Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HUBUNGAN POLITIK DENGAN HUKUM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai kerangka dasar pemikiran, sebaiknya terlebih dahulu perlu di kemukakan batasan
rumusan politik. Pembahasan ini juga sangat penting guna memperkuat khasanah pemahaman
dan pemikiran menyangkut batasan pengertian politik sehingga dapat memberikan masukan
dalam mencermati terminologi politik dalam konteks yang tidak semata bersifat kotor, licik, tipu
daya dan kebohongan.

Dalam kehidupan ini kita tidak bisa dilepaskan dengan keterikatan hukum dan politik.
Bahkan dalam sistem pemerintahan hal tersebut telah menjadi dasar. Dapat dikatakan bahwa
struktur hukum dapat berkembang dalam segala konfigurasi politik. Kerapkali hukum itu tidak
ditegakkan seperti sebagaimana mestinya karena adanya intervensi politik.

Sistem politik yang demikian ternyata menyebabkan lahirnya hukum-hukum yang


memiliki karakter tersendiri. Sistem hukum tercermin dari politik yang berkembang. Tentu saja
hukum tidak bisa dipisahkan dengan politik. Bahwa pada kenyataannya keadaan politik tertentu
dapat mempengaruhi suatu produk hukum. Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku
terhadap penegakkan hukumnya dan karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya.

Idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk


mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan,
menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban
dan keadilan di masyarakat. Disini kita akan membahas mengenai hubungan antara hukum dan
politik di Indonesia. Sejauh mana hubungan antara hukum dan politik tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan Hukum dan Politik secara umum ?

2. Bagaimana Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum Nasional?

3. Bagaimana Pengaruh Politik Dalam Penegakan Hukum?

4. Bagaimana Hukum sebagai produk politik?

5. Bagaimana Determinasi Politik atas Hukum?

6. Bagaimana Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum ?


C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui hubungan Hukum dan Politik secara umum

2. Untuk mengetahui Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum Nasional

3. Untuk mengetahui Pengaruh Politik Dalam Penegakan Hukum

4. Untuk mengetahui Hukum sebagai produk politik

5. Untuk mengetahui Determinasi Politik atas Hukum

6. Untuk mengetahui Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum

BAB II

PEMBAHASAN
A. Hubungan Hukum Dan Politik Secara Umum

Hubungan antara hukum dan politik tergantung pada persepsi tentang apa yang kita
maksudkan sebagai hukum dan apa yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita berpandangan
non-dogmatik dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan
politik maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan kekuasaan
politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan positif yang
memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik maka rasa tak relevan lagi
pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik karena pada
akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan politik tersebut.

Pada prinsipnya hubungan hukum dan politik telah di atur dalam sistem pemerintahan
negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya
menyatakan prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan
pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) elemen pokok negara hukum adalah
pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights (tiada negara hukum tanpa pengakuan
dan perlindungan terhadap fundamental rights).

Menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum
merupakan produk politik, maka dalam menjawab hubungan antara hukum dan politik, dapat
dikatakan bahwa hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh),
sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Peletakan
hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu
mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa kenyataannya hukum dalam artian sebagai
peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-
kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah
untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan
konstestasi agar kepentingan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam
keputusan politik dan menjadi undang-undang.[1]

Demikian pula hukum harus dapat membatasi kekuasaan politik agar tidak timbul
penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang
terwujudnya fungsi hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum yaitu dalam wujud sanksi
hukum. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya terwujud dalam pemberian
sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat negara
yang telah diberi kewenangan seperti polisi, penuntut umum dan pengadilan. Setelah hukum
memperoleh kekuasaan dari kekuasaan-politik hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada
masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum dapat pula mengganjar aparat kekuasaan
politik yang melanggar hukum.
B. Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum Nasional.

