Anda di halaman 1dari 33

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Esa, karena atas berkat rahmat-Nyalah tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Penulisan naskah yang berjudal “Konsep Dan Aplikasi Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Diabetes Insipidus”. Tulisan ini dapat penulis
selesaikan berkat adanya bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, terutama rekan-rekan
kelompok yang telah memberikan masukan demi kelancaran dan kelengkapan naskah
tulisan ini. Harapan kami semoga naskah tulisan ini membantu menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki.
Oleh karena itu, semua kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun sangatlah
kami harapkan demi perbaikan naskah penelitian lebih lanjut.

Denpasar, 4 Agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................ 2
BAB II KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES INSIPIDUS
....................................................................................................................................... 4
2.1 Pengertian Diabetes Insipidus ........................................................................ 4
2.2 Epidemiologi Diabetes Insipidus.................................................................... 5
2.3 Klasifikasi Diabetes Insipidus ........................................................................ 6
2.4 Etiologi Diabetes Insipidus ............................................................................ 8
2.5 Patofisiologi Diabetes Insipidus ................................................................... 10
2.6 Pathway ........................................................................................................ 11
2.7 Manifestasi Klinis Diabetes Insipidus .......................................................... 12
2.8 Pemeriksaan Penunjang Diabetes Insipidus ................................................. 13
2.9 Penatalaksanaan Diabetes Insipidus ............................................................. 16
2.10 Prognosis Diabetes Insipidus........................................................................ 19
2.11 Komplikasi Diabetes Insipidus..................................................................... 19
2.12 Konsep Asuhan Keperawatan Diabetes Insipidus ........................................ 20
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 28
3.1 Simpulan....................................................................................................... 28
3.2 Saran ............................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 29

iii
iv
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelenjar hipofisis disebut sebagai master gland sistem endokrin. Kelenjar ini
menyekresikan hormon-hormon yang selanjutnya akan mengendalikan sekresi hormon
oleh kelenjar endokrin lainnya. Kelenjar hipofisis sendiri sebagian besar dikontrol oleh
hipotalamus, suatu daerah otak di dekat kelenjar tersebut. Kelenjar hipofisis memiliki
ukuran 1,27 cm (1/2 inci) yang terletak pada permukaan inferior otak dan dihubungkan
dengan hipotalamus melalui tangkai hipofisis. Kelenjar hipofisis dibagi menjadi lobus
anterior, intermedius, dan posterior. Hipofisis anterior menyekresikan hormon
stimulasi-folikel (FSH), hormon luteinisasi (LH), prolaktin hormon
adrenokortikotropik (ACTH), hormon stimulasi tiroid (TSH) dan hormon pertubuhan
(growth hormone). Sekresi hormon-hormon tersebut dikendalikan oleh faktor
pelepasan atau releasing factor (RF) yang disekresikan oleh hipotalamus. Sedangkan
hipofisis posterior menyekresikan vasopresin atau hormone antidiuretik (ADH) dan
oksitosin. Kedua hormon ini disintesis kemudian berjalan lewat sel-sel saraf yang
menghubungkan hipotalamus dengan kelenjar hipofisis posterior tempat hormon
tersebut disimpan (Smeltzer dan Bare 2002: 1291-1292).
Sekresi ADH dipengaruhi dan dirangsang oleh peningkatan osmolalitas darah dan
penurunan tekanan darah. Fungsi utama ADH adalah mengendalikan ekskresi air oleh
ginjal (Smeltzer dan Bare 2002: 1292). Abnormalitas fungsi hipofisis disebabkan oleh
hipersekresi atau hiposekresi setiap hormon yang diproduksi atau dilepas oleh kelenjar
tersebut. Hiposekresi paling sering mengenai ADH yang menimbulkan keadaan yang
dikenal dengan penyakit diabetes insipidus (Smeltzer dan Bare 2002: 1293).
Diabetes insipidus merupakan kelainan pada lobus posterior hipofisis yang
disebabkan oleh defisiensi vasopresin yang merupakan hormon antidiuretik (ADH)
(Smeltzer dan Bare 2002). Penyakit ini berbeda dengan diabetes mellitus karena pada
diabetes ini sekresi hormon insulin yang mengalami gangguan. Diabetes insipidus
ditandai dengan oleh polidipsi dan poliuria. Penyebab diabetes insipidus berhubungan

1
dengan trauma kepala, tumor otak, nefrologis, obat-obatan, faktor genetik serta
idiopatik.
Diabetes insipidus termasuk penyakit yang langka dan banyak masyarakat yang
belum mengetahui penyakit ini. Walaupun begitu peran tenaga kesehatan sangat
ditantang untuk menekan jumlah penderita diabetes insipidus yang terdiagnosis
maupun yang belum. Selain itu peran perawat sangat penting dalam mengkaji setiap
respon klinis yang ditimbulkan oleh penderita diabetes insipidus untuk menentukan
asuhan keperawatan yang tepat bagi penderita diabetes insipidus.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Apa definisi diabetes insipidus?
2. Bagaimana epidemiologi diabetes insipidus?
3. Apa saja klasifikasi dari diabetes insipidus?
4. Apa saja etiologi dari diabetes insipidus?
5. Bagaimana patofisiologi dari diabetes insipidus?
6. Bagaimana pathway dari diabetes insipidus?
7. Apa saja manifestasi klinis dari diabetes insipidus?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang dari diabetes insipidus?
9. Apa saja penatalaksanaan medis dari diabetes insipidus?
10. Bagaimana prognosis diabetes insipidus?
11. Apa saja komplikasi dari diabetes insipidus?
12. Bagaimana asuhan keperawatan dari diabetes insipidus?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan
mengenai penyakit diabetes insipidus dan untuk mengetahui asuhan keperawatan dari
diabetes insipidus.

2
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi dari diabetes insipidus
b. Untuk mengetahui epidemiologi diabetes insipidus
c. Untuk mengetahui klasifikasi dari diabetes insipidus
d. Untuk mengetahui etiologi dari diabetes insipidus
e. Untuk mengetahui patofisiologi dari diabetes insipidus
f. Untuk mengetahui pathway dari diabetes insipidus
g. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari diabetes insipidus
h. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari diabetes insipidus
i. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dari diabetes insipidus
j. Untuk mengetahui prognosis diabetes insipidus
k. Untuk mengetahui komplikasi dari diabetes insipidus
l. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari diabetes insipidus

