Anda di halaman 1dari 46

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr.

W DENGAN MASALAH
KEPERAWATAN UTAMA : NYERI AKUT PADA GANGGUAN
SISTEM PENCERNAAN DI RUANG KENANGA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Dr. SOEDIRMAN
KABUPATEN KEBUMEN

Disajikan Sebagai Tugas


Pada Pembelajaran Stase Keperawatan Medikal Bedah
Program Pendidikan Profesi Ners STIKES Muhammadiyah Gombong

Di susun oleh :
MUNARSIH, S.Kep

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2016
Laporan Kasus Praktik Profesi Ners

Asuhan Keperawatan Pada Sdr. W Dengan Masalah Keperawatan Utama Nyeri


Akut Pada Gangguan Sistem Pencernaan Di Ruang Kenanga RSDS Kabupaten
Kebumen

Telah disahkan pada :


Hari :
Tanggal :

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( Dadi Santoso,M.Kep ) ( Sri purwati, S. Kep.Ns )


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT karena atas
limpahan karunia dan rahma-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
keperawatan pada stase keperawatan Dewasa dengan Judul “Asuhan Keperawatan
pada Tn. H dengan Masalah Keperawatan Utama: Nyeri Akut pada Sistem
Pencernaan di Ruang Terate RSDS Kabupaten Kebumen”.
Selama proses pembuatan laporan ini, penulis mendapatkan bimbingan,
masukan dan dukungan dari beberapa pihak, sehingga laporan ini dapat
terselesaikan dengan baik, untuk itu penulis mengucapka terima kasih kepada :
1. dr. Bambang Suryanto, selaku direktur RSUD Kabupaten Kebumen.
2. Herniyatun, M.Kep. Sp.Mat, selaku ketua prodi S1 Keperawatan STIKES
Muhammadiyah Gombong.
3. Sri Purwati, S.Kp.Ns, selaku pembimbing klinik dan kepala ruang Kenanga
RSDS Kabupaten Kebumen.
4. Dadi Santoso S.Kp.Ns, selaku pembimbing klinik STIKES Muhammadiyah
Gombong.
5. Rekan seperjuangan Ners yang telah memberikan dukungan dalam
terselesainya laporan ini.
6. Pihak-pihak lain yang tidak yang tidak kami sebutkan satu-persatu. Semoga
jasa dan amal baik mendapat pahala dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangannya,
oleh karena itu segala saran dan masukan sangat diharapkan untuk perbaikan
laporan. Akhirnya penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Kebumen, September 2016


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nyeri merupakan perasaan tidak menyenangkan yang merupakan
pertanda bahwa tubuh telah mengalami kerusakan atau terancam oleh suatu
cedera. Nyeri berawal dari reseptor nyeri yang tersebar di seluruh tubuh.
Reseptor nyeri ini menyampaikan pesan sebagai impuls listrik di sepanjang
saraf yang menuju ke medula spinalis dan kemudian diteruskan ke otak.
Kadang ketika sampai di medula spinalis, sinyal ini menyebabkan terjadinya
respon refleks; jika hal ini terjadi, maka sinyal segera dikirim kembali di
sepanjang saraf motorik ke sumber nyeri dan menyebabkan terjadinya
kontraksi otot. Contoh dari respon refleks adalah reaksi segera menarik
tangan ketika menyentuh sesuatu yang sangat panas.
Reseptor nyeri dan jalur sarafnya berbeda pada setiap bagian tubuh.
Karena itu, sensasi nyeri bervariasi berdasarkan jenis dan lokasi dari cedera
yang terjadi. Reseptor nyeri di kulit sangat banyak dan mampu meneruskan
informasi secara akurat. Sedangkan sinyal nyeri dari usus sangat terbatas dan
tidak akurat. Otak tidak dapat menentukan sumber yang tepat dari nyeri di
usus, lokasi nyeri sulit ditentukan dan cenderung dirasakan di daerah yang
lebih luas.
Nyeri yang dirasakan di beberapa daerah tubuh tidak secara pasti
mewakili lokasi kelainannya, karena nyeri bisa berpindah ke daerah lain
(referred pain). Referred pain terjadi karena sinyal dari beberapa daerah di
tubuh seringkali masuk ke dalam jalur saraf yang sama ke medula spinalis
dan otak. Misalnya nyeri karena serangan jantung bisa dirasakan di leher,
rahang, lengan atau perut dan nyeri karena serangan kandung kemih bisa
dirasakan di bahu.
Setiap orang memiliki tingkat toleransi yang berbeda terhadap nyeri.
Seseorang bisa merasakan nyeri yang hebat karena tergores atau mengalami
memar, sedangkan yang lainnya hanya sedikit mengeluh meskipun

1
mengalami kecelakaan berat atau tertusuk pisau. Kemampuan untuk
mengatasi nyeri tergantung kepada suasana hati, kepribadian dan lingkungan.
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan
maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP),
nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan
akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
Menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai
penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau
fantasi luka. Nyeri adalah apa yang dikatakan oleh orang yang mengalami
nyeri dan bila yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi
ini tidak berarti bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat
diekspresikan melalui menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Mc
Caffrey & Beebe, 1989 dikutip dari Betz & Sowden, 2002).

2
BAB II
STUDI PUSTAKA

A. Pengertian
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenanglkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial yangt digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa
(International Association for study of Pain): awitan yang tiba tiba atau
lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung kurang dari 6 bulan.(NANDA,
2015).

