari CEA adalah
bila diagnosis karsinoma colorectal sudah ditegakkan dan ternyata CEA meninggi
yang kemudian menurun setelah operasi maka CEA penting untuk tindak lanjut.
2. Patofisiologi Hemoroid
Anal canal adalah akhir dari usus besar dengan panjang 4 cm dari rektum hingga
orifisium anal. Setengah bagian ke bawah dari anal canal dilapisi oleh epitel
skuamosa dan setengah bagian ke atas oleh epitel kolumnar. Pada bagian yang
dilapisi oleh epitel kolumnar tersebut membentuk lajur mukosa (lajur morgagni).
Suplai darah bagian atas anal canal berasal dari pembuluh rektal superior
sedangkan bagian bawahnya berasal dari pembuluh rektal inferior. Kedua
pembuluh tersebut merupakan percabangan pembuluh darah rektal yang berasal
dari arteri pudendal interna. Arteri ini adalah salah satu cabang arteri iliaka
interna. Arteri-arteri tersebut akan membentuk pleksus disekitar orifisium anal.
Gambar. Anatomi anal canal yang memperlihatkan pleksus hemoroid internal dan
Eksternal.
Hemoroid adalah bantalan vaskular yang terdapat di anal canal yang biasanya
ditemukan di tiga daerah utama yaitu kiri samping, kanan depan, dan bagian
kanan belakang. Hemoroid berada dibawah lapisan epitel anal canal dan
Universitas Sumatera Utaraterdiri dari plexus arteriovenosus terutama antara
cabang terminal arteri rektal superior dan arteri hemoroid superior. Selain itu
hemoroid juga menghubungkan antara arteri hemoroid dengan jaringan sekitar.
Persarafan pada bagian atas anal canal disuplai oleh plexus otonom, bagian
bawah dipersarafi oleh saraf somatik rektal inferior yang merupakan akhir
percabangan saraf pudendal (Snell, 2006).
Patogenesis Hemoroid
Anal canal memiliki lumen triradiate yang dilapisi bantalan (cushion) atau alas
dari jaringan mukosa. Bantalan ini tergantung di anal canal oleh jaringan ikat
yang berasal dari sfingter anal internal dan otot longitudinal. Di dalam tiap
bantalan terdapat plexus vena yang diperdarahi oleh arteriovenosus. Struktur
vaskular tersebut membuat tiap bantalan membesar untuk mencegah terjadinya
inkontinensia.
b. Konstipasi
Ketidaksesuaian diet
Makanan yang lunak akan menghasilkan suatu produk yang tidak cukup untuk
merangsang refleks pada proses defekasi. Makan makanan yang rendah serat
seperti; beras, telur dan daging segar akan membuat makanan tersebut
bergerak lebih lambat di saluran cerna. Namun dengan meningkatkan intake
cairan dapat mempercepat pergerakan makanan tersebut di saluran cerna.
Penggunaan obat-obatan
Usia lanjut
Pada orang lanjut usia terjadi penyerapan air yang berlebihan pada saluran
cerna. Sehingga konsistensi tinja yang dikeluarkan menjadi keras
Usia
Pada usia tua terjadi degenerasi dari jaringan-jaringan tubuh, otot sphincter
pun juga menjadi tipis dan atonis. Karena sphincternya lemah maka dapat
timbul prolaps. Selain itu pada usia tua juga sering terjadi sembelit yang
dikarenakan penyerapan air yang berlebihan pada saluran cerna. Hal tersebut
menyebabkan konsistensi tinja menjadi keras. Sehingga terjadi penekanan
berlebihan pada plexus hemorrhoidalis yang dipicu oeh proses mengejan
untuk mengeluarkan tinja.
Keturunan
Adanya kelemahan dinding vena di daerah anorektal yang didapat sejak lahir
akan memudahkan terjadinya hemorrhoid setelah mendapat paparan tambahan
seperti mengejan terlalu kuat atau terlalu lama, konstipasi, dan lain-lain.
Tumor abdomen
Tumor abdomen yang memiliki pengaruh besar terhadap kejadian hemorrhoid
adalah tumor di daerah pelvis seperti tumor ovarium, tumor rektal, dan lain-
lain. Tumor ini dapat menekan vena sehingga alirannya terganggu dan
menyebabkan pelebaran plexus hemorrhoidalis.