3
BAB II KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES
INSIPIDUS

2.1 Pengertian Diabetes Insipidus


Diabetes insipidus adalah sindrom yang terjadi apabila terjadi defisiensi
vasopresinatau bila organ sasarannya, ginjal, gagal untuk berespon terhadap hormone.
(William F. Ganong, 2003)
Diabetes insipidus adalah penyakit di mana volume besar flammatory, penyakit
autoimun atau pembuluh darah, trauma kembali urin encer (poliuria) diekskresikan
karena vasopresin sulting dari operasi atau kecelakaan, sarkoidosis,metastasis
defisiensi(AVP). (Di Iorgi et al., 2012)
Diabetes insipidus (DI) adalah proses penyakit yang menghasilkan penurunan
pelepasan atau respons terhadap hormon antidiuretik (ADH, juga dikenal sebagai
vasopresin atau AVP), yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Ada
dua jenis diabetes insipidus, sentral dan nefrogenik, dan masing-masing memiliki
penyebab bawaan dan didapat.
Diabetes insipidus (DI) adalah kondisi bawaan atau didapat yang mengganggu
kehidupan normal orang dengan kondisi tersebut; gangguan ini disebabkan oleh
meningkatnya rasa haus dan lewatnya volume urin yang besar, bahkan di malam hari.
Diabetes insipidus (DI) merupakan bagian dari sekelompok penyakit poliuria herediter
atau didapat dan polidipsia. Hal ini terkait dengan sekresi arginin vasopresin (AVP)
yang tidak adekuat atau sekresi hormon antidiuretik (ADH) atau respons ginjal
terhadap AVP, menghasilkan poliuria hipotonik dan kompensasi / polidipsia yang
mendasarinya. Poliuria (> 50 mL / kg), encer urin (osmolalitas <300 mOsm / L), dan
peningkatan rasa haus (asupan air hingga 20 L / hari) merupakan ciri khas DI. Ginjal
mengeluarkan banyak air terlepas dari kondisi hidrasi tubuh. DI yang tidak diobati
dapat menyebabkan hipovolemia, dehidrasi, dan ketidakseimbangan elektrolit. (Kalra
et al., 2016)

4
Diabetes insipidus merupakan kelainan pada lobus posterior hipofisis yang
disebabkan oleh defisiensi vasopresin yang merupakan hormon antidiuretik (ADH).
Kelainan ini ditandai dengan rasa haus yang sangat (polydipsia) dan pengeluaran urine
yang encer dalam jumlah besar. Diabetes insipidus dapat terjadisekunder akibat trauma
kepala, tumor otak atau operasi ablasi atau penyinaran pada kelenjar hipofisis. Kelainan
ini dapat pula terjadi bersama infeksi system saraf pusat (meningitis, ensefalitis) atau
tumor misalnya, kelainan metastatic, limfoma dari payudra atau paru. Penyebab
diabetes insipidus yang lain adalah kegagalan tubulus renal untuk bereaksi terhadap
ADH ; bentuk nefrogenik dari diabetes insipidus dapat berkaitan dengan keadaan
hypokalemia, hiperkalesemia, dan penggunaan jumlah obat (misalnya, lithium
demeclocyclin) (Smeltzer dan Bare, 2002).
Diabetes insipidus merupakan penyakit yang jarang terjadi, kurang lebih 3 per
100.000 orang. Pasien tampil dengan poliuri dan polidipsi dengan osmolalitas serum
yang tinggi (lebih dari 295) dan tidak sesuai dengan osmolalitas air kemih yang rendah.
Kekurangan AVP atau efek AVP dihubungkan dengan ketidakadekuatan
mengkonsentrasikan urin akan meningkatkan pengeluaran urin (polyuria) dan biasanya
akan disertai rasa haus (polidipsi) sebagai kompensasi bila mekanisme haus masih
baik. Bila mekanisme haus mengalami gangguan maka akan terjadi kenaikan
osmolalitas dengan kenaikan natrium plasma (hypernatremia). Sehingga kekurangan
AVP atau disebut diabetes insipidus akan mempunyai sindrom klinik seperti kenaikan
pengeluaran uri, yang hipotonik dan hal ini berbeda dengan diabetes militus yang
bersifat hipertonik. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2010)

2.2 Epidemiologi Diabetes Insipidus


Diabetes insipidus adalah penyakit langka dengan prevalensi nonunivokal yang
dilaporkan 1: 25.000. Kurang dari 10% dari diabetes insipidus dapat dikaitkan dengan
bentuk turun-temurun. Secara khusus, NDI terkait-X (OMIM 304800) mewakili 90%
kasus NDI kongenital dan terjadi dengan frekuensi 4-8 per 1 juta kelahiran laki-laki;
autosomal NDI (OMIM 125800) menyumbang sekitar 10% dari kasus yang tersisa.
Tidak ada perbedaan gender yang dilaporkan untuk bentuk lainnya. Sementara

5
prevalensi sindrom Wolfram telah dilaporkan sebagai 1-9 / 1.000.000
(www.orpha.net), frekuensi CDI dominan autosom saat ini tidak diketahui. (Di Iorgi et
al., 2012)

2.3 Klasifikasi Diabetes Insipidus

1. CDI (Central Diabetes Insipidus)


Diabetes insipidus sentral (CDI) atau DI neurogenik adalah bentuk paling umum
dari DI, terjadi pada kedua jenis kelamin secara sama dan pada usia berapa pun. Hal
ini disebabkan oleh sintesis / pelepasan AVP yang tidak adekuat, seringkali sekunder
akibat pembedahan atau cedera kepala yang menyebabkan cedera traumatis pada
hipotalamus atau kelenjar hipofisis posterior dan penghancuran / degenerasi neuron
yang berasal dari nukleus supraoptik dan paraventrikular dari hipotalamus. Sistem AVP
mempertahankan keseimbangan air berdasarkan osmolalitas serum dan volume darah
arteri melalui reseptor vasopresin ‐ 2 ‐ 2 (V2R). AVP mengaktifkan V2R pada
membran basolateral sel-sel utama dalam tubulus berbelit-belit distal dan
mengumpulkan saluran ginjal. Ini mengaktifkan protein kinase A yang pada gilirannya
memfosforilasi aquaporin 2 (AQP2) saluran air dalam vesikel intraseluler. Berikut
penyisipan vesikel AQP2 ke dalam membran sel mengikuti, dan saluran pengumpul
menjadi air setelah 80-90% dari neuron magnoseluler di hipotalamus rusak. Kerusakan
pada bagian proksimal dari wilayah hipotalamo-neurohypophyseal membunuh lebih
banyak neuron daripada cedera pada daerah distal. Namun, cedera proksimal mencapai
30-40% dari CDI pasca-trauma dan pasca-operasi, sedangkan cedera distal
menyumbang 50-60% kasus.(Kalra et al., 2016)

2. Nephrogenik Diabetes Insipidus


Diabetes insipidus nefrogenik disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal untuk
memekatkan urin meskipun konsentrasi vasopresin dalam darah dan konsentrasi yang
cukup dalam darah. Ditandai dengan poliuria, polidipsia, dan hyposthenuria dengan
adanya hiperosmolalitas plasma. Diabetes insipidus nefrogenik adalah hasil dari defek