B. Etiologi
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis)

C. Batasan Karakteristik
1. Laporan secara verbal atau non verbal
2. Fakta dari observasi
3. Posisi antalgic untuk menghindari nyeri
4. Gerakan melindungi
5. Tingkah laku berhati-hati
6. Muka topeng
7. Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau,
menyeringai)
8. Terfokus pada diri sendiri
9. Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir,
penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
10. Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau
aktivitas, aktivitas berulang-ulang)
11. Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah,
perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)

3
12. Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari
lemah ke kaku)
13. Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada,
iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah) Perubahan dalam nafsu makan
dan minum

D. Fisiologi
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat
yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,
secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah,
nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga

4
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan
nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini
meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya.
Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap
pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan
inflamasi.
a. Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan
bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat
ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri
dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan
(Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan
bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme
pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa
impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls
dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan
tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut
kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A
dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk
mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat
mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme
pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat
seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang
dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka
pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika

5
impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi
di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat
endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang
berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan
dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling
dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin
(Potter, 2005)

b. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien
terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
16) Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat
pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial
budaya

6
c. Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
2) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
3) Peningkatan heart rate
4) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
5) Peningkatan nilai gula darah
6) Diaphoresis
7) Peningkatan kekuatan otot
8) Dilatasi pupil
9) Penurunan motilitas GI
10) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
11) Muka pucat
12) Otot mengeras
13) Penurunan HR dan BP
14) Nafas cepat dan irreguler
15) Nausea dan vomitus
16) Kelelahan dan keletihan

d. Respon tingkah laku terhadap nyeri


Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
1) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas,
Mendengkur)
2) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
3) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari & tangan
4) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd
aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat
bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama
beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan

7
dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien
dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan
terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan
perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman
nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting,
karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini
memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk
menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat
penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu
bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga
berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara
satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat
toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan
stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya
rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien
dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri
tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya
rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari
stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu
dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan
sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan,
mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi
yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk

8
mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus
melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit
mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak
mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus
seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu
klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada
fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri
bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa
pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka
respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang
berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri
untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

1. Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri


a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat
harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan
fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena
mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani
dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika
nyeri diperiksakan.
b. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda
secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi
faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita
boleh mengeluh nyeri).

9
c. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena
mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada
nyeri.
d. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang
terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
e. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian
yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,
sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang
menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk
mengatasi nyeri.
f. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa
menyebabkan seseorang cemas.
g. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa
lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih
mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi
nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
h. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi
nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan
seseorang mengatasi nyeri.

10
i. Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan
perlindungan

2. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda.
Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran
pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
a. Skala intensitas nyeri deskritif

b. Skala identitas nyeri numerik

c. Skala analog visual

11
d. Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :
1) 0 : Tidak nyeri
2) 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik.
3) 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik.
4) 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak
dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
5) 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan
atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk
mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun,
makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke
waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale,
VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang
tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan
meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan.
Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan

12
dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan
nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel
subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri
yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala
ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih
sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari
pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah
digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka
deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja
dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi
perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau
saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami
penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

E. Patofisiologi
S. typhi masuk tubuh manu
sia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian masuk ke usus halus dan
mencapai jaringan limfoid plak Peyeri di ileum terminalis yang hipertrofi.
Bila terjadi komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal, kuman menembus
lamina propia, masuk aliran limfe mencapai kelenjar limfe mesenterial, dan

13
masuk aliran darah melalui duktus torasikus. S. typhi lain dapat mencapai hati
melalui sirkulasi portal dari usus. S. typhi bersarang di plak Peyeri, limpa,
hati, dan bagian-bagian lain system retikuloendotelial. Endotoksin S. typhi
berperan dalam proses inflamasi local pada jaringan tempat kuman tersebut
berkembang baik. S, typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan
pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang, sehingga
terjadi demam.

F. PATHWAY KEPERAWATAN
Makanan & air yang tercemar S. typi

S. typi musnah oleh asam lambung Sebagian S. typhi masuk usus halus

Jaringan limpoid plak peyeri

Performasi intestinal

Masuk kelenjar limfe mesentrial

Bersarang diplak peyeri, limpa, hati

Terbentuk endotoxin S. typi

Proses inflamasi

- peningkatan - nyeri kepala - perasaan tidak Perubahan pola


suhu tubuh - pusing, nyeri enak perut makan rendah serat
- demam otot - anorexia

hipertermi Nyeri akut mual Resiko konstipasi

14
G. Masalah keperawatan lain
1. Mual
2. Hipertermi
3. Resiko Konstipasi

Rencana Keperawatan
Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Masalah
Tujuan dan Kriteria
Kolaborasi Intervensi
Hasil
Nyeri NOC : NIC :
Batasan karakteristik : a. Pain Level, Pain Management
- Laporan secara verbal atau non b. Pain control, a. Lakukan
verbal c. Comfort level pengkajian nyeri
- Fakta dari observasi Kriteria Hasil : secara
- Posisi antalgic untuk a. Mampu komprehensif
menghindari nyeri mengontrol nyeri termasuk lokasi,
- Gerakan melindungi (tahu penyebab karakteristik,
- Tingkah laku berhati-hati nyeri, mampu durasi, frekuensi,
- Muka topeng menggunakan kualitas dan
- Gangguan tidur (mata sayu, tehnik faktor presipitasi
tampak capek, sulit atau gerakan nonfarmakologi b. Observasi reaksi
kacau, menyeringai) untuk nonverbal dari
- Terfokus pada diri sendiri mengurangi ketidaknyamanan
- Fokus menyempit (penurunan nyeri, mencari c. Gunakan teknik
persepsi waktu, kerusakan proses bantuan) komunikasi
berpikir, penurunan interaksi b. Melaporkan terapeutik untuk
dengan orang dan lingkungan) bahwa nyeri mengetahui
- Tingkah laku distraksi, contoh : berkurang dengan pengalaman
jalan-jalan, menemui orang lain menggunakan nyeri pasien
dan/atau aktivitas, aktivitas manajemen nyeri d. Evaluasi