Dalam paradigma baru, hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri,
melainkan harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk mengadopsi
kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Untuk itu, tidaklah heran jika hukum
bisa berinteraksi dengan politik. Hukum yang demikian ini akan lebih mampu memahami atau
menginterpretasi ketidaktaatan dan ketidakteraturan yang terjadi di masyarakat. Dengan
demikian, didalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog untuk memberikan wacana
dan adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas.

Moh. Mahfud dalam disertasinya yang berjudul ”Perkembangan Politik Studi tentang
Pengaruh Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, menunjukkan bahwa ada pengaruh cukup
signifikan antara konfigurasi politik terhadap produk hukum di Indonesia. Karena itu, kata Mahfud,
kebanyakan produk hukum sudah terkooptasi kekuasaan.[2]

Pengaruh politik dalam pembentukan hukum tampak jelas dalam pembentukan


peraturan perundang-undangan. Tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan
tidak dapat terelakkan dari pengaruh politik, yang akhirnya berdampak pada substansi peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah. Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No.12 Tahun
2011, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah Pembuatan peraturan perundang-
undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan dan pengundangan.

Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari hukum dan memiliki nilai yang
urgen bagi perkembangan sistem hukum Indonesia kedepannya. Adapun yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan adalah Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan
struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan
bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan,
evolusi idiologi politik, ekonomi dan sosial, dan seterusnya.[3]

Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan
dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika
pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah
yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum.
Dengan demikian, maka adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik
melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum.

Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan


untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-
akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan.[4] Dalam proses pembentukan peraturan hukum
oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat
menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah
sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu
institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik.

Menurut Bagir Manan, ada 3 (tiga) landasan dalam menyusun peraturan perundang-
undangan, yaitu: landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan sosiologis.[5]

Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat


kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang
dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang
dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang
menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain.
Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan,
dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53:
“Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau
pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”

Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi


pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan
masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan
ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi
telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-
undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas.

C. Pengaruh Politik Dalam Penegakan Hukum

Menurut Ikrar, meski Indonesia sudah lepas dari era pemerintahan otoriter, namun
adanya intervensi poiltik masih belum dapat dilepaskan. Hal ini bertentangan dengan rasa
keadilan masyarakat. Sementara Todung menjelaskan, Indepedensi peradilan itu hanya mitos
yang tidak pernah ada dalam kenyataan. Todung mencontohkan, dalam pemilihan hakim agung.
Calon hakim yang diseleksi Komisi Yudisial pada akhirnya diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
"Di sinilah transaksi politik terjadi. orang-orang yang dikirimkan ke Mahkamah Agung merupakan
hasil kompromi politik. Memang ada hakim karir, tapi bahkan mereka pun tidak bebas dari
transaksi politik. Menurut Todung, indepedensi peradilan ini akhirnya akan bermuara pada
lembaga-lembaga peradilan. Kata dia, lembaga-lembaga tersebut perlu ditata ulang lagi. Selain
lembaga peradilan, reposisi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat juga harus dilakukan.[6]

Produk hukum yang dihasilkan masih lebih mementingkan kepentingan dan kompromi
politik dibandingkan rakyat. Hal ini dapat terlihat banyak produk hukum yang dihasilkan di DPR
justru kemudian diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, menurut Wahyudi Jafar dari
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), proses pembentukan UU memang tidak dapat
dilepaskan dari adanya transaksi poltik. Namun yang terpenting juga adalah bagaimana agar
proses pelaksaan penegakan hukum oleh lembaga peradilan menjadi mandiri.[7]

Adanya diskriminasi penegakan hukum. Harus diakui bahwa proses hukum kasus korupsi,
khususnya yang berhubungan dengan korupsi DPRD dan Kepala Daerah kental dengan nuansa
diskriminasi. Namun diskriminasi ini harus dipandang dalam konteks keadilan masyarakat, yakni
ketika para koruptor diberikan kekhususan penanganan dibandingkan dengan kejahatan lainnya.
Tidak mengeksekusi anggota DPRD yang telah dinyatakan bersalah dan mendapatkan putusan
tetap (in krahct) merupakan kebijakan diskriminatif. Tidak memproses secara adil semua pelaku
korupsi APBD juga diskriminatif.