6
pada homeostasis air di ginjal. Diabetes insipidus nefrogenik terjadi ketika ginjal tidak
bisa atau tidak merespons terhadap vasopresin. Ada 2 kategori diabetes insipidus
nefrogenik.
a. Diabetes insipidus nefrogenik kongenital merupakan penyebab poliuria dan
polidipsia yang jarang, diturunkan, tidak dapat dipulihkan pada manusia yang
bahkan lebih jarang pada hewan.
b. Diabetes insipidus nefrogenik yang didapat lebih sering terjadi dan sering sekunder
akibat penyakit atau pengobatan yang mengganggu aksi vasopresin dalam tubulus
ginjal. Tidak seperti diabetes insipidus nefrogenik kongenital, diabetes insipidus
nefrogenik yang didapat atau sekunder sering reversibel dengan koreksi masalah
terkait atau penyebabnya.(Kalra et al., 2016)

3. Polydipsia Primer
Hasil Polydipsia Primer (PP) berasal dari asupan cairan berlebih yang dipraktikkan
dalam waktu lama. Orang dengan PP memiliki mekanisme haus yang rusak atau
meningkatkan sensasi haus (DI dipsogenik). Pasien dengan motif yang tidak diketahui
untuk polidipsia sering dikaitkan dengan gangguan kejiwaan (psikogenik polidipsia)
yang disebabkan oleh skizofrenia, perilaku kompulsif, atau pengurangan stres. PP juga
terjadi pada pasien psikiatri untuk mengurangi efek obat antikolinergik. Pemberian
fenotiazin menyebabkan sensasi mulut kering dan dapat menyebabkan PP. Konsumsi
cairan yang berlebihan menghasilkan penurunan osmolalitas serum dan pelepasan AVP
yang tertekan. Pasien menunjukkan karakteristik DI meskipun fungsi hipofisis dan
ginjal tidak terganggu. DI dipsogenik dapat disebabkan oleh meningitis kronis,
penyakit granulomatosa, multiple sclerosis, atau patologi difus lainnya dari otak. MRI
kranial sangat penting (Kalra et al., 2016)

4. Gestasional Diabetes Insipidus


Gestasional DI terjadi pada sekitar 1 dari 30.000 kehamilan sebagai akibat
degradasi AVP oleh enzim, sistein aminopeptidase. Kadar vasopresinase biasanya
lebih tinggi pada wanita hamil (hingga 300 kali lebih tinggi), terutama pada kehamilan

7
kembar. Gestational DI biasanya muncul pada trimester ketiga dan menghilang secara
spontan sekitar 2-3 minggu pascapersalinan, tetapi diagnosis untuk mengungkap
patologi yang mendasarinya diperlukan. Biasanya tidak terdiagnosis karena poliuria
selama kehamilan dianggap normal dan tidak menyebabkan komplikasi. (Kalra et al.,
2016)

2.4 Etiologi Diabetes Insipidus


Diabetes insipidus disebabkan adanya insufisiensi atau tidak adanya hormone
antidiuretic (ADH/AVP(Arginin Vasopressin)) atau tidak pekanya tubulus ginjal
terhadap rangsangan AVP. Biasanya pasien tidak sanggup untuk mempertahankan air
bila mendapat tambahan cairan. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2010)
Menurut Batticaca (2008) penyebab dan faktor resiko dari diabetes insipidus, yaitu
sebagai berikut.
a. Diabetes Insipidus Sentral (Central Diabetes Insipidus-CDI)
Diabetes insipidus sentral disebabkan oleh kegagalan pelepasan hormon
antidiuretik (ADH) yang secara fisiologis dapat menyebabkan kegagalan sintesis
(penyimpanan) dan gangguan pengangkutan ADH yang disimpan untuk sewaktu-
waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan (diakibatkan oleh kerusakan
osmoreseptor yang terdapat pada hipotalamus anterior dan disebut Kerney’s
osmoreceptor cells yang berada di luar sawar darah otak).
b. Diabetes Insipidus Netrogenik (Netrogenic Diabetes Insipidus-NDI)
Diabetes insipidus netrogenik (NDI) yaitu istilah yang dipakai pada diabetes
insipidus yang tidak responsive terhadap ADH eksogen. Penyebabnya adalah
kegagalan pembentukan dan pemeliharaan gradient osmosis dalam medulla renalis dan
kegagalan utilisasi gradien pada keadaan dimana ADH berada dalam jumlah yang
cukup dan berfungsi normal.
Menurut Kusuma (2016) penyebab dan faktor resiko dari diabetes insipidus, yaitu
sebagai berikut.
1. Diabetes Insipidus Sentral

8
Diabetes insipidus sentral disebabkan kondisi-kondisi yang mengganggu
pembuatan, penyimpanan, dan pelepasan ADH. Angka kejadian sama antara laki-laki
dan perempuan, dapat terjadi pada seluruh rentang usia, dengan onset terutama pada
usia 10-20 tahun. Penyebab diabetes insipidus sentral dibagi menjadi dua kategori:
a. Didapat
1) Kerusakan region hipotalamoneurohipofiseal karena trauma kepala, operasi,
atau tumor. Kerusakan bagian proksimal (30-40% kasus pasca-operasi trauma
kepala) menghancurkan lebih banyak neuron dibandingkan kerusakan bagian
distal (50-60% kasus).
2) Idiopatik. Sebanyak 50% kasus diabetes insipidus sentral dilaporkan sebagai
kasus idiopatik; sering disebabkan lesi intrakranial yang lambat
pertumbuhannya. Beberapa otopsi kasus juga menunjukkan atrofi
neurohipofisis, nukleus supraoptik, atau paraventrikuler. Laporan lain mencatat
antibodi bersirkulasi yang melawan neuron hipotalamus penghasil ADH,
sehingga ada dugaan peranan autoimun. Kasus idiopatik memerlukan
pengkajian lebih cermat.
3) Kelainan vascular. Contoh: aneurisma dan sindrom Sheehan.
b. Diturunkan
Bersifat genetik. Beberapa jenis resesif autosomal dan x-linked.

2. Diabetes Insipidus Nefrogenik


Diabetes insipidus nefrogenik disebabkan adanya gangguan struktur atau fungsi
ginjal, baik permanen maupun sementara, akibat penyakit ginjal (penyebab tersering),
obat-obatan, atau kondisi lain yang menurunkan sensitivitas ginjal terhadap ADH.
Penyebab diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi dua kategori:
a. Didapat
1) Penyakit ginjal yang menyebabkan gagal ginjal kronis akan mengganggu
kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasi urin.