15
berulang-ulang) c. Mampu pengalaman
- Respon autonom (seperti mengenali nyeri nyeri masa
diaphoresis, perubahan tekanan (skala, intensitas, lampau
darah, perubahan nafas, nadi dan frekuensi dan e. Evaluasi bersama
dilatasi pupil) tanda nyeri) pasien dan tim
- Perubahan autonomic dalam d. Menyatakan rasa kesehatan lain
tonus otot (mungkin dalam nyaman setelah tentang
rentang dari lemah ke kaku) nyeri berkurang ketidakefektifan
- Tingkah laku ekspresif (contoh: e. Tanda vital dalam kontrol nyeri
gelisah, merintih, menangis, rentang normal masa lampau
waspada, iritabel, nafas f. Bantu pasien dan
panjang/berkeluh kesah) keluarga untuk
mencari dan
menemukan
dukungan
g. Kontrol
lingkungan yang
dapat
mempengaruhi
nyeri seperti
suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
h. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
i. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi,
non farmakologi
dan inter
personal)

16
j. Kaji tipe dan
sumber nyeri
untuk
menentukan
intervensi
k. Ajarkan tentang
teknik non
farmakologi
l. Berikan analgetik
untuk

17
Diagnosa keperawatan/ Masalah Rencana Keperawatan
Kolaborasi Tujuan dan kriteria Intervensi
Mual NOC: NIC:
Batasan karakteristik: Setelah dilakukan 1. Monitor mual
- keengganan terhadap makanan tindakan 2. Ciptakan
- mual keperawatan selama lingkungan yang
- peningkatan menelan 2 x 24 jam nyaman untuk
- peningkatan salvias diharapkan mual makan
- rasa asam didalam mulut pasien teratasi 3. Dorong tirah
- sensasi muntah dengan kriteria hasil baring selama
: fase akut
 Mual hilang 4. Jaga oral hygiene
 Timbul nafsu 5. Anjurkan makan
makan porsi kecil
 Makan habis lebih dengan frekuensi
dari setengah porsi sering
6. Kolaborasi
dengan dokter
- Pemberian
obat antimetik
(ondansentron
4mg/8 jam,
sukralfat syrup
3x2cths)

18
BAB III
TINJAUAN KASUS

Tgl Masuk : 13 September 2016 Pukul 08.00 WIB


Pengkaji : MUNARSIH
Tgl Pengkajian : 13 September 2016 Pukul 14.00 WIB

A. Pengkajian
1. Data Umum Klien
a. IdentitasPasien
Nama : Sdr. W
Usia : 23 Thn
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Pelajar Pondok
Alamat : Dkh. Klampean Ampih 01/05
Buluspesantern, Kebumen
Diagnosa : Typhoid
No. RM : 322921
b. Identitas Penanggung jawab
Nama anak : Ny.M
Usia : 50 Thn
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SLTP
Alamat : Dk Klampean Amih 01/05
Buluspesantren, Kebumen

19
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengatakan nyeri kepala dengan skala nyeri 6
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Soedirman Kebumen pada tanggal
13 september 2016 dengan keluhan sejak 5 hari yang lalu nyeri
kepala dan pusing. Pada saat di lakukan pengkajian pasien mengeluh
masih nyeri dan pusing terus menerus dan nyeri berkurang saat
istirahat, demam, tidak nafsu makan, mual, muntah tiap
makan/minum, BAB sulit sudah 5 hari, BAK lancar. TD: 113/81
Mmhg, S: 36,70C, N: 84x/mnt, RR: 20 x/mnt GCS: 15. Di IGD
pasien mendapat terapi: IVFD Asering 16 tpm, ondonsentron inj 4
mg, Rantin inj 50 mg, Ciprofloxacin infus 200 mg, Sukralfat syrup
3x2 cth
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien mengatakan sebelumnya belum pernah merasakan sakit
seperti ini .
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit seperti yang
diderita pasien saat ini dan tidak ada yang menderita penyakit
menurun (DM), hipertensi,ataupun penyakit menular seperti (TBC).
e. Genogram

20
Keterangan :
: Laki – laki

: Perempuan
: Pasien

: Meninggal

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
1) Kesadaran : CM GCS 15 E4V5M6
2) Tanda-tanda Vital : TD : 113/81 Mmhg, S: 36,7 0C, N:
84 x/mnt, RR : 20 x/mnt
b. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala : Bentuk mesochepal, tampak bersih, tidak
terdapat lesi.
2) Telinga : Simetris, fungsi pendengaran baik, tidak
menggunakan alat bantu pendengaran, tidak
ada serumen.
3) Mata : Fungsi penglihatan baik dan tidak
menggunkan alat bantu penglihatan,
konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik.
4) Hidung : Simetris, tidak ada polip, tidak terdapat
gangguan penciuman.
5) Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak terdapat
stomatitis, gigi bersih, tidak ada caries gigi
6) Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar thyroid,
tidak ada peningkatan JVP.