Kehamilan
Pada pemeriksaan colok dubur, hemoroid interna stadium awal tidak dapat diraba
sebab tekanan vena di dalamnya tidak terlalu tinggi dan biasanya tidak nyeri.
Hemoroid dapat diraba apabila sangat besar. Apabila hemoroid sering prolaps,
selaput lendir akan menebal. Trombosis dan fibrosis pada perabaan terasa padat
dengan dasar yang lebar. Pemeriksaan colok dubur ini untuk menyingkirkan
kemungkinan karsinoma rektum.
Anoskopy
Dengan cara ini dapat dilihat hemoroid internus yang tidak menonjol keluar.
Anoskop dimasukkan untuk mengamati keempat kuadran. Penderita dalam posisi
litotomi. Anoskop dan penyumbatnya dimasukkan dalam anus sedalam mungkin,
penyumbat diangkat dan penderita disuruh bernafas panjang. Hemoroid interna
terlihat sebagai struktur vaskuler yang menonjol ke dalam lumen. Apabila
penderita diminta mengejan sedikit maka ukuran hemoroid akan membesar dan
penonjolan atau prolaps akan lebih nyata. Banyaknya benjolan, derajatnya, letak
,besarnya dan keadaan lain dalam anus seperti polip, fissura ani dan tumor ganas
harus diperhatikan.
Pemeriksaan Proktosigmoidoskopy
Laboratorium : - Eritrosit
- Leukosit
- Hb
5. penatalaksanaan Hemoroid
1. Penatalaksanaan Medis
Ditujukan untuk hemoroid interna derajat I sampai III atau semua derajat
hemoroid yang ada kontraindikasi operasi atau klien yang menolak operasi.
a. Non-farmakologis
Bertujuan untuk mencegah perburukan penyakit dengan cara memperbaiki
defekasi. Pelaksanaan berupa perbaikan pola hidup, perbaikan pola makan dan
minum, perbaikan pola/cara defekasi. Perbaikan defekasi disebut Bowel
Management Program (BMP) yang terdiri atas diet, cairan, serat tambahan,
pelicin feses, dan perubahan perilaku defekasi (defekasi dalam posisi
jongkok/squatting). Selain itu, lakukan tindakan kebersihan lokal dengan cara
merendam anus dalam air selama 10-15 menit, 2-4 kali sehari. Dengan
perendaman ini, eksudat/sisa tinja yang lengket dapat dibersihkan. Eksudat/sisa
tinja yang lengket dapat menimbulkan iritasi dan rasa gatal bila dibiarkan.
b. Farmakologi
Bertujuan memperbaiki defekasi dan meredakan atau menghilangkan keluhan dan
gejala. Obat-obat farmakologis hemoroid dapat dibagi atas empat macam, yaitu:
c. Minimal Invasif
Bertujuan untuk menghentikan atau memperlambat perburukan penyakit dengan
tindakan-tindakan pengobatan yang tidak terlalu invasif antara lain skleroterapi
hemoroid atau ligasi hemoroid atau terapi laser. Dilakukan jika pengobatan
farmakologis dan non-farmakologis tidak berhasil.
2. Penatalaksanaan Tindakan Operatif
Ada 2 prinsip dalam melakukan operasi hemoroid :
a. Pengangkatan pleksus dan mukosa
b. Pengangkatan pleksus tanpa mukosa
Teknik pengangkatan dapat dilakukan menurut 3 metode :
a. Metode Langen-beck (eksisi atau jahitan primer radier)
Dimana semua sayatan ditempat keluar varises harus sejajar dengan sumbu
memanjang dari rectum.
b. Metode White head (eksis atau jahitan primer longitudinal)
Sayatan dilakukan sirkuler, sedikit jauh dari varises yang menonjol
c. Metode Morgan-Milligan
Semua primary piles diangkat
3. Penatalaksanaan Tindakan non-operatif
Dilakukan pada hemoroid derajat I dan II
a. Diet tinggi serat untuk melancarkan buang air besar
b. Mempergunakan obat-obat flebodinamik dan sklerotika
c. Rubber band ligation yaitu mengikat hemoroid dengan karet elastis kira-kira 1
minggu.