9
2) Obat, terutama lithium. Sekitar 55% pengguna lithium jangka panjang
mengalami gangguan mengkonsentrasi urin. Obat lain seperti gentamisin dan
furosemid.
3) Gangguan elektrolit. Pada hipokalemia terjadi gangguan dalam hal
menciptakan dan mempertahankan gradien osmotik di medula. Selain itu,
terjadi resistensi terhadap efek hidro-osmotik ADH di duktus kolektikus. Pada
hiperkalsemia terjadi kalsifikasi dan fibrosis yang menyebabkan gangguan
anatomis ginjal sehingga mengganggu mekanisme konsentrasi urin.
4) Kondisi lain. Kehamilan, mieloma multipel, sickle cell anemia, kekurangan
protein, amiloidosis, dan sindroma Sjorgen dapat menyebabkan diabetes
insipidus nefrogenik.

b. Diturunkan
1) Mutasi gen yang mengkode reseptor ADH tipe-2 (reseptor V2 atau AVPR2)
pada kromosom Xq28 adalah bentuk paling sering.
2) Mutasi gen aquaporin-2 (AQP2) pada kromosom 12q13 (1% kasus)
menyebabkan peningkatan kanal air yang diekspresikan di duktus kolektikus
ginjal.

2.5 Patofisiologi Diabetes Insipidus


Vasopresin arginin merupakan suatu hormon antidiuretik yang dibuat di nucleus
supraoptik, paraventrikular , dan filiformis hipotalamus, bersama dengan pengikatnya
yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut dari badan sel neuron (tempat
pembuatannya), melalui akson menuju ke ujung saraf yang berada di kelenjar hipofisis
posterior, yang merupakan tempat penyimpanannya. Secara fisiologis, vasopressin dan
neurofisin yang tidak aktif akan disekresikan bila ada rangsang tertentu. Sekresi
vasopresin diatur oleh rangsang yang meningkat pada reseptor volume dan osmotic.
Peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler atau penurunan volume intravaskuler
akan merangsang sekresi vasopresin.

10
Vasopressin kemudian meningkatkan permeabilitas epitel duktus pengumpul ginjal
terhadap air melalui suatu mekanisme yang melibatkan pengaktifan adenolisin dan
peningkatan AMP siklik. Akibatnya, konsentrasi kemih meningkat dan osmolalitas
serum menurun. Osmolalitas serum biasanya dipertahankan konstan dengan batas yang
sempit antara 290 dan 296 mOsm/kg H2O. Gangguan dari fisiologi vasopressin ini
dapat menyebabkan pengumpulan air pada duktus pengumpul ginjal karena berkurang
permeabilitasnya, yang akan menyebabkan poliuria atau banyak kencing.
Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus, dan
sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Ambang rangsang
osmotic pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang rangsang sekresi vasopresin.
Sehingga apabila osmolalitas plasma meningkat, maka tubuh terlebih dahulu akan
mengatasinya dengan mensekresi vasopresin yang apabila masih meningkat akan
merangsang pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut minum banyak
(polidipsia).
Secara patogenesis, diabetes insipidus dibagi menjadi 2 yaitu diabetes insipidus
sentral, dimana gangguannya pada vasopresin itu sendiri dan diabetes insipidus
nefrogenik, dimana gangguannya adalah karena tidak responsifnya tubulus ginjal
terhadap vasopresin. Diabetes insipidus sentral dapat disebabkan oleh kegagalan
pelepasan hormone antidiuretik ADH yang merupakan kegagalan sintesis atau
penyimpanan. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik,
paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH. Selain itu, DIS juga
timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus
supraoptikohipofisealis dan aksin hipofisis posterior di mana ADH disimpan untuk
sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan. DIS dapat juga terjadi
karena tidak adanya sintesis ADH, atau sintesis ADH yang kuantitatif tidak mencukupi
kebutuhan, atau kuantitatif cukup tetapi tidak berfungsi normal. Terakhir, ditemukan
bahwa DIS dapat juga terjadi karena terbentuknya antibody terhadap ADH.

2.6 Pathway

11
2.7 Manifestasi Klinis Diabetes Insipidus

Tanpa kerja vasopressin pada nefron distal ginjal, maka akan terjadi pengluaran
urin yang sangat encer seperti air dengan berat jenis 1,001 hingga 1,005 dalam jumlah
yang sangat besar setiap harinya. Urin tersebut tidak mengandung zat-zat yang biasa
terdapat didalamnya seperti glukosa dan albumin. Karena rasa haus yang luar biasa,
pasien cenderung minum 4 hingga 40 liter per hari dengan gejala khas ingin minum air
yang dingin.
Pada diabetes insipidus herediter, gejala primernya dapat berawal sejak lahir. Kalau
keadaan ini terjadi pada usia dewasa, biasanya gejala poliuria memiliki awitan yang
mendadak atau bertahap (insipidus).
Penyakit ini tidak dapat dikendalikan dengan dengan membatasi asupan cairan
karena kehilangan urin dalam jumlah akan terus terjadi sekalipun tidak dilakukan
penggantian cairan. Upaya-upaya untuk membatasi cairan akan membuat pasien
tersiksa oleh keinginan minum yang luar biasa yang tidak pernah terpuaskan di
samping akan menimbulkan keadaan hypernatremia dan dehidrasi yang berat.
(Smeltzer dan Bare, 2002).
Gejala-gejala diabetes insipidus adalah keluarnya urin encer dalam jumlah besar
(polyuria) dan minum cairan dalam jumlah banyak (polydipsia, asalkan mekanisme
haus utuh. Polydipsia-lah yang menyebabkan pasien tetap sehat. Apabila karena suatu
sebab rasa haus tertekan dan asupan cairan encer berkurang, pasien dapat mengalami
dehidrasi yang mungkin fatal. Pasien yang mengalami defisiensi vasopressin yang
inkomplit maka pemberian obat yang meningkatkan pemberian sekresi vasopressin,
misalnya klofibrat, terbukti bermanfaat. Klopropamid juga berguna karena obat ini
meningkatkan respon ginjal terhadap vasopressin. (William F. Ganong, 2003)
Timbulnya CDI bisa tiba-tiba (karena penghinaan terhadap tubuh) atau bertahap
(karena tumor atau penyebab idiopatik). Usia onset dan tingkat keparahan penyakit
dapat berbeda di antara pasien yang memiliki penyakit bawaan.
Gejala utama DI termasuk poliuria persisten (menghasilkan 8-16 L urin encer per
hari) dan polydipsia (asupan hingga 20 L cairan per hari). Gejala lainnya adalah pusing,
lemah, nokturia, kelelahan, dan tanda-tanda dehidrasi (demam, kulit kering dan selaput

12
lendir, penurunan berat badan, turgor kulit yang buruk). Hipotensi dan takikardia
dengan penurunan tekanan oklusi arteri atrium dan paru kanan dan tingkat kesadaran
yang berubah dapat terjadi. Anak kecil dapat mengalami dehidrasi parah, muntah,
sembelit, demam, lekas marah, gangguan tidur, terhambatnya pertumbuhan, dan gagal
tumbuh. Keterbelakangan mental dapat disebabkan oleh dehidrasi yang berulang dan
tidak disadari. (Kalra et al., 2016)