Akan tetapi, penyikapan politik dengan meminta pembersihan nama baik anggota
DPRD/Kepala Daerah akibat dari perlakuan diskriminatif aparat penegak hukum merupakan
agenda yang telah keluar dari visi pemberantasan korupsi. Sebaliknya, penyikapan politik
demikian tak lebih dari upaya untuk melindungi politisi daerah dari jangkauan hukum, dengan
berlindung dibalik kewenangan mengawasi penegakan hukum yang dimiliki anggota DPR RI.
Seharusnya ketika praktek diskriminasi terjadi, DPR RI secara konsisten mendesak aparat penegak
hukum untuk menjerat semua pelaku yang terlibat. Tidak justru sebaliknya, meneriakkan adanya
diskriminasi, akan tetapi membuat rekomendasi yang diskriminatif pula.

Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang memberikan kontribusi pengaruh pada
mekanisme penegakan hukum, yaitu pertama, faktor hukum (subtance) atau peraturan
perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat
dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah
mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan
hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan, yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni
hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[8]

Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam
proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh
dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo
membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur
pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi,
jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.[9]

Kedua pandangan di atas tampaknya saling berkesesuaian. Kelima unsur sebagaimana


disebutkan oleh Soerjono Soekanto dapat direduksikan menjadi tiga unsur sebagaimana
disebutkan oleh Satjipto Rahardjo. Sebaliknya ketiga unsur yang dikemukakan oleh Satjipto
Rahardjo dapat pula dirinci lebih lanjut menjadi lima unsur seperti dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto.

Telah lazim diungkapkan bahwa hukum khususnya dalam bentuknya sebagai undang-
undang merupakan produk politik, artinya ialah bahwa undang-undang dibentuk sebagai hasil
kompromi dari berbagai kekuatan sosial dan kemudian diberlakukan dan ditegakkan sebagai
sarana untuk merealisasikan kepentingan dan tujuan serta untuk melindungi kepentingan-
kepentingan yang ada. Secara ideal kepentingan-kepentingan yang dilindungi tersebut meliputi
kepentingan individu, masyarakat, serta bangsa dan negara.

Moh. Mahfud MD mengatakan dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum, bahwa dalam
kenyataannya produk hukum itu selalu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang
melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat yang ada di dalam hukum itu tidak lain
merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak yang saling bersaingan. Satjipto Rahardjo
menyatakan bahwa dalam hubungan antara subsistem hukum dan subsistem politik hukum,
politik ternyata memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada
posisi yang lemah[10]. Kondisi demikian mengeksplisitkan bahwa perjalanan politik di Indonesia
tidak ubahnya seperti perjalanan kereta api di luar relnya, artinya banyak sekali praktik politik
yang secara substantif bertentangan aturan-aturan hukum.

Statemen-statemen di atas memberikan penegasan, bahwa di dalam realitas


empirisnya politik sangat menentukan bekerjanya hukum, mulai sejak proses pembentukan
sampai dengan tahap implementasinya. Menurut Moh Mahfud, pengaruh politik akan
berpengaruh pada karakteristik produk-produk dan proses pembuatannya. Hubungan kausalitas
antara hukum dan politik, khususnya dalam bidang hukum publik tampak dengan jelas bahwa
sistem politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif
atau populistik sedangkan sistem politik yang otoriter senantiasa melahirkan hukum yang
berkarakter ortodoks atau koservatif.