STEP 5
1. Komplikasi hemoroid?
2. Prolaps anus?
3. Proktitis?
4. Limfoma?
STEP 7
1. Komplikasi Hemoroid
1. Luka dengan tanda rasa sakit yang hebat sehingga pasien takut mengejan
dan takut berak. Karena itu, tinja makin keras dan makin memperberat
luka di anus.
2. Infeksi pada daerah luka sampai terjadi nanah dan fistula (saluran tak
4. Jepitan, benjolan keluar dari anus dan terjepit oleh otot lingkar dubur
sehingga tidak bisa masuk lagi. Sehingga, tonjolan menjadi merah, makin
sakit, dan besar. Dan jika tidak cepat-cepat ditangani dapat busuk
2. Prolaps anus
Prolaps Recti adalah kondisi medis yang ditandai dengan terabanya benjolan
pada anus akibat turunnya rektum (bagian dari usus besar yang mengarah ke
anus, dimana materi tinja melaluinya untuk keluar dari tubuh) sebagai akibat
melemahnya otot-otot dan ligamen-ligamen yang menahan di tempatnya.
Benjolan biasanya terasa sewaktu bersin atau batuk, berdiri atau berjalan atau
sewaktu defekasi. Pada kasus berat, rektum dapat timbul di luar anus,
menyebabkan nyeri dan konstipasi. Hal ini sering disebabkan karena terlalu
banyak mengedan sewaktu di toliet, suatu komplikasi persalinan atau suatu
kondisi kongenital. Prolaps recti juga seringkali ditemukan pada anak muda
dan orang tua. Untungnya, rektum yang prolaps dapat dikoreksi secara mudah
melalui prosedur bedah.
Pada bayi dan anak-anak, pelunak tinja akan mengurangi kebutuha mengedan
selama buang air besar. Melilit bokong dengan tali pengikat diantara waktu
buang air besar, biasanya membantu prolapsus sembuh dengan sendirinya.
Pada orang dewasa, diperlukan pembedahan untuk mengatasi masalah ini.
Pembedahan sering menyembuhkan prosidensia. Pada pembedahan perut,
rektum diangkat, ditarik dan ditempelkan pada tulang ekor. Pada jenis
pembedahan yang lainnya, sebagian dari rektum dibuang. Untuk orang yang
terlalu lemah untuk menjalani operasi karena usia lanjut atau kesehatan yang
buruk, lingkaran dari kawat atau plastik dapat dimasukan mengelilingi otot
sfingter ani, cara ini disebut prosedur Thiersch.
3. Limfoma
Limfoma merupakan salah satu jenis kanker di mana sel-sel getah bening
memperbanyak diri dengan tidak terkendali. Limfoma dibedakan menjadi dua
kategori yaitu limfoma Hodgkin tanda yang khas dari penyakit ini ialah
ditemukannya sejenis sel yang disebut sel Reed-Steinberg, dan jenis lainnya
adalah limfoma non-Hodgkin (Non-Hodgkin’s lymphoma–NHL). Kasus NHL di
kalangan Odha berkembang tetap sejak tahun 1989 hingga 1995. Penelitian terus
menyelidiki terlibatnya virus dalam memproduksi jenis kanker ini. Namun,
penelitian klinis mengenai limfoma pada jaringan otak akibat AIDS masih sangat
sedikit. NHL adalah salah satu kanker yang menyerang sel-sel terutama di
kelenjar getah bening dan limpa. Leukemia dan limfoma merupakan nama yang
biasa/lazim digunakan untuk kanker yang menyerang sel darah putih. Kanker bisa
mengubah sel darah putih pada tahap perkembangan apa pun mulai dari bentuk sel
induk di sumsum tulang sampai menjadi sel T dan sel B dewasa. NHL dapat
timbul kapan saja pada tahap penyakit HIV. Kasus Odha yang mengalami NHL
terus meningkat sampai tahun 1995, ketika terapi antiretroviral yang sangat aktif
mulai meluas. Kenaikan jumlah Odha yang mengalami NHL tampaknya
sebanding dengan besar dan lamanya penekanan sistem kekebalan tubuh mereka.
Limfoma muncul ketika ada satu limfosit (sel getah bening) mengalami sejumlah
mutasi genetik dan kehilangan kendali terhadap reproduksinya. Sel yang
memperbanyak diri ini terus bermutasi dan berkembang menjadi tumor kemudian
menyerang jaringan getah bening seperti kelenjar getah bening atau pun limpa.