2.8 Pemeriksaan Penunjang Diabetes Insipidus

Menurut Kusuma (2016) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam


diagnosis diabetes insipidus, yaitu sebagai berikut.
1. Pemeriksaan Fisik
Temuan dapat berupa pelvis penuh, nyeri pinggang, atau nyeri menjalar ke area
genitalia, juga pembesaran kandung kemih. Anemia ditemukan jika penyebabnya
keganasan atau gagal ginjal kronis. Tanda dehidrasi sering ditemukan pada pasien bayi
dan anak-anak. Inkontinensia urin akibat kerusakan buli-buli karena overdistensi
berkepanjangan sering pada kasus nefrogenik sejak lahir. Diabetes insipidus
gestasional berhubungan dengan oligohidramnion, preeklampsi, dan disfungsi hepar.
2. Radiologi
a. IVP (IntraVenous Pyelography)
Pemeriksaan radiografi dari tractus urinarius dengan pemberian zat kontras yang
dimasukkan melalui vena sehingga dapat menunjukkan fungsi ginjal dan dapat
mengetahui apabila terdapat kelainan-kelainan secara radiologis.
b. CT Scan
c. MRI
MRI untuk memeriksa hipotalamus, kelenjar hipofisis, dan jaringan sekitarnya
mungkin perlu untuk menentukan penyebab. Pada T1-weighted (T1MI), kelenjar
hipofisis posterior sehat akan menunjukkan sinyal hiperintens, sedangkan pada
penderita diabetes insipidus sentral sinyal tidak ditemukan, kecuali pada anak-anak
dengan penyebab diturunkan yang jarang.

13
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pertama dilakukan pengukuran volume urin selama 24 jam. Bila <3 liter, bukan
poliuria. Jika >3 liter, osmolalitas urin perlu diukur. Osmolalitas urin >300 mOsm/kg
meunjukkan kondisi diuresis zat terlarut yang disebabkan diabetes mellitus atau gagal
ginjal kronis. Jika osmolalitas urin <300 mOsm/kg, dilakukan water deprivation test.
4. Tes Deprivasi Cairan
Tes deprivasi cairan atau water deprivation test dilakukan sekitar pukul 8 pagi.
Pasien dilarang merokok 2 jam sebelum dan saat tes dilakukan.
Langkah persiapan awal:
a. Pasien diposisikan berbaring terlentang (duduk/berdiri hanya saat berkemih dan
pengukuran berat badan).
b. Pengambilan darah 7-10 mL untuk osmolalitas plasma.
c. Pasien diminta mengosongkan kandung kemih, volume urin dicatat, dan diperiksa
osmolalitasnya.
d. Timbang berat badan hingga pengukuran 0,1 kg beserta tanda vital pasien.
e. Hentikan cairan intravena (bila diberikan), pasien diposisikan setengah duduk.
f. Setiap jam, ulangi langkah di atas hingga salah satu kondisi ini muncul:
1) Konsentrasi natrium plasma/osmolalitas plasma meningkat di atas batas
normal, atau
2) Osmolalitas urin meningkat di atas 300 mOsm/kg H20.
Bila konsentrasi natrium plasma/osmolalitas plasma meningkat di atas batas
normal muncul sebelum osmolalitas urin meningkat di atas 300 mOsm/kg H20,
diabetes insipidus dipsogenik, sentral parsial, dan nefrogenik parsial dapat
disingkirkan. Selanjutnya, dilakukan tes DDAVP (desaminod-arginine
vasopressin atau desmopresin) untuk menentukan diabetes insipidus sentral
komplit atau nefrogenik komplit.
Selain itu menurut Smeltzer dan Bare (2002) tes deprivasi cairan dilakukan dengan
cara menghentikan pemberian cairan selama 8 jam hingga 12 jam atau sampai terjadi
penurunan berat badan sebesar 3%-5%. Berat badan pasien harus sering diukur selama
cairan dihentikan. Pengukuran osmolalitas plasma dan urin dilakukan pada awal dan

14
akhir tes tersebut. Ketidakmampuan untuk meningkatkan berat jenis dan osmolalitas
urin merupakan tanda khas diabetes insipidus. Penderita diabetes insipidus akan terus
mengekresikan urin dalam jumlah besar dengan berat jenis yang rendah dan akan
mengalami penurunan berat badan, kenaikan osmolalitas serum serta peningkatan
kadar natrium serum. Kondisi pasien ini harus sering dipantau selama tes, dan tes
tersebut dihentikan jika pasien mengalami takikardia, penurunan berat badan yang
ekstrim atau hipotensi.
Prosedur diagnostic yang lain adalah pengukuran kadar vasopresi plasma yang
dilakukan Bersama dengan pengukuran osmolalitas plasma dan urin, ujicoba dengan
menggunakan desmopressin (vasopressin sintetik) , dan dan pemberian infus larutan
sline hipertonis.

Tes DDAVP (Desamin D-Arginie Vasopressin atau Desmopresin)


Tes ini untuk menentukan diabetes insipidus sentral komplit atau nefrogenik
komplit. Prosedur dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Injeksikan 2 mcg DDAVP subkutan
b. Pasien diminta mengosongkan kandung kemih pada 1 dan 2 jam setelah injeksi dan
kedua sampel diukur osmolalitasnya.
c. Jika osmolalitas sampel meningkat >50% diagnosis daibetes insipidus sentral
komplit.
d. Jika osmolalitas sampel meningkat <50% diagnosis siabetes insipidus nefrogenik
Bila osmolalitas urin meningkat di atas 300 mOsm/kg H20 muncul sebelum
konsentrasi natrium plasma/osmolalitas plasma meningkat di atas batas normal,
diabetes insipidus sentral komplit dan nefrogenik komplit dapat disingkirkan.
Selanjutnya diagnostik untuk membedakan diabetes insipidus sentral parsial,
nefrogenik parsial, dan dipsogenik:
a. Mengukur kadar plasma ADH sampel dan dibandingkan dengan osmolalitas
plasma, osmolalitas urin, dan konsentrasi natrium plasma. Dengan cara ini ketiga
kemungkinan dapat dibedakan dengan pasti. Kelemahan cara ini adalah sulit
dilakukan di Indonesia dan membutuhkan waktu lama.

15
b. Melihat osmolalitas urin saja. Bila osmolalitas urin >750 mOsm/kg setelah
penghentian cairan, mungkin pasien menderita diabetes insipidus dipsogenik.
Sedangkan bila berkisar 300-750 mOsm/kg atau tetap <750 mOsm/kg setelah
pemberian DDAVP, ketiganya tidak dapat dibedakan.
c. Membandingkan osmolalitas urin dan plasma setelah injeksi DDAVP26.
Kelemahan cara ini tidak dapat membedakan diabetes insipidus nefrogenik parsial
dan dipsogenik.