21
7) Dada :
a) Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba.
Perkusi : Redup
Auskultasi : Bunyi S1-S2, Reguler.
b) Paru-paru :
Inspeksi : Tidak terdapat retraksi dinding dada.
Palpasi : Pengembangan paru kanan dan kiri sama.
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Tidak terdengar bunyi nafas tambahan.
c) Abdomen :
Inspeksi : soepel
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan ataupun massa
Perkusi : Timphani.
Auskultasi : Bising usus 8 x/mnt.
d) Ekstremitas :
i. Ekstremitas atas : Tidak terdapat odem, tidak ada lesi,
pada tangan kanan terpasang infus asering 20 tpm,
tidak terdapat kelemahan anggota gerak
ii. Ekstremitas bawah : Tidak terdapat odem, tidak ada
lesi, tidak ada kelemahan anggota gerak
8) Genital : Pasien berjenis kelamin laki-laki, tidak
terpasang DC, tidak ada kelainan pada
genetalia.
9) Anus : Tidak terdapat hemoroid/pembesaran vena.
10) Integumen : Kulit lembab, turgor kulit elastis.

c. Pola Fungsional
1) Pola bernafas dengan normal

22
a) Sebelum sakit : Tidak mengeluh sesak nafas atau
merasakan adanya ganguan pada jalan
nafasnya.
b) Saat dikaji : pasien bernafas menggunakan hidung, tidak
mengeluh sesak nafas, retraksi dada, nafas
cuping hidung ,tidak terpasang O2.
2) Pola nutrisi dan metabolic
a) Sebelum sakit : Makan 3 kali sehari dengan menu nasi,
lauk daging, sayur bayam dan minum air
putih 10 – 12 gelas setiap hari.
b) Saat dikaji : Pasien mengeluh mual, pasien makan
bubur halus sehari 3 kali dan
menghabiskan 1/4 porsi setiap makan
3) Pola Eliminasi
a) Sebelum sakit : BAK 4 –5 kali sehari dan BAB 2 kali
sehari, warna kuning.
b) Saat dikaji : Pasien belum BAB sejak 5 hari sebelum
masuk rumah sakit
4) Pola Aktivitas
a) Sebelum sakit : Pasien melakukan aktifitas sehari – hari
sebagai seorang santri tanpa bantuan
orang lain.
b) Saat dikaji : pasien hanya tiduran dan dalam
pemenuhan kebutuhan ADL dibantu
oleh keluarganya.
5) Pola Istirahat
a) Sebelum sakit : Pasien tidur 6 – 8 jam pada malam hari,
dan jarang tidur siang
b) Saat dikaji : Pasien tidur malam 5- 6 jam, tidur siang
2-3 jam.
6) Pola Berpakaian

23
a) Sebelum sakit : Pasien dapat memilih serta berpakaian
secara mandiri tanpa perlu bantuan orang
lain.
b) Saat dikaji : Pasien berpakaian dengan bantuan
keluarga.
7) Pola Mempertahankan suhu tubuh
a) Sebelum sakit : Jika suhu panas, pasien mengenakan
pakaian tipis, jika suhu dingin pasien
mengenakan baju hangat.
b) Saat dikaji : Pasien dalam mempertahankan suhu
tubuh dengan bantuan keluarga, S : 36,7
0
c.
8) Pola Personal hygiene
a) Sebelum sakit : Pasien mandi serta gosok gigi 2 kali
sehari, keramas 2 hari sekali
b) Saat dikaji : Pasien diseka 2 kali sehari oleh
keluarganya, Personal hygine baik.
9) Pola Menghindari bahaya lingkungan dan rasa nyaman
a) Sebelum sakit : Pasien merasa aman dan nyaman karena
dekat dengan keluarga.
b) Saat dikaji : Pasien tidak merasa terganggu di
lingkungan rumah sakit
10) Pola Komunikasi
a) Sebelum sakit : Pasien berkomunikasi dengan orang
lain dengan menggunakan bahasa Jawa
tanpa ada gangguan.
b) Saat dikaji : Pasien dapat berkomunikasi dengan
baik
11) Pola Beribadah
a) Sebelum sakit : Pasien beragama Islam, sholat lima
waktu serta ibadah lainya.

24
b) Saat dikaji : Pasien melaksanakan sholat dan
berdoa ditempat tidur.
12) Pola Bekerja
a) Sebelum sakit : Pasien belajar sebagai seorang santri
b) Saat dikaji : Pasien hanya tiduran dan belum dapat
melakukan aktivitas secara mandiri.
13) Pola Bermain dan Rekreasi
a) Sebelum sakit : Pasien jarang berekreasi dan hanya
berkunjung ke tempat saudara .
b) Saat dikaji : Pasien ditunggui oleh keluarganya
kadang dijenguk oleh saudara dan
tetangganya.
14) Pola Belajar
a) Sebelum sakit : Pasien mendapatkan pengetahuan dari
sekolah, radio, televisi maupun orang
lain.
b) Saat dikaji : Pasien & keluarga memperoleh
informasi tentang kesehatan dan
penyakitnya dari tim medis di RS

25
d. Pemeriksaan Penunjang
Nilai
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan
Rujukan
Hematology
Hemoglobin 15,3 g/dL 13,2 – 17,3
Leukosit 7.0 10^3/ul 3,8 – 10,6
Eritrosit 5–4 % 40 – 52
Hematokrit 45 10^6/ul 4,40 – 5,90
Trombosit 190 10^3/ul 150 – 400
MCH 29 Pg 26 – 34
MCHC 34 g/dL 32 – 36
MCV 83 fL 80 – 100
Eosinofil 0,00 % 1–4
Basofil 0,00 % 0–1
Netrofil 74,40 % 50 – 70
Limfosit 20,10 % 22 – 40
Monosit 5,20 % 4–8
SGOT 40 u/L
SGPT 54 u/L
TYHI O POS 1/400 Negatif

e. Terapi
1. Infuse Asering 16 tpm
2. Ciprofloxacin infus 200 mg/ 12 jam
3. Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam
4. Injeksi Ondansentron 4 mg/ 8 jam
5. Sukralfat syrup 3x2 cth
6. Paracetamol 500mg 3x 1 tab