D. Hukum sebagai produk politik

Dalam studi tentang hukum banyak identitifikasi yang diberikan sebagai suatu sifat atau
karakter hukum seperti memaksa, tidak berlaku surut, dan umum. Dalam berbagai studi hukum
dikemukakan bahwasanya hukum mempunyai sifat umum sehingga peraturan hukum tidak
ditujukan kepada seseorang dan tidak akn kehilangan kekuasaannya jika telah berlaku terhadap
suatu peristiwa konkret. Peraturan hukum juga mempunyai sifat abstrak, yakni mengatur hal-hal
yang belum terkait dengan kasus-kasus konkret. Selain itu juga ada yang mengidentifikasikan
hukum bersifat imperatif dan fakultatif. Dengan sifat imperatif yaitu peraturan hukum bersifat
apriori harus ditaati, mengikat, dan memaksa. Sedangkan hukum bersifat fakultatif yaitu
peraturan hukum tidak secara apriori mengikat, melainkan sekedar melengkapi, subsidair, dan
dispositif.[11]
Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik dalam
sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima norma,
sistem keyakinan dan nilai-nilai generasi sebelumnya, yang dilakukan melalui berbagai tahap dan
dilakukan oleh berbagai macam agent.[12]Dalam berpolitik kita juga dihadapkan dengan hukum.
Hukum merupakan refleksi dari budaya hukum pada suatu tatanan masyarakat.

Hukum merupakan produk politik sehingga setiap produk hukum akan sangat ditentukan
oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Setiap produk hukum
merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari
pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi.[13]

Jika melihat fenomena yang telah terjadi, hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai
penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak rakyat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali
peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong keseweang-wenangan, tidak mampu
menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti
dalam menyelesaikan berbagai kasus yang harusnya bisa dijawab oleh hukum. Banyak produk
hukum yang lebih diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan
dominan.[14]

Ternyata hukum itu tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali
melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul pertanyaan
tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif.
Disini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau
keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem
yang dalam kenyataan das sein bukan tidak mungkin sangat di tentukan oleh politik, baik dalam
perumusan materi dan pasal-pasalnya, maupun dalam implementasi penegakkannya.[15]

Politik itu selalu berbicara mengenai kepentingan. Semua pemain politik selalu membawa
kepentingan yang kadang-kadang dan bahkan selalu bertubrukan atau saling bertentangan.
Karena muara kepentingan politik adalah kekuasaan dan pengaruh, maka konflik kepentingan
politik menjadi lebih keras dari konflik lainnya. Karena itulah politik harus diikat dengan norma-
norma hukum dan tata cara yang disepakati bersama diantara para pemain politik.

Fenomena politik berlangsung dalam berbagai jenis masyarakat, manusia, bangsa-bangsa,


provinsi-provinsi, dan kelompok lainnya. Struktur politik adalah pengelompokan sosial yang
berbeda-beda.[16]

Elite politik memainkan sejumlah skenario yang mengarah kepada kepentingan diri,
partai, atau golongannya sendiri. Politics for itself menjadi sesuatu yang lazim dan mengobsesi
pikiran banyak politikus. Politikus yang di parlemen, yang tengah menjalankan fungsi legislasi,
dalam menjalankan tugasnya tidak berorientasi kepada upaya memecahkan problema
konstitusional, melainkan didasarkan pada upaya menutup kepentingan dan kelemahan pribadi
masing-masing elite politik.[17]

Melihat logika berpikir para politikus, maka nyata benar bahwa aroma politics for
itself sangat kental. Praktik politik demikian tentu tidak dapat terlalu diharapkan untuk bisa
membangun pemerintahan yang memiliki komitmen terhadap kepentingan bangsa. Akan sulit
membangun sebuah pemerintahan yang memiliki state capacity yang jelas dalam menyelesaikan
krisis, karena elite politik yang tengah memegang kekuasaan itu sendiri ternyata menjadi sumber
dan biang krisis.[18]

Politik memiliki unsur dominan dan mengintimidasi hukum. Para pembuat hukum adalah
orang-orang politik yang memegang kekuasaan dan berwenang untuk menentukan hukum. Maka
hukum yang ada adalah cerminan dari politik. Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan
politik. Sudah dibenarkan bahwa hukum merupakan produk politik. Pengaruh politik terhadap
hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukumnya dan karateristik produk-produk serta proses
pembuatannya. Philipe None dan Philip Selznick pernah mengatakan bahwa tingkat
perkembangan masyarakat tertentu dapat mempengaruhi pola penegakan hukumnya.[19] Maka
masyarakat harus menunjukan dan membuktikan bahwa dirinya mampu menguasai keadaan.