2.9 Penatalaksanaan Diabetes Insipidus


Adapun tujuan dari penatalaksanaan diabetes insipidus menurut Smeltzer dan Bare
(2002) adalah sebagai berikut.
1. Untuk menjamin penggantian cairan yang adekuat,
2. Mengganti vasopressin (yang biasanya merupakan program traupetik jangka
panjang),
3. Untuk meneliti dan mengoreksi kondisi patologis intracranial yang mendasari.
Penyebab nefrogenik memerlukann penatalaksanaan yang berbeda
Adapun bentuk-bentuk terapi yang dilakukan adalah sebagai berikut:.
a. Penggantian dengan Vasopresin.
Desmopressin (DDAVP), yaitu suatu preparat sintetik vasopressin yang tidak
memiliki efek vasikuler ADH alami, merupakan preparat yang sangat berguna
karena mempunyai durasi kerja yang lebih lama dan efek samping yang lebih
sedikit jika dibandingkan dengan preparat lain yang pernah digunakan untuk
mengobati penyakit ini. Preparat ini diberikan intranasal dengan
menyemprotkan larutan obat ke dalam hidung melalui pipa plastic fleksibel
yang sudah di kalibrasi. Dua hingga empat kali pemberian perhari telah dapat
mengendalikan gejala diabetes insipidus. Preparat lypresin (Diapid) merupakan
preparat yang kerjanya singkat dan diabsorpsi melalui mukosa nasal ke dalam
darah; namun, kerja preparat ini mungkin terlampau singkat bagi penderita
diabetes insipidus yang berat. Jika kita akan menggunakan jalur intra nasal

16
dalam pemberian suatu obat, observasi kondisi pasien untuk mengetahui
adanya rinofaringitis kronis.
b. Penyuntikan intra muskuler ADH, yaitu vasopresin tannat dalam minyak, yang
dilakukan bila pemberian intranasal tidak dimungkinkan. Preparat suntikan ini
diberikan setiap 24 hingga 96 jam. Botol obat suntik harus dihangatkan dulu
atau diguncang dengan kuat sebelum obat disuntikan. Penyuntikan dilakukan
pada malam hari agar hasil yang optimal dicapai pada saat tidur. Kram abdomen
merupakan efek samping obat tersebut. Rotasi lokasi penyuntikan harus
dilakukan untuk menghindari lipodistrofi.
c. Mempertahankan Cairan.
Klofibrat, yang merupakan preparat hipolipidemik, ternyata memiliki efek
antidiuretic pada penderita diabetes insipidus yang masih sedikit mengalami
vasopressin hipotalamik. Klorpropamid (Diabinese) dan preparat tiazid juga
digunakan untuk penyakit yang ringan karena kedua preparat tersebut
menguatkan kerja vasopressin. Pasien yang menerima klorpropamid harus
diingatkan tentang kemungkinan reksi hipoglikemik.
d. Penyebab Nefrogenik.
Jika diabetes insipidus tersebut disebabkan oleh gangguan ginjal, terapi ini
tidak akan efektif. Preparat tiazida, penurunan garm yang ringan dan penyekat
prostaglandin (ibuprofen, indomestasin serta aspirin) digunakan untuk
mengobati bentuk nefrogenik diabetes insipidus.

Selain itu, menurut Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2010 adapun macam-
macam terapi diabetes insipidus adalah:

1. Koreksi air
Untuk mengurangi kerusakan susunan saraf pusat dari pemaparan
hiperosmolalitas pada kebanyakan kasus DI maka secepatnya osmolalitas
plasma harus di turunkan dalam 24 jam pertama, hingga 320-330 mOsm/Kg
H2O atau mendekati 50%.
2. Arginine vasopressin (Pitressin)

17
Merupakan sintesis dari AVP manusia, kemasan 20 unit/ml aqua. Mempunyai
short-half life relative (2-4 jam lamanya efek antideuretik) dianjurkan tidak
diberikan bolus intravena kecuali dalam keadaan akut mis: postoperative DI,
dilakukan titrasi dosis sampai diuresisnya terkontrol. Efek samping
meningkatkan tekanan darah.
3. Desmopressin
DDAVP adalah agonist reseptor AVPV2, banyak dikembangkan untuk terapi
DI karena mempunyai half-life yang panjang (8-20 jam efek lamanya
antideuretik ) dan tanpa adanya aktivitasi AVP V1. Merupakan obat pilihan
baik untuk akut maupun kronis CDI. Kemasan dalam bentuk intranasal 100
mg/ml aqua, nasal spray 10 mg dalam 0,1 ml atau dosis oral 0,1 atau 0,2 mg
dalam keadaan emergensi bisa diberikan intravena atau
intramuskuler/subkutan dengan kemasan 4 mg/ml. pemberian parenteral jauh
lebih baik 5-10 kali dibandingkan intranasal dengan dosis rekomendasi 1-2
mg tiap 8-12 jam.
4. Chlorpropamid
Merupakan obat antioral diabetes dari golongan sulfoniurea yang memiliki
efek osmotic dari AVP di ginjal. Dikatakan bahwa chlorpropamid mengurai
polyuria hingga 25-75% pada pasien dengan CDI. Titik kerjanya sebagian
besar di tubulus ginjal yang berpotensiasi dengan hidroosmotik dari AVP
dalam sirkulasi, disamping berfungsi meningkatkan sekresi AVP di ptuitari.
Dosisnya Antara 250-500 mg/hari dengan efek antideuretik 1-2 hari dan
maksimum 4 hari. Sebaiknya tidak diberikan pada penderita hamil dan anak-
anak serta bukan untuk kasus akut.
5. Prostaglandin synthese inhibitor
Mempunyai efek baik pada otak maupun ginjal, efeknya masih kurang
diketahui. Di otak mempunyai efek merangsang sekresi AVP sedangkan di
ginjal merangsang efek AVP, dengan demikian bisa digunakan untuk CDI
dan NDI.
6. Natriuretic agents

18
Tiazid merupakan diuretik yang mempunyai efek paradox antideuretik pada
pasien dengan CDI walaupun terapi utamanya untuk NDI. Dosis 50-100
mg/hari biasanya dapat mengurangi diuresis hingga 50% kombinasi dengan
DDAVP sering digunakan pada penderita NDI.
7. OAINS
Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) seperti endometasin dapat memacu
pemekatan air kemih dan mengurangi pengeluaran air kemih. Obat ini dapat
dipakai sendiri ataupun kombinasi dengan diuretic tiazid. Penggunaan
OAINS perlu perhatian karena nefrotoksik maupun kelainan sekresi asam
lambung. Mengingat efek samping endometasin (penghambat
siklooksigenase-1/Cox-1) maka penggunaan penghambat Cox-2 diharapkan
bisa sebagai penggantinya walaupun belum ada penelitiannya.