Bahaya yang paling besar dari limfoma adalah penyebarannya ke jaringan atau
organ lainnya.
Sarkoma Kaposi (KS) pada Odha merupakan infeksi ganda dari HIV dan virus
herpes penyebab sarkoma Kaposi (Kaposi’s sarcoma-associated herpesvirus–
KSHV) yang baru dikenal. Bagaimana dengan limfoma pada Odha? Penelitian
baru-baru ini menegaskan peranan aktif virus Epstein-Barr (EBV) dalam
perkembangan limfoma. Salah satu jenis NHL yaitu limfoma Burkitt, terbukti
berkaitan dengan EBV. Di seluruh dunia, EBV berperan pada sekitar separuh dari
seluruh kasus kanker pada tenggorokan atas, serta lebih dari 30% dari semua
kasus penyakit Hodgkin dan 10% NHL. Hipotesis bahwa HIV memberdayakan
virus lainnya untuk menyebabkan kanker tertentu tampaknya baik untuk diteliti
lebih jauh. Penelitian diperlukan untuk menjelaskan peranan EBV pada limfoma
akibat AIDS, walaupun hubungan antara KSHV dan KS serta peranan virus
papilloma manusia dalam kanker anogenital tampaknya lebih bisa dimengerti.
Penelitian itu juga diperlukan untuk mengetahui hubungan antara virus herpes
yang baru ditemukan dengan limfoma. Penelitian semacam itu dapat
menghasilkan cara baru dalam memprediksi dan mengobati limfoma.
Di lain pihak, sebuah penelitian berskala kecil menyatakan bahwa ada hubungan
antara kadar racun dan pestisida tertentu di dalam tubuh seseorang dengan risiko
NHL. Karena sedikitnya jumlah peserta dalam penelitian ini, maka dibutuhkan
penelitian yang lebih lanjut untuk menguatkannya.
Gejala NHL yang dirasakan oleh pasien meliputi pembengkakan kelenjar getah
bening di daerah leher dan pangkal paha tanpa rasa sakit, gatal-gatal di sekujur
badan, kehilangan berat badan, demam dan berkeringat hebat di malam hari.
Orang dengan HIV positif seharusnya berhati-hati bila ada pembengkakan di luar
kelenjar getah bening. Pemeriksaan fisik pada orang yang mengalami NHL akan
memperlihatkan pembesaran hati dan limpa, dan tes laboratorium rutin sering
menunjukkan anemia (rendahnya kadar sel darah merah) yang terlihat dari kadar
Hb yang rendah.
Diagnosa NHL mengacu pada lebih dari 24 jenis kanker pada sistem getah
bening. Untuk menemukan pengobatan yang tepat atau pun memprediksi
hasilnya, para dokter pertama-tama harus menemukan sel getah bening mana yang
diserang limfoma. Langkah pertama adalah dengan mengambil sampel jaringan
(biopsi) yang terkena limfoma untuk dianalisa. Sel itu kemudian diberi pewarna
khusus dan diamati melalui mikroskop untuk membandingkan ukuran dan bentuk
sel serta penampakan nukleus dan sitoplasmanya. Sel itu digolong-golongkan
dalam beberapa tingkatan yaitu: tingkat rendah untuk penyebaran yang lambat,
tingkat sedang untuk penyebaran yang agak cepat dan tingkat tinggi untuk
penyebaran yang sangat cepat. Diagnosa dikuatkan dengan CT-scan
(computerized tomography scan) dan gambar MRI (magnetic resonance imaging).
NHL bisa menyerang berbagai organ tubuh. Seseorang dengan HIV
berkemungkinan lebih besar mengalami limfoma pada lebih dari satu organ tubuh.
Ronsen dada akan memperlihatkan apakah paru-paru juga terkena. Biopsi
sumsum tulang berguna untuk mengetahui apakah limfoma itu menjalar ke
sumsum tulang, tempat produksi sel darah merah dan sel darah putih caranya ialah
dengan mengambil sedikit sumsum tulang, yang kemudian diamati dengan
mikroskop untuk melihat ada-tidaknya ketidaknormalan sel. Yang terakhir,
gambaran beberapa ronsen khusus dapat berguna untuk melihat struktur kelenjar
getah bening yang membengkak dan memeriksa suplai darah dan getah bening
pada kelenjar tersebut. Proses ini disebut lymphangiography, memerlukan cairan
berwarna biru yang dapat terlihat dengan sinar X. cairan itu disuntikkan pada
pembuluh darah di antara jari kaki dan kemudian dengan menggunakan sinar X
akan terlihat gambaran kelenjar getah bening ketika cairan itu melewatinya.