26
B. Analisa Data
No
Tgl Data Masalah Etiologi
Dx
1. 13 september 2016 DS:
14.00 WIB - Pasien Nyeri Agen injuri
mengatakan nyeri biologis
pada daerah
kepala, skala
nyeri 6
DO:
- Pasien tampak
menahan nyeri,
TD: 113/81
Mmhg, S:
36,70C, N: 84
x/mnt, RR 20
x/mnt.
2. 13 September 2016 DS:
14.30 WIB - pasien mengeluh mual Iritasi
mual dan tidak gastrointest
nafsu makan inal
DO:
- pasien mengeluh
mual setiap kali
makan
- Pasien makan
habis 1/4 porsi
bubur halus
- Widal TYPHI O
positif 1/400

27
C. Diagnosa Keerawatan
1. Nyeri akut b.d agen injuri biologis.
2. Mual b.d iritasi gastrointestinal
D. Intervensi Keperawatan
Hari/tanggal/ No Tujuan dan
Intervensi Rasional Ttd
jam DP kriteria Hasil
13 Setember 1 NOC : NIC: Pain
2016 a. Pain management
14.30 WIB Level, 1. Kaji nyeri, 1. Membantu
b. Pain catat lokasi, mengevaluasi
control, karakteristik, derajat ketidak
c. Comfort dan intensitas nyamanan dan
level nyeri ketidak
Kriteria Hasil efektifan
Setelah analgesic
dilakukan
tindakan 2. Monitor TTV 2. TTV(
keperawatan tiap 8 jam TD,N,RR,S)
selama 2x24 merupakan
jam respon
diharapkan autometik
nyeri teratasi yang
dengan berhubungan
kriteria hasil: dengan nyeri.
Pasien Abnormalitas
mengatakan TTV
sudah tidak memerlukan
nyeri lagi evaluasi
atau lanjutan.
berkurang.
Skala nyeri 3. Atur posisi 3. posisiyang
2-3 senyaman nyaman dapat
TTV dalam mungkin. menurunkan
rentang ketegangan
normal. otot,
meningkatkan
relaksasi dan
dapat
meningkatkan

28
kemampuan
koping

4. Ajarkan 4. membantu
tehinik pasien untuk
distraksi istirahat lebih
relaksasi efektif dan
dengan memfokuskan
menganjurkan kembali
pasien untuk perhatian,
tarik nafas sehingga
panjang bila menurunkan
nyeri timbul. nyeri dan
ketidaknyama
nan

5. Jelaskan 5. pasien
penyebab diharapkan
nyeri. untuk
mentoleransi
nyeri daripada
meminta
analgetik

6. Ciptakan 6. lingkungan
lingkungan yang tenang
yang tenang. dapat
meningkatkan
relaksasi dan
mengurangi
rasa nyeri

7. Berikan 7. menurunkan
analgetik nyeri dan
parasetamol meningkatkan
500 mg/ 8 kenyamanan
jam
13 Setember 2 NOC: NIC:
2016 Setelah 1. Monitor mual 1. memberikan
14.30 WIB dilakukan kepada pasien

29
tindakan utntuk
keperawatan interaksi
selama 2x24 gambaran
jam nyata jumlah
diharapkan makanan yang
mual pasien ditoleransi
teratasi
dengan 2. Ciptakan 2. lingkungan
kriteria hasil lingkungan yang nyaman
: yang nyaman menurunkan
 Mual untuk makan stress dan
hilang lebih kondusif
 Timbul untuk makan
nafsu
makan 3. Dorong tirah 3. menurunkan
 Makan baring selama kebutuhan
habis lebih fase akut metabolic
dari untuk
setengah mencegah
porsi penurunan
kalori dan
simpanan
energy

4. Jaga oral 4. mulut yang


hygiene bersih dapat
meninkatkan
nafsu makan
dan
mengurangi
rasa mual

5. Anjurkan 5. dilatasi gaster


makan porsi dapat terjadi
kecil dengan apabila
frekuensi pemberian
sering makan terlalu
cepat danporsi
besar

30
6. Kolaborasi 6. ondansentron
dengan dokter dapat
- Pemberian menghilangka
obat n mual dan
antimetik mencegah
(ondansentr muntah
on 4mg/8 - Sukralfat
jam, syrup
sukralfat merupakan
syrup agen anti ulkus
3x2cths) yang
menurunkan
sekresi asam
gaster dan
meningkatkan
produksi
mucus
pelindung
yang berguna
dalam
pengobatan
dan
pencegahan
absorbs
beberapa obat
seperti
eiprofloxacin

E. Implementasi
Tgl/jam No.Dx Implementasi Respon Pasien paraf
13- 9- 2016
14.00 WIB 1,2 Menanyakan keluhan Pasien merasakan
pasien, mengkaji skala nyeri di kepala,
nyeri. dengan skala nyeri 6.