Hukum yang di lahirkan dari politik sudah seharusnya dapat memberikan perlindungan
bagi warga negara dan seluruh lapisan masyarakat, sehingga semua orang sama kedudukan di
muka hukum itu dapat berjalan dengan baik dan sempurna. Namun karena yang berpolitik itu
adalah manusia yang memiliki nafsu akan kekuasaan maka hukum di bentuk dan di buat atas dasar
kepentingan kelompok atau golongan mereka dalam rangka melanggengkan kekuasaan atau
melindungi diri mereka. Realita ini tidak dapat di pungkiri, bahwa siapapun yang berkuasa maka
mereka akan membentuk peraturan perundang-undangan itu atas dasar sikap egoistik pada
perlindungan kelompoknya sendiri dengan mengabaikan kepentingan rakyat pemilik kedaulatan
negara.

Produk hukum yang berlaku di indonesia didasari dengan suatu kekuatan politik yang
mengatur hukum yang direkomendasikan oleh pemangku jabatan sehingga produk-produk
hukum yang berlaku bukan menjadi suatu proyek dasar yang berdasarkan penghayatan
pengamalan pancasila, hingga tak jarang mendengar kebijakan yang tak berpihak kepada
masyarakat dalam budaya dan etika moral kekuasaan yang diamanatkan kepada seorang presiden
dan di koordinasikan ke DPR sebagai pemangku amanat rakyat. Peradaban yang menjunjung tinggi
atas keadilan sosial bagi masyarakat yang mengartikan bahwa masyarakat memiliki kebijakan
secara sosial dan politik akan menciptakan sistem hukum yang tetap menjunjung norma-norma
produk hukum yang berlaku tanpa mengesampingkan moralitas peradaban tersebut.

Politik sebagai subsistem kemasyarakatan senantiasa mempengaruhi produk hukum


sehingga muncul paham baku bahwa “hukum adalah produk politik”.[20]
E. Determinasi Politik atas Hukum

Berangkat dari asumsi bahwasanya hukum merupakan produk politik, sehingga hukum
merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik. Eksistensi hukum dan kinerja hukum
sangat dipengaruhi dengan konfigurasi politik yang sedang terjadi pada periode tertentu.

Sepanjang perjalanan sejarah negara Republik Indonesia telah terjadi tolak dan tarik atau
pasang surut antara konfigurasi politik yang demokratis dan politik yang otoriter.

Penetapan demokrasi dan otoriter itu didasarkan pada konsep dan indikator-indikator
tertentu sebab kedua istilah tersebut ambigu. Indikator-indikator yang dipergunakan adalah
peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan eksekutif, dan tingkat kebebasan pers. Beberpa hal
yang juga tampak dari hasil studi tersebut adalah:[21]

7. Lahirnya konfigurasi politik demokratis dan otoriter tidak ditentukan oleh UUD. UUD yang
sama pada periode ynag berbeda (seperti UUD 1945) dapat melahirkan konfigurasi politik
demokratis (periode 1945-1949 dan 1966-1961/1971) dan konfigurasi politik yang otoriter
(periode 1959-1966 dan 1969/1971-sekarang); Dengan demikian, demokratis atau tidaknya
suatu sistem politik tidak tergantung semata-mata pada UUD-nya tetapi lebih banyak
ditentukan oleh pemain-pemain politiknya.

8. Khusus untuk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan, ternyata
konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu, yakni
“konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter
responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang
berkarakter konservatif.

Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau sebaliknya berimplikasi


pada perubahan karakter produk hukum. Pernyataan tersebut bisa dilihat dari bagan berikut
ini.[22]

Variabel Bebas Variabel Terpengaruh

Konfigurasi Politik Karakter Produk Hukum

Demokratis Responsif/Populistik

Otoriter Konservatif/ Ortodoks/


Elitis
F. Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum

Persoalan hukum sangat kompleks, karena itu pendekatannya bisa dari multi disiplin ilmu
baik sosiologi, filsafat, sejarah, agama, psikologi, antropologi, politik dan lain-lain.

Politik dan hukum tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan satu kesatuan. Dalam
kaitannya dengan hubungan keduanya, ada beberapa pendapat :

1. Menurut Arbi Sanit, bahwa hubungan antara hukum dengan politik memang berjalan dalam
dua arah sehingga kedua aspek kehidupan ini saling mempengaruhi.

2. Menurut Soeharjo SS, bahwa politik dan hukum merupakan pasangan. Politik membentuk
hukum dan hukumlah yang memberikan wujud pada politik.

Dari kedua pendapat diatas, dapat dilihat bahwa hukum dan politik berhubungan sangat
erat dikarenakan:[23]

1. Hukum merupakan produk politik.

2. Hukum merupakan salah satu alat politik, dimana penguasa dapat mewujudkan kebijakannya.

3. Jika sudah menjadi hukum, maka politik harus tunduk pada hukum.

Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem
politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar
sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Politik sangat menentukan bekerjanya
hukum.[24]

Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara
politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa
hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk
kehidupan politiknya. Meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena
dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya
akan menjadi relevan. Tetapi kaum realis pada sudut pandang das sein mengatakan bahwa “hukum
selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya”. Ini berarti hukum, mau tidak
mau menjadi independent variabel atas keadilan di luarnya, terutama keadaan politiknya.[25]

Untuk kasus Indonesia, kita dapat melihat contoh pada UU No. 1/1974 (tentang
Perkawinan) dan UU No. 7/1989 (tentang Peradilan Agama). Meskipun kedua Undang-undang itu
lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau
hubungan antara Negara dan Agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang
berbeda. UU No. 1/1974 lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan UU No.
7/1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi.[26]
Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang
mendasarinya, yaitu:[27]

1. Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan
pengendali semua kegiatan politik.

2. Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk normatif
maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dipendent
variable atas politik.

3. Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi bahwa,
“politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik
akan jadi lumpuh.

Sebaliknya para sarjana hukum melihat negara sebagai lembaga atau institusi dan
menganggapnya sebagai organisasi hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban manusia.
Fungsi negara adalah menyelenggarakan penertiban, tetapi oleh ilmu hukum penertiban ini
dipandang semata-mata sebagai tata hukum. Manusia dilihatnya sebagai obyek dari sistem
hukum, dan dianggap sebagai pemegang hak serta kewajiban politik semata-mata. Ilmu hukum
tidak melihat manusia sebagai makhluk sosial-budaya.

Akibatnya adalah bahwa ada kecenderungan pada ilmu hukum untuk “meremehkan”
kekuatan-kekuatan social dan budaya. Namun, dari aspek-aspek daya yang “memaksa” inilah ilmu
politik memandang perlu untuk mengungkap dalam kaitannya seperti dengan kesadaran maupun
partisipasi politik. Hal ini sesuai dengan pendapat Hans Kelsen, bahwa negara sebagai suatu badan
hukum atau Rechtsperson (juristicperson). Dalam pengertian tersebut badan hukum merupakan
sekelompok orang yang oleh hukum diperlaskukan sebagai suatu kesatuan sebagai suatu
person yang mempunyai hak dan kewajiban. Setelah mengurai mengenai hubungan antara politik
dan hukum, maka penulis mengambil satu asumsi determinan, yaitu politik yang determinan
terhadap hukum, karena penulis berpendapat bahwa asumsi inilah yang secara nyata
menggambarkan kondisi di Indonesia saat ini.