2.10 Prognosis Diabetes Insipidus


Menurut Kusuma (2016) pada umumnya diabetes insipidus jarang menyebabkan
kematian. Diabetes insipidus sentral akibat pembedahan biasanya akan remisi setelah
beberapa hari/minggu, tetapi kerusakan struktural infundibulum dapat mengakibatkan
kondisi diabetes insipidus yang permanen. Diabetes insipidus nefrogenik disebabkan-
obat dapat remisi setelah penghentian obat, namun pada beberapa kasus penggunaan
obat kronis dapat menyebabkan kondisi diabetes insipidus yang permanen.

2.11 Komplikasi Diabetes Insipidus


Menurut Black (2009) diabetes insipidus memiliki beberapa komplikasi, yaitu
sebagai berikut.
1. Ketidakseimbangan elektrolit
2. Hipovolemia
3. Hipotensi
4. Syok
Selain itu, menurut Alodokter (2016) komplikasi dari diabetes insipidus, yaitu
sebagai berikut.
1. Ketidakseimbangan Elektrolit

19
Elektrolit adalah mineral seperti kalsium, sodium, khlor, potasium,
magnesium, dan bikarbonat. Kandungan mineral ini berfungsi menjaga
keseimbangan air di dalam tubuh dan berperan dalam fungsi-fungsi sel. Gejala
yang mungkin akan terjadi akibat kondisi ini adalah:
a. Kelelahan atau kehabisan energy
b. Sakit kepala
c. Sakit pada bagian otot
d. Mudah marah
e. Mual dan kehilangan selera makan

2. Dehidrasi
Dehidrasi adalah dampak yang paling umum ketika tubuh tidak bisa
mempertahankan cukup cairan di dalam tubuh akibat diabetes insipidus. Gejala
yang muncul akibat dehidrasi antara lain:
a. Mulut dan bibir kering
b. Pusing atau sakit kepala
c. Tekanan darah rendah (hipotensi)
d. Demam
e. Kebingungan dan mudah marah
f. Denyut jantung cepat
g. Penurunan berat badan.
Untuk kondisi dehidrasi ringan, bisa ditangani dengan oralit. Sedangkan
untuk kondisi yang parah, mungkin perlu dirawat di rumah sakit untuk
mendapatkan cairan melalui intravena.

2.12 Konsep Asuhan Keperawatan Diabetes Insipidus


1. Pengkajian.
a. Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran
kualitatif atau GCS dan respon verbal klien.

20
b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
1) Tekanan darah
2) Pulse rate
3) Respiratory rate
4) Suhu
c. Riwayat penyakit sebelumnya
Ditanyakan apakah sebelumnya klien pernah ada riwayat trauma kepala,
pembedahan kepala, pemakaian obat phenotoin, lithium karbamat, infeksi
kranial, riwayat keluarga menderita kerusakan tubulus ginjal atau penyakit
yang sama.
d. Pengkajian Pola Gordon
1) Persepsi kesehatan-penatalaksanaan kesehatan
a) mengkaji pengetahuan klien mengenai penyakitnya.
b) Kaji upaya klien untuk mengatasi penyakitnya.
2) Pola nutrisi metabolic
1) nafsu makan klien menurun.
2) Penurunan berat badan 20% dari berat badan ideal.
3) Pola eliminasi
a) kaji frekuensi eliminasi urine klien
b) kaji karakteristik urine klien
c) klien mengalami poliuria (sering kencing)
d) klien mengeluh sering kencing pada malam hari (nokturia).
4) Pola aktivitas dan latihan
a) kaji rasa nyeri/nafas pendek saat aktivitas/latihan
b) kaji keterbatasan aktivitas sehari-hari (keluhan lemah, letih sulit
bergerak)
c) kaji penurunan kekuatan otot
5) Pola tidur dan istirahat

21
kaji pola tidur klien. Klien dengan diabetes insipidus mengalami kencing
terus menerus saat malam hari sehingga mengganggu pola tidur/istirahat
klien.
6) Pola kognitif/perceptual
kaji fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa
lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
7) Pola persepsi diri/konsep diri
a) kaji/tanyakan perasaan klien tentang dirinya saat sedang mengalami
sakit.
b) Kaji dampak sakit terhadap klien
c) Kaji keinginan klien untuk berubah (mis : melakukan diet sehat dan
latihan).
8) Pola peran/hubungan
a) kaji peengaruh sakit yang diderita klien terhadap pekerjaannya
b) kaji keefektifan hubungan klien dengan orang terdekatnya.
9) Pola seksualitas/reproduksi
a) kaji dampak sakit terhadap seksualitas.
b) Kaji perubahan perhatian terhadap aktivitas seksualitas.
10) Pola koping/toleransi stress
a) kaji metode kopping yang digunakan klien untuk menghidari stress
b) system pendukung dalam mengatasi stress
11) Pola nilai/kepercayaan
klien tetap melaksanakan keagamaan dengan tetap sembahyang tiap ada
kesempatan.

2. Pemeriksaan Fisik.
a. Inspeksi
Klien tampak banyak minum, banyak buang air kecil, kulit kering dan
pucat, tampak kurus karena penurunan berat badan yang cepat, muntah,

22
kegagalan pertumbuhan, membran mukosa dan kulit kering. Pasien merasa
lemah dan mengeluh haus.

b. Palpasi
Turgor kulit tidak elastis, membrane mukosa dan kulit kering, takikardia,
takipnea.
c. Auskultasi
Tekanan darah turun (hipotensi).

3. Data Fokus
Data Subjektif Data Objektif
1. Klien mengatakan sering merasa 1. Turgor kulit klien tampak buruk
haus 2. Klien tampak pucat
2. Klien mengatakan sangat banyak 3. Membran mukosa klien tampak
minum terutama air dingin pucat dan kering
3. Klien mengatakan sering sekali 4. Kulit klien tampak kering
BAK terutama pada malam hari 5. Klien tampak sering berkemih
4. Klien mengatakan BB menurun 6. Klien tampak gelisah
5. Klien mengatakan tidak nafsu
makan
6. Klien mengeluh merasa kelelahan
dan lemah
7. Klien mengatakan tidurnya
terganggu akibat sering merasa
BAK
8. Klien mengeluh sulit
berkonsentrasi

23
9. Klien mengatakan kurang nyaman
dibagian kandung kemih

4. Analisa Data
No. Data Etiologi Masalah

24
1. DS : Diabetes Insipidus Hipovolemia
1. Klien mengatakan sering
merasa haus Tubuh tidak kompensasi
2. Klien mengatakan sering = tidak ada pemasukan
sekali BAK terutama pada cairan yang cukup
malam hari
3. Klien mengeluh merasa Dehidrasi
kelelahan dan lemah
4. Klien mengatakan BB Hipovolemia
menurun
DO :
1. Turgor kulit klien menurun
2. Membran mukosa klien
tampak kering
3. Kulit klien tampak kering
4. Klien tampak sering
berkemih
5. Klien tampak gelisah
6. Tekanan darah menurun
7. Nadi teraba lemah