14.30 WIB 1 Mengajarkan teknik Pasien mampu

31
nafas dalam untuk mempraktekan & rasa
mengurangi nyeri. nyeri berkurang.
Skala nyeri 5

15.00 WIB 2 Mengkaji mual pasien Pasien mengatakan


masih mual jika perut
diisi makanan terlalu
banyak, dan pasien
menghabiskan kurang
dari ½ porsi

16.00 WIB 1,2 Memberikan sukralfat Pasien meminum


syrup/ PO,parasetamol obat, injeksi
500mg/PO, injeksi ondansentron
ondansentron 1amp/IV 4mg/IVmasuk, pasien
tidak kesakitam

17.00 WIB 1,2 Memonitor TTV. TD: 110/80 Mmhg, S:


36,50C, N: 80 x/mnt,
RR 20 x/mnt.

17.30 WIB 2 Menganjurkan pasien Pasien menggosok


untuk gosok gigi gigi

18.00 WIB 1 Memonitor tingkat & Nyeri masih


skala nyeri. dirasakan di bagian
kepala skala nyeri 5

20.00 WIB 1 Memberikan Ciprofloxacin


Ciprofloxacin 200mg/infuse ,

32
200mg/infuse Ranitidin masuk tidak
Inj Ranitidin 50 mg ada tanda-tanda alergi

22.00 WIB 1,2 Memberikan sukralfat Pasien mau meminum


syrup 2 cth /PO, obat sukralfat syrup 2
Paracetamol 500 mg cts, paracetamol
pasien tidak muntah

14 -9- 2016
06.00 WIB 1,2 Memonitor TTV. TD: 110/80 Mmhg, S:
36,60C, N: 80 x/mnt,
RR 20 x/mnt.

08.00 WIB 1 Memonitor tingkat & Nyeri masih


skala nyeri. dirasakan di kepala
dengan skala nyeri 4

08.15 WIB 1,2 Memberikan sukralfat Pasien mau meminum


syrup 2 cth /PO, obat sukralfat syrup 2
Paracetamol 500 mg ets, paracetamol
pasien tidak muntah
08.30 WIB 1,2 Memberikan Ciprofloxacin
Ciprofloxacin 200mg/infuse ,
200mg/infuse Ranitidin masuk tidak
Inj Ranitidin 50 mg

09.00 WIB 2 Mengkaji mual pasien Pasien mengatakan


masih mual jika perut
diisi makanan terlalu
banyak, dan pasien
menghabiskan kurang

33
dari ½ porsi

10.00 WIB 1,2 Memonitor TTV & TD: 110/70 Mmhg, S:


36, 20C, N: 88 x/mnt,
RR 20 x/mnt,

11.00 WIB 2 Memonitor asupan Pasien makan habis ½


nutrisi porsi

12.00 WIB 2 Menjelaskan pada Pasien menerti dan


pasien tentang tahu cuci tangan yang
pentingnya suci tangan benar
/ hand hygiene

13.00 WIB 1,2 Memonitor aktivitas Pasien hanya tiduran


dan mobilisasi pasien di atas tempat tidur

13.30 WIB 1,2 Mendorong pasien Pasien bersedia untuk


untuk beristirarat yang beristirahat
cukup

14.30 WIB 1,2 Memonitor tingkat & Nyeri masih


skala nyeri. dirasakan di kepala
dengan skala nyeri 4

15.00 WIB 2 Mengannjurkan pasien Pasien dan keluarga


makan porsi kecil tapi mengerti
sering

16.00 WIB 1,2 Memberikan injeksi Ondansentron 4 mg

34
Ondansentron /IV, pasien mau
1amp/IV, Sukralfat minum obat sukralfat
syrup 2cts PO, syrup PO ,
paracetamol parasetamol
500mg/PO 500mg/PO tidak
alergi

16.15 WIB 1 Memonitor TTV & TD: 110/70 Mmhg, S:


36, 20C, N: 88 x/mnt,
RR 20 x/mnt,

16.00 WIB 1,2 Memberikan sukralfat Pasien meminum


syrup/ PO,parasetamol obat, injeksi
500mg/PO, injeksi ondansentron
ondansentron 1amp/IV 4mg/IVmasuk, pasien
tidak kesakitam

16.30 WIB 1,2 Memberikan diit dan Pasien sudah minum


mengkaji asupan 1 gelas dan makan
nutrisi bubur halus 1/2 porsi ,
pasien sudah tidak
mual ataupun muntah

17.00 WIB 1,2 Memonitor tingkat & Skala nyeri 4.


skala nyeri.

17.30 WIB 2 Menganjurkan pasien Pasien menggosok


untuk menggosok gigi gigi

19.00 WIB 2 Memonitor mual, dan Pasien mengatakan


menganjurkan pasien mual sudah berkurang

35
makan sedikit tapi dan selera makan
sering pasien mulai bagus
dengan menghabiskan
2/3 porsi lebih

19.30 WIB 1,2 Mendorong pasien Pasien beristirahat


untuk tirah baring ditempat tidur

20.00 WIB 1,2 Memberikan Ciprofloxacin


Ciprofloxacin 200mg/infuse ,
200mg/infuse Ranitidin masuk tidak
Inj Ranitidin 50 mg

22.00 WIB 1,2 Memberikan sukralfat Pasien mau meminum

syrup 2 cth /PO, obat sukralfat syrup 2

Paracetamol 500 mg cts, paracetamol


pasien tidak muntah

F. Evaluasi
Tanggal Dx Evaluasi paraf
13 September 1 S : Pasien mengatakan masih merasakan
2016 nyeri dibagian kepala saat aktifitas dan
saat istirahat/tiduran nyeri berkurang,
skala nyeri 5.
P : nyeri karena proses penyakit
Q: seperti ditusuk-tusuk
R: seluruh kepala
S: skala 5
T: sering