Di indonesia jika dilihat secara realitanya maka akan cenderung bahwa politik determinan
atas hukum. Seperti yang telah diasumsikan penulis bahwasanya politiklah yang berperan aktif
dalam mengendalikan hukum. Dimana pada keadaan politik tertentu hukum yang dihasilkan juga
berjalan sesuai keadaan politik tersebut.

Maka hukum di pandang sebagai dependent variabel (variabel terpengaruh), sedangkan


politik diletakkan sebagai independent variabel (variabel berpengaruh). Peletakan hukum sebagai
variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami
dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannnya hukum dalam artian sebagai peraturan yang
abstrak (pasal-pasal imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-
undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan kontesasi agar kepentingan
dan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi
UU. UU yang lahir dari kontesasi tersebut dengan mudah dapat dipandang sebagai produk dari
adegan politik.[28]

Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum kemudian lahir sebuah
teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan yang berintikan
pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan
atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana
hukum difungsikan.[29]

Hukum menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan
pelaksanaan hukum. Suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat signifikan
pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya.[30]

Studi teoritis tentang politik dan produk hukum dilakukan secara lebih mendalam akan
terbukti bahwa “aksioma” tersebut berlaku pada produk hukum publik yang berkaitan dengan
hubungan kekuasaan. Hubungan kausalitas yang yang perangkat teorinya menggunakan dikotomi
tentang sistem politik demokratis dan otoriter serta dikotomi antara hukum responsif dan
ortodoks/konservatif.

Harus dipisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik dengan way of life masyarakat.
Oleh karena demokrasi adalah sistem tang memberi kebebasan dan partisipasi masyarakat, apa
yang tampil di publik sangat tergantung dari kecenderungan populasi. Demokrasi adalah cara yang
efektif untuk mengontrol operasi kekuasaan agar tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang.
Hal yang lazim jika pembela demokrasi adalah lapisan masyarakat yang terdidik, sedangkan
penentangnya adalah mereka yang sedang mengendalikan pemerintahan.[31]

Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara
adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan kepentingan yang
melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan. Berbeda dengan kaidah agama
yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang
didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk
memberikan sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang
disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan politik.

Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan
dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini
sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum.
Perubahan karakter produk hukum juga terjadi secara tolak-tarik dengan senantiasa
mengikuti konfigurasi politik yang melatar belakanginya. Oleh karena itu, jika masyarakat
mendambakan lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif,[32] yaitu produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Maka yang lebih dulu
diupayakan adalah menata kehidupan politiknya agar menjadi demokratis. Sebab bagaimanapun
juga hukum terus mengikuti arus politik.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum tidak bisa dipisahkan dengan politik, hukum membentuk suatu peraturan yang
berguna bagi masyarakat untuk mengatur kehidupan. Tetapi hukum di buat oleh lembaga politik
yaitu legislatif. Hal ini membuat hasil yang dibuat oleh DPR adalah produk politik bukan produk
hukum.

Relasi hukum dan politik dapat dibagi menjadi tiga model hubungan. Pertama
sebagai das sollen, hukum determinan atas politik kerena setiap agenda politik harus tunduk
pada aturan-aturan hukum. Kedua, sebagai das sein, politik determinan atas hukum karena
dalam faktanya hukum merupakan produk politik sehingga hukum yang ada di depan kita tak
lebih dari kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing. Ketiga, politik dan
hukum berhubungan secara interdeterminan karena politik tanpa hukum akan zalim sedangkan
hukum tanpa pengawalan akan lumpuh.