Ada dua jenis terapi yang ditawarkan untuk orang yang terserang NHL. Yang
pertama adalah kemoterapi yang terdiri dari obat-obatan yang membunuh dan
merusak sel kanker. Yang kedua adalah terapi radiasi yang mengunakan sinar X
yang diatur untuk membunuh sel kanker dan menciutkan tumor. Biasanya kedua
terapi tersebut dikombinasikan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan si pasien.
Ada kontroversi seputar kemoterapi yang paling baik untuk NHL akibat AIDS.
Rangkaian obat yang disebut CHOP, yang terdiri dari cyclophosphamide,
doxorubicin, vincristine dan prednisone, diusulkan untuk pengobatan limfoma
akibat AIDS karena dipandang sebagai pengobatan standar untuk Odha.
Pendukung kombinasi ini mengakui bahwa setiap individu harus membuat pilihan
sendiri baik mengenai obat yang akan digunakan maupun jumlah pengurangan
dosisnya, yang didasarkan pada keadaan kekebalannya dan kemampuan individu
itu untuk mentoleransi pengobatan yang sebenarnya banyak mengandung racun
ini. Semua peserta dalam debat mengenai pilihan kombinasi kemoterapi mengakui
bahwa terapi antiretroviral yang efektif mungkin memiliki efek yang baik bagi
daya tahan tubuh secara keseluruhan.
Baik kemoterapi maupun radiasi merusak sejumlah besar sel sistem kekebalan.
Neutropenia (penurunan neutrofil, sejenis sel darah putih) bisa dicegah sebelum
menjalani kemoterapi atau pun radiasi dengan menggunakan granulocyte colony
stimulating factor. Setelah kemoterapi dan radiasi, pencangkokan sumsum tulang
secara autologous (diambil dari pasien sebelum diobati) seringkali perlu dilakukan
untuk membangkitkan kembali sistem kekebalan. Pencangkokan sumsum tulang
lebih sering dilakukan pada orang HIV negatif, di antaranya memiliki 75% NHL
tingkat rendah setempat yang hidup sedikitnya lima tahun; 40-50% dari mereka
yang mengalami sakit lebih parah hidup dua tahun atau lebih.
Limfoma pada otak jarang dialami oleh orang dengan kadar sel CD4 yang tinggi.
Gejala utama dari limfoma susunan saraf pusat (SSP) adalah sakit kepala dan
demam. Perasaan seperti meningkatnya tekanan di dalam kepala atau bahkan
serangan sakit kepala yang hebat juga sering terjadi. Sepertiga orang yang
mengalami limfoma SSP merasakan gangguan bicara (aphasia), pandangan kabur
dan gangguan kepekaan atau pun koordinasi gerakan pada satu sisi tubuh.
Menurut klinik Mayo, tanda awal limfoma SSP bisa dideteksi di mata. 11% dari
orang yang belakangan diketahui terserang limfoma SSP ternyata mengalami
uveitis (radang pada selaput pelangi mata dan bagian di sekeliling mata) yang
didahului dengan gejala lainnya selama berbulan-bulan sampai tahunan. Jika
terapi kortikosteroid tidak menyembuhkan uveitis, maka diperlukan sebuah biopsi
cairan vitreus pada mata yang akan menunjukkan adanya infiltrasi (radang sel dan
puing) sehingga diagnosa limfoma SSP dengan secepatnya diketahui dan dapat
segera diobati dengan memeriksakan mata secara rutin. Maka limfoma SSP akan
lebih cepat dideteksi dibandingkan dengan pemeriksaan khusus yang bisa saja
terlambat. Lagipula pemeriksaan mata tidaklah begitu menakutkan bila
dibandingkan dengan biopsi otak.
Daftar pustaka
Sudoyo, W. Aru, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FK UI.
De Jong, Wim & R. Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta :
EGC.