36
O:
- Pasien tampak menahan nyeri, TD:
110/80 Mmhg, S: 36,50C, N: 80 x/mnt,
RR 20 x/mnt.
- Pasien bedrest di tempat tidur
A : Masalah keperawatan Nyeri belum
teratasi
P : Lanjutkan intervensi No. 1, 2, 3, 6, 7.
- Kaji nyeri, catat lokasi,
karakteristik,dan intensitas nyeri
- Monitor TTV tiap 8 jam
- Ciptakan lingkungan yang tenang
- Berikan analgetik parasetamol 500
mg/ 8 jam
2 S : pasien mengatakan masih mual jika
makan terlalu banyak
O : pasien mual setiap makan pasien
menghabiskan makan dari ½ porsi,
masih tampak lemes, dan pasien tidak
muntah
A : masalah keperawatam mual belum
teratasi
P : Lanjutkan intervensi. No. 1, 2, 4, 5, 6.
- Monitor mual
- Ciptakan lingkungan yang nyaman
untuk makan
- Anjurkan makan porsi kecil dengan
frekuensi sering
- Kolaborasi dengan dokter
- Pemberian obat antimetik
(ondansentron 4mg/8 jam, sukralfat

37
syrup 3x2cths)
14 September 1 S : Pasien mengatakan masih merasakan
2016 nyeri dikepala saat aktifitas dan bila
istrahat berkurang dengan skala nyeri
4.
P : nyeri karena proses penyakit
Q: seperti ditusuk-tusuk
R: seluruh kepala
S: skala 4
T: sering
O:
- Pasien tampak menahan nyeri,
dengan skala nyeri 4, TD: 110/70
Mmhg,S: 36,C, N: 88 x/mnt, RR 20
x/mn
- Pasien masih bedrest ditempat tidur
A : Dx. Nyeri belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi. No. 1, 2, 3, 6, 7.
- Ciptakan lingkungan yang tenang
- Berikan analgetik parasetamol 500
mg/ 8 jam
2 S : pasien mengatakan mual berkurang
O : nafsu makan pasien bagus dan pasien
menghabiskan makan dari 2/3 porsi
yang disajikan oleh rumah sakit,
muntah (-)
A : mual pasien teratasi sebagian
P : hentikan intervensi

38
BAB IV
PEMBAHASAN

Asuhan keperawatan pada Sdr. W merupakan asuhan keperawatan system


pencernaan dengan masalah Keperawatan nyeri akut dan mual. Hal ini
berdasarkan hasil pengkajian kesehatan yang dilakukan pada tanggal 13
september 2016 pada pukul 14.00 WIB yaitu pasien mengeluh pusing sejak 5 hari
sebelum masuk rumah sakit, mual, tidak nafsu makan, dan mual. Makan habis ¼
porsi rumah sakit TD: 113/81 mmHg, N: 84 x/menit, R: 20 x/menit, S: 36,7 C.
bila ditinjau secara teori, pasien typhoid dalam minggu pertama keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anorexia, batuk, dan epistaksis. Namun, saat dikaji
tanggal 13 september 2016 tidak didapat keluhan demam S: 36,7 C. hal ini
dikarenakan episode demam sudah terjadi 5 hari sebelumnya saat sebelum pasien
masuk rumah sakit, sedangkan pasien masuk ke rumah sakit pada hari ke 6 dari
hari pertama munculnya demam. Selain itu, saat dikaji di ruang perawatan pasien
sudah minum obat paracetamol tab 500 mg.
Berdasarkan hasil pengkajian, penulis mendapatkan data subyektif berupa
keluhan pusing/ nyeri kepala dengan skala nyeri 6, dirasakan diseluruh area
kepala dan dirasakan terus-menerus. Data obyektif didapatkan ekspresi wajah
menahan nyeri, TD: 113/81 mmHg, N: 84x/menit, R: 20 x/menit, S: 36,7 C,
laborat widal S typhi o positif 1/400. Sehingga penulis mengangkat masalah Nyeri
Akut dengan etiologi agen injuri biologis.Selain itu penulis mendapatkan keluhan
tambahan dari pasien berupa mual teruntuk saat makan. Saat dikaji pasien hanya
menghabiskan ¼ porsi bubur kasar rendah serat yang disajikan tim gizi rumah
sakit. Pasien tidak muntah, sehingga penulis mengangkat masalah mual dengan
etiologi iritasi gastrointestinal.
Dari hasil analisa data diatas, penulis mengangkat diagnosa keperawatan
utama nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis dan diagnosa
keperawatan mual berhubungan dengan iritasi gastrointestinal menjadi diagnosa
keperawatan kedua. Secara teori ada beberapa diagnosa keperawatan lain yang