B. Saran

Negara sebagai lembaga yang akan mewujudkan harapan masyarakat kepada kehidupan
yang tertib, adil dan sejahtera. Melalui pemerintahnya harus mampu menyelenggarakan roda
kenegaraan berdasarkan hukum sebagai aturan main dalam mengeluarkan berbagai kebijakan.
Dalam usaha untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut, maka pemerintah dalam suatu negara
senantiasa menciptakan stabilitas politik, sehingga keputusan-keputusan hukum dapat
dilaksanakan secara konsisten dalam upaya menuju kepada kepastian hukum, demi ketertiban
dan kesejahteraan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Affan Ghafar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006.
Bagir Manan. Dasar-Dasar Perundang-undangan di Indonesia. Jakarta: Kencana, 1990.

Daniel Dhakidae, Sosiologi Politik, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Daniel S. Lev. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta: LP3S, 1990.

Denny J.A, Demokrasi Indonesia : Visi dan Praktek, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2006.

http://syahrialnaman.wordpress.com/2012/06/20/12, Diakses tanggal 16 maret 2016

http://syahrialnaman.wordpress.com/2012/06/20/12/, Diakses tanggal 16 maret 2016

http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/hubungan-kausalitas-antara-politik-dan-hukum-di-
indonesia. Diakses tanggal 16 maret 2016

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/02/26/33863-penegakan-hukum-
masih-diintervensi-politik Selasa, 13 Maret 2016.

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jalarta : PT Grafindo Persada, 2007.

Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2009.

. Perkembangan Politik: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk


Hukum di Indonesia” (Disertasi Doktor), Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1993.

Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum. Jakarta: Sinar Baru, 1983.

. Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum


Nasional. Bandung: Sinar Baru, 1985.

Soerjono Soekanto. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali, 1983.

Zainuddin Maliki, Politikus Busuk : Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik, Yogyakarta : Galang
Press, 2004.
[1]Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009), hlm 10.

[2]Moh. Mahfud MD. Perkembangan Politik: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap
Produk Hukum di Indonesia” (Disertasi Doktor), (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1993), hlm. 26.

[3]Daniel S. Lev. Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3S, 1990),
hlm. 11

[4]Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 182

[5]Bagir Manan. Dasar-Dasar Perundang-undangan di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 1990), hlm. 14

[6]http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/02/26/33863-penegakan-hukum-
masih-diintervensi-politik Selasa, 13 Maret 2016.

[7]Ibid.

[8]Soerjono Soekanto. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta: Rajawali,


1983),hlm. 4-5.

[9] Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum. (Jakarta: Sinar Baru, 1983), hlm. 23-24.

[10]Satjipto Rahardjo. Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum
Nasional. (Bandung: Sinar Baru, 1985), hlm. 71.

[11]Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, op.cit., hlm.19

[12]Affan Ghafar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006),
hlm. 118

[13]Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, op.cit., hlm. 4

[14]Ibid., hlm. 1

[15]Ibid., hlm. 9

[16]Daniel Dhakidae, Sosiologi Politik, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 31

[17] Zainuddin Maliki, Politikus Busuk : Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik, (Yogyakarta : Galang
Press, 2004), hlm. 8

[18]Ibid., hlm. 9

[19]Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, op.cit., hlm. 72

[20]Ibid. hlm. 74

[21]Ibid. hlm. 294-295

[22] Ibid.. Hlm. 15

[23] Ibid.

[24] Ibid., hlm. 71

[25]Ibid.
[26]http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/hubungan-kausalitas-antara-politik-dan-hukum-di-
indonesia. Diakses tanggal 16 maret 2016

[27]http://syahrialnaman.wordpress.com/2012/06/20/12/, Diakses tanggal 16 maret 2016

[28] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Op.cit., hlm. 10

[29]http://syahrialnaman.wordpress.com/2012/06/20/12, Diakses tanggal 16 maret 2016

[30] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jalarta : PT Grafindo Persada,
2007), hlm.5-6

[31] Denny J.A, Demokrasi Indonesia : Visi dan Praktek, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2006). hlm.
74-75

[32]Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Op.cit., hlm. 13

Anda mungkin juga menyukai