5. Diagnosa.
Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif d.d klien mengatakan sering merasa
haus, sering sekali BAK terutama pada malam hari, mengeluh merasa kelelahan
dan lemah, mengatakan BB menurun, klien tampak turgor kulit klien menurun,
membran mukosa klien tampak kering, kulit klien tampak kering, tampak
sering berkemih, tampak gelisah, tekanan darah menurun
6. Intervensi

25
No Tanggal / Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Jam Keperawatan (SLKI) (SIKI)
1. 17/08/2019 Hipovolemia b.d Setelah dilakukan tindakan SIKI : Hipovolemia
12.00 kehilangan cairan keperawatan selama ….x24 Intervensi Utama
aktif d.d klien jam, Hipovolemia dapat  Label : Manajemen
mengatakan sering teratasi, dengan kriteria hasil Hipovolemia
merasa haus, sering (SLKI) : Hipovolemia 1. Periksa tanda dan gejala
sekali BAK terutama Luaran Utama hypovolemia
pada malam hari,  Label : Status Cairan (mis.frekuensu nadi
mengeluh merasa 1. Turgor kulit meningkat, nadi teraba
kelelahan dan lemah, meningkat lemah, tekanan darah
mengatakan BB 2. Tekanan darah menurun, tekanan darah
menurun, klien membaik menyempit, turgor kulit
tampak turgor kulit 3. Tekanan nadi menurun, membrane
klien menurun, membaik mukosa kering, volume
membran mukosa 4. Membran mukosa urin menurun, hematocrit
klien tampak kering, membaik meningkat, haus, lemah)
kulit klien tampak 5. Berat badan membaik 2. Monitor intake dan output
kering, tampak sering 6. Keluhan haus cairan
berkemih, tampak menurun 3. Hitung kebutuhan cairan
gelisah, tekanan darah 7. Perasaan lemah Intervensi Pendukung
menurun menurun  Label: Pemantauan Cairan
8. Intake cairan 1. Monitor hasil pemeriksaan
membaik serum (mis. Osmolaritas
Luaran Tambahan serum, hematocrit, natrium,
 Label: Keseimbangan kalium)
Cairan 2. Monitor jumlah, warna, dan
1. Dehidrasi menurun berat jenis urine.
3. Monitor berat badan

26
4. Atur interval waktu
pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
5. Dokumentasikan hasil
pemantauan.
6. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan.

27
BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan
Diabetes insipidus merupakan kelainan pada lobus posterior hipofisis yang
disebabkan oleh defisiensi vasopressin yang merupakan hormone anti diuretic (ADH).
Kelainan ini ditandai oleh rasa haus yang sangat tinggi ( polidipsia ) dan pengeluaran
urin yang encer dengan jumlah yang besar. (Smeltzer dan Bare, 2002). Diabetus
insipidus merupakan suatu penyakit langka yang jarang ditemukan. Menurut sebuah
konsorsium Europian Partner, menyatakan ini merupakan penyakit langka yang
terdapat 1 : 2000 orang. Penyebab terjadinya Diabetes Insipidus antara lain : Defisiensi
ADH ( diabetes insipidus sentral) yang mungkin kongenital atau didapat, disebabkan
oleh defek SSP, trauma kepala, infeksi , tumor otak, atau idiopatik. Penurunan
sensitivitas ginjal pada ADH ( diabetes insipidus nefrogenik ) biasanya menyertai
penyakit ginjal kronis , atau supresi ADH sekunder akibat mengkonsumsi cairan
berlebihan ( polidipsia).
Klasifikasi diabetes insipidus yaitu ada 4, DI sentral, DI nefrogenik, DI dispogenik,
DI gestasional. Adapun manifestasi klinis pada diabetes insipidus meliputi polidipsia,
poliuria, gangguan pola tidur akibat nokturia dan poliuria, anoreksia, penurunan berat
badan, dll. Pemeriksaan diagnostic untuk menegakkan diabetes insipidus dapat
menggunakan uji nikotin, uji vasopresin, laboraturium: darah, urinalis fisis dan kimia,
tes deprivasi air, MRI, dll. Penatalakasanaan secara kolaboratif yaitu vasopressin
sebagai obat pilihan untuk penderita diabetes insipidus dan penatalaksanaan secara
keperawatan dapat memantau status keseimbangan cairan dan elektrolit untuk
memonitor pasien yang beresiko terhadap dehidrasi. Asuhan Keperawatan terdiri dari
Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, dan intervensi
3.2 Saran
Tulisan hanyalah bersifat pendahuluan. Untuk itu perlu dilakukan
penyempurnaan oleh semua pihak yang berkecimpung dalam bidang akademik.
Demikian pula penyempurnaan dari segala aspek perlu dilakukan demi kesempurnaan
tulisan ini.

28
DAFTAR PUSTAKA

Guyton, A. C. M. D. and Hall, J. E., 2007. Buku Ajar Patofisiologi Kedokteran.Jakarta


: EGC.
Ganong, William F.2003. Buku Ajar Fosiologi Kedokteran. Jakarta:EGC
Sudoyo, Aru W.,dkk.2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Internal
Publishing
Kusuma, Felix. 2016.Diabetes Insipidus-Diagnosa Dan Terapi. Surabaya : CDK-246/
Vol. 43 no. 11 th. 2016
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Volume 2. Jakarta: EGC
Black, Joyce M. 2009. Keperawatan Medikal Bedah untuk Hasil yang Diharapkan.
Edisi 8. Singapura: Elsevier
Alodokter. 2016. Diabetes Insipidus. Diperoleh 16 Agustus 2018, dari
http://www.alodokter.com/diabetes-insipidus/komplikasi
Di Iorgi, N., Napoli, F., Allegri, A. E. M., Olivieri, I., Bertelli, E., Gallizia, A., …
Maghnie, M. (2012). Diabetes insipidus - Diagnosis and management. Hormone
Research in Paediatrics, 77(2), 69–84. https://doi.org/10.1159/000336333

Kalra, S., Zargar, A., Jain, S., Sethi, B., Chowdhury, S., Singh, A., … Malve, H. (2016).
Diabetes insipidus: The other diabetes. Indian Journal of Endocrinology and
Metabolism, 20(1), 9. https://doi.org/10.4103/2230-8210.172273

Batticaca, Fransisca B.2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Price Sylva and M. Wilsol Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan: DPP PPNI

29
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan: DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan: DPP PPNI

30

Anda mungkin juga menyukai