39
bisa muncul pada pasien dengan thypoid. Seperti, hipertermi, perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh, maupun resiko konstipasi. Pada kasus ini penulis
tidak mengambil diagnosa hipertermi karena tidak ditemukan keluhan demam.
Suhu tubuh pasien 36,7 C sehingga tidakcukup data penunjang untuk menegakkan
diagnosa keperawatan hipertermi. Sedangkan untuk diagnosa perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh, data yang didapatkan oleh penulis belum cukup
menunjang untuk diagnosa tersebut. Tidak terkajinya BB sebelumdan setelah sakit
menjadi salah satu faktor tidak validnya untuk diagnosa ini, selain itu ketika dikaji
pasien tidak muntah, dan porsi makan habis ¼ porsi. Keluhan yang masih ada
hanya mual, sehingga dengan memunculkan diagnosa keperawatan kedua mual
berhubungan dengan iritasi gastrointestinal diharapkan intervensi dan
implementasinya dapat membantu memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
Untuk diagnosa resiko konstipasi tidak dimunculkan oleh penulis. Hal ini
karena dalam 5 hari terakhir asupan nutrisi pasien sedikit karena mual/muntah.
Selain itu ditunjukan dengan progam tirah baring dan tata laksana diit rendah serat
yang ditetapkan pasien, sehingga dorongan defekasi lebih lambat. Dengan
memobilisasi pasien untuk banyak minurm dan alih baring secara bertahap setelah
bebas demam diharapkan dapat merangsang dorongan defekasi.
Sesuai dengan intervensi NIC untuk diagnosa keperawatan nyeri akut
adalah : Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik,dan intensitas nyeri dengan rasional
Membantu mengevaluasi derajat ketidak nyamanan dan ketidak efektifan
analgesik ,Monitor TTV tiap 8 jam dengan rasional TTV( TD, N, RR, S)
merupakan respon autometik yang berhubungan dengan nyeri. Abnormalitas TTV
memerlukan evaluasi lanjutan, Atur posisi senyaman mungkin. Dengan rasional
posisiyang nyaman dapat menurunkan ketegangan otot, meningkatkan relaksasi
dan dapat meningkatkan kemampuan koping, Ajarkan tehinik distraksi relaksasi
dengan menganjurkan pasien untuk tarik nafas panjang bila nyeri timbul dengan
rasional membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali
perhatian, sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan, Jelaskan penyebab
nyeri dengan rasional pasien diharapkan untuk mentoleransi nyeri daripada
meminta analgetik,Ciptakan lingkungan yang tenang dengan rasional lingkungan

40
yang tenang dapat meningkatkan relaksasi dan mengurangi rasa nyeri, Berikan
analgetik parasetamol 500 mg/ 8 jam dengan rasional menurunkan nyeri dan
meningkatkan kenyamanan.
Sedangkan intervensi unruk diagnosa keperawatan mual adalah Monitor
mual dengan rasional memberikan kepada pasien utntuk interaksi gambaran nyata
jumlah makanan yang ditoleransi, Ciptakan lingkungan yang nyaman untuk
makan dengan rasional lingkungan yang nyaman menurunkan stress dan lebih
kondusif untuk makan,Dorong tirah baring selama fase akut dengan rasional
menurunkan kebutuhan metabolic untuk mencegah penurunan kalori dan
simpanan energy, Jaga oral hygiene dengan rasional mulut yang bersih dapat
meninkatkan nafsu makan dan mengurangi rasa mual, Anjurkan makan porsi kecil
dengan frekuensi sering dengan rasional dilatasi gaster dapat terjadi apabila
pemberian makan terlalu cepat danporsi besar, Kolaborasi dengan dokter dengan
rasional ondansentron dapat menghilangkan mual dan mencegah muntah,
Pemberian obat antimetik (ondansentron 4mg/8 jam, sukralfat syrup 3x2cths)
dengan rasional Sukralfat syrup merupakan agen anti ulkus yang menurunkan
sekresi asam gaster dan meningkatkan produksi mucus pelindung yang berguna
dalam pengobatan dan pencegahan absorbs beberapa obat seperti eiprofloxacin.
Dalam prakteknya, tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis
untuk masalah keperawatan nyeri adalah mengatur posisi senyaman mungkin,
mengajarkan teknik distraksi relaksasi untuk mengurangi nyeri, memberikan
analgetik paracetamol 500 mg 3x1 tab. Dan untuk diagnosa keperawatan mual
yaitu memonitor mual, menciptakan lingkungan yang nyaman, membantu makan
sesuai kebutuhan, menganjurkan makan porsi kecil tapi sering, dan
mengkolaborasikan dengan dokter pemberian antimetik ondansentron 1 ampul.
Penulis pada kasus ini melakukan asuhan keperawatan Selama 2 hari yaitu
tanggal 13 -14 september 2016. Pada tanggal 14 september saat dilakukan
evaluasi didapattkan data pasien masih mengeluh pusing, tetapi skala sudah
berubah dari 6 menjadi 4, pasien masih bedrest ditempat tidur. Mual sudah
berkurang, makan habis 2/3 porsi bubur kasar rendah serat yang disajikan oleh tim
gizi rumah sakit, tidak muntah. Sehingga dapat ditarik kesimpulan masalah

41
keperawatan nyeri dan mual belum teratasi secara menyeluruh. Hal ini disebabkan
karena proses pemulihan pasien dengan thypoid cukup lama yaitu kurang lebih 2
minggu sehingga dibutuhkan masa keperawatan yang panjang. Akan tetapi
setidaknya terdapat perkembangan yang lebih baik dari sebelumnya.

42
DAFTAR PUSTAKA

Almatser, S.2004. Penuntun Diit. PT. Gramedia Pustaka Utara. Jakarta.


Barbara Koezeir, Glenora Erb, 1983, Fundamental of Nursing, california Addison
– Wesly publishing Division.
Barbara Koezeir, Glenora Erb, Oliveri, 1988, Fundamental of Nursing,
Philadelpia Addison Wesly publishing Division.
Engram, B, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta: EGC
Fatimah, Nur. 2002. Malnutrisi dalam Gizi Medik Indonesia.
http://med.wnhas.ac.id.
Hizira, S. 2008. Hubungan Pola Konsumsi dan Status Gizi PenderitaTuberkulosis.
http://www.scribd.com/doc.
Nanda. 2005-2006. Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima Medika.
Ngastiyah. 1997. Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : EGC.
Price, S.A. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4.
Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta.
Wilkinson, J.M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC
(http://www.medicastore.com/cybermed/ ), diakses pada tanggal 18 Januari 2012
pukul 20.00 WIB.

43

Anda mungkin juga menyukai